Anda di halaman 1dari 7

ISTIHSAN

Ditulis untuk memenuhi tugas kelompok

Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen pengampu :

Ahmad Adri Riva’i, M.Ag.

Oleh Kelompok 5 :

Ahmad Andri

Firmansyah Simamora

Fifan Syukri

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

SEPTEMBER 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ISTIHSAN” ini tepat pada
waktunya. Shalawat beserta salam tidak lupa pula kita hadiahkan pada baginda kita Nabi
besar Muhammad SAW yang telah menyampaikan risalah-Nya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Ahmad Adri Riva’i, M.Ag. pada mata kuliah Ushul Fiqih. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Ilmu Ushul Fiqih.

Kami selaku penulis menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan informasi yang berguna
bagi para pembacanya, baik bagi teman-teman mahasiswa maupun masyarakat pada
umumnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pekanbaru, September 2022

Penulis.
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam adalah agama pemungkas, sempurna, dan cocok untuk berbagai kondisi, kapan
dan dimana saja, Islam diyakini mampu memberikan pemecahan-pemecahan masalah yang
dihadapi umatnya sepanjang zaman.Islam adalah agama universal, kompleks dan berlaku
sepanjang zaman. Seiring dengan sifat-sifat tersebut, agama Islam memiliki hukum-hukum
yang kompleks pula. Islam berbagai hukum yang mengatur segala urusan yang tidak hanya
ukhrawi juga mengatur keduniawian yang fleksibel dan selalu relevan di zaman sekarang.
Dan konsekuensi itu kerelevanan Islam yaitu hukum Islam tidak pernah stagnan dan
berkembangnya hukum Islam disetiap waktu untuk menjawab berbagai permasalahan hukum
kontemporer yang sangat memerlukan solusi hukum Islam yang jelas dan tegas.Sehingga
tidak menimbulkan kegoncangan dan kebingungan di tengah masyarakat1.

Salah satu cara ulama’ untuk melakukan hal itu yaitu dengan cara berijtihad. Dan
salah satu contoh ijtihad ulama’ adalah istihsan.Dan didalam tulisan ini, penulis mencoba
menjelaskan tentang maksud dari istihsan, macam-macamnya, kekuatannya dalam ijtihad,
serta kerelevanannya dimasa kini dan mendatang.Dengan tujuan untuk mempermudah dalam
memahami salah satu bagian dari ijtihad, serta mempersempit kekeliruan masyarakat dalam
memahami dan menanggapi berbagai permasalahan.

Ulama’ yang menggunakan metode istihsan dalam berijtihad mendefenisikan istihsan


dengan pengertian yang berlainan dengan defenisi dari orang yang menolak cara istihsan.
Sebaliknya ulama’ yang menolak penggunaan istihsan mendefenisikan istihsan dengan
pengertian tidak seperti yang didefeniskan pihak yang menggunakannya. Seandainya mereka
sepakat dalam mengartikan istihsan, maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam
menggunakannya sebagai sebuah metode ijtihad.

Pada hakekatnya istihsan digunakan untuk mendapatkan kemashlatan dan menolak


kemadharatan atau dengan kata lain digunakan untuk menemukan kemaslahatan yang lebih
kuat atau kemadlaratan yang lebih sedikit, sehingga istihsan bisa dikatakan untuk digunakan

1
Kusmidi henderi, EKSISTENSI ISTIHSAN SEBAGAI DALIL ISTINBATH FIQH SIYASAH, Vol. 6, No. 2, Th. 2021, Hal.
157-158.
sebagai sumber dan metode hukum Islam. Sebab istihsan ditetapkan berdasarkan penelitian
terhadap nash-nash syara’ yang menunjukan bahwa Allah SWT Yang Maha Bijaksana
berpindah dari sebagian kasus-kasus yang bisa digunakan dengan Qiyas (umumnya nash)
kepada hukum lain yang memberikan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
(kemadlaratan). Istihsan bisa juga dikatakan sebagai dalil syara’, akan tetapi bukan dalil yang
mustaqil, namun demikian ia harus kembali kepada dalil syara’ yang lain sebab setelah
diteliti tujuan pokok istihsan itu tetap kembali kepada mencari kemaslahatan dan menolak
kemadlaratan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengertian dari Istihsan?
2. Bagaimana macam-macam istihsan?
3. Bagaimana pendapat para ulama tentang istihsan?

1.3 Tujuan Dan Manfaat


1. Mengetahui arti dari istihsan.
2. Mengetahui macam-macam istihsan.
3. Mengetahui pendapat para ulama tentang istihsan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Istihsan

Dari segi bahasa istihsan berarti menganggap sesuatu baik, yang terambil dari kata al-
husnu (baik). Adapun istihsan menurut istilah ushul fiqh seperti dikemukakan oleh Wahbah
az-Zuhaili, terdiri dari dua deinisi, yaitu:

1) Memakai qiyas khai dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu.

2) Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk
hal tersebut.

Istihsan yang disebut pertama, dikenal dengan istihsan qiyasi, sedangkan yang kedua
disebut istihsan istisnaiy2.

Secara istilah, Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi bahwa istihsan adalah
berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas
Khafi (yang samar), atau ketentuan hukum kulli (umum) kepada ketentuan hukum yang
sifatnya istisna’i (pengecualian), karena ada kesalahan memahami dalil yang memungkinkan
memenangkan perpindahan itu3.

2.2 Macam-macam Istihsan

Berdasarkan dalil yang memperkuat istihsan, Ulama Hanafiah membagi Istihsan kepada
enam macam, yaitu4:

1. Istihsan bil an-Nash (Istihsan yang didasarkan pada ayat Al-qur’an atau Hadis), yaitu
berpindah dari ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas atau hukum kully
(umum) kepada hukum lain yang ditetapkan berdasarkan nash Al-qur’an atau Hadis.
Seperti, menghukumkan tetap sah puasa orang yang makan atau minum karena
terlupa. Hal ini berlandaskan kepada hadits Nabi saw: “Siapa saja yang makan atau
minum karena lupa, maka janganlah ia berbuka, karena itu merupakan rizki yang

2
Effendi Satria, Ushul Fiqh,( Jakarta: KENCANA: 2005), hal 130-131.
3
Chadziq Achmad Lubadul, Istihsan dan Implementasinya dalam pemetapan Hukum Islam, Vol 15, No 02,
2019, hal 338.
4
Abu Ishak Al-Syatibi, Al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah (Beirut: Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975), 206-208.
dianugerahkan Allah.” Imam Abu Hanifah berkomentar terhadap kasus ini:
“Andaikata tiada nash yang tidak membatalkan puasa lantaran makan dan minum
karena lupa, tentulah saya memandang batal puasa itu karena sudah rusak satu
rukunnya yaitu menahan diri dari segala yang merusak puasa”.
2. Istihsan bi al-Ijma’ (istihsan yang didasarkan kepada Ijma’), yaitu berpindah dari
ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas atau hukum kully (umum) kepada
hukum lain yang ditetapkan berdasarkan ijma, seperti bolehnya akad salam5.
3. Istihsan bi al-Dharurah (Istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu istihsan yang
disebabkan karena adanya kondisi dlarurat (terpaksa) yang mendorong mujtahid
untuk meninggalakan dalil qiyas atau hukum kully (umum) dan mujtahid berpegang
kepada perisip yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya
kemudharatan.
4. Istihsan bi al-Urf (Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum), Yaitu
berpindah dari ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas atau hukum kully
(umum) kepada hukum lain, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah
dikenal dalam kehidupan masyarakat.
5. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan), yaitu berpindah dari
ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas atau hukum kully (umum) kepada
hukum lain, karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan yang lebih besar yang
dapat diterima oleh dalil syar’i.
6. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang samar), yaitu
memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan
qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.

2.3 Dasar Hukum

5
Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda alUshuliyin (Mesir: Matba’ al-
Sa-adah, th. 1980), 72.

Anda mungkin juga menyukai