Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI

SUMBER HUKUM DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5

1. BUNGA FEBRIANA AMRI


2. KEZIA FAMIA AMANY
3. NADIYAH RACHMAN
4. PANDU BAHRI
5. RAMDAN SAVERO
6. TIRTA JULTIDRA

GURU PEMBIMBING
1. SYAFRIYANTI, S. Pd.I, M.Pd
2. NANDA RIADI

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 SITIUNG

KABUPATEN DHARMASRAYA

1444 H/2022 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah agama islam dan budi pekerti ini,
dengan berjudul kan “Sumber Hukum Dalam Islam”

Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan makalah ini.

Makalah ini tentu jauh dari kata sempurna, tapi kami tentunya bertujuan untuk menjelaskan
atau memaparkan point-point di makalah ini, sesuai dengan pengetahuan yang kami peroleh,
baik dari buku maupun sumber-sumber lainnya. Semoga semuanya memberikan manfaat bagi
kita semua.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada :

1. Guru yang telah memberikan kami tugas, dan juga kepada


2. Anggota kelompok, yaitu : Bunga, Kezia, Nada, Pandu, Vero, Tirta, dan semua teman-teman
yang telah membantu kami sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Dharmasraya, 31 Juli 2022

Kelompok 5
DAFTAR ISI

1. KATA PENGANTAR……………………………………………...i
2. DAFTAR ISI……………………………………………………. ..ii
3. BAB I PENDAHULUAN………………………………………….1
A. LATAR BELAKANG……………………………………..1
B. RUMUSAN MASALAH………………………………….1
4. BAB II PEMBAHASAN…………………………………………..2
A. PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM……………..2
B. HUKUM DALAM AL-QUR’AN…………………………2
C. HUKUM DALAM HADIST………………………………4
D. HUKUM DALAM IJTIHAD………………………………8
5. BAB III PENUTUPAN……………………………………………12
A. KESIMPULAN……………………………………………12
B. SARAN…………………………………………………….12
6. DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
a. Al-Quran
Secara istilah Al-Quran adalah kalamullah yang diturun kan kepada nabi
Muhammad, tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita
dengan jalan mutawatir, bila membaca nya mengandung nilai ibadah, dimulai
dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
b. Hadist
Hadist adalah salah satu sumber hukum dalam islam. Dalam hukum islam,
Hadist adalah pedoman yang berposisi setelah Al-Quran. Hadist adalah hukum yang
berkaitan dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW. Hadist merupakan
penyempurna umat dalam memaknai ajaran agama.
c. Ijtihad
Secara kamus bahasa Arab Ijtihad berasal dari kata Jahada yang artinya
bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Secara
terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan
dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalil nya yang
terperinci baik dalam Al-Quran maupun Sunnah.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah pengertian sumber hukum islam?

2. Apa saja hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an?

3. Apa saja hukum-hukum yang terkandung dalam Hadist?

4. Apa saja hukum-hukum yang terkandung dalam Ijtihad?


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia sumber adalah asal sesuatu. Pada
hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat
menemukan atau menggali hukumnya. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat
pengambilan) hukum Islam. Sumber hukum Islam disebut juga dengan istilah dalil
hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam.
Kata ‘sumber’ dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan
sunah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum
syara’ tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ‘ijma dan qiyas karena
keduanya bukanlah wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma dan qiyas itu,
keduanya adalah cara dalam menemukan hukum.
Kata ‘dalil’ dapat digunakan untuk Al-Qur‟an dan sunah, juga dapat
digunakan untuk ijma dan qiyas, karena memang semuanya menuntun kepada
penemuan hukum Allah. Berikut pembahasan sumber utama hukum, yaitu:

1. Al-Quran
Kata Al-Quran dalam kamus bahasa Arab berasal dari kata Qara'a artinya
membaca. Bentuk mashdarnya artinya bacaan dan apa yang tertulis padanya.
Sepert tertuang dalam ayat Al-Qur'an: Secara istilah Al-Qur'an adalah
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam mushhaf
berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, bila
membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat An-Nas.
Al-Qur'an adalah (Kalamullah) yang diturunkan kepada Rasulullah
tertulis dalam mushhaf, ditukil dari Rasulullah secara mutawatir dengan tidak
diragukan. Adapun hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an,
meliputi:
1. Hukum-hukum I’tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan
keimanan kepada Allah swt, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab,
para Rasul Allah dan kepada hari akhirat..
2. Hukum-hukum khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan
akhlak manusia.
3. Hukum-hukum amaliyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan
perbuatan manusia. Hukum amaliyah ini ada dua; mengenai Ibadah
dan mengenai muamalah dalam arti yang luas. Hukum dalam
Alqur'an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang. al-Ahwal
al-Syakhsyiyah/ihwal perorangan atau keluarga, disebut lebih
terperinci dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lainnya.
Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān ke
dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a) Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di
dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib
yang terangkum dalam rukun iman (arkānu mān), yaitu iman kepada
Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar
Allah Swt.
b) Syari’ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang
berhubungan langsung dengan al-Khāliq (Pencipta), yaitu Allah Swt.
yang disebut ‘ibadah maḥḍah, maupun yang berhubungan dengan
sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu maḥḍah. Ilmu
yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.
1) Hukum Ibadah
Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan
ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung
perintah untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa, dan lain
sebagainya.
2) Hukum Mu’amalah
Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dan sesamanya,
seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum
perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.

c) Akhlak atau Budi Pekerti


Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-
Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān
menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau
berperilaku, baik berakhlak kepada Allah Swt., kepada sesama
manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt. yang lain.
Pendeknya, berakhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara
manusia dengan Allah Swt. hubungan antara manusia
dan manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum
ini tecermin dalam konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai
dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.
2. HADIST

“Hadis” atau al-hadits menurut bahasa, berarti al-jadid (sesuatu yang


baru), lawan kata dari al-qadim. Kata hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu
sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Bentuk pluralnya adalah al-ahadits.
Hadis sebagaimana tinjauan Abdul Baqa’ adalah isim dari tahdith yang
berarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau
penetapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Barangkali al-Farra’ telah
memahami arti ini ketika berpendapat bahwa mufrad kata ahadits adalah
uhdutsah (buah pembicaraan). Lalu kata ahadith itu dijadikan jama’ dari kata
hadith.
Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadis
lalu mereka menggunakannya sebagai lawan kata qadim (lama), dengan
memaksudkan qadim sebagai kitab Allah, sedangkan “yang baru” ialah apa yang
disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam Sharah al-Bukhari, Syeikh Islam Ibnu
Hajar berkata, bahwa dimaksud dengan hadits menurut pengertian shara’ adalah
apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, dan hal itu seakan-akan dimaksudkan
sebagai bandingan Alquran yang qadim.
Adapun secara terminologis, menurut ulama hadis sendiri ada beberapa
perbedaan definisi yang agak berbeda diantara mereka. Perbedaan tersebut ialah
tentang hal ihwal atau sifat Rasul sebagai hadis dan ada yang mengatakan bukan
hadis. Ada yang menyebutkan taqrir Rasul secara eksplisit sebagai bagian dari
bentuk-bentuk hadis dan ada yang memasukkannya secara implisit ke dalam
aqwal atau af’al-nya.
Ulama ushul memberikan definisi yang terbatas, yaitu “Segala perkataan
Nabi SAW yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum shara’.” Dari
pengertian di atas bahwa segala perkataan atau aqwal Nabi, yang tidak ada
relevansinya dengan hukum atau tidak mengandung misi kerasulannya, seperti
tentang cara berpakaian, berbicara, tidur, makan, minum, atau segala yang
menyangkut hal ihwal Nabi, tidak termasuk hadis. Ulama Ahli Hadis memberi
definisi yang saling berbeda.
Perbedaan tersebut mengakibatkan dua macam ta’rif hadis. Pertama, ta’rif
hadis yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhur al-muhaddisin,
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.” Ta’rif ini mengandung
empat macam unsur, yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau
keadaan-keadaan Nabi Muhammad SAW yang lain, yang semuanya hanya
disandarkan kepadanya saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada
sahabat dan tabi’i
Dari beberapa pengertian di atas, baik dari ulama ushul maupun dari ulama
hadis, dapat ditarik benang merah bahwa hadis adalah sesuatu yang disandarkan
pada Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabiin yang dapat dijadikan hukum
syara’. Maka pemikir kontemporer membagi hadis menjadi dua, yaitu hadis
tasyri’ dan hadis ghair tasyri.
Bagian-bagian hadis antara lain sebagai berikut.
a. Sanad, yaitu sekelompok orang atau
seseorang yang menyampaikan
hadis dari Rasulullah saw. sampai
kepada kita sekarang ini.
b. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.
c. Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.

Macam-Macam Hadis
Ditinjau dari segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti
berikut:
a. Hadis Mutawattir
Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik
dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara
mereka tidak bersepakat dusta.
b. Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau
lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir, namun setelah itu tersebar dan
diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’³n sehingga tidak mungkin bersepakat
dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya, “Orang Islam adalah
orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.”
(H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi)
c. Hadis Aĥad
Hadis aḥad adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau
dua orang perawi, sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat
dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke
dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

1) Hadis Śaḥiḥ adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada
Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan
riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai
sumber hukum dalam beribadah (hujjah).

2) Hadis Ḥasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat,
dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis śaḥiḥ, hadis ini dijadikan
sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.

3) Hadis da’īf, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śaḥīiḥ
dan hadis Ḥasan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai
motivasi dalam beribadah.

4) Hadis Maudu’, yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah


saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan
hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum.

Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān


Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas
menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’ān kepada
umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan)
serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān.
Fungsi hadis terhadap al-Qur’ān dapat dikelompokkan menjadi empat
yaitu sebagai berikut:

a. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang masih bersifat umum


Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang memerintahkan śalat.
Perintah śalat dalam al-Qur’ān masih bersifat umum sehingga
diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang śalat, baik
tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya.
b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān
“Barang siapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!”
Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi,
“... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena
melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim)

c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-Qur’ān


“Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik
harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)

d. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān


“Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang
seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang
perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan
dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)

3. IJTIHAD

Secara kamus bahasa arab ijtihad berasal dari kata jahada yang artinya
bersunggung-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Secara
terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan
kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari
dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Al-Quran maupun Sunnah.

Dalam hubungannya dalam hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang
sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada, yang
dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan
garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al Qur‟an
dan Sunnkah Rasulullah
Urgensi upaya ijtihad sendiri dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yang
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Fungsi al-rūju’ atau āl-i’adah (kembali), yakni mengembalikan ajaran


islam kepada sumber pokok, yakni al-quran dan sunnah shalihah dari
segala interprestasi yang dimungkinkan kurang relavan.
2. Fungsi al-Ihya‟(Kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian
dari nilai dan semngat ajaran islam agar mampu menjawab dan
menghadapi tantangan zaman, sehingga islam mampu sebagai furqon,
hudan, dan rahmatan lil‟alamin.
3. Fungsi āl-Inabah (Pembenahan), yaitu membenahi ajaran-ajaran islam
yang telah di ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya
kesalahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang kini kita
hadapi.

Pada umumnya, syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh para ulama usul
fikih berfokus pada empat hal, yaitu:
a) Memiliki pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya. Hal itu
harus ditunjang oleh pengkajian dan penelaahan seluk-beluk
kesusasteraan Arab baik yang berbentu prosa maupun puisi.
b) Mengetahui nas-nas Al-quran perihal hukum-hukum syarat yang
dikandungnya, ayat-ayat hukumnya, dan cara meng-istinbaṭh-kan
hukum darinya. Mujtahid juga harus mengetahui asbāb al-nuzūl, nasikh
wa al-mansukh, serta tafsir dan takwil dari ayat-ayat yang di-istinbaṭ-
kan.
c) Mengetahui nas-nas hadis. Mujtahid harus mengetahui hukum syariat
yang didatangkan oleh hadis dan mampu mengeluarkan hukum mukalaf
darinya. Di samping itu, ia juga dituntut mengetahui derajat dan nilai
hadis.
d) Mengetahui maqāshid al-syari’ah, tingkah laku dan adat kebiasaan
manusia yang mengandung maslahat dan madarat, serta ‘illat hukum dan
dapat menganalogikan peristiwa dengan peristiwa yang lain. Dalam
kitab Uṣūl al-fiqh, Muḥammad Abu Zahrah mengajukan delapan syarat,
yaitu:
1) Mengetahui bahasa Arab,
2) Mengetahui ilmu Alquran; nasikh dan mansūkh-nya,
3) Mengetahui dengan baik sunnah,
4) Mengetahui posisi-posisi ijmak dan kontroversialitas,
5) Mengetahui analogi (al-qiyas),
6) Mengetahui maqaṣid al-aḥkam,
7) Memiliki pemahaman dan pandangan yang sehat, dan
8) Memiliki niat yang niat dan iktikad yang bersih dan lurus.
Muhammad Musa Tawana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad
mengelompokkan syarat-syarat mujtahid ke dalam beberapa bagian berikut:
a) Persyaratan umum (al-syuruṭ al-ammah), yang meliputi: baligh, berakal
sehat, kuat daya nalarnya, dan beriman atau mukmin.
b) Persyaratan pokok (al-syuruṭ al-asasiyyah), yaitu syarat-syarat mendasar
yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut: mengetahui
Qur‟an, memahami sunnah, memahami maksud-maksud hukum syariat,
dan mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al- kulliyat) hukum
Islam.
c) Persyaratan penting (al-syuruṭ al-hammah). Syarat-syarat ini mencakup:
menguasai bahasa Arab, mengetahui ilmu uṣul al-fiqh, mengetahui ilmu
mantik atau logika, dan mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah
al-aṣliyyah).
d) Persyaratan pelengkap (al-syūruṭ al-takmiliyyah) yang mencakup:tidak
ada dalil qaṭ’iy bagi masalah yang di ijtihadi, mengetahui tempat-tempat
khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan memelihara kesalehan dan
ketakwaan diri.

Bentuk-Bentuk Ijtihād
Ijtihād sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah
hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
a) Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam memutuskan
suatu perkara atau hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah
kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk
lembaranlembaran terpisah menjadi sebuah mus¥af al-Qur’ān yang seperti
kita saksikan sekarang ini.
b) Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang
tidak terdapat dalam al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah
terdapathukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis karena kesamaan sifat atau
karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras
selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba
karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr,yaitu
memabukkan. Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan, sebagaimana firman
Allah Swt yang Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan
mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu
beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)
c) Maślaĥah Mursalah
Maślaḥah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan
pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal
terhadap syari’at Islam.
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sumber hukum islam bertindak sebagai pedoman hidup yang harus dipatuhi,
juga membantu umat islam memahami bagaimana mereka harus menjalani aspek
kehidupan sesuai dengan perintah Allah SWT.

B. SARAN
Hukum dalam islam hendaknya dipatuhi oleh seluruh umat islam. Ini karena
semua tindakan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam agama islam.
Dengan mengetahui hukum islam, maka hidup yang kita jalani akan lebih
bermanfaat.

Hendaknya kita selalu mengkonfirmasi segala persoalan yang dihadapi dengan


merujuk kepada al-Qur’ān dan hadis, baik dengan mempelajari sendiri atau
bertanya kepada yang ahli di bidangnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. https://sumberbelajar.seamolec.org/Media/Dokumen/596d76fe7f8b9a142fba
e076/1e1c0d88e76c5ea433fe3dcf151008d7.pdf
2. https://www.99.co/blog/indonesia/hukum-islam-yang-wajib-diketahui/
3. http://etheses.iainkediri.ac.id/977/2/933310611-bab1.pdf

Anda mungkin juga menyukai