Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SUMBER HUKUM ISLAM

Dosen Pembimbing:

Tohedi, M.Pd.I

Disusun Oleh :

 Kurnia Elka (132010101079)


 Kiky Martha Ariesaka (132010101080)
 Fauzi Bagus S (130903102025)
 Siti Nur Azizah (131710201005)
 Muhammad Huzin Abdillah (131510501172)
 Dio ( )
 Suliyanto ( )

UNIVERSITAS JEMBER
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa. Karena atas berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Sumber Hukum Islam” ini
dapat kami selesaikan. Selesainya karya tulis ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak,
kami berkenan untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua kami yang telah bamyak memberikan dorongan moral dan
material
2. Bapak Tohedi, M.Pd.I selaku Dosen Pendidikan Agama Islam
3. Teman-teman yang telah mendukung dalam penyelesain makalah ini
4. Semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini

Kami merasa dalam pembuatan karya tulis ini sangat jauh dari sempurna, sehingga
diharapkan saran dan kritik yang membangun untuk karya tulis ini. Dan semoga gagasan
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Jember, 2 Oktober 2013

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................................i

Kata Pengantar................................................................................................................ii

Daftar Isi.........................................................................................................................iii

PENDAHULUAN........................................................................................................... 1

Latar Belakang...........................................................................................................1

Rumusan Masalah......................................................................................................1

PEMBAHASAN.............................................................................................................2

Pengertian hokum dalam Islam..................................................................................2

Alquran......................................................................................................................2

Hadits.........................................................................................................................4

Ijma’...........................................................................................................................6

Qiyas..........................................................................................................................7

KESIMPULAN ..............................................................................................................11

Daftar Pustaka.................................................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal
pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap
seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa
mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik,
mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap
positif lainnya.

Pada dasarnya yang menjadi sumber norma dan hukum islam adalah kitab
suci Alqur’an dan sunah Rasulullah saw. Keduanya merupakan sumber  pokok
atau sumber utama. Akan tetapi kalau di rinci, sebetulnya selain dua sumber
tersebut, masih ada sumber lain yang berkedudukan sebagai sumber perlengkap
atau tambahan-tambahan atau penjelasan, yang disebut “Ijtihad” ini bentuk
bermacam-macam, seperti Ijma’ ra’yu, Qiyas, istihsan mashallah mursalah,
istihab, dan saddu-dzair’ah.

2. Batasan Masalah

2.1 Pengertian Hukum dalam islam


2.2 Al Quran
2.3 Hadits
2.4 Ijma’
2.5 Qiyas

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum
Para ahli ushul menta'rifkan hukum dengan : Perintah / firman Allah Swt
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan
( perintah dan larangan), atau pilihan (kebolehan ) atau wadh'i
(menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang bagi seseatu
hukum . Dari definisi di atas menunjukan, bahwa yang menetapkan hukum
itu adalah Allah Swt. Sumber hukum yang pertama dan paling utama
adalah wahyu Allah yaitu Al quran, kemudian sunnah Rasul sebagai
sumber hukum yang ke dua, dan sumber hukum yang selanjutnya adalah
ijma’ dan qiyas.

2. Al qur’an
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab
yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-
Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang
artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada
salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-
Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti
{amalkan} bacaannya”
Al-Qur'an tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur'an turun secara
berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi
masa turunnya ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan
periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini

2
tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai
sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun
pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Ilmu Al-Qur'an yang
membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa
ayat al-Qur'an diturunkan disebut Asbabun Nuzul
Para ulama dan semua umat sepakat menjadikan Alquran sebagai
sumber pertama dan utama bagi syariah Islam, termasuk dalam hukum
Islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum
harus terlebih dahulu mencari rujukan di dalam Alquran. Apabila tidak
ditemukan di dalam Alquran, barulah ia dibenarkan menggunakan dalil-
dalil lain.
Penerimaan ulama dan semua umat Islam menjadikan Alquran
sebagai sumber hukum pertama dilatarbelakangi sejumlah alasan, di
antaranya:

a. Alquran diakui berasal dari Allah yang diturunkan kepada Nabi


Muhammad saw. melalui perantaraan malaikat Jibril. Hal ini
menimbulkan keyakinan kuat kepada umat akan kebenaran
Alquran sebagai petunjuk yang diturunkan kepada manusia
sehingga pantas dijadikan sebagai sumber hukum syariah.
b. Informasi dari Alquran sendiri yang menjelaskan ia berasal dari
Allah, di antaranya Q.S., al-Nisa’/4: 105: “Sesungguhnya Kami
telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang karena (membela) orang-orang yang khianat.

c. Kemukjizatan Alquran sebagai bukti bahwa ia bukan berasal dari


buatan manusia, tetapi berasal dari Allah. Mukjizat berarti sesuatu
yang dapat melemahkan, sehingga manusia tidak dapat membuat
yang sama atau melebihi. Alquran adalah mukjizat Nabi
Muhammad saw. Bentuk kemukjizatan Alquran ini dapat diamati

3
dari keindahan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi ahli
bahasa mana pun.

Sebagai sumber utama ajaran Islam, Alquran mengandung berbagai


ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga bagian besar, yaitu
aqidah, akhlak, dan syariah

2. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan
sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Sebab ayat-ayat
alqur’an dalam menjelaskan hukum islam hanya secara global, dan yang
menjelaskan secara terperinci adalah hadis (as-sunnah)

Sebagai sumber hukum Islam yang kedua, fungsi hadits sebagai berikut:

a. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an,


sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum
untuk satu hal yang sama.
b. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an
yang masih bersifat umum.
c. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam
Al Qur’an.

Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

a. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang


adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan
tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit
yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits

b. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang


adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung

4
sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya.
Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah
untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
c. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih
syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak
macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama
lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih
atau hasan yang tidak dipenuhi

Cara penyusunan kitab-kitab hadits.


Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara
antara lain :
a. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-
hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush-
shalah,hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu
dalam babul-wudhu dan sebagainya. Cara ini terbagi dua macam :
I. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja,
seperti yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan Muslim.
II. Dengan tidak mengkhususkan hadits -hadits yang shahih
( asal tidak munkar), seperti yang ditempuh oleh Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan sebagainya.
b. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang
meriwayatkannya.
I. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.
II. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama
qabilah. Mereka dahulukan Banu Hasyim, kemudian
qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.
III. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan
kronologik masuknya Islam. Mereka didahulukan sahabat-
sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun kemudian

5
ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang
turut hijrah dan seterusnya.
IV. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi
berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat, dan af’alun
nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam
shahehnya.
c. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits,
seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam
Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir.

3. Ijma’
Kata Ijma secara bahasa berarti: kesepakatan atau consensus.
Hakikat Ijma', seperti ditegaskan Syaikhul-Islam rahimahullah, ialah
kesepakatan para ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma'
telah diputuskan secara permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi
siapapun keluar dari keputusan Ijma' tersebut, karena mustahil umat Islam
sepakat berada di atas kesesatan. Tetapi boleh jadi, banyak masalah yang
diklaim tetap berdasarkan Ijma' ternyata tidak demikian, bahkan pendapat
lain lebih kuat dari sisi Al-Qur`ân dan Sunnah
Ijma' merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber
hukum ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`ân dan Sunnah. Tidak terdapat
ketetapan Ijma' yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak
mungkin sepakat berada di atas kesesatan, apalagi generasi sahabat dan
tabi’in; maka Ijma' sebagai sumber hukum qath’i tidak tetap, kecuali
berdasarkan Al-Qur`ân, Sunnah yang shahih -terutama hadits-hadits
muttawatir-, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis;
sehingga mustahil Ijma' bertentangan dengan Al-Qur`ân dan Sunnah yang
shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis
Dengan memperhatiakn definisi ijma di atas maka dapat dikatakan bahwa
unsur-unsur ijma itu:

6
a. Terdapat beberapa orang mujtahid, karena kesepakatan baru bisa
terjadi apabila ada beberapa mujtahid.
b. Harus ada kesepakatan di antara mereka
c. Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan
perbuatannya, misalnya Qadhi dengan keputusannya, atau dengan
perkataannya, misalnya dengan fatwa.
d. Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidaklah
disebut ijma.

Syarat Mujtahid:

a. Memiliki pengetahuan sebagai berikut:


i. tentang Al Qur’an.
ii. tentang Sunnah.
iii. tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
b. Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
c. Menguasai ilmu bahasa

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas,


yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat).
Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-
Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan
mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami
maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan
menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya
atas maqasid al-Syariah

4. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang
tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara
membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan

7
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hokum.

Karena qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama


berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas
ini terbagi menjadi tiga kelompok:

a. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar


hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al
Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
b. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak
menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat
nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash
termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu
kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka
menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
c. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha
berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan
masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai
pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:

a. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya.


Disebut dengan al-maqis alaihi.
b. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash
hukumnya, disebut pula al-maqîs.
c. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash
dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum
untuk fara’.
d. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas
yang dibangun atasnya

Syarat-syarat Pokok

8
a. Hukum pokok itu masi ada atau berlaku/ tsabit, kalau tidak ada,
hukum tersebut harus dimansukh, maka tidak boleh ada
pemindahan hokum
b. ukum yang ada pada pokok harus hukum syara' bukan hukum akal
atau bahasa
c. Hukum Pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti tetap
dipandang sah puasanya orang yang lupa meskipun makan dan
minum, mestinya puasanya itu menjadi rusak, karena sesuatu tidak
bisa tetap ada bersama adanya penghalang. Namun tetap dipandang
sah karena ada hadits yang mengecualikan
Syarat-syarat cabang
a. Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok.
Misalnya mengqiaskan wudhu kepada tayamum dalam
wajibnya niat karena keduanya sama-sama taharah. Qiyas
tersebut tidak benar, karena wudhu ada sebelum Hijrah, sedang
tayamum setelah Hijrah. Jika Qiyas itu dibenarkan berarti
menetapkan hukum sebelum adanya Illatnya.
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri, yang menurut
ulama Ushul ' apabila datang nash, qiyas menjadi batal.
c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang
terdapat pada pokok.
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok
Syarat-syarat illat
a. Illat Harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum, dan tidak
ada hukum bila tidak ada illat.
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika
terdapat illat. Sebab adanya illat tersebut adalah demi kebaikan manusia,
seperti melindungi jiwa adalah illat wajibnya qishash, memabukan adalah
illat haramnya meminum minuman keras.
c. Illat tidak berlawanan dengan nash, jika berlawanan maka nash yang
didahulukan. Misalnya, bahwa perempuan itu dapat memiliki dirinya,
9
diqiaskan kepada bolehnya menjual harta bendanya, maka sah nikahnya
tanpa izin walinya. Maka ini berlawanan dengan nash, maka nsha yang
didahulukan,

10
BAB III

KESIMPULAN

Sumber hokum islam adalah rujukan dalam menetapkan hokum Islam di


kehidupan manusia. Hukum Islam merupakan suatu kaidah atau peraturan yang
mengatur tentang kehidupan manusia dengan manusia, manusia dengan alam
sekitarnya dan manusia dengan sang pencipta. Hukum islam bersumber dari Allah
SWT untuk seluruh Umat. Sumber hokum Islam terbagi atas 4 macam
berdasarkan tingkatannya. Sebagai sumber hokum yang pertama dan utama yaitu
Alquran, sumber hokum yang kedua adalah hadits dan sumber hokum selanjutnya
adalah ijtihad yang mencakup ijma dan qiyas.

11
DAFTAR PUSTAKA

Daradjat zakiah. H.A. sadali. Yusuf A.F. ishaq A. mustofa. Miftah f. h. muhsin.1986
dasar dasar agama islam

M.hasbbi shiddieqy.1958.pengantar hukum islam.van dorp.jakarta.2

http://ejournal.unmuha.ac.id/index.php/mentari/article/view/24

http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Quran

http://wordpress.com/sumber-sumber-hukum-islam/30 sept 2013

http://sarulmardianto.wordpress.com/2012/03/16/sumber-hukum-islam/

http://file.upi.edu/Direktori/.../SUMBER_HUKUM.pdf

jacksite.files.wordpress.com/2011/01/peran-ijma.pdf

12
TAMBAHAN

1. Istihsan

 Pengertian
Dilihat dari asal bahasa Istihsan artinya mencari kebaikan. Al-Hasan
menyebutkan makna istihsan dengan ungkapan mencari yang lebih baik.
Secara Istilah Istihsan menurut ahli Ushul Fiqih adalah :
i. Istihsan itu adalah berpindah dari suatu hukum yang sudah
diberikan, kepada hukum lain yang sebandingnya karena ada suatu
sebab yang dipandang lebih kuat.
ii. Istihsan yaitu berpindah dari qiyas pada qiyas yang lebih kuat
 Contoh-contoh Istihsan
i. Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang
dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Bila seorang anak menitipkan barang kepada bapaknya,
kemudian barang tersebut digunakan oleh bapaknya untuk
membiayai hidupnya, maka berdasarkan Istihsan si bapak tidak
diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak
menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.
ii. Seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum, apabila ia
sudah dewasa dan berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil
yang disuruh ibunya kewarung untuk membeli sesuatu Berdasarkan
Istihsan anak kecil tersebut boleh membeli barang-barang yang kecil
yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan kemafsadatan.

2. Istishab
 Pengertian

Kata Istishab berasal dari kata suhbah artinya ' menemani ' atau ' menyertai'.
atau al-mushahabah : menemani , juga istimrar al-suhbah ; terus menemani.

Menurut Istilah ilmu Ushul Qiqih yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim:
Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada pada sejak semula tetap
berlalu sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah.
Imam al-Syaukani memberi definisi, Yaitu menetapkan ( hukum) sesuatu
sepanjang tidak ada yang merubahnya.

 Contoh-contoh Istishab

i. Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena


adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisah,
hibah atau wasiat, maka pemilikan tersebut terus berlangsung
sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukan perpindahan
pemilikan pada orang lain
ii. Orang yang hilang tetap dipandang hidup sehingga ada bukti atau
tanda-tanda lain yang menunjukan bahwa dia meninggal dunia.
iii. Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan
suami istri sampai ada bukti lain yang menunjukan bahwa mereka
telah bercerai
iv. Tetap dipandang sah punya wudlu bagi yang yakin sebelumnya telah
berwudlu, dan tidak hilang karena keragu-raguan.
v. Menetapkan utang atas seseorang, berdasarkan persaksian dua
orang sebelumnya, sampai adanya bukti pembayaran.

3. Saddu Dzariyah
 Pengertian
Dalam bahasa syariat Dzariah artinya, apa yang menjadi media / jalan
kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan. Dan kata saddu artinya
mencegah atau menyumbat jalan.
Dengan kata lain, dzariah adalah washilah yang menyampaikan kepada
tujuan, atau, jalan untuk sampai kepada yang diharamkam atau yang
dihalalkan. Jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula,
dan jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan
kepada wajib, wajib pula.
Dengan demikian yang dilihat dari dzariah ini adalah perbuatan-perbuatan
yang menyampaikan kepada terlaksananya yang wajib atau mengakibatkan
kepada terjadinya yang haram.

 Contoh-contoh Saddu Dzariyah


i. Menebang dahan pohon yang meliuk di atas jalan umum, dapat
mengakibatkan timbulnya gangguan lalu lintas
ii. Wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu berdandan sedang dia
dalam keadaan Iddah, maka akan mendorong pada perbuatan yang
terlarang
iii. Melihat aurat perempuan dilarang, untuk menyumbat jalan
terjadinya perzinahan.
4. ‘Urf
 Pengertian
Secara etimologi ‘Urf’ berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat
diterima akal sehat. Menurut kebanyakan ulama ‘Urf’ dinamakan juga ‘Adat‘,
sebab perkara yang telah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia.
Para ulama ushul Fiqih membedakan antara ‘Ada ‘ dengan ‘Ur ‘ dalam
kedudukannya sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara.
 Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa
adanya hubungan rasional
 Urf adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh
tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam
dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash syara.

Dengan demikian ‘Urf’ bukanlah kebiasaan alami sebagaimana berlaku


dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari pemikiran dan pengalaman. Yang
dibahas ulama ushul fiqih dalam kaitannya dengan dalil dalam menetapkan
hukum syara adalah ‘Urf’ budan ‘Adat’.

 Macam-macam ‘urf
i. Dari sisi objeknya
a. Al-Urf al-Lafdhi
adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadh
atau ungkapan tertentu. Misalnya kata al-walad menurut
bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki saja,
sedang anak perempuan tidak masuk dalam lafadh itu.
Contoh lain lafadh al-Lahm / daging, dalam perkataan sehari-
hari khusus bagi daging sapi atau kambing. Padahal kata
daging mencakup seluruh daging yang ada. Demikian juga
kata Daabah, digunakan untuk binatang berkaki empat.
Apabila dalam memahami ungkapan perkataan diperlukan
arti lain, maka itu bukanlah urf.
b. Al-Urf al-Amali,
adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan. Misalnya; Kebiasaan masyarakat tertentu dalam
memakan makanan tertentu atau minuman tertentu.
Kebiasaan masyarakat dalam cara berpakaian yang sopan
dalam menghadiri pengajian. Kebiasaan masyarakat dalam
jual beli ada barang yang diantar ke rumah dan ada yang
tidak diantar. Kebiasaan jual beli mu’athah / yakni jual beli
dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran
atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab-
kabul, karena harga barang tersebut telah dimaklumi
bersama, seperti jual beli di swalayan.

ii. Dari sisi cakupan


a. Al-Urf al-‘Aam
yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya; Jual beli mobil,
seluruh alat untuk memperbaiki mobil, seperti dongkrak,
kunci-kunci sudah termasuk pada harga jual, tanpa ada biaya
tambahan tersendiri. Membayar ongkos Bis Kota dengan
tidak mengadakan ijab-kabul terlebih dahulu.
b. Urf al-Khash,
yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat
tertentu. Misalnya; Gono Gini di Jawa. Penentuan masa
garansi terhadap barang tertentu. Adanya cacat tertentu
pada barang tertentu yang dibeli dapat dikembalikan. Urf
khash ini tidak terhitung jumlahnya, sesuai dengan
perkembangan masyarakat.
iii. Dari sisi keabsahan
a. Al-Urf al-Shahi
adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertentangan dengan dalil syara’, tiada menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal, juga tidak
membatalkan yang wajib. Misalnya, kebiasaan yang berlaku
dalam dunia perdagangan tentang indent. Kebiasaan dalam
pembayaran mahar secara kontan atau hutang. Kebiasaan
seorang yang melamar wanita dengan memberikan sesuatu
sebagai hadiah, bukan sebagai mahar.
b. Al-Urf al-Fasid,
yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan
dengan ketentuan syari’at, karena membawa kepada
menghalalkan yang haram atau membatalkan yang
wajib.Misalnya, kebiasaan dalam mencari dana dengan cara
mengadakan berbagai macam kupon berhadiah. Menarik
pajak dengan hasil penjudian.

Sumber:

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, DDII, Jakarta, 1972


Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar Fikr al-Arabi, 1958
H.A.Djazuli, Ilmu Fiqh, Orba Sakti, Bandung 1993
Al-Khudari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Baerut, 1981
Abdul Hamid Hakim, As-Sulam dan Al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta
Syafi'i Karim, Fiqih Ushul Fiqh, Departemen Agama RI. 1995
Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Al-Ma,arif, 1986

Anda mungkin juga menyukai