Anda di halaman 1dari 20

Signifikansi Konteks (siyq) dalam Tafsir

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Kaidah Tafsir

Oleh:

Muhammad Najib

Dosen Pembimbing:
Dr. Makinuddin, M.HI
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013

Signifikansi Konteks (siyq) dalam Tafsir


Oleh: Muhammad Najib

I. Pendahuluan
Suatu ayat dapat memperjelas maksud ayat lain dalam
surat yang sama atau surat yang lain. Bahkan satu kalimat dapat
memperjelas kalimat lain dalam ayat yang sama. Sebab, pada
dasarnya al-Qur`an merupakan rangkain kalimat dalam sebuah
wacana yang memiliki kesatuan tema dan maksud. Tiap kata
yang membentuk satu kalimat dalam al-Qur`an saling terkait
satu sama lain dan menggambarkan maksud utuh dari kalimat
tersebut. Bagian-bagian dalam kalimat itu dapat mendukung dan
memperjelas makna bagian lain. Demikian pula pada tingkat
wacana. Rangkaian kalimat yang membentuk wacana
merupakan satu kesatuan tema dan maksud. Masing-masing
kalimat tidak akan menggambarkan maksud yang utuh jika
dipahami secara terpisah.
Itulah yang dimaksud menafsirkan al-Qur`an dengan alQur`an. Seorang mufassir dapat mengetahui maksud suatu ayat
dengan memperhatikan bagian lain dari ayat tersebut atau ayat
lain. Salah satu intsrumen yang dapat mempertajam penafsiran
al-Qur`an dengan al-Qur`an adalah pemahaman terhadap
konteks atau siyq. Al-Qur`an tidak dapat dipahami hanya
dengan mengandalkan pendekatan leksikal sembari
mengabaikan petunjuk konteks. Bahkan al-Zarkashi mengatakan,
seyogyanya perhatian seorang mufassir ditujukan pada konteks
susunan kalimat (

) , meskipun tidak sesuai

dengan makna leksikalnya1.
1 Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Abdillah al-Zarkashi,
al-Burhn fi Ulm al-Qur`an, (Cairo:Dr Ihy` al-Kutub
1

Sejauh ini para ulama telah mencurahkan pikirannya demi


membangun dan mengembangkan kaidah tafsir untuk
menghindari kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan al-Qur`an.
Salah satu bagian terpenting dalam kaidah tersebut adalah
kaidah yang terkait dengan konteks.
Makalah ini akan membahas kaidah tafsir yang berkaitan
dengan konteks. Pembahasan akan diawali dengan mengupas
pengertian kaidah tafsir dan konteks. Selanjutnya pembahasan
akan difokuskan pada basis legitimasi dan signifikansi konteks
dalam penafsiran al-Qur`an. Bagian inti dari makalah ini adalah
pembahasan tentang kaidah tafsir yang terkait dengan konteks
dengan menyertakan contoh aplikatifnya dalam tafsir. Wa Allah
al-Mustn.
II. Pengertian Kaidah Tafsir dan Konteks (Konteks)
A. Pengertian Kaidah Tafsir
Secara etimologis kaidah (q`idah) tafsir (tafsr) terdiri dari
dua kata, yaitu kaidah dan tafsir. Kaidah artinya pondasi atau
penyangga2. Sedangkan tafsir artinya penjelasan, pengugkapan
makna, atau pengungkapan sesuatu yang tertutup3.
Secara terminologis kaidah adalah proposisi universal yang
mencakup hukum-hukum partikularnya4. Demikian Abu al-Baqa
mendefinisikannya. Definisi lain yang disebutkan para ulama
secara substansial sama dengan definisi di atas, hanya berbeda
al-Arabiyyah, 1957), 1:137.
2 Muhammad bin Mukarrom Abul Fadlal Jamaluddin Ibnu
Mandzur, Lisn al-Arab, (Beirut: Dr adir, 1414 H), 3:361.
3 Ibid, 5:55.
4 Ayyub bin Musa al-Husaini Abu al-Baqa, al-Kulliyyt Mujam
fi al-Mustalah

t wa al-Furq al-Lughawiyah, (Beirut: Muassast


al-Rislah, tth), 728.
2

redaksi. Ibnu al-Najjar mendefinisikan kaidah sebagai proposisi


universal yang hukumnya berlaku pada banyak proposisi
partikular5.
Dengan demikian kaidah harus berupa pernyataan
universal yang berlaku pada seluruh bagian-bagian partikularnya.
Contoh: dalam ilmu nah wu terdapat kaidah fil dibaca rafa.
Berarti seluruh kata yang berkedudukan sebagai fil pasti dibaca
rafa. Dalam fikih terdapat kaidah asal yang salah satunya
berbunyi, status asal seseorang adalah tidak bersalah hingga
terbukti secara meyakinkan bahwa ia bersalah (al-as l al-bar`ah).
Dengan demikian semua orang dihukumi tidak bersalah sampai
terbukti bersalah.
Namun berdasarkan fakta, banyak kaidah tidak berlaku
pada seluruh bagian-bagian partikularnya. Misalnya: dalam


kaidah sarf
dikemukakan bahwa setiap pola

yang mutall
al-Ayn6, harakat huruf illat harus dipindahkan ke huruf
sebelumnya dan huruf illat tersebut diganti dengan alif. Misalnya,




menjadi
. Faktanya terdapat
, seperti


dalam al-Qur`an:











(19:)
Sesuai kaidah di atas seharusnya

berubah menjadi



. Bahkan Abu al-Fath memasukkan kasus
dalam

kategori banyak berlaku tapi tidak sesuai kaidah7.

5 Taqiyyuddin Abu al-Baqa Muhammad bin Ahmad Ibnu alNajjar, Sharh al-Kawkab al-Munr, (Riyadl: Maktabat a;-Abkn,
1997), 1:30.
6 Huruf pokok kedua berupa huruf illat, yakni: wawu dan ya
dan alif.
3

Berdasarkan penuturan di atas, kaidah yang didefinisikan


sebagai bersifat universal pada hakikatnya selalu memiliki
pengecualian.
Sedangkan tafsir secara terminologis didefinisikan Ibnu
Ashur sebagai ... ilmu yang membahas tentang penjelasan
makna dari kata-kata al-Qur`an dan kesimpulan yang didapat
dari kata-kata tersebut, baik secara ringkas maupun panjang
lebar8. Menurutnya, obyek material tafsir adalah kata-kata
dalam al-Qur`an dari sudut makna dan kesimpulan yang
dikandungnya9.
Dengan demikian yang dimaksud dengan kaidah tafsir
adalah hukum-hukum universal yang menjadi landasan dalam
memahami dan menyimpulkan kata-kata al-Qur`an.
B. Pengertian Konteks
Secara etimoloogis siyq (konteks) merupakan bentuk
masdar
dari sqa yasqu yang artinya menggiring. Insqat artiya

beriringan. Sqah artinya ternak yang digiring. Sq artinya pasar


karena banyak barang yang digiring ke tempat tersebut. Mahar
disebut sawq atau siyq karena orang Arab ketika menikah
menggiring onta dan kambing sebagai mahar10.
Meskipun siyq banyak dibicarakan dalam berbagai disiplin
ilmu, namun dalam kitab-kitab klasik tidak ditemukan
7 Abu al-Fath Uthman bin Jani, al-Khas `is , (Cairo: al-Hay`ah alMasriyah
al-mmah li al-Kitb, tth), 1:99.

8 Muhammad al-Thahir bin Muhammad Ibnu Ashur, al-Tahrr


wa al-Tanwr, (Tunisia: Dr al-Tunisiyah, 1984), 1:11.
9 Ibid, 1:12.
10 Lihat Muhammad bin Mukarrom Abul Fadlal Jamaluddin
Ibnu Mandzur, Lisn al-Arab, 10:166-168.
4

pembahasan yang secara khusus mendefinisikan siyq. Ibnu


Daqq al-d (w. 702 H.) menjelaskan siyq ketika membahas
takhs s dengan sabab al-nuzl. Ia mengatakan, siyq adalah
hal yang menunjukkan maksud pembicaraan seseorang11.
Dalam pembahasan yang berbeda, Al-Bannani (w. 1198 H.)
menjelaskan pengertian siyq sebagai hal yang menunjukkan
maksud pembicara, baik berupa kalimat yang sebelumnya atau
sesudahnya 12. Sedangkan al-Attar dalam pembahasan yang
lain pula mendefinisikan konteks sebagai hal yang menjadi
maksud disusunnya suatu kalimat13.
Berdasarkan penjelasan di atas, siyq dapat didefinisikan
sebagai rangkaian dan koherensi kalimat atau situasi
pembicaraan yang dapat menujukkan atau memperjelas maksud
pembicara. siyq yang didasarkan pada rangkaian kalimat
disebut siyq lughaw atau konteks bahasa. Sedangkan siyq
yang didasarkan pada situasi pembiaraan disebut dengan siyq
al-h l atau konteks situasi.
Yang dimaksud siyq dalam makalah ini adalah siyq
lughaw. Dan yang dimaksud Tafsir siyq (tafsir dengan
memperhatikan konteks bahasa) adalah penafsiran ayat dengan
mempertimbangkan ayat atau lafa sebelumnya atau
sesudahnya sebagai satu kesatuan yang mencerminkan maksud
utuh dari ayat tersebut.
11 Ibnu Daqq al-d, ih km al-Ah km Sharh Umdat al-Ah km,
(Cairo: Maktabah al-Sunnah, 1994), 2:21.
12 Abdurrahman bin Jadullah al-Bannani, shiyat al-Bannn
Ala Sharh al-Jall al-Mah all Ala Jami al-Jawmi, (Beirut:Dr al-Fikr,
tth),1:20
13 Hasan bin Muhammad bin Mahmud Al-Attar, shiyat
al-Ar
Ala Sharh al-Jall al-Mah all Ala Jami al-Jawmi, (Beirut: Dr
al-Kutub al-Ilmiiyah, tth), 1:320.
5

Selanjutanya dalam makalah ini akan digunakan kata


konteks untuk menunjuk siyq.
III. Dasar dan Signifikansi Penggunaan Konteks dalam
Penafsiran al-Quran
Seperti telah dikemukakan di atas, pada tataran teoritis
konteks telah mendapatkan perhatian ulama sekurangkurangnya sejak masa Syafii. Tetapi pada tataran praktis konteks
telah diterapkan sejak masa Rasulullah S alla Allah Alaihy wa
Sallam.
Rasulullah S alla Allah Alaihy wa Sallam memiliki otoritas
penuh dalam menafsirkan al-Quran meskipun tanpa
menyertakan argumentasinya. Tetapi dalam beberapa kasus
Rasulullah S alla Allah Alaihy wa Sallam melakukan penafsiran
dengan menyertakan argumentasi yang digunakannya. Salah
satunya adalah penafsiran dengan dasar konteks 14. Tirmidhi
meriwayatkan:



{












} :

[ 60 :]



:












" :













}



15

[61 : { ]








Aisyah, istri Nabi S alla Allah Alaihy wa Sallam berkata, aku
bertanya Rasulullah S alla Allah Alaihy wa Sallam tentang ayat ini(


) , apakah mereka (yang dimaksud





14 Abdurrahman Abdullah al-Mut r, al-Siyq al-Qur`an wa


Atharuhu fi al-Tafsr, (Tesis Jamiah Ummul Qura, Makkah,
2008), 78.
15 Abu Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidh, (Cairo: Mustafa
al
Bab al-h alab, 1975), 5:327-328.
6

dalam ayat ini -- penulis) adalah orang-orang yang meminum arak


dan mencuri?. Rasulullah S alla Allah Alaihy wa Sallam menjawab,
bukan, putri al- iddq. Tetapi mereka adalah orang-orang yang
melakukan puasa, shalat dan bersedekah sembari kuatir amal) .
amalnya tidak diterima.(








Pada hadis di atas Rasulullah S alla Allah Alaihy wa Sallam


menjelaskan ayat al-Mu`minn ayat 60 dengan merujuk pada
ayat al-Mu`minn ayat 61.
Penggunaan konteks dalam tafsir juga dilakukan sahabat16.
Thabari meriwayatkan:

:

:
} :
[141 : { ]
:

} : !

{
.17 [141 :]
Yusai al-Hadlrami bercerita bahwa ia bersama Ali bin Abi Thalib,
alu datanglah seorang laki-laki berkata, wahai Amirul Muminin,
apa pendapatmu tentang firman Allah, (
) , padahal mereka memerangi kita, memenanginya dan
membunuhi kita?. Ali menjawab, kemarilah, kemarilah. Lalu Ali
berkata )
(

Pada riwayat di atas Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa yang
dimaksud Allah tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir
atas orang mumin adalah kelak di hari kiamat, bukan sekarang
di dunia. Penjelasan itu mengacu pada kalimat sebelumnya,
16 Abdurrahman Abdullah al-Mut r, al-Siyq al-Qur`an, 85.
17 Muhammad Ibnu Jarir Abu Jafar al-Thabari, Jmi al-Bayn fi
Ta`wl al-Qur`an, (Cairo:Muassasat al-Risalah, 2000), 9:327.
Lihat pula, Ibnu Abi Hatim, Tafsr al-Qur`an al-Aim
li Ibni Abi
tim, (Riyadl: Nizar Musthafa al-Baz, 1419 H), 4:1095
7

yaitu: Allah akan memberikan keputusan di antara kamu di


hari kiamat .
Kedua riwayat di atas menjadi basis legitimasi penggunaan
konteks dalam tafsir. Lebih dari itu ulama menempatkan konteks
sebagai salah satu instrumen terpenting dalam penafsiran alQur`an. Muslim bin yasar berkata, Jika engkau menceritakan
sesuatu dari Allah, maka berhentilah hingga engkau mencari
tahu apa yang sebelum dan sesudahnya18. Dengan kata lain,
penfasiran suatu ayat harus dilihat dalam satu rangkaian dengan
ayat, kalimat atau kata yang sebelum dan sesudahnya.
Signifikansi konteks juga disinggung al-Shatibi (w. 790 H).
Menurutnya, mempertimbangkan konteks dalam menentukan
pengertian kalimat adalah hal niscaya. Ia mencontohkan, kalimat
Si fulan adalah macan, Si fulan adalah keledai atau Si fulan
besar abunya akan menjadi kalimat yang lucu dan menjadi
bahan tertawaan, jika dipahami tanpa melibatkan konteks.
Sebuah kalimat tidak akan memiliki makna yang berarti, jika ia
dipahami terlepas dari konteks. Dalam format kalimat tanya alShatibi menegaskan bahwa jika konteks menempati posisi
sentral dalam memahami ucapan manusia, maka tentu konteks
juga memiliki peran signifikan dalam memahami firman Allah dan
Sabda Rasulullah S alla Allah Alaihy wa Sallam19.
Lebih jauh al-Shatibi mengatakan bahwa seseorang yang
hendak memahami suatu ungkapan haruslah memperhatikan
bagian awal dan akhir dari ungkapan tersebut dalam satu
kesatuan wacana serta situasi yang menyertainya. Bagian awal
18 Abu al-Fida` Ismail Ibnu Kathir, Tafsr al-Qur`an al-A m,
(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419 H), 1:14.
19 Ibrahim bin Musa al-Shtib, al-Muwfaqt, (Cairo: Dr Ibnu
Affan, 1997), 3:419-420.
8

tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan bagian akhir,


demikian pula sebaliknya. Meskipun suatu wacana terdiri dari
beberapa ungkapan, tetapi sesungguhnya masing-masing
ungkapan saling terkait dan membentuk satu kesatuan. Karena
itu seseorang yang ingin memahami ungkapan shri harus
mengkaitkan bagian akhir dengan bagian awal, demikian pula
bagian awal dengan bagian akhir. Dengan cara itulah maksud
shri; dapat ditangkap seorang mukallaf. Jika bagian-bagian itu
dilihat secara terpisah, maka ia tidak akan mencapai maksud
tersebut20.
Dalam kajian ushul fikih, al-Shatibi bukanlah orang pertama
yang memandang signifikansi konteks. Pendiri mazhab
Shafiiyah, Muhammad bin Idris al-ShafiI (w. 204 H) dalam alRislah bahkan membuat bab khusus tentang kategori kalimat di
mana konteks menjelaskan makna kalimat tersebut. Ia
mencontohkannya dengan ayat berikut:



Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di
dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di
waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar)
mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang
bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka.
Demikianlah kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku
fasik.

Dalam ayat tersebut pertama-tama Allah memerintahkan untuk


bertanya kepada Bani Israil tentang suatu desa yang terletak di
dekat laut. Ketika kemudian Allah melanjutkan firman-Nya
dengan ketika mereka melanggar aturan pada hari sabtu,
20 Ibid, 4:266.
9

maka diketahui bahwa yang dimaksud desa adalah penduduk


desa21. Dengan demikian berdasarkan konteks ayat, firman
Allah di atas ditafsirkan sebagai berikut, Tanyakanlah kepada
Bani Israil tentang penduduk desa ketika mereka melanggar
aturan hari sabtu.
Signifikansi kontkes juga ditekankan Al-Zarkashi. Ia
mengatakan, seyogyanya perhatian seorang mufassir ditujukan
pada konteks susunan kalimat (

) , meskipun

berbeda dari makna leksikalnya22. Al-Zarkashi juga mengkritik
orang-orang yang menolak signifikansi konteks. Menurutnya,
keberlakuan petunjuk konteks dalam firman Allah adalah hal
yang disepakati23
Senada dengan al-Zarkashi, Al-Suyuthi menyatakan bahwa
salah satu sarat menjadi seorang mufassir adalah,
memperhatikan susunan dan tujuan suatu kalimat24. Pada
tataran praktis penggunaan kontkes kalimat untuk menentukan
makna juga dilakukan para mufassirin. Ibnu Atiyyah, misalnya,
menolak sautu penafsiran dengan alasan tidak sesuai dengan
konteks kalimat. Ketika menafsirkan ayat:





(93 : )








21 Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Shfi, al-Rislah,
(Cairo:Maktabah al-alab, 1940), 62.
22 Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Abdillah alZarkashi, al-Burhn fi Ulm al-Qur`an, 1:137.
23 Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Abdillah alZarkashi, al-Bah r al-Muh i fi Usl
al-Fiqh, (Beirut: Dr al-Kutub,
1994), 8:54.
24 Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqn
fi Ulm al-Qur`an, (Cairo:al-Hay`ah al-Ammh li al-Kitb,
1974), 4:227.
10

adalah meresapkan. Ia juga


ia mengatakan bahwa makna
mengutip pendapat ulama yang mengatakan bahwa kata
tersebut bermakna minum. Kemudian ia menolak pendapat
terakhir dengan mengatakan, pendapat ini dimentahkan
25
dengan firman Allah,
. Dengan kata lain, Ibnu Atiyyah
mengatakan bahwa dengan mempertimbangkan konteks, kata
tidak mungkin diartikan minum.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan


konteks dalam tafsir memiliki landasan yang kuat, sebagaimana
dicontohkan Rasulullah S alla Allah Alaihy wa Sallam dan sahabat,
bahkan menjadi keniscayaan dalam memahami makna al-Qur`an
secara utuh.
IV. Konteks Bahasa dalam Kaidah Tafsir
Pada dasarnya kaidah tafsir yang terkait dengan konteks
merupakan penjabaran implementatif dari fungsi-fungsi konteks.
Menjelaskan fungsi konteks Izzuddin Ibnu Abdissalam
sebagaimana dikutip al-Zarkashi mengatakan,
Konteks dapat memperjelas hal yang masih global, menetapkan
satu makna diantara berbagai kemungkinan makna dan
menguatkan hal yang sudah jelas. Semua fungsi tersebut
diimplementasikan berdasarkan kelaziman. Oleh karena itu setiap
sifat yang diungkapkan dalam konteks pujian, maka ia bermakna
pujian, meskipun secara leksikal bermakna celaan. Dan semua
sifat yang diungkapkan dalam konteks celaan, maka ia bermakna
celaan, meskipun secara leksikal bermakna pujian, seperti firman
[ } 49 :] .26
Allah: {

Dari uraian Izzuddin dapat disimpulkan tiga fungsi konteks,


yaitu: (1) memperjelas hal yang masih global, (2) menetapkan
25 Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib Ibnu Atiyyah, alMuh arrar al-Wajz fi Tafsr al-Kitb al-Azz, (Beirut: Dr al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1422 H.),1:180
26 Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Abdillah alZarkashi, al-Bah r al-Muh i fi Usl
al-Fiqh, 8:55.
11

salah satu makna di antara berbagai kemungkinan makna, (3)


menguatkan hal yang sudah jelas.
Di samping tiga fungsi di atas, terdapat tiga fungsi lain,
sebagaimana dikemukakan Ibnu Qayyim, yaitu: (1) membatasi
cakupan kalimat yang general (takhs s al-m), (2) membatasi
kalimat absolut (taqyd al-mulaq),
(3) menganeka-ragamkan

makna27.
Enam fungsi ini bermuara pada satu kaidah, yaitu:
konteks kalimat menjelaskan maksud pembicara. Dari
kaidah ini dikembangkan kaidah-kaidah lain yang berkaitan
dengan konteks. Berikut kaidah tafsir yang berhubungan dengan
konteks bahasa.
A. Suatu penafsiran tidak boleh bertentangan dengan
makna kontekstualnya
Membelokkan suatu kalimat dari makna kontekstualnya
dapat mengakibatkan pertentangan dengan maksud yang
dikehendaki pembicara. Sebab, konteks dapat mengungkap apa
yang tersembunyi dari sebuah kalimat. Kaidah ini ditegaskan
Ibnu Taimiyah. Menurutnya, makna suatu kalimat didasarkan
pada kontkesnya, baik konteks bahasa maupun situasi28. Hal
yang sama juga diungkapkan al-Thabari dalam tafsirnya. Ia
katakan, tidak boleh membelokkan kalimat dari makna
konstektualnya kecuali dengan dalil yang dapat diterima, baik
berupa makna asosiatif ayat atau hadis Rasulullah S alla Allah
Alaihy wa Sallam29.

27 Lihat, Muhammad bin Abi Bakar Syamsuddin Ibnu Qayyim,


Bad`i al-Faw`id, (Beirut: Dr al-Kitb al-Arab, tth), 4:9.
28 Taqiyyuddin Abul Abbas Ibnu Taimiyah, Majm al-Fatwa,
(Madinah: Majma al-Malik Fahd, 1995), 6:14.
12

Atas dasar hal tersebut, setiap penafsiran yang tidak


sesuai dengan makna kontekstualnya tidak dapat diterima. AlThabari menerapkan kaidah ini ketika menafsirkan ayat:


(159: )









Tidak ada seorangpun dari ahli kitab, kecuali akan beriman
kepadanya sebelum kematiannya. dan di hari kiamat nanti Isa itu
akan menjadi saksi terhadap mereka.

Mula-mula al-Thabari menegemukakan dua pendapat. Yang


pertama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata ganti
nya dalam beriman kepadanya adalah Nabi Isa Alayhi alSalm. Pendapat kedua mengatakan Nabi Muhammad S alla Allah
Alaihy wa Sallam. Kemudian ia memilih pendapat pertama dan
menolak pendapat kedua dengan alasan bahwa pendapat kedua
tidak didukung konteks. Sebab, konteks ayat tersebut
membicarakan nabi Isa Alayhi al-Salm dan ibunya30.
B. Konteks dapat membatasi cakupan kalimat general
(takh al-m)
Jika suatu ayat menunjukkan makna general, tetapi
konteksnya mengindikasikan pembatasan, maka cakupan makna
ayat dibatasi oleh konteksnya. Al-Shaukani dalam Irshd al-Fuh l
membuat sub bab yang berjudul, al-Takhss bi al-Siyq. Ia
mengutip Ibnu Daqq al-d yang menyatakan bahwa kalimat
general dapat dibatasi oleh konteksnya. Hal itu dibuktikan
dengan perbincangan manusia di mana terkadang mereka
memastikan tidak ada kesan generalitas dalam suatu perkataan
yang bermakna general karena konteks mengindikasikan
29 Muhammad Ibnu Jarir Abu Jafar al-Thabari, Jmi al-Bayn fi
Ta`wl al-Qur`an, 9:389.
30 Ibid.
13

ketiadaan generalitas. Dalam teks al-Qur`an dan hadis juga


berlaku demikian. Sebab, keduanya merupakan komunikasi yang
ditujukan kepada manusia sesuai dengan adat dan kebiasaan
bahasa yang berlaku di atanra mereka31.
Kaidah ini dapat diterapkan pada penafsiran32 surat al-Ah b
ayat 33:









...

...


Pengertian ahlu al-bayt (keluarga) pada ayat tersebut bersifat
general yang mencakup anak dan istri. Berdasarkan generalitas
ayat, maka seluruh anak dan istri Rasulullah S alla Allah Alaihy
wa Sallam masuk dalam kategori orang-orang yang dibersihkan
dan disucikan. Tetapi konteks ayat mengindikasikan bahwa yang
dimaksud ahlu al-bayt adalah istri-istri Rasulullah S alla Allah
Alaihy wa Sallam. Sebab ayat sebelum dan sesudahnya memang
berbicara tentang mereka.
Sejak ayat 28 tema telah beralih membicarakan istri-istri
Rasulullah S alla Allah Alaihy wa Sallam. Bahkan permulaan ayat
33 juga membicarakan hal yang sama. Setelah menyebutkan
ahlu al-bayt ayat 34 kembali membicarakan istri-istri Rasulullah
S alla Allah Alaihy wa Sallam. Jadi, jika ahlu al-bayt pada ayat 33

31 Muhammad bin Ali bin Abdillah al-Shaukani, Irshd al-Fuh l


Ila Tah qq al-Haqq min Ilm al-Us l, (Beirut: Dr al-Kitb
al-Arab, 1999), 1:397. Lihat pula, Abu Abdillah Badruddin
Muhammad bin Abdillah al-Zarkashi, al-Bah r al-Muh i fi Usl
alFiqh, 4:503.
32 Lihat, Muhammad al-Thahir bin Muhammad Ibnu Ashur, alTahrr wa al-Tanwr, 14:22. Lihat pula, Muhammad bin Ali bin
Abdillah al-Shaukani, Fath al-Qadr, (Damaskus: Dr Ibnu
Kathir, 1414 H), 4:321-323.
14

ditafsirkan dalam pengertian general, maka koherensi antar ayat


menjadi terganggu. Berikut ayat al-Ah zb dari 28 hingga 34:







) (28






(29





















) (30







(31




) (32









) (33


)(34







C. Konteks menentukan tautan amr


Gh`ib (kata ganti orang

)ketiga
Kata ganti dalam kalimat Arab lazim digunakan untuk
mempersingkat dan menghindari pengulangan. Jika yang
digunakan adalah kata ganti orang ketiga, maka dibutuhkan
penjelas untuk mengetahui tautan (marji) kata ganti tersebut.
Abu Hayyan berkata, kata ganti orang pertama dan kedua dapat
diketahui tautannya berdasarkan pengamatan langsung.
Sedangkan kata ganti orang ketiga tidak mungkin diketahui dari
pengamatan, dan karenanya memerlukan penjelas tautan kata
ganti tersebut33.

33 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Tadhyl wa al-Takmi fi Sharh


kitb al-Tashl, (Damaskus: Dr al-Qalam, 1998), 2:252
15

Pada dasarnya penjelas tautan merupakan kata terdekat,


kecuali jika konteks mengindikasikan berbeda. Misalnya, pada
al-Ankabt ayat 27:

...

Berdasarkan kedekatannya tautan kata ganti pada adalah


. Tetapi konteks ayat berbicara tentang Ibrahim



atau
Alayhi al-Salm, sehingga tautan kata ganti adalah Ibrahim
Alayhi al-Salm34.
Ibnu Ashur juga mendasarkan pendapatnya pada konteks
ketika menentukan tautan kata ganti pada surat Yunus ayat 58:














(58)





Menurutnya, berdasarkan konteks kata ganti pada


bertaut dengan


dengan
dan

pada ayat

sebelumnya:














(57)















Dan tidak mungkin keduanya bertaut pada

. Sebab,

konteks kalimat menentukan tautan beberapa kata ganti yang
serupa sesuai peruntukannya, seperti sair Abbas bin Mirdas:










...



di mana tautan kata ganti


adalah orang-orang musyrik
sebagaimana tautan
, sedangkan tautan
adalah kaum



muslimin35.
34 Ibid.
35 Muhammad al-Thahir bin Muhammad Ibnu Ashur, al-Tahrr
wa al-Tanwr, 1:205.
16

Tiga kaidah di atas hanyalah sebagian dari banyak kaidah


tafsir yang berhubungan dengan konteks. Tetapi semuanya
kembali kepada enam fungsi konteks seperti telah dikemuakan di
atas.
V. Kesimpulan
Konteks dapat diartikan rangkaian dan koherensi kalimat
atau situasi pembicaraan yang dapat menujukkan atau
memperjelas maksud pembicara. Konteks sebagai salah satu
instrumen tafsir telah menjadi kajian ulama setidaknya sejak
masa al-Syafii. Bahkan praktik penggunaan konteks dalam tafsir
telah dilakukan Rasulullah S alla Allah Alaihy wa Sallam dan para
sahabatnya.
Ada 6 fungsi konteks sebagai penjelas makna, yaitu: (1)
memperjelas hal yang masih global, (2) menetapkan salah satu
makna di antara berbagai kemungkinan makna, (3) menguatkan
hal yang sudah jelas, (4) membatasi cakupan kalimat yang
general (takhss al-m), (5) membatasi kalimat absolut (taqyd almulaq),
(6) menganeka-ragamkan makna36.

Enam fungsi ini kemudian dijabarkan menjadi banyak


kaidah tafsir, di antaranya adalah: Suatu penafsiran tidak boleh
bertentangan dengan makna kontekstualnya, Konteks dapat
membatasi cakupan kalimat general (takhs s al-m), Konteks
menentukan tautan damr
Gh`ib (kata ganti orang ketiga).2013

Bibliografi
Abu al-Baqa, Ayyub bin Musa al-usaini, al-Kulliyy Mujam fi alMusalah

wa al-Furq al-Lughawiyah, Beirut, Muassast al-Rislah,


tth

36 Lihat, Muhammad bin Abi Bakar Syamsuddin Ibnu Qayyim,


Bad`i al-Faw`id, (Beirut: Dr al-Kitb al-Arab, tth), 4:9.
17

al-Andalusi, Abu ayyan, al-Tadhyl wa al-Takmi fi Sharh kib al-Tashl,


Damaskus, Dr al-Qalam, 1998
Al-Attar , asan bin Muhammad bin Mahmud, shiya al-Ar
Ala
Sharh al-Jall al-Mah all Ala Jami al-Jawmi, Beirut, Dr al-Kutub
al-Ilmiiyah, tth
al-Bannani, Abdurrahman bin Jadullah, shiya al-Bannn Ala Sharh alJall al-Mah all Ala Jami al-Jawmi, Beirut, Dr al-Fikr, tth
atim, Ibnu Abi, Tafsr al-Qur`an al-Aim
li Ibni Abi im, Riyadl, Nizar
Musthafa al-Baz, 1419
Ibnu Ashur Muhammad al-Thahir bin Muhammad, al-Tahrr wa al-Tanwr,
Tunisia, Dr al-Tunisiyah, 1984
Ibnu Atiyyah, Abu Muhammad Abdul aq bin Ghalib, al-Muh arrar al-Waj
fi Tafsr al-Kib al-A, Beirut, Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1422 .
Ibnu Kathir Abu al-Fida` Ismail, Tafsr al-Qur`an al-Am,
Beirut, Dr alKutub al-Ilmiyyah, 1419
Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukarrom Abul Fadlal Jamaluddin, Lisn
al-Arab, Beirut, Dr adir, 1414
Ibnu al-Najjar, Taqiyyuddin Abu al-Baqa Muhammad bin Ahmad, Sharh alKawkab al-Munr, Riyadl, Maktabat al-Abkn, 1997
Ibnu al-Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar yamsuddin, Bad`i al-Faw`id,
Beirut, Dr al-Kitb al-Arab, tth
Ibnu Taimiyah, Taqiyyuddin Abul Abbas, Majm al-Fawa, Madinah,
Majma al-Malik Fahd, 1995
al-d, Ibnu Daqq, ih km al-Ah km Sharh Umda al-Ah km, Cairo,
Maktabah al-unnah, 1994
al-Mut r, Abdurrahman Abdullah. al-iyq al-Qur`an wa Atharuhu fi alTafsr. Tesis Jamiah Ummul Qura, Makkah, 2008
al-hfi, Abu Abdillah Muhammad bin Idris, al-Rislah, Cairo, Maktabah alalab, 1940
al-haukani, Muhammad bin Ali bin Abdillah, Fah al-Qadr, Damaskus: Dr
Ibnu Kathir, 1414 .
___________, Irshd al-Fuh l Ila Tah qq al-aqq min Ilm al-Us l, Beirut,
Dr al-Kitb al-Arab, 1999
al-htib, Ibrahim bin Musa, al-Muwfaq, Cairo, Dr Ibnu Affan, 1997
al-uyuthi, Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin, al-Iqn fi Ulm alQur`an, Cairo, al-ay`ah al-Ammh li al-Kitb, 1974
al-Thabari, Muhammad Ibnu Jarir Abu Jafar, Jmi al-Bayn fi Ta`wl alQur`an, Cairo, Muassasat al-Risalah, 2000

18

al-Tirmidhi, Abu Isa, Sunan al-Tirmidh, Cairo, Must afa al-Bab al-h alab,
1975
Uthman bin Jani, Abu al-Fath, al-Khas `is , Cairo, al-ay`ah al-Mas r iyah
al-mmah li al-Kitb, tth
al-Zarkashi, Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Abdillah, al-Bah r alMuh i fi
Usl
al-Fiqh, Beirut, Dr al-Kutub, 1994
___________, al-Burhn fi Ulm al-Qur`an, Cairo, Dr Ihy` al-Kutub
al-Arabiyyah, 1957

19

Anda mungkin juga menyukai