Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Lima Kaidah Asasiah

Mata Kuliah :

Qaidah fiqh

Dosen Pengampu :

Dr. Robiatul Adawiyah, S. HI., M.HI

Disusun oleh :

Ardiansyah (102190057)

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERISTAS ISLAM NEGRI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Kaidah Fiqih dengan judul “ Limah
Kaidah Asasiyah ”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat, Terima kasih.

Jambi, 24 Juli 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................


DAFTAR ISI................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .........................................................................................................................
B. Rumusan masalah.....................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawaid Fiqhiyah...................................................................................................
B. Al-qawa’id Al- khamsah (Lima Kaidah Asasi) ......................................................................
BAB III PENUTUP
Kesimpulan....................................................................................................................................
Daftar
pustaka…………………………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam untuk
menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa
pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan,
mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih
utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu
dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik.1

Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk
AlQur‟an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh
berpaling dari keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali „Imran
ayat 32, yang artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), ta‟atiah Allah dan Rasul-Nya. Jika
kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Umat Islam hingga
sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai „umdah atau sandaran
utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua sumber hukum itu dijadikan
rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian 2 | Kaidah-kaidah Fiqih berbagai masalah, baik
secara langsung maupun tidak langsung, termasuk masalah hokum.

B. RUMUSAN MASALAH

A. Pengertian Qawaid Fiqhiyah?


B. Apa itu Al-qawa’id Al- khamsah (Lima Kaidah Asasi) ?

1Duski Ibrahim AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH)


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qawaid Fiqhiyah

Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid
dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa
Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan
terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah
adalah:

‫القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة‬

"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang
banyak"2

Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:

‫العلم باالحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي واالجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل‬

”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya
yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan" 3

Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud
dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:

‫االمر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها‬

"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya
diketahui hukum-hukum juziyat itu ." 4

Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan
bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum
terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.

2 Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah tsaqofah al- Jamiiyah .1983. hal.4.
3 Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta bulan bintang 1975). 25.
4 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta. Bulan bintang. 1976), 11.
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan
bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum
terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
5

C. Al-Qawa’id Al-Khamsah (Lima Kaidah Asasi)

Kaidah asasi atau yang dikenal dengan al-Qawa’id al-Kubra merupakan penyederhanaan
(penjelasan yang lebih detail) dari kaidah inti tersebut. Adapun kaidah asasi ini adalah kaidah
fikih yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam 6. Kaidah tersebut
adalah:

“Segala perkara tergantung kepada niatnya”. ‫ب‬


ِ ‫صدهَا األ ُ ُمو ُر‬
ِ ‫مقا‬

“Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”. ِّ ‫ال يُ َزا ُل بِال َّش‬


‫ك‬ َ ُ‫اليَقِن‬

“Kesulitan mendatangkan kemudahan”. ‫ال َم َشقَّةُ تَجْ لِبُ التَّي ِسي َر‬

“Kesulitan harus dihilangkan”. ‫الض ََّرا ُر يُ َزا ُل‬


ٌ‫ال َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬

“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan hukum”.

1. Segala Perkara Tergantung Kepada Niatnya

kaidah ini merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat.
Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan
sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas
ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan
dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan
niat ibadah kepada Allah, tetapi sematamata karena nafsu atau kebiasaan 7. Misalnya seperti,
niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina
maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya sematamata untuk
menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan. Adapun dasar-dasar
pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama mengenai niat, diantaranya sebagai berikut:

5 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, hal. 13.


6 Abdul Helim, Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidih
7 Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis, (Jakarta:
Kencana, 2007), 34.
Artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya
pahala akhirat itu”. (QS. Al-Imran: 145)8

2. Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan Karena Adanya Keraguan

Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan9. ‫ ن يِْيقَ““ال‬secara
bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan
tidak ada kearguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya
pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk.

Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu
ada tiga macam, yaitu:

1. Keragu-raguan yang berasal dari haram.

2. Keragu-raguan yang berasal dari mubah.

3. Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.

Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang
bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan
lebih lanjut ‫( الذمة ب““راءة األصل‬hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban
tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan.

Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan dean
keraguan, antara lain sebagai berikut:

Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: ِ

Artinya: “ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah
sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai
dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).

3. Kesulitan Mendatangkan Kemudahan

Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/‫ التيسير تجلب المشقه‬ialah kaidah yang bermakna kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf
8 Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001) 39.
9 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: sejarah dan kaidah-kaidah asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 128.
(subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan
kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan
kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ ‫ التيسير تجلب المشقه‬menunjukkan fleksibilitas
hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar
tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang
dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut
berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional pada prosedur
yang tepat berdasarkan kaidah fiqih.10

Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan


  

a.       Teks kaidahnya
‫ال َم َشقَةُ تَجْ لِبُ التَي ِْس ْي ُر‬
Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
b.      Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
َ ‫ْر َوالَي ُِر ْي ُد بِ ُك ُم ْالع‬
‫ُسر‬ ِ ‫ي ُِر ْي ُد هللاُ بِ ُك ْم ْاليُس‬
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi
kalian”. (QS. al-Baqarah[2]: 185).
Sabda Nabi SAW:
)‫ال ِديْنُ يُ ْسرٌا ُخبُ ال ِدي ِْن إلَى هللاِ الخفِيَةَ ال َس ْم َحةَ (رواه البخر‬
Artinya: “Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan
mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).[4]
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh
macam yaitu:
1.      Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat
jum’at.
2.      Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat fardhu sambil duduk.
3.      Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
4.      Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak
diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.
5.      Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan
makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
6.      Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu, barangnya belum ada).
Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati sekadar yang
dibutuhkan dalam pengobatan.
7.      Kekuranganmampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil, orang gila, orang dalam
keadaan mabuk.

c.       Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
1.      Kesulitan Mu’tadah

10 Abdul Helim, Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidih
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan
keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di
hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan
mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena
kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum qishas.
2.      Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia
tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan
memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh criteria akal sehat.
Syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini diperbolehkan
menggunakan dispensasi (rukhsah).11
d.      Tingkatan kesulitan dalam ibadah
Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah menjadi 3 macam,
yaitu:
1.      Kesulitan Adhimah
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad manusia.
2.      Kesulitan Khofifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan muza jika
sangat dingin menyentuh air.
3.      Kesulitan Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan. Berat ringannya
kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan memilih rukhshah
juga tidak dilarang memilihnya.
e.       Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan dalam
kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
1.      Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan)
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at, ibadah haji dan umrah serta jihad jika
ada uzur.
2.      Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi)
Misalnya bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
3.      Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti)
Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum, mengganti berdiri dengan duduk
atau berbaring ketika shalat.
4.      Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya)
Misalnya kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar dilakukan shalat zuhur,
mendahulukan zakat sebelum setahun, mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir ramadhan.
5.      Tahfitul ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan waktu)
Misalnya jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan pada waktu shalat ashar,
mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang sakit.
6.      Tahfitul tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)
11 Duski Ibrahim AL-QAWA`ID AL-FIQHIYAH (KAIDAH-KAIDAH FIQIH)
Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk keperluan berobat.

4.      Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan

a.       Teks kaidahnya
‫ض َر ُريُزَ ا ُ“ل‬
َ ‫ال‬
Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”.
Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk
meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan
untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara
menghilanhkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
12

Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:


-          Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut
mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
-          Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga untuk
menghilangkan kemudaratan.
-          Adanya aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudaratan.
b.      Dasar-dasar nash yang berkaitan
Firman Allah SWT:
ِ ْ‫تُ ْف ِس ُر َوافِى“ ااْل َر‬
 َ‫ ه ه) َوال‬:‫ض (االعراف‬
Artinya: “Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. “. (QS. al-A’raf : 55).
Sabda Nabi SAW:
‫ار‬ ِ َ‫ض َر َر َوال‬
َ ‫ض َر‬ َ َ‫ال‬
Artinya: “…Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada
orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
c.       Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi mudarat
Kaidah pertama:
ِ ‫ات تُبِ ْي ُح ْال َمحْ ظُوْ َرا‬
‫ت‬ َ َ‫ا‬
ُ ‫ضرُوْ َر‬
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan keharaman”.
Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang terkait
dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan dan memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Kaidah kedua:
ِ ‫ت يُقَ َد ُربِقَد‬
‫َرهَا‬ َ ‫َماُأبِ ْي َع لل‬
ِ ‫ضرُو َرا‬
Artinya: “ Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya”.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi
kepentingan manusia akan sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu:
1.      Darurat
2.      Hajah
3.      Manfaat

12 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta. Bulan bintang. 1976)


4.      Fudu
Kaidah ketiga:
‫َجا َز لِع ُْذ ٍر بَطَ َل بَ َز َوالِ ِه َما‬
Artinya: “Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala
udzurnya hilang”.
Kaidah keempat:
‫بِا ْل َم ْعسُوْ ِ“ر‬  ُ‫اَ ْل َم ْيسُوْ ُرالَيُ ْسقَط‬
Artinya: “Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”.
Kaidah kelima:
‫ق ْال َغي ِْر‬
َ ‫اَاْل ِ ضْ طَ َرا ُريُب ِْط ُل َح‬
Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”.
Kaidah keenam:
‫ض َم ْف َس َدةٌ َو َمصْ لَ َحةٌ قُ ِد َم َد ْف ُع ْال َم ْف َس َد ِة غَا لِبًا‬ َ ‫اس ِداَوْ لَى“ ِم ْن َج ْلبِى ْال َم‬
َ ‫صالِ ِع فَاِ َذا تَ َعا َر‬ ِ َ‫َدرْ ُء ْال َمف‬
Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik mashlahah dan apabila
berlawanan antara yang mafsadah dan mashlahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya”.
Kaidah ketujuh:
َ ‫اَل‬
َ ‫ض َر ُرالَيُ َزا ُ“ل بِا ل‬
‫ض َر ِر‬
Artinya: “Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang lain”.
Kaidah kedelapan:
‫ب ْالخَ فِّ ِه َما‬
ِ ‫ار تِ َكا‬ َ ‫ض َم ْف َس َد تَا ِن رُوْ ِع ْي اَ ْعظَ ُمهَا‬
“ْ ِ‫ض َررًاب‬ َ ‫اِ َذاتَ َعا َر‬
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”.
Kaidah kesembilan:
َ ‫اَ ْل َحا َجةُ ْالعْا َمةُ اَ ِو ْال َخا‬
َ ‫صةُ تَ ْن ِز ُل َمي ِْز لَةَ ال‬
‫ضرُوْ َر ِة‬
Artinya: “Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat”.

5.      Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan

a.       Teks kaidahnya
ٌ‫اَل َعا َدةُ ُم َح َك َمة‬
Artinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik
di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di Indonesia. 13Adat kebiasaan suatu masyarakat
dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut
diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
b.      Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
“ِ ْ‫َوعَا ِش ُر َوهُنَ بِا ْال َم ْعرُو‬
‫ف‬
Artinya: “ Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf(baik)”. (HR. Ahmad
dari Ibnu Mas’ud).
Sabda Nabi SAW:
13 Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta bulan bintang 1975).
‫َاس َعلَ ْي ِه َعلَى ُح ْك ِم ْال َم ْعقُوْ ِل َوعَا ُدوْ ا اِلَ ْي ِه َم َرةً بَ ْع َداُ ْخ َرى‬
“ُ ‫اَ ْل َعا َدةُ َما ا ْستَ َم َرالن‬
Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”. (HR. Ahmad dari
Ibnu Mas’ud).
c.       Pengertian ‘Adah atau ‘uruf
Jumhur ulama mengidentikkan term ‘adah dengan ‘uruf, keduanya mempunyai arti yang
sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah
dengan:
Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan
dilakukan secara terus menerus. Sedangkan ‘uruf adalah:
‘Uruf tidak hanya merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan
sesuatu. Karena itu dalam terminology bahasa Arab antara ‘uruf dan ‘adah tiada beda.
Misalnya ‘uruf / ‘adah adalah menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan
seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitungannya ada yang menggunakan
metode tamyiz dan ada juga metode ‘adah (yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan
keluarnya darah tiap bulan). 14Bagi Imam hanafi mewajibkan penggunaan metode adah sedang
Imam Syafi’I menguatkan metode tamyiz.
d.      Syarat diterimanya ‘uruf /‘adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai
berikut:
1.      Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
2.      Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata sudah mendarah daging
pada perilaku masyarakat.
3.      Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah
4.      Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.[9]

e.       Kaidah yang berkaitan dengan adah


Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah adalah sebagai berikut:
1.      Kaidah pertama:
‫َاس ُح َجةٌ يَ ِجبُ ال َع َم ُل بِهَا‬
ِ ‫ِإ ْستِ ْع َما ُل الن‬
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah yang wajib diamalkan”.
2.      Kaidah kedua:
ْ َ‫َت َأوْ َغلَب‬
‫ت‬ ْ ‫ِإنَ َما تُ ْعتَبَ ُر ال َعا َدةُ ِإ َذا اضْ طَ َر د‬
Artinya: “Adat yang dianggap(sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus
menerus berlaku atau berlaku umum”.
3.      Kaidah ketiga:
ِ ِ‫ال ِعب َْرةُ لِلفَا ل‬
‫ب ال َشا ِئ ِع الَ لِلنَا ِد ِر‬
Artinya: “Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan
dengan yang jarang terjadi”.
4.      Kaidah keempat:
ً‫ْال َم ْعرُوْ فُ عُرْ فًا َكا لَ َم ْشر ْ“ُو ِط شَرْ ص‬
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”.
5.      Kaidah kelima:

14 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta,


‫ك ل َم ْشر ْ“ُو ِط بَ ْينَهُ ْم‬ ِ ‫ْال َم ْعر َُوفُ بَ ْينَ التُ َج‬
َ ‫ار‬
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara
mereka”.
6.      Kaidah keenam:
‫ف َكا لتَ ْعبِي ِْن بِا لنَص‬
ِ ْ‫التَ ْعيِيْنُ بِا لعُر‬
Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
7.      Kaidah ketujuh:
ً‫ْال ُم ْمتَنَ ُع عَا َدةً َكا ل ُم ْمتَن َِع َحقَ ْيقَة‬
Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku
dalam kenyataan”.
8.      Kaidah kedelapan:
ُ ‫ال َحقِ ْيقَةُ تُ ْت َر‬
‫ك بِ َد الَ لَ ِةا ل َعا َد ِة‬
Artinya: “Arti hakiki ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
9.      Kaidah kesembilan:
‫اِإل ْذ نُ العُرْ فِى َكا ِإل ْذ ِن اللَ ْف ِظى‬ 
Artinya: “ Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut
ucapan”.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam untuk
menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa
pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan,
mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih
utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu
dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik.

Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid
dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa
Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan
terminologi kaidah mempuyai beberapa arti.

Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah
yang ada. Lima kaidah asasi yaitu:
1.      Kaidah yang berkaitan dengan niat
2.      Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
3.      Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
4.      Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
5.      Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Maktabah Al-Syamilah

Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta,

Asy-Syafii, Ahmad Muhammad, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah tsaqofah al-
Jamiiyah .1983.

Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta. Bulan bintang. 1976)

Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam Imam menyelesaikan masalah
yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2007)

Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta bulan bintang 1975)

Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002)

Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001)

Drs. H.Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996),

Anda mungkin juga menyukai