Anda di halaman 1dari 6

KAIDAH-KAIDAH FIQIH

MAKALAH
Disusun Guna Memenughi Tugas

Mata Kuliah : Ilmu Fiqih

Dosen Pengampu : Siswanto ,M.S.I

Disusun oleh :

1. Nindy Tutur Fradina (1902036042)


2. Risma Ayu Rama Wijayanti (1902036045)
3. Ahmad Jefri Rizky Sbhan (1902036048)
4. Asep Saepul Mubarak (1902036060)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dapat kita ketahui dari pengertian ilmu fiqih adalah salah satu bidang ilmu
dalam syariat islam yang secraa khusus membahas persoalan hokum yang mengatur
berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun
kehidupan manusia dengan Tuhannya. Dan pengertian kaidah fiqih adalah sebuah
hukum atau perkara universal yang bisa untuk memahami beberapa hukum dan
masalah yang masuk dalam cakupan pembahasan.
Sehingga kita disini menjelaskan kaidah fiqih seperti apa dan apakah masih
sama dengan manajemen umum pada dasarnya.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Qawa’idul Fiqhiyah


Al-Qawa’id bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan kaidah
secara etimologis dan terminologis. Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar
atau pondasi, baik dalam arti yang konkret ,aupun yang abstrak. Para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan kaidah fiqiah secara istilah. Ada yang meluaskannya
dan ada yang mempersempitnya. Akan tetapi substansinya tetap sama sebagai contoh,

Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :

‫مجمو عة اال حكام المتشبهات التي تر جع الى قيا س واحد يجمعها‬

"Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas atau analogi yang
mengumpulkannya”

Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fiqih dengan:


”Ketetapan yang kulli (menyeluruh,general) yang mencakup seluruh bagian-
bagiannya.

Imam Tajjudin Al-Subki mendefinisikan kaidah dengan :


“Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak
sekali, yang bisa dipahami hokum bagian terserbut dengan kaidah tadi.

Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi didalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair ,


mendefinikan kaidah dengan :
“hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya.

Dari definisi-definisi tersebut diatas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruhyang
meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macama kadiah yaitu :
Pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan dalam kitab-kitab ushul fiqih yang
digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrij al-ahkam) dari sumbernya, Al-Quran dan
Al-Hadist. Kedua, kaidah-kaidah fiqih, yaitu: kaidah-kaidha yang disimpulkan secara
general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari
kasus-kasus baru yang timbul yang tidak jelas hukumnya dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kadiah ushul fiqih maupun kaidah-kaidah fiqih, bisa
disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering
digunakan di dalam tahkrij al-ahkam, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya
(Al-quran dan Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fiqih sering digunakan di dalam
tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul did dalam
bidang kehidupan manusia. Dari sini ini tidaklah heran apabila kekholifahan Turki
Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut majalah
Al-Ahkam Al’adliyah yang merupakan penerapan hukum islam dengan menggunakan
99 kaidah fiqih dibidang muamalah dengan 1851 pasal.

2. Sifat kaidah fikhiyah.

 Segala sesuatu tergantung tujuan.


Asal dari kaidah ini adalah hadist Nabi : “Bawasanya segala amal itu tergantung niat.
Bagi seseorang itu tergantung niatnya. Barang siapa yang hijrahnya pada Allah dan
RasulNya, maka hijrahnyauntuk mencari dunia atau perempuan yang akan dinikahi
maka hijrah adalah pada apa yang dituju.”

Maksut dari hadist ini adalah bahwa perbuatan seorang muslim yang mukalaf dan
berakal sehat baik dari segi perkataan atau perbuatan berbeda hasil dan hukum
syariahnya yang timbul darinya karna perbedaan maksut dan tujuan orang tersebut
dibalik perbuatanya.

Sebagai contoh : barang siapa yang mengatakan pada yang lain. “ambilah uang
ini”,maka ia bisa saj berniat sedekah maka itu menjadi pemberian ; atau niat
menghutangkan,maka wajib dikembalikan;atau sebagai amanah,maka wajib menjaga
dan mengembalikanya

 Kemudharatan itu dapat hilang.


Asal dari kaidah ini adalah hadist Nabi dharat adalah menimbulkan kerusakan pada
orang lain secara mutlak. Sedangkan dirar adalah membalah kerusakan dengan
kerusakan lain atau menimpakan kerusakan yang sama. Kaidah ini meniadakan ide
balah dendam. Karena hal itu akan menambah kerusakan dan memperluas cakupan
dampaknya

Contoh : siapa yang merusak harta orang lain, maka bagi yang dirusak tidak boleh
membalas dengan merusak harta benda si perusak. Karena hal itu akan memperluas
kerusakan tanpa ada manfaatnya.

 Tradisi itu dapat menjadi hukum.


Kaidah ini berasal dari teks nash Al-Quran. Kebiasaan dan tradisi mempunyai peran
besar dalam perubahaan hukum berdasarkan pada perubahan keduaanya. Allah
berfirman dalam QS. Al-Baqarah 2:228 “Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” Nabi bersabdatradisi dan
cara yang berlaku dianatara kalian itu boleh digunakan, tradisi atau adat menurut
ulama fiqih adalah hal-hal yang terjadi berulang-ulang termasuk akal menurut akal
sehat yang dilakukan oleh sejumlah individu. Perbedaanya sebagian ulama
berpendapat keduanya dua kata dengan satu arti. Sebagian ulama yang
lainmenganggapnya berbeda. Adat adalah suatu yang meliputi kebiasaan individu dan
golongan.

 Kesulitan menimbulkan kemudahan


Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum yang menimbulkan kesulitan
dalam mengamalkannya bagi diri seseorang mukalaf atau hartanya, maka syariah
meringankan hukum itu sesuai kemampuannya tanpa kesulitan atau dosa. Nabi
bersabda dan hadist sahih Bukhari 039 “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah
seseorang mempersulit dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu
kerjakan lah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dengan bergembiralah
dan mohonlah pertolongan diwaktu pagi, petang dan sebagian malam.”

 Yakin tidak hilang karena ada keraguan


Maksudnya adalah bahwa perkara yang diyakini adanya tidak bisa dianggap hilang
kecuali dengan dalil yang pasti dan hukumnnya tidak bisa berubah oleh keraguan.
Begitu juga dengan perkara yang diyakini tidak adanya maka tetap dianggap tidak ada
dan hukum ini tidak berubah hanya karena keraguan. Kaidah ini menjelaskan adanya
kemudahan dalam syariah Islam.

Tujuannya adalah menetapkan sesuatu yang meyakinkan dianggap sebagaihal yang


asal dan dianggap. Dan bahwa keyakinan menghilangkan keraguan yang sering
timbul terutama dalam masalah kesucian dan shalat.

3. Sejarah Perkembangan Quwait Fiqhiyah


Menurut Ali Ahmad Al-Nadawi, perkembangan quwait fiqhiyah dapat dibagi dalam
tiga fase berikut :

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan


Masa ini pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Ketika fiqig telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqih baru dibentuk dan
ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqih yang dominan adalah Jawami Al-Kalim. Atas
dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadist yang mempunyai
ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqih. Sabda Nabi Muhammad, yang
Jawami Al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu : segi sumber dan segi
cangkupan.

Pada fase kedua abad hijriah “Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa
adalah tidak diperbolehkan ketika tidak dipaksa.”

2. Fase perkembangan dan kodifikasi


Awal mulai quwait fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi
pada abad ke empat hijriah dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Bisa
dikatakan bahwa abad keempat hijriah merupakan fase kedua dari kemunculan
kaidah fiqhiyah dan asumsi pada abad inilah ditemukannya kaidah fiqhiyah
sebagai sebuah disiplin ilmu.
Fase ini ditandai dengan munculnya Al-Karkhi dan Al-Dabbusi. Para ulam yang
hidup dalam rentang waktu ini hamper dapat menyempurnakan ilmu quwait
fiqhiyah.

3. Fase kematangan dan penyempurnaan


Meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqih
pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan diabad XIII
hijriah.

4. Qawaid khams

Anda mungkin juga menyukai