Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Sumber Hukum Dalam Fiqih


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Hayati Pashiha Lubis, Lc. M. A

Disusun Oleh :

Anita Saputri (2231710015)

Sri Wahyuni (2231710004)

Haya Ardi Nur Rohmmati (2231710005)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat


dan hidayah-Nya dan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul "Sumber Hukum Dalam Fiqih" ini tepat pada waktunya.
Tidak lupa shalawat serta salam Kami Haturkan pada Junjungan kita nabi
Muhammad SAW. Semoga syafaat nya mengalir pada kita di hari akhir
kelak.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk


memenuhi tugas dosen Hayati Pashiha Lubis, Lc, M. A pada mata kuliah
Ushul Fiqih. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Sumber Hukum Dalam Fiqih bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu dosen Hayati Pashiha


Lubis, Lc. M. A selaku dosen mata kuliah Ulumul Hadis yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang


telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Senin, 20 Maret 2023

Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah telah menetapkan hukum dari segala sesuatu dalam Al-
Qur'an dan As-Sunnah. Para ahli ushul fiqih kemudian menggali pokok-
pokok pemahaman dari teks-teks yang ada pada keduanya. Dengan
memanfaatkan jerih payah para ahli ushul fiqih tersebut, para ahli fiqih
kemudian menjelaskan hukum dari segala sesuatu. Penjelasan-penjelasan
tersebut tertuang dalam Fiqih Islam. Jadi dengan mempelajari Fiqih Islam,
kita akan mengetahui hukum dari segala sesuatu. sehingga kita bisa
menjalani kehidupan sesuai dengan hukum-hukum tersebut. Dengan
menjalani kehidupan sesuai dengan hukum-hukum Allah tersebut, kita
akan selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat.

Kata-kata “Sumber Hukum Islam” merupakan terjemahan dari


lafazh Masadir al- ahkam. Kata-kata tersebut ditemukan dalam kitab-kitab
hukum islam yang ditulis oleh ulama fikih dan ushul fikih. Untuk
menjelaskan arti sumber hukum islam, mereka menggunakan al-adillah al-
Syariyyah. Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil yang diambil
(diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum.

Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada


empat sumber. Mengenai hal ini, para ulama ahlussunnah bersepakat
bahwa, dalil-dalil syar'I yang menjadi dasar dan diakui sebagai dalil dari
agama islam adalah al- qur'an, hadist, ijma dan qiyas serta sumber lainnya
yang dipakai oleh sebagian ulama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Sumber Hukum Islam?

2. Apa Saja Sumber Hukum Utama dalam Fiqih?

3. Apa Saja Sumber Hukum Turunannya?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Untuk Mengetahui Pengerian Sumber Hukum Islam.
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Sumber Hukum Dalam Fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Hukum Islam


Definisi sumber menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
asal sesuatu. Sumber Hukum Islam adalah asal tempat pengambilan
hukum Islam. Dalam kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam
sering diartikan dengan dalil hukum islam atau pokok hukum Islam atau
dasar hukum Islam.

Sumber hukum yang telah disepakati oleh para ulama fiqih adalah
Alquran dan al-Sunnah. Sedangkan yang lainnya; Ijma, Qiyas, Ishtishhab,
Istihsan, mashlahah mursalah, Saddu zdara'i, Urf, istihsan, hukum bagi
umat sebelum kita, mazdhab shahabi, ada yang menggunakan dan adapula
yang tidak menggunakan. Bila diurut, maka sumber hukum itu urutannya
sebagai berikut: Alquran, Al-Sunnah, dan Ijtihad yang meliputi, Al-Ijma,
al-Qiyas, Al-Ishtishhab, al- mashlahah Mursalah, Saddu zdara'i, Istihsan,
Uruf, Syar'un man Qablana, Mazdhab shahabi.

B. Sumber Hukum Utama Dalam Fiqih

1. Al quran

Menurut sebagian besar ulama, kata Alquran dalam perspektif etimologis


merupakan bentuk mashdar dari kata qara'a, yang bisa dimasukkan pada
wazan fulan, yang berarti bacaan atau apa yang 48 tertulis padanya.
Sebagai contoh ialah firman Allah swt. dalam QS Al-Qiyamah 17-18:

‫ِإنَّا َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ وفرنانة (القيامة‬

Dari aspek bahasa, lafaz qur'an memiliki arti "mengumpulkan dan


menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu
ucapan yang tersusun rapih". Sedangkan menurut Ali bin Muhammad Al-
Jurjani, pengertian Alquran secara ialah:
‫ف ْال َم ْنقُوْ ِل َع ْنهُ نَ ْقالً ُمتَ َواتِ َرابِاًل ُشبهة‬ َ ‫ْالقُرْ آنُ هُ َو ْال ُمنَ َّز ُل َعلَى ال َّرسُوْ ِل ْال َم ْكتُوب َعلَى ْال َم‬
ِ ‫صا ِح‬

Artinya: Alquran ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan
jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.

A. Hukum-hukum yang terkandung di dalam Alquran ada 3 macam, yaitu:

Pertama; hukum-hukum i'tiqadiyah, yakni, hukum-hukum yang berkaitan


dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-
malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.

Kedua; hukum-hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan


kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan
menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.

Ketiga; hukum-hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan perkataan,


perbuatan, akad dan muamalah (interaksi) antar sesama manusia. Kategori
yang ketiga inilah yang disebut fiqh Alquran dan itulah yang hendak dicapai
oleh Ilmu ushul fiqh.

B. Hukum-hukum amaliah di dalam Alquran itu terdiri atas dua macam,


yakni:

1) Hukum ibadat; seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya.
Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan
hamba dengan Tuhan.

2) Hukum-hukum muamalat; seperti segala macam hokum perikatan,


transaksi-transaksi kebendaan, jinayat dan 'uqubat (hukum pidana dan
sanksi-sanksinya). Hukum-hukum muamalah ini diciptakan dengan tujuan
untuk mengatur hubungan antar sesama manusia, baik sebagai
perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Hukum-hukum selain
ibadat menurut syarak disebut dengan hukum mu'amalat.1

2. Sunnah
Pengertian Sunah secara etimologis adalah jalan yang biasa dilalui
atau suatu cara yang selalu dilakukan, tanpa mempermasalahkan apakah
jalan atau cara tersebut baik atau buruk. Sunah atau al-hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa qaul (ucapan), fi'il
(perbuatan) maupun taqrir (persetujuan) Nabi saw. Berdasarkan tiga ruang
lingkup Sunah yang disandarkan kepada Rasulullah saw. Sunnah
merupakan sumber syariat Islam setelah Al Quran. Sunnah berfungsi
merinci garis besar Al Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang
muthlak, dan memberikan penjelasan hukum. Sunnah juga merupakan
sumber hukum independent (mustaqil) yang tidak ada hukumnya dalam Al
Quran seperti warisan untuk nenek yang dalam sunnah disebutkan
mendapatkan warisan 1/6 dari harta warisan.

Seorang ahli fiqih akan mencari dalil terlebih dahulu dari Al Quran
kemudian dari Sunnah. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw
bertanya kepada Muadz bin Jabal: Bagaimana kamu memutuskan masalah
yang kamu hadapi? Muadz: Saya memutuskan dengan kitab Allah.
Rasulullah: Bagaimana jika kamu tidak menemukan di dalamnya? Muadz;
Dengan Sunnah Rasulullah,” Kepada hakim Syuraih, Umar bin Khattab
mengirim surat kepadanya yang berisi, “Hendaklah kamu memutuskan
dengan kitab Allah, jika tidak menemukan maka dengan Sunnah
Rasulullah saw.”

Sunah dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

1) Sunah qauliyah; ialah sabda Nabi yang disampaikan dalam beraneka


tujuan dan kejadian. Misalnya sabda Nabi sebagai berikut:

ِ ‫ض َر َر َو اَل‬
‫ض َرا َر‬ َ ‫اَل‬
1
Moh. Bahrudin,”Ilmu Ushul Fiqh”, (Lampung: Anugrah Utama Raharja, 2019), Hal. 28-30
Hadis di atas termasuk Sunah qauliyah yang bertujuan memberikan sugesti
kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya
sendiri dan orang lain.

2) Sunah filiyah; ialah segala tindakan Rasulullah saw..Sebagai contoh


adalah tindakan beliau melaksanakan shalat 5 (lima) waktu sehari semalam
dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya,
menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.

3) Sunah taqririyah; ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik


di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh
Rasulullah saw..atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik.
Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh
sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh
beliau sendiri.2

Adapun secara terminologi, pengertian Sunah dapat dilihat dari


tiga disiplin ilmu sebagai berikut:

1) Ilmu hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunah dengan hadis, yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik
perkataan, perbuatan sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan
oleh beliau sendiri.

2) Ilmu ushul fiqh, menurut ulama ahli ushul fiqh sunah adalah segala
yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw., berupa perbuatan,
perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.

3) Ilmu fiqh, pengertian sunah menurut para ulama fiqh hampir sama
dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh. Akan
tetapi, istilah sunah dalam fiqh juga dimaksudkan sebagai salah satu
hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala
bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.

2
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahaman, “Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami” (Bandung:
al-Ma’arif, 1986), hlm. 39
3. Ijma'
Ijma' menurut bahasa ialah "sepakat atas sesuatu". Sedangkan
menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah

‫ُور بَ ْع َد َوفَا ٍة ْال ُم ْسلِ ِمينَالرسول عن الحكم شرعي في‬


ِ ‫العالي جميع المجتهدين من المسلمين في غَصْ ٍر ِمنَ ْال ُعص‬
‫واقعة‬

Artinya: "Kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa tertentu


setelah wafat Rasulullah saw. atas suatu hukum syara' pada peristiwa yang
terjadi."

Ijma’ adalah kesepakatan para ahli fiqih dalam sebuah periode tentang
suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama.
Baik kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqih dari sahabat setelah
Rasulullah SAW wafat atau oleh para ahli fiqih dari generasi sesudah mereka.
Contohnya ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari
semalam dan semua rukun Islam. Ijma’ merupakan sumber hukum dalam
syariat setelah sunnah.

Menurut Imam Ibnu Taimiyah Ijma adalah, “Kesepakatan seluruh ulama


Islam terhadap suatu masalah dalam satu waktu. Apabila telah terjadi ijma’
seluruh mujtahidin terhadap suatu hukum, maka tidak boleh bagi seseorang
menyelisihi ijma’ trsebut, karena umat (para mujtahidin) tidak mungkin
bersepakat terhadap kesesatan.

Tolak pangkal perumusannya didasarkan kepada dalil-dalil yang terdapat


dalam al-Quran dan Sunnah (hadits sahih). Apabila telah terdapat ijma' maka
harus ditaati, karena hukum baru itu merupakan perkembangan hukum yang
sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Perumusannya tidak
menyimpang dari dalil-dalil al-Quran dan Hadits sahih, karena ijmak bukan
merupakan aturan hukum yang berdiri sendiri.

Terdapat rukun yang harus dipenuhi untuk mencapai sebuah ketetapan


atau kesepakatan hukum (ijmak), di antaranya:
a. Adanya beberapa pendapat yang menjadi satu pada satu masa tertentu.

b. Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas


suatu hukum syara' mengenai suatu peristiwa hukum pada waktu terjadinya,
tanpa memandang tempat, kebangsaan, dan kelompok mereka.

c. Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perbuatan mapun perkataan.

d. Kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu benar-benar terealisir, jika


hanya sebagian mujtahid, maka tidak akan terdapat ijmak.

1) Ditinjau dari segi cara menghasilkan, terdapat dua macam ijmak, yaitu:

a. Al-ijma' as-sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas
hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara
jelas, baik dengan perkataan ataupun dengan tulisan atau juga dengan
perbuatan.

b. Al-ijma'as-sukuti, yaitu jika sebagian mujtahid berdiam diri tidak berterus


terang mengeluarkan pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan
atau malu, tapi betul-betul mereka berdiam diri tidak memberikan pendapat
sama sekali terhadap mujtahid lain, baik ia menyetujuinya ataupun
menolaknya.

2) Ditinjau dari segi kekuatannya, ada dua macam ijma':

a. Ijma' qat'i dalâlah-nya atas hukum, yaitu ijma' sharih.

b. Ijma' dzanniy dalâlah-nya atas hukum, yaitu ijma' sukuti.

Kedudukan ijma' sharth lebih kuat daripada ijma' sukuti, karena keadaan
diam seorang ulama terhadap pendapat hukum baru dari ulama lain belum
tentu berarti setuju. Ijma' termasuk sumber hukum Islam selain al-Quran dan
Sunah, serta terdapat dalil dalam al-Quran surat an-Nisa: 59 yang
menyebutkan bahwa:
  ِ
‫اللّواَط ۡيـعُوا ال َّرس ُۡول واُولى ااۡل َمۡ ر م ۡن ُك ۚمۡ‌ فَا ۡن تَنَاز َۡعتُمۡ ف ۡى َش ۡى ٍء فَ ُر ُّد ۡوه الَى هّٰللا‬
ِ ُ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ
ٰ
ِ َ ‫ٰيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡۤوا اَ ِط ۡيـعُوا‬
ۤ

‫خَي ٌر َّواَ ۡح َسنُ ت َۡا ِو ۡي ًل‬


ۡ ‫ك‬ َ ‫َوال َّرس ُۡو ِل اِ ۡن ُك ۡنـتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُ ۡونَ بِاهّٰلل ِ َو ۡاليَ ۡـو ِم ااۡل ٰ ِخ ِ‌ر ؕ ٰذ ِل‬

Artinya: " Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama bagimu dan lebih baik akibatnya".3

4. Qiyas

Secara etimologis kata “qiyas” berarti ‫قــدر‬, artinya mengukur,


membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya, misalnya dalam bahasa
arab ada ungkapan:

‫قست الثوب بالذراع‬ 


Artinya: “saya mengukur pakaian itu dengan hasta”.

Sementara pengertian qiyas menurut istilah hukum (terminology)


terdapat beberapa definisi yang berbeda yang saling berdekatan artinya
namun apabila diperhatikan unsur-unsur pokok di dalam qiyas
yaitu: ashal, cabang, hukum ashal dan illat. Imam Syafi’i mengatakan
tentang qiyas sebagai berikut:

‫وكل ما نزل بمسلم ففيه حكم الزم وعليه اذا كان فيه بعينه اتباعه واذا لم يكن فيه بعينهـ يطلب‬
‫الداللة على سبيل الحق باالجتهاد واالجتحاد هو القياس‬

Sumber hukum Islam terakhir yang disepakati adalah Qiyas. Qiyas


digunakan dan diterapkan ketika subjek tidak memiliki hukum dalam
Qur’an, Hadits dan Ijma. Kemudian gunakan Qiyas dengan

3
Rohidin,"Pengantar Hukum Islam",(Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books,2016), hal. 116-118
membandingkan dua kejadian atau lebih. Penalaran analog atau penalaran
analog dilakukan dengan menggunakan persamaan ini. Qiyas adalah
menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara (yang sudah
ada ketetapan hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua perkara ini
ada kesamaan illat (pemicu hukum).

Menurut ulama ushul qiyas adalah, “Memberlakukan suatu hukum


yang sudah ada nashnya kepada hukum yang tidak ada nashnya
berdasarkan kesamaan illat. Contoh, qiyas terkait dengan penentuan halal
dan haramnya suatu minuman. Mungkin dulu tidak ada narkoba atau
apapun, sekarang banyak minuman yang memabukkan. Jika sebelumnya
minuman yang memabukkan adalah khamr, sekarang bentuk khamr
mungkin telah berubah bentuk, rasa, akibat yang ditimbulkannya dan
namanya. Apabila kita masih mempertahankan khamar sebagai minuman
yang terlarang, maka tidak mungkin minuman dan obat-obatan terlarang
dianggap sama. Oleh karena itu, qiyas diciptakan untuk menyegarkan dan
memastikan agar tetap konsisten dengan tiga sumber hukum Islam yang
telah disebutkan sebelumnya.

Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan


pengaruh dalam pengambilan hukum yang dilakukan oleh para ulama
fiqih. Ijma’ disyaratkan harus disepakati semua ulama di suatu waktu dan
tempat tertentu. Sementara Qiyas tidak disyaratkan kesepakatan ulama
fiqih. Masing-masing ulama memiliki kebebasan untuk melakukan Qiyas
dengan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh para ulama.

Kenapa harus ada Qiyas? Sebab didalam Al Quran dan Sunnah


sangat terbatas, artinya tidak keseluruhan masalah disebutkan hukumnya
satu persatu. Sementara kejadian-kejadian yang membutuhkan kepastian
hukum syariat dalam kehidupan manusia sangat banyak dan setiap hari
muncul kejadian-kejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu
diperlukan ijtihad dari para ulama fiqih. Salah satu metode ijtihad tersebut
disebut dengan Qiyas. Hukum-hukum jual beli misalnya, Al Quran dan
Sunnah menyebutkan lebih banyak dibanding dengan soal sewa menyewa.
Maka para ahli fiqh kemudian melakukan Qiyas pada hukum-hukum
sewa-menyewa dengan hukum-hukum dalam masalah jual beli karena
kedua masalah ini memiliki kesamaan dari sisi keduanya adalah transaksi
jual beli barang dan jasa.

C. Sumber-Sumber Turunan
1. Masalih Mursalah
Atau dikenal juga Istislah. Yang artinya mengambil hukum suatu
masalah berdasarkan kemasalahatan (kebaikan) umum. Yaitu
kemasalahatan yang oleh syariat tidak ditetapkan atau ditiadakan. Masuk
dalam masalah adalah menghindarkan kerusakan baik terhadap individu
atau masyarakat dalam banyak bidang.

Menurut sebagian ulama Mashlahatul Mursalah adalah,


memelihara maksud Syara’ dengan jalan menolak segala yang merusakan
makhluk. Contohnya, menaiki bis atau pesawat ketika melaksanakan
ibadah haji walau itu tidak ada di zaman Rasulallah tetapi boleh dilakukan
demi kemashlahatan umat. Contoh lain, mendirikan sekolah, madrasah
untuk menuntut ilmu, tegasnya melakukan hal-hal yang berhubungan
dengan agama walau tidak ada di zaman Nabi boleh kita lakukan demi
kemashlahatn umat yang merupakan tujuan di syaria’atkannya agama.

2. Istidlal
Menurut Ibnu Hazm istidlal adalah, Mencari dalil dari ketetapan-
ketetapan akal dan natijah-natijah (kesimpulan) atau dari seorang yang lain
yang mengetahuinya.

Menurut ulama lain, Istidlal adalah, Pertalian antara dua hukum


tanpa menentukan illat (sebabnya). Misalnya, menentukan batalnya shalat
kalau tidak menutup aurat, karena menutup aurat merupakan syarat sahnya
shalat. Contoh lain, haramnya menjual daging babi karena termasuk
membantu dalam kedurhakaan.

3. Istishab

Istishhab adalah, menetapkan hukum yang berlaku sekarang atau


yang akan datang berdasarkan ketetapan hukum sebelumnya karena tidak
ada yang merubahnya.

Misalnya, seseorang telah berwudlu, setelah beberapa saat ia ragu-


ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ketetapan hukum sebelumnya
yaitu sudah berwudlu bisa dijadikan dalil bahwa ia masih punya wudlu

4. Saddu Dzari’ah

Saddu Dzari’ah adalah, mencegah sesuatu yang menjadi jalan


kerusakan untuk menolak kerusakan atau menyumbat jalan yang
menyampaikan seseorang kepada kerusakan. Contoh, diharamkan
menanam ganja untuk menutup kerusakan yang akan ditimbulkannya,
yaitu orang-orang menggunakannya untuk memabukkan. Contoh lain,
membuat diskotik karena biasanya sebagai tempat maksiat dan berbuat
dosa.

5. Istihsan

Istihsan adalah berpindah dari suatu hukum dalam pandangannya


kepada hukum yang berlawanan karena ada suatu yang dianggap lebih
kuat, dengan pertimbangan hukum yang baru lebih baik karena kondisi
dengan tanpa mengubah hukum asalnya, jika kondisi normal. Contohnya,
orang yang mencuri di musim kelaparan tidak dipotong tangannya karena
dimungkinkan ia mencurinya karena terpaksa.

6. ‘Urf

‘Urf atau kebiasaan adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan


kaum muslimin, misalnya jual beli yang harusnya pakai ijab qobul, pada
suatu kondisi tidak apa-apa jika kebiasaan masyarakat disana
tidak melakukannya.

7. Syar’un Man Qoblana

Syar’un Man Qoblana adalah syariat umat sebelum nabi


Muhammad diutus, namun syariat Muhammad tidak menghapusnya
dengan jelas. Selama tidak nash Al Quran dan hadis yang menjelaskan
bahwa syariat itu tidak dihapus maka ia termasuk syariat kita.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Definisi sumber menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah asal sesuatu.
Sumber Hukum Islam adalah asal tempat pengambilan hukum Islam. Dalam
kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam sering diartikan dengan dalil
hukum islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam.

2. Sumber hukum utama dalam fikih ada empat yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’,
dan Qiyas

3. Sumber turunannya ada tujuh, yaitu Masalih mursalah, Istidlal, Istishab, Saddu
dzari’ah, Istihsan, ‘Urf, dan Syar’u man qoblana.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Masih banyak kekuranagn
dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca
sekalian untuk perbaikan dan evaluasi dari apa yang kami dapat sampaikan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai