Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1                   Latar Belakang
Al-Quran, kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan
umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran dapat
diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ulumul
quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang
membahas tentang Muhkam Mutasyabbih ayat.
Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah mengemukakan tiga
pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih.
Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS.
Hud : 1, sebagai berikut :
)1( ‫ت ِم ْن لَّ ُد ْن َح ِك ْي ُم َخبِ ْي ٍر‬
ْ َ‫ت ا يتُهُ ثُ َّم فُصِّ ل‬
ْ ‫ا ل َر ِكتَبُ اُحْ ِك َم‬
Kedua, seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS.
Az-Zumar : 39, sebagai berikut :
)39( ‫قُلْ يقَوْ ِم اعملوا علي مكا نتكم اني عا مل فسوف تعلمون‬
Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian,
yaitu muhkan  dan mutasyabihberdasarkan firman Allah dalam QS. ‘Ali Imran : 7, sebagai
berikut :
‫هو ا لذي انز ل عليك الكتب منه ا يت محكمت هن ا م الكتب و ا خر متشبهت فام]]ا ا ال]]ذين في قل]]و‬
‫بهم زيغ فيتبعون ما تشا به منه ابتغاء الفتنة وابتغاء ويله وما يعلم تأ ويله اال هللا والر س]]خون فى العلم يق]]و‬
]1[‫لون ا منا به كل من عند ربنا وما يذ كر اال اولواااللباب‬
Muhkam Mutasyabbih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini
dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian/pemahaman Al-
Quran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya perbedaan
pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah pemahaman tentang
ayat muhkam dan mutasyabbih. Bahasa Al-Quran ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang
belum jelas (mitasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran (tentang ayat muhkam
mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.[2]
Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran
khususnya dalam ranah Muhkam Mutasyabbih, maka kelompok kami menyusun makalah
yang membahas tentang kedua hal tersebut dengan judul “ Al-Muhkam Al-Mutasyabih”.
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang berhubungan dengan
Muhkam dan Mutasyabbih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya yaitu bab pembahasan.
 
1.2                   Rumusan Masalah
Dalam suatu karangan ilmiah haruslah disusun secara sistematis dan
runtut sesuai dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu untuk menyusun suatu
rumusan masalah yang menjadi batu pijakan untuk pembahasan pada makalah ini. Adapun
rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:
1.Apa pengertian dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
2.Bagaimana sebab-sebab adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
3.  Apa macam-macam dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
4.Bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih?
5.  Apa faedah dari adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
 
1.3                   Tujuan Pembelajaran
Adanya suatu diskusi dalam kelas yang kita lakukan sudah barang tentu semuanya
mempunyai tujuan masing-masing dan boleh jadi tujuan tersebut berbada ataupun sama.
Sedang pembelajaran pada saat ini yaitu dengan judul “Al-Muhkam Al-Mutasyabih”
mempunyai beberapa tujuan diantaranya adalah :
1.      Dapat mengetahui pengertian dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
2.Dapat memahami sebab-sebab adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
3.  Dapat mengerti macam-macam dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
4.      Dapat membedakan bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-
Mutasyabih.
5.      Dapat memahami faedah dari adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih.
 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Al-Muhkam Al-Mutasyabih
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan Muhkam dan Mutasyabih
dalam buku studi Ilmu-Ilmu Qur’an, bahwa menurut bahasa Muhkam
berasal dari kata ‫حكمت الد ابة واحكمت‬ yang artinya “saya menahan binatang
itu”, juga bisa diartikan,”saya memasang ‘hikmah’ pada binatang itu”.
Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali.Muhkam berarti (sesuatu)
yang dikokohkan, jadi kalam Muhkam adalah perkataan yang seperti itu
sifatnya. Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu
dari 2 (dua) hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain, karena adanya
kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Jadi,
tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena
sebagainya membetulkan sebagian yang lain.[3]
.           Sedangkan menurut terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih diungkapkan
para ulama, seperti berikut ini :
1.        Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik
melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang
maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya
dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah. (Kelompok Ahlussunnah)
2.        Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani
dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang harus diimani, tetapi
tidak harus diamalkan.[4]
3.        Mayoritas Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas mengatakan, lafadz
muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan melainkan hanya satu arah/segi saja.
Sedangkan lafadz yang mutasyabbih adalah lafadz yang bisa ditakwilkan dalam beberapa
arah/segi, karena masih sama (semakna-red).[5]
Dari pengertian-pengertian ulama diatas, sudah dapat disimpulkan bahwa inti
pengertian dari ayat-ayat muhkamadalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar
lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-
ayat muhkam itu nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan
tegas) dan zhahir (makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-
ayat yang maknanya belum jelas. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih
adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil, dan mubham (ambigius).
2.2  Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui
oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber perbedaan mereka terdapat
dalam pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran : 7
Dalam memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang pertama, Wa al-rasikhuna
fi al-‘ilm  di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna  sebagai hal. Itu
artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih  pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya.
[6] Yang kedua, Wa al-rasikhuna fi
al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaqulunasebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-
ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari
ilmunya hanya mengimaninya.[7]
Ada sedikit ulama yang berpihak pada ungkapan gramatikal yang pertama. Seperti
Imam An-Nawawi, didalamSyarah Muslim,  ia berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih
karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada
jalan untuk mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-
Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayatpun yang maksudnya hanya diketahui Allah.
Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang
awam?”.[8]
Namun sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama
kalangan Ahlussunnah berpihak pada gramatikal ungkapan yang kedua. Seperti pendapat dari
:
1.      Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari QS. ‘Ali
Imran ayat 7 :
“Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela Allah,
maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
2.      Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif,  mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy.
Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan :
“Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata,
sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabih.”[9]
3.      Imam Malik pernah ditanya mengenai pengertian lafadz istawa. Ia mengatakan: Istawa
adalah diketahui. dan bagaimananya adalah sesuatu yang tidah diketahui. Bertanya
tentangnya adalah Bid’ah.[10]
   Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Beliau
membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga bagan:
1.      Bagian yang tak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat.
2.      Bagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadz-lafadz
yang ganjil, sulit difahami namun bisa ditemukan artinya.
3.      Bagian yang terletak di antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh Ulama’
yang mumpuni saja.[11]
2.3  Sebab-Sebab Adanya AyatMutasyabbih
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih ialah
karena Allah SWT menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat – ayat yang
Muhkam dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat
yang Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat – ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an ialah
karena adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat – ayat-Nya sehingga sulit dipahami
umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan
bermacam – macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal –
hal yang pengetahuanya hanya dimonopoli oleh Allah SWT saja.
Adapun adanya ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an desebabkan 3 (tiga) hal :
A. Kesamaran Lafal
1. Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing)
Contoh : Lafal dalam ayat 31 surat Abasa : kata Abban jarang terdapat dalam Al –
Qur’an, sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya , ayat 32 : (untuk kesenangan
kamu dan binatang – binatang ternakmu), sehingga jelas dimaksud Abban adalah rerumputan.
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata Al – Yamin bisa bermakna
tangan kanan, keleluasan atau sumpah.
3        Kesamaran dalam Lafal Murakkab
 Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab
terlalu ringkas, terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.
B. Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat – ayat yang menerangkan sifat – sifat
Allah, seperti sifat rahman rahim-Nya, atau sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat – sifat
lainnya. Dan seperti makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan
sebagainya manusia bisa mengerti arti maksud ayat-Nya, sedangkan mereka tidak pernah
melihatnya.
C. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Seperti, ayat 189 surat Al – Baqarah yang artinya:
“Dan bukanlah kebijakan memasuki rumah – rumah dari belakangnya, akan tetapi kebijakan
itu ialah kebijakn orang – orang yang bertakwa”.
Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu ringkas, juga
terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiasaan khusus orang arab. Hingga
dalam memahami ayat ini akan sulit bagi orang-orang yang bukan termasuk orang arab. Dan
sejatinya ayat ini adalah diperuntukkan untuk orang yang sedang melaakukan ihrom baik haji
maupun umroh.
2.4 Macam Macam Ayat Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam – macam ayat Mutasyabihat ada 3 (tiga) macam :
1.    Ayat – ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia,
kecuali Allah SWT. Contoh : Artinya : “Dan pada sisi Allah–lah kunci – kunci semua yang
ghaib, tak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri” (Q.S. Al – An’am : 59)
2.    Ayat – ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan
pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh : pencirian mujmal, menentukan
mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dst.
3.    Ayat – ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sains,
bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk urusan – urusan yang hanya
diketahui Allah SWT dan orang – orang yang rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.[12]
 
2.5  Faedah Ayat-Ayat Muhkamat dan Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan faedah atau hikmah
ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan faedah
ayat-ayat mutasyabihat.
1)      Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a)      Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang
kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-
ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat
besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b)      Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan
maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam
menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan
pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c)      Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan
mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-
ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan
jelas pula untuk diamalkan.
d)     Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam
mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan
sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak
harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat
atau surah yang lain.
2)      Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
a)      Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang
dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih
sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk
beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota
badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang
berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya
sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.
Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan
akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan
ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat
mutasyabih itu.
b)      Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat
mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma
yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap
orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih.
Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang
mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti
hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih
sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana.
Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan
ilmu ladunni.
c)      Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar
apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada
kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan
betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-
Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d)     Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu
sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari
sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia
biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
e)      Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan
yang bermacam-macam. [13]
 
ahim-Nyaatau sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat – sifat lainnya. Dan seperti makna
dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan se
BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
۞ ‫س ُقط ُ مِنْ وَ رَ قَ ٍة ِإاَّل يَعْ لَمُهَا وَ اَل‬
ْ ‫ب اَل يَعْ لَ ُم َها ِإاَّل ُهوَ ۚ وَ يَ ْعلَ ُم مَا ِفي ا ْلب َِرّ وَ ا ْلب َْح ِر ۚ وَ مَا َت‬
ِ ‫وَ ِع ْن َد ُه َم َفاتِحُ ا ْل َغ ْي‬
‫ين‬
ٍ ‫ب م ُِب‬ٍ ‫س ِإاَّل ِفي ِكتَا‬ ٍ ‫يَاب‬
ِ ‫ب وَ اَل‬
ٍ ْ‫ض وَ اَل رَ ط‬ ِ ْ‫مَات اأْل َر‬
ِ ُ‫َحبَّ ٍة ِفي ظُل‬
َ َ َ‫ب وَ أُخَ ُر ُمت‬ ِ ‫ُهوَ الَّ ِذي َأ ْنزَ َل عَ لَيْكَ ا ْل ِكتَابَ ِم ْن ُه آيَاتٌ م ُْح َكمَاتٌ ُهنَّ أُ ُّم ا ْل ِكتَا‬
‫وب ِه ْم‬ِ ُ‫ش ِاب َهاتٌ ۖ َفأمَّا الَّذِينَ ِفي ُقل‬
ِ ‫شابَ َه ِم ْن ُه ا ْب ِت َغا َء ا ْل ِف ْتنَ ِة وَ ا ْب ِت َغا َء تَ ْأ ِوي ِل ِه ۗ وَ مَا يَعْ لَ ُم َت ْأ ِويلَ ُه ِإاَّل اللَّ ُه ۗ وَ الر‬
‫َّاس ُخونَ ِفي ا ْل ِع ْل ِم‬ َ َ‫زَ ي ٌْغ َفيَت َِّبعُونَ مَا ت‬
ِ ‫و اأْل َ ْلبَا‬
‫ب‬ ُ‫ِد رَ ِبّنَا ۗ وَ مَا يَ َّذ َّكرُ ِإاَّل أُول‬ ‫ٌّل مِنْ ِع ْن‬ ‫ِه ُك‬ ‫ونَ آ َمنَّا ِب‬ ُ‫يَقُول‬

Referensi: https://tafsirweb.com/1139-surat-ali-imran-ayat-7.html
Referensi: https://tafsirweb.com/2183-surat-al-anam-ayat-59.html
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak
menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas.
Ulamak berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara bisa
tidaknya manusia memahami/memaknai ayat-ayat mutasyabihat.
Sebab munculnya ayat muhkam mutasyabih terbagi menjadi tiga tinjauan yaitu, Adanya
kesamaran dalam lafadz, kesamaran makna ayat dan kesamaran makna dan ayat.
Terdapat tiga macam ayat mutasyabih yaitu ayat yang tidak bisa difahami oleh
manusia, yang bisa difahami semua orang dengan pemahaman yang dalam dan ayat yang bisa
difahami oleh pakarnya saja.
Terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar
masuk pada tataran pemafaman dan penggunaan logika akal.
 
3.2  Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui
perbedaan antara ulamak satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, kita sebagi mahasiswa
tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena
setiap pendapat yang dikeluarkan oleh para ulamak tentunya semuanya memiliki dasar. Kita
harus lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Daftar Pustaka

Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2009, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor:Lintera Antar Nusa

Anwar, Rosihon. 2004, Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Media

Djalal, Abdul, 2008, Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu

Hadi, Abd. 2010, Pengantar Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Surabaya:Graha Pustaa Islamic

Media

Hermawan, Acep, 2011. ‘Ulumul Quran:Ilmu Untuk Memahami Wahyu, Bandung:PT

Remaja Rosdakarya

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, 2012, Studi Al-Qur’an. Surabaya : IAIN Sunan

Ampel Press

Zenrif, MF. 2008. Sintesis Paradigma Studi Al-Quran, Malang:UIN Malang Perss

[1]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, 2012, Studi Al-


Qur’an. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press
[2] MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Study Al-Quran, (Malang: UIN-Malang
Perss, 2008),25
[3] Mana’ Khalil Al-Qattan,
[4]Tim Penyusun MKD
[5]Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008, hal. 239
[6] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia,2004), 128
[7] Mana’ Khalil Al-qattan, 307
[8] Ibid, 308
[9] Tim Penyusun MKD,
[10]Acep Hermawan, Ulumul Quran: ilmu Untuk Memahami Waahyu,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 146
[11] Abd. Hadi, Pengantar Study ilmu-Ilmu 
Pendahuluan Al-Quran, kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan
umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran dapat diperoleh
dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ulumul quran. Dan menjadi
salah satu bagian dari cabang keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang membahas tentang Muhkam
Mutasyabbih ayat. Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah
mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih.
Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS. Hud : 1,
ُ ‫ ي ٍر ) ُم َخب ُد ْن َح ِْكي َّ ِ ص َل ْت ِم ْن ل َّم فُ ْح ِ َكم ْت ا ي ُت ُه‬Artinya : (Inilah)
sebagai berikut : ِ ُْ ‫ )ر ِكتَ ُب ا‬1َ ‫ث ا ل‬
Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi, kemudian dijelaskan secara terperinci (yang
diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana, Maha Teliti. Kedua, seluruh ayat Al-Qur’an adalah
mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. Az-Zumar : 39, sebagai berikut : ْ ‫و ِم اعملوا علي مكا نتكم‬
39ُ ‫ ) اني عا مل فسوف تعلمون ) ْل يقَ ق‬Artinya : Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah
menurut kedudukanmu, Aku pun berbuat (Demikian). Kelak kamu akan mengetahui. Ayat Muhkam
dan Mutasyabih hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal yang
termasuk dalam objek penting dalam kajian/pemahaman AlQuran. Jika kita tengok dalam Ilmu
Kalam, hal yang mempengaruhi adanya perbedaan pendapat antara firqah (Golongan atau kaum
yang mengikuti pemahaman atau pendapat yang keluar dari pemahaman jama'ah muslimin) satu
dengan yang lainnya, salah satunya adalah pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabbih.
Bahasa Al-Quran ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mutasyabih), hingga dalam
penafsiran Al-Quran (tentang ayat muhkam mutasyabih) terdapat perbedaan-perbedaan. Berdalih
agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran khususnya dalam ranah
Muhkam Mutasyabbih, maka kelompok kami menyusun makalah yang membahas tentang kedua hal
tersebut dengan judul “ Al-Muhkam Al-Mutasyabih”. B. Rumusan Masalah 1. Makna Muhkam dan
Mutasyabih 2. Perbedaan Pendapat dalam mengetahui Mutasyabih 3. Ta’wil : Metode memahami
Ayat-ayat Mutasyabihat 4. Ilmu tentang Muhkam dan Mutasyabihat (pengetahuan tentang ayat-ayat
yang jelas dan yang samar maknanya) 5. Sikap Ulama menghadapi Ayat-ayat mutasyabihat 2 C.
Pembahasan 1. Makna Muhkam dan Mutasyabih a) Muhkam Al-Qur’an seluruhnya muhkamah, jika
yang dimaksudkan kemuhkamahannya adalah susunan lafal Al-Qur’an dan keindahan nazamnya,
sungguh sangat sempurna, tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi
lafalnya maupun dalam segi maknanya. Dengan pengertian inilah Allah menurunkan Al-Qur’an
sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya : “Sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-
ayatnya.” (QS. Hud [11]:1) b) Mutasyabih Kita dapat mengatakan bahwa seluruh Al-Qur’an adalah
mutasyabihah jika kita kehendaki dengan kemutasyabihannya ialah kemutamatsilan (serupa atau
sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghah maupun dalam bidang i’jaz dan kesulitan kita
memperlihatkan kelebihan sebagian suku atau yang lainnya. Dengan pengertian inilah Allah
menurunkan Al-Qur’an seperti yang dilandaskan dalam firman-Nya : “Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik yaitu sebuah kitab yang ayat-ayatnya serupa, lagi berulang-ulang.” (QS.
Az-Zumar [39]:23) 1 2. Perbedaan pendapat dalam mengetahui Mutasyabih Sebagaimana terjadi
perbedaan pendapat tentang definisi muhkam dan mutasyabih dalam maknanya secara khusus,
perbedaan pendapat juga terjadi dalam maknanya secara khusus, perbedaan pendapat juga terjadi
dalam masalah ayat yang mutasyabih. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah
waqaf (berhenti) dalam ayat, “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah, war-rasikhuna fil’ilmi yaquluna
amanna bihi.“ Apakah kedudukan lafazh ini sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan
pada lafazh “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah” ataukah ia ma’thuf sedangkan lafazh “wa yaquluna”
menjadi hal dan waqafnya pada lafazh “War-rasikhuna fil ‘ilmi.” Pendapat pertama, mengatakan
“isti’naf”. Pendapat ini didukung oleh sejumlah tokoh seperti Ubay bin Kha’ab, Ibnu Abbas, sejumlah
sahabat, tabi’in dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain dengan keterangan yang diriwayatkan
oleh Al-Hakim dalam Mustadrak-Nya, bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca; “Wama
ya’lamu ta’wilahu illallah, war-rasikhuna fil’ilmi yaquluna amanna bihi.“ Juga dengan qira’at Ibnu
Mas’ud , “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah, warrasikhuna fil’ilmi yaquluna amanna bihi.“, dan dengan
ayat itu sendiri yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti hal-hal yang
mutasyabih dan menyifatinya sebagai orang-orang yang hatinya “condong kepada kesesatan dan
berusaha menimbulkan fitnah.” 2 1 Ash-Shiddieqy, M.Hasbi, Teungku, Prof.Dr. 2009. Ilmu-ilmu Al-
Qur’an (Ulum al-qur’an). Semarang: Pustaka Rizki Putra 2 Al-Qaththan, Manna, Syaikh. 2005.
Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar 3 3. Ta’wil : Metode memahami
Ayat-ayat Mutasyabihat Untuk mendudukan dua kubu yang saling kontradiktif tersebut, ta’wil
merupakan suatu alternatif jawaban yang dapat mengkompromikan antara keduanya. Sebab,
dengan ta’wil akan dapat dilihat bahwa antara kedua pendapat diatas tidak terdapat pertentangan.
Ta’wil sendiri dapat dipergunakan untuk beberapa makna, antara. Pertama ta’wil dengan makna
tafsir (menerangkan atau menjelaskan), yaitu menafsirkan suatu kalan dan menjelaskan maknanya,
baik yang sesuai zhahirnya maupun tidak. Dan inilah yang dimaksudkan oleh Mujahid dengan
perkataannya: “Sesungguhnya para ulama mengetahui ta’wilnya, yakni mengetahui ta’wilnya
alqur’an”. Dalam hal ini antara ta’wil dengan tafsir tidak ada perbedaanya: kedua, ta’wil dengan
makna esensi yang dimaksud dari suatu perkataan. Artinya kalam itu merujuk kepada makna
hakikinya yang merupakan esensi yang sebenarnya. Untuk makna yang kedua ini antara term ta’wil
dan tafsir memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Kaitannya dengan pemahaman terhadap ayat-
ayat mutasyabihat, maka bagi golongan yang mengatakan bahwa bacaan QS.Ali Imran/3:7, berhenti
(waqaf) pada kalimat “wa ma ya’lamu ta’wilahu illa Allah”, dan menjadikan “wa al-rasikhuna fi al-
ilmi”, sebagai isti naf (permulaan kalimat), maka ta’wil sebagai esensi dari suatu perkataan. Sehingga
dalam hal ini tidak ada yang mengetahui hakikat zat Allah, esensi-Nya, hakikat hari kiamat, dan lain-
lain yang semisal, kecuali Allah SWT. Sementara itu, bagi golongan yang mengatakan bahwa berhenti
(waqaf) pada kalimat “wa al-rasikhuna fi al-ilmi” dan menjadikan huruf wawu sebagai huruf ‘athaf
dan bukan sebagai isti naf, maka makna yang dipergunakan adalah makna yang pertama, yaitu ta’wil
sama artinya dengan tafsir, sebagaimana yang dikatakan oleh Muhajid. Maka jika dikatakan bahwa ia
mengetahui ayat-ayat mutasyabihat, maka maksudnya adalah ia mengetahui tafsiranya. Dari
keterangan diatas, maka menjadi jelaslah bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara
kedua pendapat tersebut. Perbedaan terjadi hanya karena kedua golongan tersebut. Perbedaan
terjadi hanya karena kedua golongan tersebut mempunyai kerangka berpikir yang berbeda ketika
memahami makna ta’wil dan mengaplikasikannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat. 3 4. Ilmu
tentang Muhkam dan Mutasyabihat (pengetahuan tentang ayatayat yang jelas dan yang samar
maknanya) Kita dapat mengatakan, semua ayat al-qur’an adalah muhkam, kalau yang kita maksud
dengan “muhkam” itu adalah kuat, kokoh, rapih, inda susunannya dan sama sekali tidak
mengandungn kelemahan baik dalam hal lafadz-lafadznya rangkaian kalimatnya maupun maknanya.
Berdasarkan makna itulah Allah berfirman: “Kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapih” (Hud, 1)
Kitapun dapat pula mengatakan bahwa semua ayat al-qur’an mustasyabih, kalau “mutsyabih” itu
dimaksudkan sebagai “kesamaan” ayat-ayatnya dalam hal balaghah dan i’jaz serta dalam hal
kesukaran membedakan mana bagian-bagian al-qur’an yang lebih afdhal. Berdasarkan pengertian
itulah Allah berfirman: “Allah telah menurunkan tutur kata (berupa) kitab (al-qur’an) yang serupa
(mutu-utu ayatnya), lagi berulang-ulang (az-zumar g, 23).” Akan tetapi makna “muhkam” dan
“mutsyabih” yang terdapat di dalam dua ayat tersebut di atas, bukanlah yang menjadi maksud
pembhasan kami. Soal “muhkam” dn “mutasyabih” yang menjadi arah pembahasan kami ialah yang
pengertiannya yang terdapat di dalam firman Allah: 3 Ichwan, Nor, Muhammad. 2002. Memahami
Bahasa Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 4 Dialah (Allah) yang menurunkan al-kitab (al-qur’an)
kepada kalian. Diantara (sisi)-nya terdapat ayat-ayat muhkamat. Itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an,
dan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat adapun orang yang dalam hatinya terdapat
kecenderungan sesat, mereka itu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (dengan maksud) untuk
menimbulkan fitnah (kekacauan) untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya selain Allah. Sedang orang-orang yang berilmu mendalam (pasti) berkata : “Kami
mengimani ayat-ayat mutasyabiha, (karena) semuanya itu (yang muhkamat & yang mutasyabihat)
datang dari sisi Tuhan kami”. 4 “Dan sungguh tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (dari
semuamya itu) kecuali orang-orang yang berakal” (AS. Ali-Imran, 7) 5. Sikap ulama menghadapi ayat-
ayat mutasyabihat Dalam Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat Mutasyabihat yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surah ar-Rahman [55]: 27: َ َ ْ‫وب ر َقُوج َب َو ك يِ اَم ْر ِك اَأل و َل ال لجه‬
‫ ىا ْذ‬Terjemahan: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Atau
dalam Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman : َ‫ْ ت اس ش َرل‬Yََْ ‫َُع َّحم الر َوى‬Yَ ُ‫ ع ْنا ْل‬Yَ َْْ ‫ ى‬Terjemahan: (yaitu) Tuhan
yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy. Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan
pendapat ulama ke dalam dua mazhab.19: a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai
dan mengimani sifat-sifat Mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka
mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada
Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada
Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang
makna istiwa`, dia berkata: ََْْ ‫ َني‬. ِ ُ ‫ْ ه َن ع ل ا‬Yََْ ‫َُ ُّنك َظ ا و َة ْع ِد ب‬Yَ ُ‫َِول َ اَ َخ ا ْء ُّو الس ُل َج ر‬Yَ ِ‫مج ْف ْالِل س َه َساُّءؤ ْوت ُوا‬
‫ ع ْه ُو ْرج‬Terjemahan: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya
bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian
yang demikian secara pastibukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian
membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena
itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk
mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada). Kesahihan
mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas. 4 As-Shalih, Subhi, Dr. 1990.
Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus 5 ََْْ ‫و َ أ ا َه ْل يِ اَّس الر ْل ُو ُق ي و هلال ِا َّل ِ ْع فى ْن ُو‬
‫م ال‬Yَ َْْ ‫ خ ِه ب َ َّنا ام ِل‬Terjemahan: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang
yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari
al-Hakim dalam mustadraknya).20 b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna
lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula
Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa
pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan
kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada
di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan,
“tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat
Mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat
Mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari
keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar
tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar
mengharuskan untuk melakukannya.22 Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal),
mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat
Ibnu al-Mundzir yang berbunyi: ِ ‫ ها ْل َهل وقيِ ِ ْع‬: ‫َِا َن َ َْو أ اَّس الر و هلال )ا َّل‬Yَ ِ‫و ع ِت فُي َسٍ م ْل َب َ َّعا ع ي اَب ْم َن‬
‫ْ ل َه َأ‬Yََْ .)‫َِِ َ َ ْن ل ْ (المنذر ابن رواه‬Yَ ‫ ال َممم َع ي ْ ويِ ت ْن ُو‬Yَ َْْ ‫ا ال (ق ِل م‬:‫ فى ْن ُو خ َا َن‬Terjemahan: “dari Ibnu Abbas
tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.
(H.R. Ibnu al-Mundzir)23 Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu
Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id
berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini
maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-
Nya. Adapun penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab khalaf. Karena
pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari
semakin berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-
benar tahu isi Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-rasikhuna fil ‘ilmi dan dikuatkan
oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas. Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf
dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh kedalam penafsiran dan penakwilan yang
menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan
pendapatnya dengan argumen aqli. 5 5 http://anzdoc.com_muhkam-dan-mutasyabih.pdf 6 D.
Kesimpulan Adapun yang dapat penulis simpulkan dari penulisan makalah ini adalah: 1. Muhkam
adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan
keraguan dan memerlukanpentakwilan. 2. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang perlu
ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu. 3.
Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam alqur’an yang para ulama
menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan
Khalaf. 4. Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu Muhkam. Jika maksud Muhkam
adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu adalah
Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayatayatnya dalam hal Balaghah dan
I’jaznya. DAFTAR PUSTAKA Ash-Shiddieqy, M.Hasbi, Teungku, Prof.Dr. 2009. Ilmu-ilmu Al-Qur’an
(Ulum al-qur’an). Semarang: Pustaka Rizki Putra Al-Qaththan, Manna, Syaikh. 2005. Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an. Jakarta Timur: Pustaka AlKautsar Ichwan, Nor, Muhammad. 2002. Memahami
Bahasa Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar As-Shalih, Subhi, Dr. 1990. Membahas Ilmu-ilmu Al-
Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus http://anzdoc.com_muhkam-dan-mutasyabih.p

Anda mungkin juga menyukai