Anda di halaman 1dari 19

IKHTILAF DALAM PENTAFSIRAN AL-

QURAN

PM Dr. Ahmad Zulfiqar Shah bin Abdul Hadi


Jabatan Pengajian Islam
Fakulti Sains Kemanusiaan UPSI
zulfiqar@fsk.upsi.edu.my
Pendahuluan
 Perselisihan pandangan adalah sunnatullah.
 Setiap orang melihat suatu masalah, lalu memberikan
kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil
pemikirannya.

 Hal yang sama juga terjadi dalam usaha


menafsirkan al-Qur’an.
 Telah menjadi sebuah kenyataan, bahwa ikhtilaf atau
perselisihan pandangan dalam menafsirkan ayat-ayat
Allah juga berlaku. 
DEFINISI
 Dr. Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran
al-Qur’an sebagai ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an
dalam memahami petunjuk suatu ayat dalam menyesuaikan
dengan kehendak Allah Taala, yang mana mufassir telah
menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan
oleh mufassir lainnya.

 Sekalipun kecil, maka ia dikategorikan sebagai sebuah


ikhtilaf.

 Ikhtilaf terbahagi kepada 2 bentuk :


 1.      Ikhtilaf tanawwuât (perbezaan yang bersifat variatif).
 2.      Ikhtilaf tadhad (perbezaan yang bersifat kontradiktif).
 Ikhtilaf tanawwu’ ialah :

(1) sebuah keadaan dimana membolehkan penerapan


makna-makna lain yang berbeza dimasukkan dalam
pengertian ayat, dan ia hanya boleh berlaku jika
makna-makna itu adalah makna yang sahih, atau

(2) makna-makna yang berbeza itu sebenarnya


semakna satu sama lain, namun diungkapkan
dengan cara yang berbeza, atau

(3) kadangkala makna-makna itu berbeza namun tidak


saling menafikan, keduanya memiliki makna yang
sahih.
Ikhtilaf tadhadh ialah :
Makna atau pengertian itu saling menafikan
satu sama lain, dan tidak mungkin
diterapkan secara bersama.

Bila satu diantaranya diucapkan, maka yang


lain harus ditinggalkan sama ada ia
berpandukan naqli (tafsir bi al-Ma’thur)
atau aqli (bi al-Ra’y)
Ikhtilaf dalam Tafsir bi al-Ma’thur
 Ibnu Taymiyyah menyimpulkan bahwa ikhtilaf terjadi
karena SEBAB-SEBAB berikut:
 Pertama, ketika sebuah lafaz ditafsirkan oleh mufassir
dengan penjelasan yang berbeza, sedangkan makna-
makna itu sebenarnya ada dalam lafaz yang sama. Cth:
Lafaz Yaum al-Qiyamah dan al-Sirat al-Mustaqim.

Ibnu Taimiyah berkata :


“..Demikian juga penafsiran ulama yang menyatakan bahwa ia
“al-Sirat al-Mustaqim adalah (mengikuti) al-Sunnah wa al-
Jama’ah. Ada penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah
jalan penghambaan, penafsiran yang mengatakan bahwa ia
adalah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya saw, dan yang
seperti itu; mereka semua mengisyaratkan pada hal yang sama,
masing-masing menggambarkannya dengan salah satu sifat
yang dimiliki oleh al-Shirat al-Mustaqim itu”.

 Maka ia disimpulkan sebagai Ikhtilaf Tanawwu’


 Kedua, al-Qur’an menyebut sesuatu dengan lafaz yang
bersifat umum, lalu kemudian setiap mufassir
menafsirkannya dengan menyebut salah satu makna yang
khusus saja. Biasanya bertujuan memberikan penekanan
kepada perkara yang dikehendakinya, namun bukan untuk
membatasi pengertian lafaz yang ada pada lafaz umum
tersebut.

 Cth : Surah Fathir, ayat 32


Dalam ayat ini, dijelaskan 3 kategori hamba-hamba Allah:
(1) Yang zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi),
(2) yang bersikap pertengahan (muqtashid), dan (3) yang
berlumba dalam membuat kebaikan (al-sabiq bi al-khairat).

 Tafsiran berbeza : Tentang bacaan al-Quran dan tidak


amal, lalai dalam solat dan azan memasuki masjid.
 Terdapat beberapa asbab al-Nuzul dalam satu
ayat. Ia menyebabkan seorang mufassir
menafsirkan ayat berdasarkan salah satu asbab al-
Nuzulnya, sedangkan mufassir yang lain
menafsirkannya berdasarkan asbab al-Nuzul yang
lain.

 Contoh : Seperti yang terjadi pada ayat tentang li’an


dalam surah al-Nur, ayat 6.

 Dalam salah satu riwayat yang disebutkan oleh al-


Bukhari dijelaskan bahwa ayat ini turun untuk kes
Hilal ibn Umayyah ketika ia menuduh zina isterinya.
Sementara dalam riwayat shahih lainnya disebutkan
bahwa ayat ini turun pada kes Uwaimir al-Ajluny.
 Ketiga, hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman
terhadap lafazh, yang kemudian menyebabkan
perbezaan kesimpulan dalam menafsirkannya.

 Terkait dengan kategori ini, ada beberapa hal


menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir sebagai
berikut:

1. Lafazh yang memiliki lebih dari satu makna.


Cth : surah al-Muddatstsir, ayat 51:
Lafazh qaswarah ditafsirkan dengan singa, atau
pemanah, atau pemburu.
2. Adanya beberapa lafaz yang memiliki makna yang
mendekati makna lafazh Qur’ani.

Cth : Surah al-Nisa: ayat 163


Kalimah Auhaina (Kami wahyukan) dijelaskan dengan
ungkapan yang berbeza-beza. Ada yang
menafsirkannya dengan pemberitahuan (al-I’lam),
adapula yang menafsirkannya dengan menurunkan
(al-Inzal).

Ibnu Taimiyah menjelaskan “Kedua makna ini


hanyalah sebuah usaha pendekatan kepada makna
wahyu, tidak benar-benar tepat menjelaskan hakikat
wahyu itu. Sebab wahyu itu sendiri menurut Ibnu
Taimiyah - adalah (pemberitahuan yang terjadi secara
cepat dan tersembunyi). Bila dicermati, ini juga dapat
dikatakan sebagai salah satu contoh ikhtilaf tanawwu.”
3. Perbezaan Qira’at.
Perbezaan dalam bacaan al-Qiraat, maka
perbezaan penafsiran mungkin terjadi, sebab
setiap mufassir memberikan tafsir sesuai dengan
qiraat yang dibaca mereka.

Contoh : Surah al-Hijr, ayat 15.

Kata Sukkirat (terhalang) selain dibaca tasydid


seperti ini, ia juga dibaca biasa tanpa tasydid:
sukirat (tersihir).
Kedua makna ini sebenarnya tidak jauh berbeza,
sebab keduanya memiliki hubungan; orang yang
tersihir akan tertutupi pandangannya untuk melihat
yang sebenarnya. Itulah sebabnya, jenis inipun
dapat dikatakan sebagai khtilaf tanawwu.
Kesimpulan
 Dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf dalam jenis tafsir
bil-Ma’thur ini lebih banyak yang mendekati ikhtilaf
tanawwu’.

 Ibnu Taimiyah menyatakan,


“Khilaf (perbezaan) di kalangan salaf dalam tafsir itu
sedikit. Khilaf mereka dalam masalah hukum jauh
lebih banyak daripada khilaf mereka dalam tafsir.
Majoriti khilaf mereka yang diriwayatkan secara
shahih termasuk dalam kategori ikhtilaf tanawwu’,
dan bukan ikhtilaf tadhadh.”
Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi
 Ikhtilaf pada bentuk tafsir ini memiliki bilangan
yang jauh lebih banyak dari sebelumnya (tafsir
bil-Ma’thur). Ini kerana landasan dan asas tafsir
ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath
yang kualitinya berbeza-beza pada setiap
mufassir.

 Pada umumnya, KESALAHAN ijtihad terjadi


disebabkan oleh 2 sebab utama berikut:
 Pertama, meyakini makna dengan fahaman
atau idea tertentu sebelum mentafsirkan al-
Qur’an, lalu kemudian membawa lafaz-lafaz
Qur’ani kepada makna yang telah diyakini
sebelumnya itu.
 CONTOH : Surah Yusuf : Ayat 4.

 Syi’ah Batiniyyah mengatakan apa dimaksud dengan


Yusuf tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya,
Husain ibn Ali ibn Abi Thalib... Husain berkata kepada
ayahnya pada suatu ketika Sesungguhnya aku telah
melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud. Dan
yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah
Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam.
 Kedua, menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan
anggapan bahwa penafsiran itu mungkin secara Bahasa
semata , tanpa mempertimbangkan bahawa al-Qur’an
adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad
saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia.

 Mereka memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks


Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak
merasa perlu merujuk pada hal-hal lain seperti asbab al-
nuzul dan sebagainya. Menafsirkan al-Qur’an dengan
metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-
Lughah).

 Namun tidak semua terjadi sedemikian kerana al-Quran


sememangnya berbahasa Arab.
 CONTOH : Metode ini sendiri telah ada sejak
zaman Rasulullah saw. Salah satu contoh paling
jelas adalah ketika turunnya firman Allah, (Al-
An’am 82)

 Para sahabat merasa gelisah. “Siapakah di


antara kita yang tidak pernah berbuat zalim?” .

 Ini berarti ketika ayat ini turun, mereka serta


memahaminya dari sudut bahasa sahaja.
Rasulullah saw menjelaskan bahwa kezaliman
dalam ayat ini tidak seperti yang mereka fahami,
karena yang dimaksud adalah syirik. Seperti
yang terdapat dalam surah Luqman, ayat 13.
 Kisah ini telah mengisyaratkan 2 perkara penting:

1. Bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam


memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir
bi al-lughah adalah metode yang tepat dalam menafsirkan
al-Qur’an.

2. Ketika bertemu antara pentafsiran secara lughawy dengan


penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka
penafsiran secara naqlylah yang kemudian menjadi
pegangan dalam memahami teks al-Qur’an.
KESIMPULAN
 Kebanyakan Tafsir bi al-Ma’thur hanya berlaku Ikhtilaf
Tanawwu’.

 Ikhtilaf Tadhad adalah berlaku hanya dalam Tafsir bi al-


Ra’y.

 Ikhtilaf dalam Tafsir merupakan suatu percambahan ilmu


dan wajib difahami dengan baik oleh pengkaji teks al-
Quran.

 Penyelewengan dalam Tafsir hakikatnya bersandarkan


kepada rasa jahat dan nafsu semata.
SEKIAN
WAASALAM

Anda mungkin juga menyukai