Anda di halaman 1dari 23

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG MASIH DIPERSELISIHKAN

Makalah

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah FIQIH

Dosen Pengampu:

Pitrotussa‟adah,M.H.

Disusun Oleh:

1. Nur Yulianingsih (231120029)

2. Misja Wijaya (231120004)

3. Hafizd Hikmatullah Ramadhan (231120035)

FAKULTAS SYARIAH

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SMH BANTEN

TAHUN AKADEMIK 2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sumber-Sumber Hukum Yang Masih
Diperselisihkan” secara tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah FIQIH. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk mengetahui dan memahami apa saja sumber Hukum Islam yang masih
diperselisihkan, sehingga dapat menambah wawasan pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Pitrotussa‟adah,M.H. selaku dosen mata kuliah
FIQIH. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap
adanya kritik dan saran yang konstruktif. Selain itu, kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami maupun pembaca
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Sumber hukum dalam agama Islam yang paling utama dan pokok dalam menetapkan
hukum dan memecah masalah dalam mencari suatu jawaban adalah alQur‟an dan al-Hadis.
Sebagai sumber paling utama dalam Islam, alQur`an merupakan sumber pokok dalam
berbagai hukum Islam.

Namun selain itu masih ada beberapa Sumber Hukum Islam yang masih diperdebatkan di
antaranya yaitu: Istihsan,Maslahah murslah,Urf,Istishab,dan Syadudzari‟ah.

Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan
Al-Quran, Hadits, Ijma' dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para ulama
sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah salah satu metodologi yang digunakan hanya
oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya. Al-Imam Asy-Syafi'i dalam mazhabnya termasuk
kalangan ulama yang tidak menerima istihsan dalam merujuk sumber-sumber syariah Islam.
Sebaliknya, Al-Imam Abu Hanifah justru menggunakannya. samping madzhab Hanafi,
termasuk sebagian madzhab Maliki dan madzhab Hambali.

II. Rumusan Masalah


 Apa itu Istihsan?
 Apa itu Maslahah murslah?
 Apa itu Urf?
 Apa itu Istishab?
 Apa itu Syadudzari‟ah?

III. Tujuan Penyusunan


 Mengetahui alasan sumber hukum Islam tersebut diperselisihkan.
 Mengetahui apa saja sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan.

IV. Manfaat Penyusunan


 Pembaca, dapat mengetahui sumber hukum Islam selain Al-Qur‟an dan Hadist
 Pembaca, dapat mengetahui alasan mengapa sumber hukum Islam tersebut masih
diperselisihkan
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Istihsan

Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara'.

Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya
disebabkan karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong
tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri
harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini
ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah
hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.

Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan
untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah
kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan
menghendaki perpindahan hukum itu.

Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-
Syafi'i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan
keinginan hawa nafsu.

Imam Syafi'i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan
sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan
hukum syara' hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau,
dinyatakan, "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang
melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu
adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah
Ka'bah itu."

Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian
yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi
dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, "orang yang menetapkan hukum berdasarkan
istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT
menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum."

Contoh Istihsan

Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka
dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalahhak pengairan, hak
membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-
hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan
jual beli.

Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila
waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.

Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada
sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh
manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.

Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang
diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali),
maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan
hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.

Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta,
tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan
waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut
istihsan.
2. Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah menurut bahasa terdiri dari dua term kata, yaitu maslāhah dan mursalah.
Term pertama, Kata maslāhah berasal dari kata kerja bahasa Arab ( - ) menjadi ( )
atau ( ) yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Kata maslahah kadang-
kadang disebut juga dengan ( ) yang artinya mencari yang baik ( ) Term
kedua, kata mursālah adalah isim maf‟ul dari fi‟il madhi dalam bentuk tsulasi, yaitu ( ),
dengan penambahan huruf “alif” dipangkalnya, sehingga menjadi ( ). Secara etimologis
artinya terlepas, atau dalam arti ( ) (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini bila
dihubungkan dengan kata maslahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan
yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan”. Perpaduan dua term kata di atas
menjadi “Maslahah Mursalah " yang berarti prinsip kemaslahatan yang dipergunakan untuk
menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai
maslahat atau bermanfaat dan menolak atau mencegah mafsadat

( ‫ج‬ ‫ل‬ ‫د ود ء ل م‬ ‫) ل م ف‬.

Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang Maslahah Mursalah ini, namun masing-
masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Di antara definisi tersebut:

1. Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfā merumuskan Maslahah Mursalah sebagai berikut:

‫د ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫و‬

Artinya :

“Apa-apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara‟ dalam bentuk nash tertentu
yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”

2. Asy-Syaukani dalam kitab Irsyād al-Fuhūl yang memberikan defenisi:

‫لم‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫و ل‬

Artinya :

“ Maslahah yang tidak diketahui apakah syari‟ menolaknya atau memperhitungkannya.”

3. Ibnu Qudaima dari ulama Hambali memberi rumusan:

‫دل‬ ‫ل‬ ‫و‬

Artinya :

“ Maslahat yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula
yang memperhatikannya.”
4.Yusuf Hamid al-„Alim memberikan rumusan:

‫د ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫و‬

Artinya :

“ Sesuatu yang tidak ada petunjuk syara‟ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk
memperhatikannya.”

5.Abdul Wahab al-Khallaf memberi rumusan berikut:

‫دل‬ ‫ل‬ ‫دل‬ ‫و‬ ‫ل ء‬

Artinya :

“ Maslahahal-Mursalah adalah mashlahat yang tidak ada dalil syara‟ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.”

6.Muhammad Abu Zahra memberi defenisi yang hampir sama dengan rumusan Jalal al-Din
di atas yaitu:

‫ل‬ ‫لم‬ ‫د لم ء‬ ‫لم‬ ‫ل‬ ‫دو‬ ‫ل‬ ‫ل ء و‬

Artinya :

“ Maslahat yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan petunjuk tertentu yang
membuktikan tentang pembuktian atau penolakannya.”

7.Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh Imam Syatibi dalam kitab al-I‟tishām
mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah suatu maslahat yang sesuai dengan tujuan,
prinsip, dan dalil-dalil syara‟, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang
bersifat dhārurīyah (primer) maupun hajjīyah (sekunder).

Dari beberapa rumusan defenisi di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari
Maslahah Mursalah sebagai produk hukum Islam, sebagai berikut:

a. Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia;

b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara‟ dalam
menetapkan hukum;

c. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara‟ tersebut tidak ada
petunjuk syara‟ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara‟ yang
mengakuinya.
Adapun Bentuk-bentuk Maslahah Mursalah menurut Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A,
dibagi kepada 3, yaitu :

1.Maslahah al-Mu'tabarah (Maslahah yang terdapat kesaksian syara' dalam mengakui


keberadaannya)

Al-Maslahah bentuk pertama ini menjelma menjadi landasan dalam Qiyas, karena ia sama
dengan al-munasib ('illah yang merupakan al-maslahah) dalam pembahasan qiyas. Jumhur
ulama sepakat menyatakan, al-Maslahah ini merupakan landasan hukum. Contohnya Seperti
dalam kasus peminum khamer, hukuman atas orang yang meminum minuman keras (arak
dan semisalnya) dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh,
disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW.

2. Maslahah al-Mulghah (Maslahah yang terdapat kesaksian syara' yang membatalkannya)

Maslahah bentuk kedua ini adalah bathil, dalam arti tidak dapat dijadikan sebagai landasan
hukum karena ia bertentangan dengan nash. Contohnya, Syara‟ menetukan bahwa orang yang
melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadan dikenakan hukuman dengan
memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang
fakir miskin (H.R. Bukhari dan Muslim).

Terkait dengan kasus ini al-Laits Ibnu Sa‟ad langsung menetapkan dengan hukuman berupa
puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa yang melakukan hubungan seksual di
siang hari bulan Ramadlan. Dalam kasus ini, para ulama memandang putusan hukum yang
diberikan oleh al-Laits tadi bertentangan dengan Hadits Rasullah di atas, karena bentuk-
bentuk hukum itu menurut mereka harus diterapkan secara berurutan. Oleh sebab itu ulama
ushul al-fiqh memandang mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut daripada
memerdekakan seorang budak dengan dalil kemaslahatan hukum, merupakan kemaslahatan
yang bertentangan dengan kehendak syarak, sehingga dengan sendirinya putusan itu menjadi
batal. Kemaslahatan semacam ini, menurut kesepakatan mereka disebut Maslahah al
Mulghah dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam memproduk hukum.

3. Maslahah yang tidak terdapat kesaksian syara'

Maslahah bentuk ketiga ini kemudian dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Maslahah Al-Gharibah, yaitu maslahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian syara'
terhadapnya, baik yang mengakui maupun yang menolaknya dalam bentuk macam atau jenis
tindakan syara'.

b.Maslahah Al-Mula'imah, yaitu maslahah yang meskipun tidak terdapat nash tertentu yang
mengakuinya, tetapi ia sesuai dengan tujuan syara' dalam lingkup umum.
 Syarat-Syarat menggunakan Maslahah Mursalah.

Dalam menggunakan Maslahah Mursalah sebagai hujjah, ulama bersikap sangat hati-hati
sehingga tidak mengakibatkan pembentukan syariat, berdasarkan nafsu dan kepentingan
terselubung. Berdasarkan hal itu, ulama menyusun syarat-syarat Maslahah Mursalah yang
dipakai sebagai dasar pembentukan hukum. Syarat-syaratnya ada yaitu:

1.Maslahat yang dimaksud adalah maslahat yang sebenarnya bukan hanya dugaan semata.
Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan pembentukan hukum tentang masalah yang dapat
memberi kemaslahatan dan menolak kerusakan. Jika maslahat itu berdasarkan dugaan semata
maka pembentukan hukum itu tidak akan mendatangkan maslahat.Contoh dalam persoalan
larangan bagi suami untuk menalak istrinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada
hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini tidak
mengandung maslahat, bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan
masyarakat. Hubungan suami isteri ditegakkan atas dasar suatu paksaan undang-undang,
bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang dan saling mencintai.

2. Maslahat itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan. Maksudnya ialah bahwa dalam
kaitannya dengan pembentukan hukum atas suatu kejadian dapat melahirkan manfaat bagi
kebanyakan orang tidak hanya mendatangkan manfaat bagi satu orang atau beberapa orang
saja. Imam al-Ghazali memberi contoh orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah
orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka, maka orang
kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila
kaum muslimin memerangi orang Islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah
bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi
memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau
memusnahkan musuh-musuh mereka.

3.Maslahat itu tidak boleh bertentangan dengan dalil syara‟ yang telah ada, baik dalam
bentuk nash, Alquran dan sunnah, maupun ijma‟ dan qiyas.

4.Maslahah Mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, seandainya


masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan
hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.

Imam al-Ghazali juga memberikan beberapa syarat terhadap kemaslahatan yang dapat
dijadikan hujjah dalam mengistinbathkan hukum, yaitu:

a.Maslahat itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara‟.

b. Maslahat itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara‟.

c.Maslahah itu termasuk dalam kategori maslahat yang dharuriyah, baik menyangkut
kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama
untuk semua orang.
5. Obyek Maslahah Mursalah

Ulama yang menggunakan Maslahah Mursalah menetapkan batas wilayah penggunaannya,


yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah ibadah, seperti muamalat dan adat. Dalam masalah
ibadah (dalam arti khusus) sama sekali Maslahah Mursalah tidak dapat dipergunakan secara
keseluruhannya. Alasannya karena maslahat itu didasarkan pada pertimbangan akal tentang
baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah
ibadah.

Segala bentuk perbuatan ibadah bersifat ta‟abbudi dan tawqifih, artinya kita hanya mengikuti
secara apa adanya sesuai dengan petunjuk syar‟i dalam nash dan akal sama sekali tidak dapat
mengetahui kenapa demikian. Umpanya mengenai shalat dzuhur empat rakaat dan dilakukan
sesudah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.

Di luar wilayah ibadah, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat diketahui alasan
hukumnya, namun secara umum bersifat rasional dan oleh karenanya dapat dinilai baik atau
buruknya oleh akal. Contohnya minum khamar itu adalah buruk karena merusak akal.
Penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari
kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa maslāhah mursālah itu difokuskan terhadap lapangan
masalah yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Alquran dan sunnah yang menjelaskan
hukum- hukum yang ada penguatnya melalui suatu i‟tibār. Juga difokuskan pada hal- hal
yang tidak didapatkan adanya ijma‟ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.

 Contoh Maslahah Mursalah

Adapun beberapa contoh masalah yang menggunakan ketentuan hukum berdasarkan


maslahat yaitu antara lain:

1.Sahabat mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf alasannya semata- mata karena
maslahat, yaitu menjaga Al-qur‟an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatiranya karena
meninggalnya sejumlah besar penghapal Al-quran dari generasi sahabat.

2. Khulafau ar-Rasyidin menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada pada para
tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas
kepercayaan. Akan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani tanggung jawab
mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk
menjaga harta benda orang lain yang berada dibawah tanggungjawabnya.

3.Umar bin Khattab RA sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna memberi
pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap Umar itu tergolong
dalam kategori maslahah, agar mereka tidak mengulangi perbuatannya lagi.
3. Pengertian Urf

Kata „Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata „arafa, ya„rifu sering diartikan dengan
al-ma„ruf ( ‫ ) لم و‬dengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal lebih dekat kepada
pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat.
Kata „urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab ‫ ; د‬akar
katanya: „ada, ya„udu (‫ د‬-‫ ) د‬mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu yang
baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata „urf pengertiannya tidak melihat dari
segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut
sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.

Sedangkan Kata „Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidah berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.

 Macam-macam „Urf

Para Ulama Ushul fiqh membagi „Urf kepada tiga macam:

1. Dari segi objeknya

Dari segi objeknya „Urf dibagi kepada: al-„urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-„urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

a. Al-„Urf al-Lafzhi. Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan


tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi;
padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang
mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam
daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil
daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata
daging pada daging sapi.

b. Al-„urf al-„amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
atau mu‟amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat
dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti
kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat
memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat
dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.

Adapun yang berkaitan dengan mu‟amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam
melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam berjual
beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya,
apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga
lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.[2]
2. Dari segi cakupannya

Dari segi cakupannya, „urf terbagi dua yaitu al-„urf al-„am (kebiasaan yang bersifat umum)
dan al-„urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

a. Al-„urf al-„am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk
dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang
berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah duapuluh
kilogram.

b. Al-„urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu.
Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli
dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat
mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi
terhadap barang tertentu.

3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟, „urf terbagi dua;

a. Al-„urf al-Shahih (Yang sah). Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat
yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Dengan kata lain, 'urf yang tidak
mengubah ketentuan yang haram menjadi halal atau sebaliknya. Misalnya, dalam masa
pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak
dianggap sebagai maskawin.

b. Al-„urf al-fasid (Yang rusak). Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟. Kebalikan dari Al-'urf ash-shahih,
maka adat dan kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan yang haram, dan
mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam
menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam
sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta
rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan
yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatakan, karena
keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang
10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam
pandangan syara‟, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara‟ tidak boleh saling
melebihkan.[3] dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku pada zaman
jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan Riba al-nasi‟ah (riba yang muncul dari hutang
piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam
kategori al-„urf al-fasid.[2]
Para Ulama sepakat, bahwa al-urf al-fasid ini tidak dapat menjadi landasan hukum, dan
kebiasaan tersebut batal demi hukum.

Permasalahannya „Urf yang berlaku di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan


dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara‟ lainnya.
Dalam persoalan pertentangan „urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai
berikut:

1. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat khusus

Apabila pertentangan „urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya
hukum yang dikandung nash, maka „urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan pada
zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama
dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. „urf
seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.

2. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat umum

Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa‟, apabila „urf telah ada ketika datangnya nash yang
bersifat umum, maka harus dibedakan antara „urf al-lafzhi dengan „urf al-„amali, apabila „urf
tersebut adalah „urf al-lafzhi, maka „urf tersebut bisa diterima. Sehingga nash yang umum itu
dikhususkan sebatas „urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada
indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan oleh „urf. Misalnya:
kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna „urf, kecuali ada indikator
yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.

„urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan „urf tersebut.
Apabila suatu „urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya
terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan „urf seperti ini, baik yang
bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat „amali (praktik), sekalipun „urf tersebut bersifat
umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara‟, karena keberadaan „urf
ini muncul ketika nash syara‟ telah menentukan hukum secara umum.
4. Pengertian Istishab

Istishab pada dasarnya merupakan suatu metode penemuan hukum berdasarkan hukum yang
sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil (bukti hukum) baru yang menyatakan
sebaliknya.

 Unsur-Unsur Istishab

Konsep istishab sebagai metode hukum mengandung tiga unsur pokok, yaitu:

1. Waktu

Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu waktu lampau, sekarang, dan
yang akan datang. Ketiganya dalam istishab dianggap sama nilainya sampai terbukti ada
perubahan karakteristik yang melekatnya.

2. Ketetapan Hukum

Ada dua ketetapan hukum, yaitu ketetapan hukum boleh (isbat) dan ketetapan hukum yang
tidak membolehkan (nafy).

3. Dalil

Istishab sebagai metode penetapan hukum berpusat pada pengetahuan seseorang atas dalil
hukum. Pengetahuan inilah yang menjadi kerangka dasar dalam menetapkan posisi hukum
asalnya.

 Macam-Macam Istishab

Mengutip buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam oleh Iwan Hermawan (2019: 98), Abu
Zahrah membagi istishab menjadi empat macam, yaitu:

1. Istishab Al-Ibabah Al-Ashliyah

Istishab yang didasarkan pada hukum asal, yaitu mubah (boleh). Penerapan kaidah ini banyak
terkait dengan masalah-masalah muamalah, seperti terkait makanan dan minuman.

Selama tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab, pada
dasarnya segala sesuatu di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia.

2. Istishab Al-Baraah Al-Ashliyyah

Istishab ini berdasarkan prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban),
sampai adanya dalil yang mengubah status tersebut. Atas dasar ini, manusia bebas dari
kesalahan sampai ada buktinya.
3. Istishab Al-Hukmi

Didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yang mencabutnya.
Contohnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status
pernikahan tersebut berlaku sampai terbukti adanya perceraian.

4. Istishab Al-Washfi

Istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya,
sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya
akan tetap suci sampai ada bukti yang menunjukkan air itu menjadi najis.

 Contoh Penerapan Istishab

Adapun beberapa contoh penerapan istishab, di antaranya:

1. Bidang Hukum Pidana

Dalam hukum pidana, konsep istishab sangat relevan dengan asas praduga tak bersalah, di
mana seorang terdakwa ketika menjalani proses peradilan dianggap tidak bersalah sampai ada
bukti hukum material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

2. Bidang Hukum Perdata

Penerapan konsep istishab dalam hukum perdata berlaku dalam bidang perikatan , bahwa
pada dasarnya setiap orang bebas dari segala tanggungan berupa kewajiban perdata.

Misalnya, jika seorang penggugat melaporkan tergugat ke pengadilan dengan gugatan untuk
melunasi utangnya, tergugat berhak untuk menolaknya hingga penggugat mampu
membuktikan di pengadilan.

3. Hukum Perkawinan

Jika menuruti konsep istishab, praktik nikah siri dianggap tidak pernah. Sebab, sesuai dengan
Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa suatu perkawinan baru dinyatakan sah
secara hukum negara jika dapat dibuktikan dengan akte nikah melalui pencatatan perkawinan.

Bukti sah tersebut sekaligus menjadi tanda lahirnya hak dan kewajiban baru bagi pasangan
suami istri.

 Kedudukan Istishab

Pada umumnya, para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kedudukan istishab sebagai
sumber hukum Islam. Dikutip dari Fikih Madrasah Aliyah Kelas XII oleh Mundzier Suparta,
dkk., (2016: 60-61), pendapat para ulama tentang kedudukan istishab, yaitu:

1. Istishab sebagai Pedoman dalam Menentukan Hukum Islam

Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum suatu peristiwa yang belum
ada hukumnya, baik dalam Alquran, sunnah, maupun ijma.
Ulama yang termasuk kelompok ini adalah Syafi'iyah, Hambaliyah, Malikiyah, Dhahiriyah,
dan sebagian kecil dari ulama Hanafiyah. Dalil yang mereka jadikan alasan untuk ini, yaitu:

‫ل‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ف‬.

Artinya: "Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." (QS. Yunus: 36)

Berdasarkan kepada dalil di atas, para ulama menetapkan kaidah-kaidah fikih sebagai berikut:

 Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya.
 Apa yang diyakini adanya tidak hilang karena adanya keraguan.
 Asal hukum sesuatu adalah boleh.

2. Menolak Istishab sebagai Pegangan dalam Menetapkan Hukum Islam

Sebagian ulama lainnya menolak istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum Islam.
Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama Hanafiyah.

Mereka menyatakan bahwa istishab seperti yang disebutkan di atas adalah tanpa dasar dan
menolaknya untuk menetapkan hukum baru.
5. Pengertian Syadudzari‟ah

Definisi Syaddudz Dzari‟ah Syekh Abdullah bin Yusuf al-Jadi‟ mendefinisikan saddudz
dzari‟ah sebagai sebuah media yang bisa berujung pada keharaman, atau bisa juga menjadi
media menuju sesuatu yang dianjurkan. Dari definisi ini kemudian disimpulkan, bahwa
metode ini mengandung dua unsur: (1) kerusakan (mafsadah), yaitu setiap pekerjaan yang
sebenarnya boleh dilakukan namun berujung pada keharaman disebabkan adanya potensi
kerusakan; dan (2) kebaikan (maslahah), yaitu setiap pekerjaan mubah yang dianjurkan
disebabkan adanya potensi kebaikan. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan, bahwa yang
menjadi hal penting dan paling pokok untuk diperhatikan ketika melakukan sebuah tindakan
yang berhukum mubah adalah efeknya. Jika efeknya baik maka dianjurkan, jika efeknya
justru menimbulkan kerusakan maka hukumnya haram

B. Contoh Saddu Dzari‟ah

Berikut ini beberapa contoh kasus Saddu Dzari‟ah:

1. Menanam anggur

Pada dasarnya, menanam anggur itu hukumnya adalah boleh. Namun apabila kita menanam
anggur untuk memasok pabrik minuman keras, maka hukum menanam anggur itu menjadi
haram.

2. Bekerja di diskotik dan pelacuran

Bekerja di tempat yang haram. Asalkan kita bisa menjaga diri. Dan pekerjaan kita berkaitan
dengan hal-hal yang mubah. Seperti menjadi juru parkir atau tukang kebersihan. Maka
hukum asalnya adalah halal.

Namun bila ditelaah lebih lanjut. Bahwa pekerjaan kita itu berarti telah berpartisipasi kepada
kemaksiatan. Ditambah kita sendiri lama-lama akan terjatuh pada jurang maksiat. Maka
hukum bekerja di tempat-tempat seperti menjadi haram.

3. Chatting dengan lawan jenis

Bertegur sapa melalui media sosial. Seperti whatsapp, facebook, instagram. Pada dasarnya
hukumnya adalah halal.

Namun apabila percakapan tersebut dikhawatirkan akan mengantarkan kepada pertemuan.


Lalu berduaan. Maka chatting seperti itu pun menjadi haram.
C. Macam-macam Kasus Saddu Dzari‟ah

Berikut ini macam-macam kasus Saddu Dzari‟ah:

1. Kasus yang mafsadahnya dipastikan

Para ulama sepakat. Bahwa suatu perbuatan yang asalnya halal. Namun mengakibatkan
perbuatan haram. Maka hukumnya adalah haram.

Misalnya:

a. Hukum menghina sesembahan selain Allah

Sebenarnya hukum menghina sesembahan selain Allah itu boleh-boleh saja. Namun
perbuatan itu bisa membuat orang kafir jadi marah. Lalu mereka balik menghina sesembahan
orang Islam. Yaitu menghina Allah Swt.

b. Hukum adik-kakak tidur satu ranjang

Hukum asal dua saudara yang berlainan jenis tidur satu ranjang itu sebenarnya boleh saja.
Kan hanya tidur. Namun hal itu bisa menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Meskipun adik-kakak. Oleh karena itu, keduanya harus dipisah. Diberi ranjang yang terpisah.
Syukur diberi kamar sendiri-sendiri. Tujuannya adalah mencegah terjadinya perbuatan yang
haram.

2. Kasus yang mafsadahnya dibatalkan

Ada beberapa perkara yang asalnya halal, dan menimbulkan perbuatan haram (mafsadah).
Namun terjadinya sangat jarang. Sehingga kemungkinan itu dianggap tidak ada (mulgha).

Misalnya:

a. Hukum menanam anggur

Di antara tujuan orang menanam anggur adalah menyiapkan bahan dasar minuman keras.
Namun kebanyakan orang menanam anggur tujuannya untuk dikonsumsi secara halal. Oleh
karena itu, menanam anggur hukumnya adalah tetap halal.

b. Membuat rumah yang saling berdekatan

Rumah yang saling berdekatan itu memang bisa menimbulkan terjadinya perzinahan. Namun
hal itu amat jarang terjadi. Oleh karena itu, hukum membuat rumah yang saling berdekatan
itu tetap mubah. Boleh.

c. Naik ojek online

Orang naik kendaraan dengan berboncengan dan berhimpitan itu memang bisa menimbulkan
perbuatan yang tidak diinginkan. Seperti perzinahan. Namun hal itu jarang terjadi. Oleh
karena itu, hukum naik ojek online itu hukumnya tetap mubah.
3. Kasus yang mafsadahnya diperdebatkan

Ada kasus-kasus yang diperdebatkan. Apakah mafsadahnya dianggap lebih kuat atau lebih
lemah.

Misalnya: menjual dengan hutang sebulan lalu membelinya sebelum setahun.

Tanggal 1 Januari 2022. Ada dua orang melakukan transaksi jual-beli rumah seharga Rp
100.000.000 (seratus juta rupiah). Dibayar tahun depan. Yaitu tanggal 1 Januari 2023.

Kita sebut saja nama penjual adalah Pak Ahmad. Dan nama pembeli adalah Pak Banu.

Namun baru setengah tahun, yaitu tanggal 1 Juli 2022. Dengan persetujuan kedua belah
pihak. Pak Ahmad membeli rumah yang telah dijualnya dari Pak Banu itu seharga Rp
90.000.000 (sembilan puluh juta). Dibayar tunai.

Lalu tanggal 1 Januari 2023, Pak Banu membayar hutangnya kepada Pak Ahmad. Yaitu
sebesar Rp 100.000.000.

Mungkin transaksi itu membuat kita agak bingung. Seperti main-main. Tapi hal itu bisa saja
terjadi.

Karena agak rumit, para ulama pun berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Imam Malik berpendapat, transaksi seperti itu hukumnya adalah haram. Karena pada
hakekatnya sama saja dengan praktik riba. Di mana Pak Ahmad memberikan pinjaman uang
Rp 90.000.000 pada Pak Banu. Lalu Pak Banu mengembalikan uang itu menjadi Rp
100.000.000. Dengan tenggang waktu setengah tahun.

Jadi transaksi itu sebenarnya adalah praktik pinjam-meminjam uang. Bukan jual-beli rumah.
Inilah pendapat Imam Malik.

Sementara itu. Imam Syafi‟i berpendapat lain. Transaksi itu tetap dihukumi sebagai jual-beli.
Sehingga hukumnya adalah mubah. Tidak haram.

4. Kasus yang menimbulkan bid‟ah

Adakalanya suatu amal merupakan perbuatan yang sunnah, namun pada akhirnya menuntun
pelakunya kepada perbuatan yang bid‟ah.

Contohnya:

Ada orang yang punya pilihan. Antara wudhu dengan air dingin atau air hangat. Padahal
cuaca sedang sangat dingin. Karena ingin memperoleh pahala yang lebih banyak, maka orang
itu memilih air yang dingin.

Pilihan orang itu sebenarnya sudah sesuai dengan sunnah. Yaitu tetap menyempurnakan
wudhu di saat yang susah. Namun dia lupa. Bahwa syariat justru menghendaki kemudahan
bagi kita. Bukan kesusahan bagi kita.
5. Kasus hilah yang haram

Hilah merupakan cara cerdik sekaligus licik untuk mencurangi syariat.

Misalnya: supaya tidak bayar zakar maal.

Ada orang yang punya emas senilai 85 gram yang merupakan nishab zakat maal. Ketika
hampir satu tahun, yang merupakan haul zakat maal, orang itu menjual beberapa gram
emasnya. Tujuannya adalah untuk menghindari zakat maal. Lalu setelah lewat beberapa hari,
orang itu membeli beberapa gram emas lagi.

Jadi tujuannya adalah untuk menghindari zakat maal atas emas yang dia miliki.

Perbuatan ini sebenarnya boleh atau mubah. Namun menjadi haram, karena merupakan
sebuah perbuatan yang licik. Sama saja dengan mencurangi syariat.

D. Kedudukan Saddu Dzari‟ah

Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan Saddu Dzari‟ah. Apakah Saddu Dzari‟ah
merupakan sebuah dalil atau bukan.

Malikiyah dan Hanabilah menerima Saddu Dzari‟ah sebagai salah satu dalil yang bisa
dipertanggungjawabkan.

Di antara argumen pendapat ini, adalah banyaknya isyarat dalam al-Qur‟an dan hadits
mengenai Saddu Dzari‟ah ini. Misalnya:

Al-Qur‟an melarang kaum muslimin mengejek sesembahan orang kafir. Karena perbuatan itu
akan membuat orang kafir balas mengejek sesembahan kaum muslimin. Yaitu Allah Swt.

Rasulullah Saw. melarang kaum muslimin berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
Karena perbuatan itu akan menjerumuskan kepada perzinahan.

Sementara Hanafiyah dan Syafi‟iyah tidak menerima Saddu Dzari‟ah sebagai dalil.

Argumen pendapat ini, adalah sifat dari Dzari‟ah sebagai sarana atau perantara. Sifat
Dzari‟ah itu tidak pasti. Bisa halal, haram, wajib, sunnah, maupun makruh.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Setelah membuat makalah tentang Sumber-Sumber Hukum Islam yang Masih


diperselisihkan, di dapatkan sebuah kesimpulan bahwasanya, alasan sumber hukum islam
tersebut diperselisihkan karena ada beberapa ulama atau mazhab yang hanya meyakini
sumberhukum dari Al-Qur‟an maupun Hadist.

2. Saran
Diharapkan kita dapat mengambil atau mempelajari hal-hal positif yang didapat dari
membaca makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-1169-tentang-istihsan-dan-
pengertiannya.html

2. https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/maslahah-mursalah-dalam-
kedudukannya-sebagai-sumber-hukum-islam

3. https://id.wikipedia.org/wiki/Urf

4. https://kumparan.com/berita-hari-ini/istishab-pengertian-macam-macam-
dan-contoh-penerapannya-1vQF4lmX2EK

5. https://www.ahdabina.com/saddu-dzariah-pengertian-contoh-macam-
macam-kedudukan/

Anda mungkin juga menyukai