Jabatan Pengajian Islam Fakulti Sains Kemanusiaan UPSI zulfiqar@fsk.upsi.edu.my Pendahuluan Perselisihan pandangan adalah sunnatullah. Setiap orang melihat suatu masalah, lalu memberikan kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil pemikirannya.
Hal yang sama juga terjadi dalam usaha
menafsirkan al-Qur’an. Telah menjadi sebuah kenyataan, bahwa ikhtilaf atau perselisihan pandangan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah juga berlaku. DEFINISI Dr. Wasim Fathullah mendefinisikan ikhtilaf dalam penafsiran al-Qur’an sebagai ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur’an dalam memahami petunjuk suatu ayat dalam menyesuaikan dengan kehendak Allah Taala, yang mana mufassir telah menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.
Sekalipun kecil, maka ia dikategorikan sebagai sebuah
ikhtilaf.
Ikhtilaf terbahagi kepada 2 bentuk :
1. Ikhtilaf tanawwuât (perbezaan yang bersifat variatif). 2. Ikhtilaf tadhad (perbezaan yang bersifat kontradiktif). Ikhtilaf tanawwu’ ialah :
(1) sebuah keadaan dimana membolehkan penerapan
makna-makna lain yang berbeza dimasukkan dalam pengertian ayat, dan ia hanya boleh berlaku jika makna-makna itu adalah makna yang sahih, atau
(2) makna-makna yang berbeza itu sebenarnya
semakna satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeza, atau
(3) kadangkala makna-makna itu berbeza namun tidak
saling menafikan, keduanya memiliki makna yang sahih. Ikhtilaf tadhadh ialah : Makna atau pengertian itu saling menafikan satu sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersama.
Bila satu diantaranya diucapkan, maka yang
lain harus ditinggalkan sama ada ia berpandukan naqli (tafsir bi al-Ma’thur) atau aqli (bi al-Ra’y) Ikhtilaf dalam Tafsir bi al-Ma’thur Ibnu Taymiyyah menyimpulkan bahwa ikhtilaf terjadi karena SEBAB-SEBAB berikut: Pertama, ketika sebuah lafaz ditafsirkan oleh mufassir dengan penjelasan yang berbeza, sedangkan makna- makna itu sebenarnya ada dalam lafaz yang sama. Cth: Lafaz Yaum al-Qiyamah dan al-Sirat al-Mustaqim.
Ibnu Taimiyah berkata :
“..Demikian juga penafsiran ulama yang menyatakan bahwa ia “al-Sirat al-Mustaqim adalah (mengikuti) al-Sunnah wa al- Jama’ah. Ada penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah jalan penghambaan, penafsiran yang mengatakan bahwa ia adalah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya saw, dan yang seperti itu; mereka semua mengisyaratkan pada hal yang sama, masing-masing menggambarkannya dengan salah satu sifat yang dimiliki oleh al-Shirat al-Mustaqim itu”.
Maka ia disimpulkan sebagai Ikhtilaf Tanawwu’
Kedua, al-Qur’an menyebut sesuatu dengan lafaz yang bersifat umum, lalu kemudian setiap mufassir menafsirkannya dengan menyebut salah satu makna yang khusus saja. Biasanya bertujuan memberikan penekanan kepada perkara yang dikehendakinya, namun bukan untuk membatasi pengertian lafaz yang ada pada lafaz umum tersebut.
Cth : Surah Fathir, ayat 32
Dalam ayat ini, dijelaskan 3 kategori hamba-hamba Allah: (1) Yang zhalim pada dirinya sendiri (al-zhalim li nafsihi), (2) yang bersikap pertengahan (muqtashid), dan (3) yang berlumba dalam membuat kebaikan (al-sabiq bi al-khairat).
Tafsiran berbeza : Tentang bacaan al-Quran dan tidak
amal, lalai dalam solat dan azan memasuki masjid. Terdapat beberapa asbab al-Nuzul dalam satu ayat. Ia menyebabkan seorang mufassir menafsirkan ayat berdasarkan salah satu asbab al- Nuzulnya, sedangkan mufassir yang lain menafsirkannya berdasarkan asbab al-Nuzul yang lain.
Contoh : Seperti yang terjadi pada ayat tentang li’an
dalam surah al-Nur, ayat 6.
Dalam salah satu riwayat yang disebutkan oleh al-
Bukhari dijelaskan bahwa ayat ini turun untuk kes Hilal ibn Umayyah ketika ia menuduh zina isterinya. Sementara dalam riwayat shahih lainnya disebutkan bahwa ayat ini turun pada kes Uwaimir al-Ajluny. Ketiga, hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman terhadap lafazh, yang kemudian menyebabkan perbezaan kesimpulan dalam menafsirkannya.
Terkait dengan kategori ini, ada beberapa hal
menyebabkan terjadinya ikhtilaf dalam tafsir sebagai berikut:
1. Lafazh yang memiliki lebih dari satu makna.
Cth : surah al-Muddatstsir, ayat 51: Lafazh qaswarah ditafsirkan dengan singa, atau pemanah, atau pemburu. 2. Adanya beberapa lafaz yang memiliki makna yang mendekati makna lafazh Qur’ani.
Cth : Surah al-Nisa: ayat 163
Kalimah Auhaina (Kami wahyukan) dijelaskan dengan ungkapan yang berbeza-beza. Ada yang menafsirkannya dengan pemberitahuan (al-I’lam), adapula yang menafsirkannya dengan menurunkan (al-Inzal).
Ibnu Taimiyah menjelaskan “Kedua makna ini
hanyalah sebuah usaha pendekatan kepada makna wahyu, tidak benar-benar tepat menjelaskan hakikat wahyu itu. Sebab wahyu itu sendiri menurut Ibnu Taimiyah - adalah (pemberitahuan yang terjadi secara cepat dan tersembunyi). Bila dicermati, ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ikhtilaf tanawwu.” 3. Perbezaan Qira’at. Perbezaan dalam bacaan al-Qiraat, maka perbezaan penafsiran mungkin terjadi, sebab setiap mufassir memberikan tafsir sesuai dengan qiraat yang dibaca mereka.
Contoh : Surah al-Hijr, ayat 15.
Kata Sukkirat (terhalang) selain dibaca tasydid
seperti ini, ia juga dibaca biasa tanpa tasydid: sukirat (tersihir). Kedua makna ini sebenarnya tidak jauh berbeza, sebab keduanya memiliki hubungan; orang yang tersihir akan tertutupi pandangannya untuk melihat yang sebenarnya. Itulah sebabnya, jenis inipun dapat dikatakan sebagai khtilaf tanawwu. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa ikhtilaf dalam jenis tafsir bil-Ma’thur ini lebih banyak yang mendekati ikhtilaf tanawwu’.
Ibnu Taimiyah menyatakan,
“Khilaf (perbezaan) di kalangan salaf dalam tafsir itu sedikit. Khilaf mereka dalam masalah hukum jauh lebih banyak daripada khilaf mereka dalam tafsir. Majoriti khilaf mereka yang diriwayatkan secara shahih termasuk dalam kategori ikhtilaf tanawwu’, dan bukan ikhtilaf tadhadh.” Ikhtilaf dalam Tafsir bil-Ra’yi Ikhtilaf pada bentuk tafsir ini memiliki bilangan yang jauh lebih banyak dari sebelumnya (tafsir bil-Ma’thur). Ini kerana landasan dan asas tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbath yang kualitinya berbeza-beza pada setiap mufassir.
Pada umumnya, KESALAHAN ijtihad terjadi
disebabkan oleh 2 sebab utama berikut: Pertama, meyakini makna dengan fahaman atau idea tertentu sebelum mentafsirkan al- Qur’an, lalu kemudian membawa lafaz-lafaz Qur’ani kepada makna yang telah diyakini sebelumnya itu. CONTOH : Surah Yusuf : Ayat 4.
Syi’ah Batiniyyah mengatakan apa dimaksud dengan
Yusuf tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Ali ibn Abi Thalib... Husain berkata kepada ayahnya pada suatu ketika Sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud. Dan yang dimaksud matahari adalah Fathimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam. Kedua, menafsirkan al-Qur’an hanya berdasarkan anggapan bahwa penafsiran itu mungkin secara Bahasa semata , tanpa mempertimbangkan bahawa al-Qur’an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk disampaikan kepada jin dan manusia.
Mereka memperlakukan al-Qur’an sebagai sebuah teks
Arab, sehingga dalam menafsirkannya mereka tidak merasa perlu merujuk pada hal-hal lain seperti asbab al- nuzul dan sebagainya. Menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini (dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al- Lughah).
Namun tidak semua terjadi sedemikian kerana al-Quran
sememangnya berbahasa Arab. CONTOH : Metode ini sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Salah satu contoh paling jelas adalah ketika turunnya firman Allah, (Al- An’am 82)
Para sahabat merasa gelisah. “Siapakah di
antara kita yang tidak pernah berbuat zalim?” .
Ini berarti ketika ayat ini turun, mereka serta
memahaminya dari sudut bahasa sahaja. Rasulullah saw menjelaskan bahwa kezaliman dalam ayat ini tidak seperti yang mereka fahami, karena yang dimaksud adalah syirik. Seperti yang terdapat dalam surah Luqman, ayat 13. Kisah ini telah mengisyaratkan 2 perkara penting:
1. Bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam
memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsir bi al-lughah adalah metode yang tepat dalam menafsirkan al-Qur’an.
2. Ketika bertemu antara pentafsiran secara lughawy dengan
penafsiran secara naqly (al-Qur’an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqlylah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur’an. KESIMPULAN Kebanyakan Tafsir bi al-Ma’thur hanya berlaku Ikhtilaf Tanawwu’.
Ikhtilaf Tadhad adalah berlaku hanya dalam Tafsir bi al-
Ra’y.
Ikhtilaf dalam Tafsir merupakan suatu percambahan ilmu
dan wajib difahami dengan baik oleh pengkaji teks al- Quran.
Penyelewengan dalam Tafsir hakikatnya bersandarkan
kepada rasa jahat dan nafsu semata. SEKIAN WAASALAM