Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KAIDAH KULIYAH / AGHLABIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas :

Mata Kuliah : Qawaidul Fiqhiyah

Dosen Pengampu : Muhamad Ichrom, M.S.I

Disusun Oleh :

1. M. Fathur Rizki ( HES C3 / 2002036011 )


2. Anggi Maulana ( HES C3 / 2002036031 )
3. Diana Eka Puspita ( HES C3 / 2002036097 )
4. Ellya Rahmawati ( HES C3 / 2002036098 )

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Rumusan Tindak Pidana tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Qawaidul Fiqiyah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Kaidah Kuliyah / Aghlabiyah kepada para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhamad Ichrom, M.S.I selaku
Dosen pengampu mata kuliah Qawaidul Fiqiyah yang telah memberikan tugas ini sehingga
menambah pengetahuan dan wawasan dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari makalah yang kami tulis masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 4 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................................i

KATA PENGANTAR .......................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Kulliyah dan Aghlabiyyah.....................................................................2


B. Pembagian Kaidah Kulliyah Aghlabiyyah..............................................................3
C. Pengaplikasian kaidah kulliyah dan aghlabiyyah ...................................................3

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................................7
B. Kritik dan Saran .......................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan mempertimbangkan hukum positif yang berlaku serta adat kebiasaan
yang dianut masyarakat dan hasil kajian historis-sosiologis maka perlu sekali
dikembangkan konsep-konsep hukum islami yang bersumberkan pada Al-Qur’an,
hadis Rasulullah yang shahih sebagai sumber naqli ilmu pengetahuan hukum, sebagai
sumber ijtihadi serta hasil musyawarah dari para ahlinya. Pengkajian konsep islam
tentang tata hukum dan perkembangan fikih akan dapat memberikan bahan masukan
dapat menghadapi tantangan masa depan pembangunan termasuk dampak negatif
dalam bidang kemasyarakatan yang menyertainya.
Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak
sekali yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi. Menurut imam
Al-Suyuthi didalam kitabnya al-asybah wa-al nazhair, mendefinisikan kaidah adalah
hukum kulli ( Menyeluruh, general ) yang meliputi bagian-bagian nya. Didalam
makalah ini lebih memfokuskan pada penjelasan kaidah-kaidan kulliyah / aghlabiyah.
Pada makalah ini dijelaskan bahwa kaidah kulliyah adalah suatu kaidah yang
menyeluruh yang diterima oleh madzhab, tetapi cabang – cabang dan cakupannya
lebih sedikit dari pada qawaid yang lalu. Sedangkan kaidah aghlabiyyah adalah suatu
kaidah yang cakupannya tidak menyeluruh terhadap semua permasalahan fikih. Meski
mencangkup beragam persoalan, namun dalam kaidah-kaidah ini terdapat banyak
pengecualian. Tidak hanya pengertian tersebut yang dijelaskan didalam makalah ini,
namun juga membahas mengenai pengaplikasian kaidah-kaidah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kaidah Kulliyah dan Aghlabiyyah ?
2. Bagaimana pembagian kaidah kulliyah dan Aghlabiyyah ?
3. Bagaimana penerapan pengaplikasian kaidah kulliyah dan aghlabiyyah?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian kaidah kulliyah dan aghlabiyyah
2. Menjabarkan pembagian kaidah kulliyah dan aghlabiyyah
3. Menjelaskan mengenai pengaplikasian kaidah kulliyah dan aghlabiyyah

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian kaidah Kulliyah / Aghlabiyah


Qaidah Kulliyah atau biasa disebut dengan kaidah global adalah hukum syara’
yang kepadanya berlaku batasan-batasan hukum syara’ sebagai khithab Allah.
Qawa’ide Al-Kulliyah yaitu qawa’ide yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab,
tetapi cabang – cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawaid yang lalu.
Kaidah ini disandarkan kepada lafadz-Nya, yang berbentuk kulli dan bukan kepada
khitab-Nya. Namun demikian, masing-masing dihasilkan melalui dalil-dalil syara’.
Artinya : “ Sesuatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka
sesuatu maka sesuatu,maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib “.
Hukum Kulliyah digali dari dalalah al-iltizam ( indikasi Kausalitas ) seruan
pembuat syariat yang manthuq ( makna tersurat ) menunjukan adanya kewajiban.
Artinya, jika ada seruan pembuat syariat menunjukkan wajibnya urusan tertentu,
maka seruan yang sama juga dengan dalalah al –iltizam (indikasi Kausalitas )
sebenarnya telah menunjukkan bahwa kewajiban tersebut tidak akan sempurna
kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib. Kaidah kulli ini
dapat digali dari firman Allah:

Artinya: “ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah


selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan ( Q.S Al-An’am: 108 )
Qaidah Aghlabiyyah yaitu kaidah yang cakupannya tidak menyeluruh
terhadap semua permasalahan fikih. Meski mencangkup beragam persoalan, namun
dalam kaidah-kaidah ini terdapat banyak pengecualian. Dalam beberapa kaidah,
bahkan ditemukan lebih banyak masalah yang dikecualikan daripada masalah yang
masuk dalam cakupannya. Kaidah Kulliyah Aghlabiyah bersifat global, yang artinya
masuk di segala aspek, baik ubudiyyah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Kaidah ini
juga bersifat representatif yang artinya tidak seluruhnya mengikat ke semua
permasalahan. 1
1
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Jeddah: Al-Harramain, 2001

v
B. Pembagian Kaidah Kulliyah dan Aghlabiyyah
Banyaknya kaidah aghlabiyyah ghairu asasi membuat para ahli qawaid
membaginya beberapa macam pembagian. Menurut Djazuli dalam ‘Kaidah-Kaidah
Fikih’, pembagian kaidah fikih berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya bisa
dibagi sebagai berikut:2
Pertama, kaidah inti yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
dengan meminjam istilah Izzudin ibnu Abd al-Salam, “Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-
Mafasid.”
Kedua, kaidah-kaidah asasi, yaitu kaidah-kaidah fikih yang lima telah
dijelaskan beserta cabang-cabangnya oleh para pemakalah lain sebelumnya (al-
Qawaid al-Asasiyah).
Ketiga, kaidah-kaidah umum, yaitu kaidah-kaidah fikih yang ada di bawah
kaidah-kaidah asasi yang lima. (al-Qawaid al-‘Ammah)
Keempat, kaidah-kaidah khusus, yaitu kaidah-kaidah yang khusus berlaku
dalam bidang hukum tertentu seperti dalam ibadah mahdhah, muamalah, munakahat,
dan jinayah. (al-Qawaid al-Khashshah)
Kelima, kaidah yang merupakan bagian dari kaidah yang disebut nomor
empat, yaitu bagian dari ibadah, seperti tentang shalat saja, biasa disebut al-Qawaid
al-Tafshiliyah.

C. Pengaplikasian Kaidah Kulliyah dan Aghlabiyyah


Kaidah-kaidah fiqh adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general
dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-
kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumna di nash. Adapun manfaatnya adalah
memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum
yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan
materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di
dalam memberikan kepastian hukum.

1.  Kaidah Fiqh Pertama

‫االجتهاد الينقص باالجتهاد‬


“ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian”
2
Ahmad Dzazuli, kaidah-kaidah Fiqih, Semarang: Cipta Press, 1992. Hal. 123

vi
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa suatu hasil ijtihad di masa lalu tidak
berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam kasus yang sama. Seperti yang dikatakan
oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini
adalah yang kami putuskan sekarang”
Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang menginginkan sholat akan
tetapi tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan untuk bertayamum (ijtihad I),
seusai sholat ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang sholatnya (ijtihad II).
Contoh lain adalah seorang hakim dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada
seorang pelaku kejahatan dengan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus
yang sama, datang lagi pelaku kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara
seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan lain yang berbeda
dengan  pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan keadilan yang berbeda, tapi
pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda, maka hasil ijtihadnya pun
berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan lain-lain.
2. Kaidah Fiqh Kedua
‫االيثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب‬
“mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah
disenangi”
Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak boleh mendahulukan orang lain dalam
hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan barisan pertama dalam sholat, meminang
seorang wanita dan mendapatkan kesempatan air suci dalam berwudhu. Sedang dalam
masalah keduniaan maka disunnatkan mendahulukan orang lain seperti mendahulukan
orang lain dalam menerima zakat dan lain-lain.
3. Kaidah Fiqh Ketiga
‫اذااجتمع الحالل والحرام غلب الحرام‬
“apabila antara yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan yang
haram.”
Pada kaidah tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk mendahulukan yang
haram, ini berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu masalah, ada
yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, maka dua dalil itu dipilih yang
mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. Seperti ketetapan khalifah Utsman bin Affan
ketika ditanya ketentuan mengawini dua saudara, yang satu berstatus merdeka dan
yang lain berstatus budak sahaya. Dalam QS. An-Nisa’:22, tidak boleh
mengumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang dalam QS. An-Nisa’:23,

vii
memperbolehkannya asal yang satu menjadi budak sahaya, maka keputusan beliau
adalah melarangnya, sesuai dengan kaidah di atas.
4.  Kaidah Fiqh Keempat
‫التابع تابع‬
“pengikut (hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”

Cabang dari kaidah ini adalah :


‫التابع اليفرد بالحكم‬
“pengikut itu tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya : anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya,
terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.
Cabang Kedua:
‫التابع ساقط بسقوط المتبوع‬
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya: tidak boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya telah dicerai
maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang Ketiga :
‫التابع اليتقدم على المتبوع‬
“Pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya : tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang Keempat :
‫يغتفر فى التوابع ماال يغتفر فى غيرها‬
“dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka wakaf
itu sah, karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.
5.      Kaidah Fiqh Kelima
‫تصرف االمام على الرعية منوط بالمصلحة‬
“tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”

Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I, bahwa kedudukan


imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan wali terhadap
anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul Umar bin Khattab yang berbunyi
“sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali

viii
terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas menyangkut kebijakan pemimpin harus
bertujuan memberi kemaslahatan manusia.

ix
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Qaidah Kulliyah atau biasa disebut dengan kaidah global adalah hukum syara’
yang kepadanya berlaku batasan-batasan hukum syara’ sebagai khithab Allah.
Sedangkan qaidah aghlabiyyah yaitu kaidah yang cakupannya tidak menyeluruh
terhadap semua permasalahan fikih, meski mencangkup beragam persoalan, namun
dalam kaidah-kaidah ini terdapat banyak pengecualian.
Banyaknya kaidah aghlabiyyah ghairu asasi membuat para ahli qawaid
membaginya beberapa macam pembagian diantaranya: kaidah inti yaitu meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, kaidah-kaidah asasi, kaidah-kaidah umum,
kaidah-kaidah khusus, dan kaidah yang merupakan bagian dari kaidah yang disebut
nomor empat, yaitu bagian dari ibadah.
Pengaplikasian kaidah-kaidah tersebut secara umum adalah memberi
kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-kasus hukum yang baru
dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan menghubungkannya dengan materi-
materi fiqh yang lain yang tersebar di berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam
memberikan kepastian hukum.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami susun mengenai Kaidah Kulliyah
Aghlabiyyah. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan.
Untuk itu kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna
penyempurnaan makalah kami kedepannya.

x
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. At-Ta’rifat. Jeddah: Al-Harramain. 2001.

Dzazuli, Ahmad. kaidah-kaidah Fiqih. Semarang: Cipta Press. 1992.

http://pustakafirdausy.blogspot.com/2021/12/kaidah-fiqh-yang-muttafaq- diakses pada 4


Oktober 2021

xi

Anda mungkin juga menyukai