Dosen Pembimbing:
Tohedi, M.Pd.I
Disusun Oleh :
UNIVERSITAS JEMBER
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa. Karena atas berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Sumber Hukum Islam” ini
dapat kami selesaikan. Selesainya karya tulis ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak,
kami berkenan untuk mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua kami yang telah bamyak memberikan dorongan moral dan
material
2. Bapak Tohedi, M.Pd.I selaku Dosen Pendidikan Agama Islam
3. Teman-teman yang telah mendukung dalam penyelesain makalah ini
4. Semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini
Kami merasa dalam pembuatan karya tulis ini sangat jauh dari sempurna, sehingga
diharapkan saran dan kritik yang membangun untuk karya tulis ini. Dan semoga gagasan
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................................i
Kata Pengantar................................................................................................................ii
Daftar Isi.........................................................................................................................iii
PENDAHULUAN........................................................................................................... 1
Latar Belakang...........................................................................................................1
Rumusan Masalah......................................................................................................1
PEMBAHASAN.............................................................................................................2
Alquran......................................................................................................................2
Hadits.........................................................................................................................4
Ijma’...........................................................................................................................6
Qiyas..........................................................................................................................7
KESIMPULAN ..............................................................................................................11
Daftar Pustaka.................................................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal
pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap
seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa
mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik,
mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap
positif lainnya.
Pada dasarnya yang menjadi sumber norma dan hukum islam adalah kitab
suci Alqur’an dan sunah Rasulullah saw. Keduanya merupakan sumber pokok
atau sumber utama. Akan tetapi kalau di rinci, sebetulnya selain dua sumber
tersebut, masih ada sumber lain yang berkedudukan sebagai sumber perlengkap
atau tambahan-tambahan atau penjelasan, yang disebut “Ijtihad” ini bentuk
bermacam-macam, seperti Ijma’ ra’yu, Qiyas, istihsan mashallah mursalah,
istihab, dan saddu-dzair’ah.
2. Batasan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum
Para ahli ushul menta'rifkan hukum dengan : Perintah / firman Allah Swt
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan
( perintah dan larangan), atau pilihan (kebolehan ) atau wadh'i
(menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang bagi seseatu
hukum . Dari definisi di atas menunjukan, bahwa yang menetapkan hukum
itu adalah Allah Swt. Sumber hukum yang pertama dan paling utama
adalah wahyu Allah yaitu Al quran, kemudian sunnah Rasul sebagai
sumber hukum yang ke dua, dan sumber hukum yang selanjutnya adalah
ijma’ dan qiyas.
2. Al qur’an
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab
yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-
Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang
artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada
salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-
Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti
{amalkan} bacaannya”
Al-Qur'an tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur'an turun secara
berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Para ulama membagi
masa turunnya ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan
periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa
kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini
2
tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai
sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun
pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Ilmu Al-Qur'an yang
membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa
ayat al-Qur'an diturunkan disebut Asbabun Nuzul
Para ulama dan semua umat sepakat menjadikan Alquran sebagai
sumber pertama dan utama bagi syariah Islam, termasuk dalam hukum
Islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum
harus terlebih dahulu mencari rujukan di dalam Alquran. Apabila tidak
ditemukan di dalam Alquran, barulah ia dibenarkan menggunakan dalil-
dalil lain.
Penerimaan ulama dan semua umat Islam menjadikan Alquran
sebagai sumber hukum pertama dilatarbelakangi sejumlah alasan, di
antaranya:
3
dari keindahan bahasanya yang tidak mungkin dapat ditandingi ahli
bahasa mana pun.
2. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan
sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Sebab ayat-ayat
alqur’an dalam menjelaskan hukum islam hanya secara global, dan yang
menjelaskan secara terperinci adalah hadis (as-sunnah)
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua, fungsi hadits sebagai berikut:
4
sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya.
Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah
untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
c. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih
syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak
macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama
lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih
atau hasan yang tidak dipenuhi
5
ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang
turut hijrah dan seterusnya.
IV. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi
berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat, dan af’alun
nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam
shahehnya.
c. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits,
seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam
Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir.
3. Ijma’
Kata Ijma secara bahasa berarti: kesepakatan atau consensus.
Hakikat Ijma', seperti ditegaskan Syaikhul-Islam rahimahullah, ialah
kesepakatan para ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma'
telah diputuskan secara permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi
siapapun keluar dari keputusan Ijma' tersebut, karena mustahil umat Islam
sepakat berada di atas kesesatan. Tetapi boleh jadi, banyak masalah yang
diklaim tetap berdasarkan Ijma' ternyata tidak demikian, bahkan pendapat
lain lebih kuat dari sisi Al-Qur`ân dan Sunnah
Ijma' merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber
hukum ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`ân dan Sunnah. Tidak terdapat
ketetapan Ijma' yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak
mungkin sepakat berada di atas kesesatan, apalagi generasi sahabat dan
tabi’in; maka Ijma' sebagai sumber hukum qath’i tidak tetap, kecuali
berdasarkan Al-Qur`ân, Sunnah yang shahih -terutama hadits-hadits
muttawatir-, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis;
sehingga mustahil Ijma' bertentangan dengan Al-Qur`ân dan Sunnah yang
shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis
Dengan memperhatiakn definisi ijma di atas maka dapat dikatakan bahwa
unsur-unsur ijma itu:
6
a. Terdapat beberapa orang mujtahid, karena kesepakatan baru bisa
terjadi apabila ada beberapa mujtahid.
b. Harus ada kesepakatan di antara mereka
c. Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan
perbuatannya, misalnya Qadhi dengan keputusannya, atau dengan
perkataannya, misalnya dengan fatwa.
d. Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidaklah
disebut ijma.
Syarat Mujtahid:
4. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang
tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara
membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan
7
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hokum.
Syarat-syarat Pokok
8
a. Hukum pokok itu masi ada atau berlaku/ tsabit, kalau tidak ada,
hukum tersebut harus dimansukh, maka tidak boleh ada
pemindahan hokum
b. ukum yang ada pada pokok harus hukum syara' bukan hukum akal
atau bahasa
c. Hukum Pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti tetap
dipandang sah puasanya orang yang lupa meskipun makan dan
minum, mestinya puasanya itu menjadi rusak, karena sesuatu tidak
bisa tetap ada bersama adanya penghalang. Namun tetap dipandang
sah karena ada hadits yang mengecualikan
Syarat-syarat cabang
a. Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok.
Misalnya mengqiaskan wudhu kepada tayamum dalam
wajibnya niat karena keduanya sama-sama taharah. Qiyas
tersebut tidak benar, karena wudhu ada sebelum Hijrah, sedang
tayamum setelah Hijrah. Jika Qiyas itu dibenarkan berarti
menetapkan hukum sebelum adanya Illatnya.
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri, yang menurut
ulama Ushul ' apabila datang nash, qiyas menjadi batal.
c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang
terdapat pada pokok.
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok
Syarat-syarat illat
a. Illat Harus tetap berlaku, manakala ada illat, tentu ada hukum, dan tidak
ada hukum bila tidak ada illat.
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika
terdapat illat. Sebab adanya illat tersebut adalah demi kebaikan manusia,
seperti melindungi jiwa adalah illat wajibnya qishash, memabukan adalah
illat haramnya meminum minuman keras.
c. Illat tidak berlawanan dengan nash, jika berlawanan maka nash yang
didahulukan. Misalnya, bahwa perempuan itu dapat memiliki dirinya,
9
diqiaskan kepada bolehnya menjual harta bendanya, maka sah nikahnya
tanpa izin walinya. Maka ini berlawanan dengan nash, maka nsha yang
didahulukan,
10
BAB III
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat zakiah. H.A. sadali. Yusuf A.F. ishaq A. mustofa. Miftah f. h. muhsin.1986
dasar dasar agama islam
http://ejournal.unmuha.ac.id/index.php/mentari/article/view/24
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Quran
http://sarulmardianto.wordpress.com/2012/03/16/sumber-hukum-islam/
http://file.upi.edu/Direktori/.../SUMBER_HUKUM.pdf
jacksite.files.wordpress.com/2011/01/peran-ijma.pdf
12
TAMBAHAN
1. Istihsan
Pengertian
Dilihat dari asal bahasa Istihsan artinya mencari kebaikan. Al-Hasan
menyebutkan makna istihsan dengan ungkapan mencari yang lebih baik.
Secara Istilah Istihsan menurut ahli Ushul Fiqih adalah :
i. Istihsan itu adalah berpindah dari suatu hukum yang sudah
diberikan, kepada hukum lain yang sebandingnya karena ada suatu
sebab yang dipandang lebih kuat.
ii. Istihsan yaitu berpindah dari qiyas pada qiyas yang lebih kuat
Contoh-contoh Istihsan
i. Seseorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang
dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Bila seorang anak menitipkan barang kepada bapaknya,
kemudian barang tersebut digunakan oleh bapaknya untuk
membiayai hidupnya, maka berdasarkan Istihsan si bapak tidak
diwajibkan untuk menggantinya, karena ia mempunyai hak
menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.
ii. Seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum, apabila ia
sudah dewasa dan berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil
yang disuruh ibunya kewarung untuk membeli sesuatu Berdasarkan
Istihsan anak kecil tersebut boleh membeli barang-barang yang kecil
yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan kemafsadatan.
2. Istishab
Pengertian
Kata Istishab berasal dari kata suhbah artinya ' menemani ' atau ' menyertai'.
atau al-mushahabah : menemani , juga istimrar al-suhbah ; terus menemani.
Menurut Istilah ilmu Ushul Qiqih yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim:
Istishab yaitu menetapkan hukum yang telah ada pada sejak semula tetap
berlalu sampai sekarang karena tidak ada dalil yang merubah.
Imam al-Syaukani memberi definisi, Yaitu menetapkan ( hukum) sesuatu
sepanjang tidak ada yang merubahnya.
Contoh-contoh Istishab
3. Saddu Dzariyah
Pengertian
Dalam bahasa syariat Dzariah artinya, apa yang menjadi media / jalan
kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan. Dan kata saddu artinya
mencegah atau menyumbat jalan.
Dengan kata lain, dzariah adalah washilah yang menyampaikan kepada
tujuan, atau, jalan untuk sampai kepada yang diharamkam atau yang
dihalalkan. Jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula,
dan jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan
kepada wajib, wajib pula.
Dengan demikian yang dilihat dari dzariah ini adalah perbuatan-perbuatan
yang menyampaikan kepada terlaksananya yang wajib atau mengakibatkan
kepada terjadinya yang haram.
Macam-macam ‘urf
i. Dari sisi objeknya
a. Al-Urf al-Lafdhi
adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadh
atau ungkapan tertentu. Misalnya kata al-walad menurut
bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki saja,
sedang anak perempuan tidak masuk dalam lafadh itu.
Contoh lain lafadh al-Lahm / daging, dalam perkataan sehari-
hari khusus bagi daging sapi atau kambing. Padahal kata
daging mencakup seluruh daging yang ada. Demikian juga
kata Daabah, digunakan untuk binatang berkaki empat.
Apabila dalam memahami ungkapan perkataan diperlukan
arti lain, maka itu bukanlah urf.
b. Al-Urf al-Amali,
adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan. Misalnya; Kebiasaan masyarakat tertentu dalam
memakan makanan tertentu atau minuman tertentu.
Kebiasaan masyarakat dalam cara berpakaian yang sopan
dalam menghadiri pengajian. Kebiasaan masyarakat dalam
jual beli ada barang yang diantar ke rumah dan ada yang
tidak diantar. Kebiasaan jual beli mu’athah / yakni jual beli
dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran
atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab-
kabul, karena harga barang tersebut telah dimaklumi
bersama, seperti jual beli di swalayan.
Sumber: