Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM


Dosen Pengampuh : Rudini, S.Ag.,M.Ag

Disusun Oleh :

Siti Sarah (20.02.01.0038)


Ratu Mega Afifa (20.02.01.0008)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NIDA EL-ADABI
PARUNG PANJANG-BOGOR
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumwr.wb. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kehidupan

kepada makhluk ciptaan-Nya, yang telah melebihkan manusia dibandingkan dengan makhluk

ciptaan-Nya yang lain.Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah

Muhammad saw.Sebagai sosok yang sangat kita muliakan karena akhlaknya dan

kepribadiannya yang dapat kita pelajari dari berbagai hadis yang telah diriwayatkan oleh

banyak sahabat.

Dalam makalah ini menjelaskan “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM”.

Dikarenakan tidak memungkinkannya penjabaran secara menyeluruh, oleh karena itu penulis

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

Bogor, 05 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................

C. Tujuan .....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an ................................................................................................................

B. As-sunnah ...............................................................................................................

C. ‘Ijma ........................................................................................................................

D. Qiyas .......................................................................................................................

E. Istihsan ....................................................................................................................

F. Maslahah Mursalah .................................................................................................

G. Urf ...........................................................................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh al-
islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah ini dalam wacana
ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan Sunnah,istilah al-hukm al-
Islam tidak ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian
dalam penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum
dimaksud adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka yang
dimaksudkan pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.

Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam
atau fiqh islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti syari’at
islam yang dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam
selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah terdapat dalam
kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum
islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam dipahami
sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat peraturan
tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang
berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada
kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah
dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk
agama islam

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sumber-sumber hukum Islam
2. Apa saja fungsi Al ‘Quran
3. Apa saja Syarat-syarat ijma
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Islam
2. Untuk mengetahui fungsi Al ‘Quran
3. Untuk mengetahui syarat-syarat ijma

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an

a. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’tan atau qur’anan yang
berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (ad-dlammu). Sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. 75: 17-18:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan ‘membacanya’. Jika
Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.

Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah mukjizat terbesar Nabi


Muhammad SAW, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya.
Alquran membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah
ditetapkan sebelumnya. Seperti dalam ayat yang artinya:

“Tidak mungkin Alquran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitab-
kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada
keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. Yunus: 37).

“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Alquran itulah yang benar,
membenarkan kitab-kitab sebelumnya Sesungguhnya Allah benar-benar Mengetahui lagi
Maha Melihat (keadaan) hamba-hambanya.” (Q.S. Faathir: 31)

Ayat-ayat Alquran yang diturunkan selama lebih kurang 23 tahun itu dapat dibedakan
antara ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di Mekah (sebelum
hijrah) dengan ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah (pindah) ke Madinah. Ayat-
ayat yang turun ketika Nabi Muhammad masih berdiam di Mekkah di sebut ayat-ayat
Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi Muhammad pindah ke Madinah
dinamakan ayat-ayat Madaniyah. Ciri-cirinya adalah:
1. Ayat-ayat Makiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi
Alquran, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah pada umumnya
panjang-panjang, merupakan 11/30 dari seluruh isi Alquran, terdiri dari 28 surat, 1456 ayat.
2. Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannaas (hai manusia) sedang ayat–
ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhallaziina aamanu (hai orang-orang yang
beriman).
3. Pada umumnya ayat-ayat Makkiyah berisi tentang tauhid yakni keyakinan pada Kemaha
Esaan Allah, hari kiamat, akhlak, dan kisah-kisah umat manusia di masa lalu, sedang ayat-
ayat Madaniyah memuat soal-soal hukum, keadilan, masyarakat, dan sebagainya.

2
b. Keutamaan Alquran

Keutamaan Alquran ditegaskan dalam sabda Rasulullah, antara lain:


1. Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Alquran dan
mengajarkannya.
2. Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Alquran (HR. Turmuzi).
3. Orang-orang yang mahir dengan Alquran adalah beserta malaikat-malaikat yang suci
dan mulia, sedangkan orang membaca Alquran dan kurang fasih lidahnya berat dan
sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim).
4. Sesungguhnya Alquran ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah
tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
5. Bacalah Alquran sebab di hari Kiamat nanti akan datang Alquran sebagai penolong
bagai pembacanya (HR. Turmuzi).

c. Fungsi Alquran

Fungsi Alquran antara lain adalah:

1. Menerangkan dan menjelaskan (QS. An-Nahl: 89; Ad-Dukhaan: 4-5).


2. Alquran kebenaran mutlak (Al-Haq) (QS. Al-Baqarah: 91, 76).
3. Pembenar (membenarkan kitab-kitab sebelumnya) (QS. Al-Baqarah: 41, 91, 97; Ali
Imran: 3; Al-Maa’idah: 48; Al-An’aam: 92; Yunus: 37; Faathir: 31; Al-Ahqaaf: 1;
Yusuf: 30).
4. Sebagai Furqon (pembeda antara hak dan yang batil, baik dan buruk).
5. Sebagai obat penyakit (jiwa) (QS. Yunus: 57; Al-Israa’: 82; Fushshilat: 44).
6. Sebagai pemberi kabar gembira.
7. Sebagai hidayah atau petunjuk (QS. Al-Baqarah: 1, 97, 185; Ali Imran: 138; Al-A’raaf:
52, 203).
8. Sebagai peringatan.
9. Sebagai cahaya petunjuk (QS. Asy Syuura: 52).
10. Sebagai pedoman hidup (QS. Al Jaatsiyah: 20).
11. Sebagai pelajaran.

Alquranul karim tidaklah diturunkan sekaligus kepada Rasulullah SAW, namun


diturunkan secara berangsung-angsur. Alquran yang memuat 30 juz ayat itu disampaikan
kepada Nabi Muhammad dengan memakan waktu antara 20, 23, dan 25 tahun. Perbedaan
waktu ini terjadi disebabkan perbedaan mengenai penetapan masa tinggal Rasulullah di
Makkah dan Madinah. Dan berdasarkan hitungan para peneliti sejarah, didapati bahwa lamanya
turun Alquran lebih dekat kepada pendapat yang menyatakan selama 23 tahun.
Turunnya Alquran dengan berangsur-angsur memiliki makna dan tujuan tersendiri.
Persoalan keberangsuran ini pernah menjadi pertanyaan orang kafir. Hal ini dapat dilihat dalam
firman Allah,
‫وقال اللذين كفروا لو ال أنزل عليه القرأن جملة واحدة‬
Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Alquran itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?“
Lalu Allah menjawab dalam ayat sama …‫كذالك ليثبت به فؤادك ورتلناه ترتيل‬
“…demikian itu supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara
tartil (teratur dan benar)”.
3
B. Sunnah

a. Pengertian Sunnah

Sunnah adalah penafsiran praktis terhadap al-Qur’an, implementasi realistis, dan juga
implementasi ideal Islam. Sunnah menurut bahasa (etimologi) berarti tradisi yang biasa
dilakakan (adat kebiasaan), dan jalan yang dilalui baik terpuji maupun tercela. Sunnah juga
berarti lawan dari bid’ah yaitu mengerjakan amalan agama tanpa didasari oleh tradisi atau tata
cara agama, kemudian ia mengada-ada (membuat bid’ah). Sedangkan sunnah menurut istilah,
antara lain dikemukakan para ulama sebagai berikut :

1. Menurut para ahli hadis, sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi saw. baik
berupa perkataan, taqrir, pengajaran, keadaan, maupun perjalanan hidup beliau, baik
yang terjadi sebelum maupun sesudah di angkat menjadi Rasul.
2. Menurut Ahli Ushul, sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi saw. baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) yang mempunyai hubungan dengan
hukum.
3. Sunnah menurut ahli ushul hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum Islam.
Jika suatu perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur,
berjalan, buang air, dan lain-lain maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak
dinamakan sunnah.
4. Menurut Ahli Fiqih, sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan
dan tidak diberi siksa apabila ditinggalkan.
5. Jadi, menurut ulama ushul fiqih sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang
dari Nabi tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan
tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Contohnya seperti shalat sunnah, puasa
sunnah, dan lain-lain.
6. Menurut Ibnu Taimiyah, sunnah adalah adat (tradisi) yang telah berulang kali dilakukan
oleh masyarakat, baik yang termasuk ibadah ataupun tidak.
7. Menurut Dr. Taufiq Sidqy, sunnah ialah thariqat (jalan) yang dipraktekkan oleh
Rasulullah saw. terus-menerus dan diikuti oleh para sahabat beliau.
8. Menurut Prof Dr.T. M. Hasbi Ash- Shiddieqy, sunnah ialah suatu amalan yang
dilaksanakan oleh Nabi Saw secara terus- menerus dan di nukilkan kepada kita dari
zaman ke zaman dengan jalan mutawatir”. Jadi Nabi melaksanakan amalan itu beserta
para sahabat, para sahabat melaksanakannya bersama tabiin, dan demikian seterusnya
dari generasi ke generasi sampai pada kita sekarang ini.

Dari beberapa pengertian sunnah tersebut dapat disimpulkan bahwasannya sunnah


menurut ulama hadis lebih bersifat umum yaitu meliputi segala sesuatu yang datang dari Nabi
dalam bentuk apapun, baik yang berkaitan dengan hukum ataupun tidak. Sedangkan sunnah
menurut ulama ushul fiqih dibatasi dengan hal-hal yang berkaitan dengan hukum saja
sedangkan perbuatan sehari-hari seperti makan, minum, dan lain sebagainya tidak termasuk
sunnah. Jadi definisi sunnah yang paling relevan untuk dijadikan pegangan adalah segala

4
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrirnya (atau selain itu).

b. Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam


Sunnah dalam kedudukan Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Di mana
hadis merupakan salah satu sumber hukum ke dua setelah al-Qur’an. Al-Qur’an akan sulit
dipahami tanpa adanya hadis. Memakai al-Qur’an tanpa mengambil hadis sebagai landasan
hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena al-Qur’an akan sulit
dipahami tanpa menggunakan hadis. Kaitannya dengan kedudukan hadis/sunnah disamping al-
Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka al-Qur’an merupakan sumber pertama sedangkan
hadis merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara al-Qur’an dan hadis karena
keduanya adalah wahyu Allah.

Nabi Muhammad saw. sendiri memberitahukan kepada umatnya bahwa di samping al-
Qur’an juga masih terdapat suatu pedoman yang sejenis dengan al-Qur’an, untuk tempat
berpijak dan berpandangan sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya sebagai
berikut, “wahai umatku, sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan menyamainya” (HR. Abu
Daud, Ahmad, dan al-Turmudzi).

Tidak diragukan lagi bahwa yang menyamai (semisal) al-Qur’an itu adalah
sunnah/hadis, yang merupakan pedoman untuk mengamalkan dan ditaati sejajar dengan al-
Qur’an. Dan sekaligus sebagai salah satu dasar penetapan hukum Islam setelah al-Qur’an.
Menurut Al-Syathihi kedudukan sunnah/hadits berada di bawah al-qur’an karena,

1. Al-Qur’an diterima secara qath’i (meyakinkan), sedangkan hadits di terima secara


zhanni, kecuali hadits Mutawatir. Keyakinan kita kepada hadis hanyalah secara global,
bukan secara detail. Sedangkan al-Qur’an baik secara global maupun secara detail
diterima secara meyakinkan.
2. Hadis ada kalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam al-Qur’an, ada
kalanya memberi komentar terhadap al-Qur’an dan ada kalanya membicarakan sesuatu
yang belum dibicarakan oleh al-Qur’an. Jika hadis berfungsi menerangkan atau
memberi komentar terhadap al-Qur’an, maka status hadis tidak sama dengan derajat
al-Qur’an yang diberi penjelasan. Al-Qur’an pasti lebih utama daripada hadis.
3. Di dalam Hadits sendiri terdapat petunjuk mengenai hal tersebut, yakni Hadits
menduduki posisi ke dua setelah Al-Qur’an.

Sedangkan menurut pendapat Mahmud Abu Rayyah, posisi as-sunnah atau al- hadits
itu berada di bawah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sampai kepada umat islam dengan jalan
mutawatir dan tidak ada keraguan sedikitpun. Al-Qur’an datangnya dengan qath’i al-wurud,
yaitu kepastian jalannya sampai kepada kita dan qath’i al-tsubu, yaitu eksistensi atau
ketetapannya meyakinkan atau pasti. Sedangkan hadits atau as-sunnah sampai kepada umat
islam tidak semuanya mutawatir, tetapi kebanyakannya adalah diterima dengan periwayatan
tunggal (ahad). Kebenarannya ada yang qath’i (pasti) dan zhanni (diduga benar), karena masih
banyak hadits yang tidak sampai kepada umat Islam. Disamping itu, banyak pula hadits-hadits
daif.

c. Kehujjahan As-Sunnah

5
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujjahan sunnah dijadikan sebagai
sumber hukum Islam, yaitu sebagai berikut.
ْ ‫ب الَّذِي أَ ْنزَ َل‬
ِ َّ ‫مِن قَ ْب ُل ۚ َو َم ْن يَ ْكفُرْ ِب‬
‫اَّلل‬ ِ ‫علَ ٰى َرسُو ِل ِه َو ْال ِكتَا‬ َ ‫ب الَّذِي ن ََّز َل‬ِ ‫اَّلل َو َرسُو ِل ِه َو ْال ِكتَا‬
ِ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا آمِ نُوا ِب‬
‫ا‬
‫ض َلال بَعِيداا‬ َ ‫ض َّل‬ َ ْ‫س ِل ِه َو ْاليَ ْو ِم اْلخِ ِر فَقَد‬
ْ ُ ‫َو َم َلئِ َكتِ ِه َوكُتُبِ ِه َو ُر‬
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya.”(An-Nisa ayat 136)
َ‫ي َال َيكُون‬ ِ ‫ِلرسُو ِل َو ِلذِي ْالقُرْ َب ٰى َو ْال َيتَا َم ٰى َو ْال َم َساك‬
ْ ‫ِين َواب ِْن ال َّس ِبي ِل َك‬ ِ َّ ِ َ ‫مِن أَ ْه ِل ْالقُ َر ٰى‬
َّ ‫لِلَف َول‬ ْ ‫علَ ٰى َرسُو ِل ِه‬ ُ َّ ‫َما أَفَا َء‬
َ ‫َّللا‬
ْ
ِ ‫َّللا َشدِيدُ ال ِعقَا‬
‫ب‬ َ َّ ‫ع ْنهُ فَا ْنتَ ُهوا ۚ َواتَّقُوا‬
َ َّ َّ‫َّللا ۖ إِن‬ َ ‫الرسُو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َهاكُ ْم‬ َّ ‫دُولَةا بَيْنَ ْاْل ْغنِيَاءِ مِ ْنكُ ْم ۚ َو َما آتَاكُ ُم‬
َ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya”.(Al-Hasyr ayat 7)
Beberapa ayat di atas menunjukkan bahwa kita diperintah Allah SWT untuk taat kepada
Allah dan mengikuti Rasul saw. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintah untuk mengikuti
sunnah sebagai hujjah. Sedangkan hadis yang dijadikan dalil kehujjahan sunnah juga banyak
sekali, diantaranya sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.
‫سنَّتِي‬ َ ‫َضلُّ ْوا ما تَ َم َّس ْكت ُ ْم بِ ِه َما ِكت‬
ُ ‫َاب هللاِ َو‬ ِ ‫ت ََر ْكتُ فِ ْيكُ ْم ْأم َري ِْن لَ ْن ت‬
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang
teguh kepada keduanya yaitu kitab Allah dan Sunnahku”. (HR. Al-Hakim dan Malik)
Hadis di atas menjelaskan bahwa seseorang tidak akan sesat apabila selama hidupnya
berpegang pada al-Qur’an dan sunnah. Kehujjahan sunnah sebagai konsekuensi terpeliharanya
Rasulullah dari sifat bohong dari segala apa yang beliau sampaikan baik berupa perkataan,
perbuatan dan ketetapannya.
Jadi, telah disepakati bahwasannya sunnah sebagai hujjah semua umat Islam menerima
dan mengikutinya, kecuali kelompok minoritas orang. Kehujjahan sunnah adakalanya sebagai
penjelas terhadap al-Qur’an ataupun berdiri sendiri sebagai hujjah untuk menambah hukum-
hukum yang belum diterangkan oleh al-Qur’an. Sunnah yang dijadikan hujjah tentunya
sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir maupun ahad. Wajib bagi
umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang terkandung di dalam hadis tersebut
selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

d. Fungsi Sunnah Terhadap al-Qur’an

Fungsi hadis terhadap al-Qur’an secara umum adalah untuk menjelaskan makna
kandungan al-Qur’an sangat dalam dan global. Karena tidak semua ayat-ayat al-Qur’an dapat
dipahami secara tekstual. Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah memiliki tugas untuk
menjelaskan maksud dan tujuan firman-firman Allah. Hadis memiliki hubungan yang erat
sekali dengan al-Qur’an, bahkan sulit dibayangkan al-Qur’an berjalan tanpa hadis.

Hadits-hadits Nabi dalam kaitannya terhadap al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai


berikut:
1. Bayan Taqrir
Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur’an. Maksudnya
ialah bahwasannya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-Qur’an, misalnya hadis
tentang sholat, zakat, puasa, haji.

2. Bayan Tafsir
Penjelasan (tafsir) yang diberikan hadis terhadap al-Qur’an ada 3 macam, yaitu hadis
memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal atau global
(bayan al-mujmal), hadis memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih terbatas di dalam

6
al-qur’an (taqyiq al-mutlaq), memberikan kekhususan (takhshish) ayat-ayat al-Qur’an yang
bersifat umum (tahkshis al-‘amm), dan hadis memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang
masih rumit di dalam al-qur’an (tawdih al-musykil).

3. Bayan Tasyri’i
Hadis menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Ketetapan
hadis merupakan ketetapan yang bersifat tambahan atas hal-hal yang tidak terdapat dalam al-
Qur’an dan hukum-hukum yang hanya berdasarkan hadist semata.

4. Bayan Naskhi
Ketetapan hadist bisa mengubah hukum dalam al-Qur’an maksudnya hadis dapat menghapus
(nasakh) hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an.

Jadi, hubungan antara sunnah dan al-Qur’an sangat erat keduanya tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya, karena keduanya berdasarkan wahyu yang datang dari Allah
SWT. kepada Nabi Muhammad saw. untuk disampaikan kepada umatnya, hanya proses
penyampaiannya dan periwayatannya yang berbeda. Sunnah mempunyai peran yang utama
yakni menjelaskan al-Qur’an baik secara tersurat maupun tersirat, sehingga tidak ada istilah
pertentangan antara keduanya.

C. Ijma’

a. Pengertian Ijma’

Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada
suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).

Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan
suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliu, apabila ada hal-hal yang
belum jelas atau belum diketahui hukumnya.

Ijma’ itu dapat terwujud apabila ada empat unsur.

1. Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak
mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing mengemukakan
pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2. Bila ada kesepakatan para mujtahid umat islam terhadap hukum syara’ tentang suatu
masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, kebangsaan
atau kelompok mereka.
3. Jadi, kalau mujtahid Makkah, Madihan, Irak, Hijaz saja umpamanya yang sepakat
terhadap suatu hukum syara’ tidak dapat dikatakan ijma’ menurut syara’ kalau bersifat
regional. Tetapi harus bertahap internasional. Masalah mungkin terjadi ijma’ atau tidak,

7
lain lagi persoalannya, karena ada diantara ulama’ yang mengatakan mungkin dan ada
pula yagn mengatakan tidak mungkin.

Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak dapat dianggap
ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika mayoritas setuju, sedangkan minoritas
tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan pendapat.

4. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih dahulu,
sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.

b. Syarat-Syarat Ijma’

Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila
memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.

1) Yang bersepakat adalah para mujtahid.

Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid.

Secara umu mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam
mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami” disebutkan bahwa
yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih.

Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud


mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan mempu
mengistimbat hukum dari sumbernya.

Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai
derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan mereka, karena mereka tidak
ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.

2) Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.

Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka
menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’ itu harus mencakup
keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan
oelh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula
kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu
telah mencakup hukum keseluruhan.

3) Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.

Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW. tidak bisa
dikatakan ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang berijma’, adapun ijma’

8
umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’
untuk melakukan kesalahan.

4) Dilakukan setelah wafatnya Nabi.

Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu dianggap sebagai syariah.

5) Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’

Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan


syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.

Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:

1. Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap
suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid
mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan mencerminkan
pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara
jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang
lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap
pendapat yang telah dikemukakan.

e. Kehujjaan Ijma’ menurut Pandangan Ulama’.

Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah)


berdasarkan dua dalil berikut:

Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat


terhadap kesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut
Allah juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat
dijadikan argumentasi.[6]

Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’, misalnya,


apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan usul fiqih atau bukan?
Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama’ berbeda pendapat.


Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma’ itu sebagai
hujjah, bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara
mutlak.

9
Menurut Al-Maidi, para ulama’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah ygn
wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah, Khawarij dan Nizam dari
golongan Mu’tazilah.

Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam,
Khawarij dan Syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah
hujjah. Sedangkan dalam kitab “Qawa’idul Usul dan Ma’qidul Usul” dikatakan bahwa
ijma’ hujjah pada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh “Daut” yang mengatakan
bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.

Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu
sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam’ akan ditinjau
berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.

1. Kehujjahan ijma’ sharih

Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i,
wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu
permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang tidak boleh ditentang, dan menjadi
menjadi masalah yang tidak boleh di ijtihad lagi

Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur

Firman Allah SWT. dalam surat Annisa’ ayat 115.

Artinya : Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)

Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka
yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mu’min. Disebutkan bahwa mereka akan
dimasukkan ke neraka Jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu
menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu
adalah batil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang
mu’min adalah hak dan wajib diikuti.

2. Kehujjahan ijma’ sukuti

Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama.


Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak
mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi’I
yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.

10
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja
menyepakati sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak
melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga
kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu
qath’I atau zanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari
seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.

Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan
bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah qat’I seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka
adalah diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap
pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi
persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan
mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang
qat’I karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan
dengan ijma’ sharih.

D. Al-Qiyas

a. Pengertian Qiyas
Dalil keempat yang disepakati adalah Qiyas atau analogi. Qiyas menurut bahasa berarti
“mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara
keduanya”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah:
“menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatuyang tidak adaketentuan hukumnya dengan
sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.”
Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Adapun qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis (‘illat) dari rumusan
hukum itu dan setelah itu diteliti pula kebenaran ‘illat yang sama pada masalah lain yang
termaktub dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Bila benar ada kesamaan ‘illat-nya, maka
keras dugaan bahwa hukumnya juga sama. Begitulah yang dilakukan dalam setiap praktik
qiyas.
b. Rukun Qiyas
Qiyas merupakan kegiatan ijtihad yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan sunah. Qiyas
dilakukan oleh mujtahid dengan meneliti alasan logis (illat) dari rumusan hukum. Dan setelah
diteliti ternyata terdapat pula illat yang sama pada perkara yang tidak termaktub dalam Al-
Qur’an dan sunah. Jika terbukti adanya persamaan illat-nya maka dapat dipastikan hukumnya
juga sama. Atas dasar proses tersebut maka untuk melakukan qiyas ada empat rukun yang harus
dipenuhi oleh qiyas:
1. Al-ashlu

11
Yaitu sesuatu yang sudah ada hukumnya dalam nash. baik dalam nash Al-Qur’an, Al-Sunnah
ataupun Ijma’. Al-ashlu disebut juga maqis alaih (yang dijadikan ukuran) atau mahmul
alaihi (yang dijadikan tanggungan) atau musyabbah bih (yang dibuat keserupaan). Ada tiga
syarat yang harus dipenuhi ashal yaitu:
1) Ashal bukan merupakan faru’ dari ashal lainnya.
2) Ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
3) Dalil yang menetapkan illat pada ashal tidak bersifat khusus, artinya tidak dapat
dikembangkan.

2. Al-far’u (cabang)
Yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash. Tetapi hukumnya dapat dihubungkan
dengan al-ashlu. Al-far’u disebut juga al-maqis (yang diukur) atau al-mahmul (yang dibawa)
atau al-musyabbah (yang diserupakan). Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh far’u yaitu:
1) Illat-nya sama dengan ‘illat yang ada pada ashal, baik zatnya maupun pada jenisnya.
2) Hukum far’u tidak mendahului hukum ashal, maksudnya hukum far’u itu harus datang
kemudian setelah hukum ashal.
3) Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu bertentangan
dengan qiyas, karena jika demikian maka status qiyas bisa bertentangan dengan nas
atau ijma’, disebut oleh ulama ushul sebagai qiyas fasid (qiyas yang rusak).

3. Hukum ashal
Yaitu hukum syara’ yang ada nashnya sebagai pangkal hukum bagi cabang. Ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi dalam menetapkan hukum ashal yaitu:
1) Hukum ashal itu adalah hukum syara dan hukum yang akan ditetapkan kepada cabang
itu juga harus berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan, karena yang
menjadi objek kajian ushul fiqh adalah amal perbuatan.
2) Hukum ashal itu dapat ditelusuri illat hukumnya.
3) Hukum ashal itu bukan merupakan kehususan bagi Nabi Muhammad SAW, seperti
kebolehan Nabi menikahi lebih dari empat istri sekligus.

4. Illat (sebab)
Illat adalah sifat yang ada pada hukum ashal. Illat merupakan unsur paling inti dan
terpenting dalam praktik qiyas karena tanpa illat maka tidak ada qiyas. Kaberadaan illat dapat
diselidiki, bahwa setiap hukum di dalamnya mengandung maksud (tujuan hukum). Tujuan
hukum merupakan sifat. Dengan demikian, tujuan hukum dapat diketahui melalui teks atau
nash yaitu melalui sifatnya. Maka dari sifat itu akan dapat diketahui illat hukumnya.
Setidaknya ada lima syarat yang harus dipenuhi oleh illat yaitu sebagai berikut:
1) illat itu harus berupa sifat yang nyata dan bersifat material yang dapat dijangkau oleh
pancaindra.
2) Illat harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum dan dapat
dijadikan sebagai kaitan hukum.

12
3) Illat itu harus merupakan bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas
sehingga tidak bercampur degan yang lainnya.
4) Harus ada hubungan kesesuaian antara hukum dan sifat yang akan menjadi illat.
5) Illat harus memiliki daya rentang, artinya illat itu bisa diterapkan pada wadah lain
(cabang). Illat bukan hanya pada ashal saja.

• Pembagian illat
Ditinjau dari segi di’i’tibarkan atau tidaknya illat hukum oleh pembuat Syara, ada 4 macam,
illat hukum yaitu:
1) Munashib Muatstsir, yaitu munasib yang ditunjukkan oleh Syar’i bahwa itulah illat
hukum dan hukum adalah atsarnya. oleh karena itu, disebut Al-Munasib al-Muatstsir.
2) Al-Munhasib al-Mula’im, ialah munasib yang tidak di’i’tibarkan syara’ degan dzatnya,
tetapi ada dalil lain baik nhas atau Ijma’ yang menunjukkan bahwa munasib tersebut
adalah illat hukum.
3) Munasib Mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu menimbulkan persangkaan bahwa
hasil tersebut menimbulkan hikmah, tetapi ternyata ada dalil syara bahwa munasib
tersebut tidak diakui syara’, dan dilarang syara, seperi mempersamakan hak anak laki-
laki dan anak perempuan dalam warisan secara dhahir, ini adalah hal yang munashabah
tetapi ditolak oleh syara.
4) Al-Munasib al Mursal atau al-Munasib al-Muthlak, yaitu sesuatu yang jelas begi
mujtahid bahwa menetapkan hukum asasnya mewujudkan kemaslahatan, akan tetapi
tidak ada dalil yang menunjukkan secara terperinci bahwa syara melarang atau
membolehkannya, soal ini dikalangan ahli Ushul disebut dengan al-Mashlahah al-
Mursalah.

• Cara-cara untuk mengetahui Illat :

1) Dengan Nash
2) Dengan Ijma’
3) Dengan al-Sabr wa al-Taqsim

c. Syarat-syarat Qiyas
Adapun Qiyas secara umum memiliki syarat-syarat di antaranya:
1. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya.
2. Hukum ashl-nya tsabit (tetap) dengan nash atau ijma’.
3. Pada hukum ashl terdapat ‘illat (sebab) yang diketahui
4. ‘illat-nya mencakup makna yang sesuai dengan hukumnya, yang penetapan ‘illat
tersebut diketahui dengan kaidah-kaidah syar’i.
5. ‘illat tersebut ada pada cabang sebagaimana ‘illat tersebut juga ada dalam ashl.

d. Macam-macam Qiyas

13
Seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan antara ‘illat yang
terdapat pada ashal (pokok tempat menqiyaskan) dan yang terdapat pada cabang, qiyas dibagi
menjadi tiga macam:
1. Qiyas Awla, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada
‘illat yang terdapat pada ashal (pokok).
2. Qiyas Musawi, yaitu qiyas dimana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama
bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok).
3. Qiyas al-Adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal (pokok).
Sedangkan dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum, seperti yang
dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, qiyas dapat dibagi dua:
1) Qiyas Jali, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu sumber tersebut,
tetapi berdasarkan penelitian, kuat dugaan bahwa tidak ada ‘illatnya.
2) Qiyas Kahfi, yaitu qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang di-istinbat-kan (ditarik) dari
hukum ashal.

E. Kehujjahan Qiyas.
Adapun kehujjahan Qiyas sebagai sumber hukum, para ulama Ushul Fiqh menganggap Qiyas
secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai agrumentasi, antara lain:
1. Surat an-Nisa’ ayat 59:
َّ ‫يءٍ ي ِفتَنَازَ ْعت ُ ْمفَإِ ۖ ْنمِ ْنكُ ْم ْْل َ ْم ِر َوأُول‬
‫ِيالرسُولَ َوأَطِ يعُوااللَّ َهأَطِ يعُواآ َمنُواالَّذِينَأَيُّ َهايَا‬ ْ ‫َش‬
‫ُوالللَّ ِهإِلَىف َُردُّو ُه‬ َّ ‫يل َوأَحْ َسنُ َخي ٌْر ٰذَ ِل ۚ َكخِ ِر ْال َو ْال َي ْومِ ِباللَّ ِهتُؤْ مِ نُونَكُ ْنت ُ ْمإِ ْن َو‬
ِ ‫الرس‬ ‫تَأْ ِو ا‬

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara
kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)...”
Alasan utama ulama memakai ayat ini sebagai kekuatan Qiyas untuk bisa dijadikan hujjah
hukum, karena Allah swt. telah memerintahkan untuk mengembalikan permasalahan yang
diperselisihkan dan yang dipertentangkan itu kepada Allah dan Rasulnya. Artinya, ketika
menemukan suatu peristiwa baru yang tidak ada hukumnya, harus dianalogikan (Qiyas)
terhadap hukum yang ada hukumnya dalam teks nash tersebut. Dengan demikian, menurut
ulama Qiyas dapat dijadikan sebagai sumber hukum yang keempat.
Kehujjahan Qiyas ini hampir semua ulama sepakat bahwa Qiyas dapat dijadikan
sebagai landasan sumber hukum Islam. Dengan demikian, Qiyas (ijtihad) merupakan sumber
hukum Islam, apalagi secara sunnatullah kehidupan itu selalu mengalami perubahan dan
perkembangan, sehingga menuntut pada hukum Islam untuk bisa memberikan jawaban yang
kontekstual.

E. Istihsan

14
a. Definisi Istihsan
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah
Ulama’ Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata)
kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian,
karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan baginya
perpindahan ini.
Istihsan secara bahasa yaitu kata bentukan (musytaq) dari al-hasan yang artinya adalah
apapun yang baik dari sesuatu. Istihsan sendiri kemudian berarti kecenderungan seseorang
pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bersifat lahiriyah (hissiy) ataupun
maknawiyah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Menurut istilah dari Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi yaitu salah seorang ulama’ ushul,
memberikan pendapat tentang Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan
hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang
membutuhkan keadilan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid
lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum
pertama.

b. Macam-macam Istihsan
Dari definisi istihsan menurut syara’, jelaslah bahwasanya istihsan ada dua macam, yaitu:
• Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu
dalil.
Contohnya: Fuqoha Hanafiyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman binatang buas, seperti
burung nasar, burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci berdasarkan Istihsan,
dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah bahwasanya ia merupakan sisa
minuman binatang yang dagingnya haram dimakan, sebagaimana sisa minuman buas seperti:
harimau, macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa makanan binatang mengikuti hukuman
dagingnya.
Sedangkan segi Istihsannya adalah bahwasanya jenis burung yang buas, meskipun dagingnya
diharamkan, hanya saja air liurnya yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa
minumannya, karena ia meminum dengan paruhnya, padahal paruh tersebut termasuk dalam
tulang yang suci. Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur
dengan air liurnya. Oleh karena inilah sisa minumannya najis.
Dari contoh tersebut, terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang
pertama adalah qiyas yang nyata yang mudah difahami, dan kedua adalah qiyas yang
tersembunyi, kemudian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah “istihsan”.
Dan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.
• Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu
dalil.

15
Contohnya: Syari’ (Pembuat hukum: Allah) melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada,
namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan kepada salam (pemesanan), sewa
menyewa, muzara’ah (akad bagi hasil penggarapan tanah, musaqat (akad bagi hasil penyiraman
tanaman), dan istishna’ (akad jasa pengerjaan sesuatu). Semuanya itu adalah akad berlangsung.
Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.

Pada contoh diatas, ada pengecualian kasus dari hukum kulli (umum) karena ada dalil. Inilah
yang menurut istilah disebut dengan istihsan.

c. Kehujjahan Istihsan
Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasannya
pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya
hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi
yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang
memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Itulah segi Istihsan. Sedangkan
bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum), dan juga yang disebut dengan segi istihsan.

Adapun kehujjahan istihsan menurut para ulama’, antara lain:


• Ulama’ Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula
dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa
Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqihnya banyak sekali
terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
• Ulama’ Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitupula menurut Abu Zahrah,
bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.
• Ulama’ Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan,
sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli
dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu
Hanifah, namun ulama’ yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.
• Ulama’ Syafi’iyah
Golongan Al Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul
menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.
Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah
membuat syari’at.” Beliau juga berkata, “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT.,

16
setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas. Namun tidak
boleh menggunakan istihsan.”

F. Maslahah mursalah

a. Pengertian Maslahah Mursalah


Maslahah mursalah menurut bahasa berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang
dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang
mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya :
Imam Ar-Razi mena’rifkan bahwa maslahah mursalah ialah perbuatan yang bermanfaat
yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan
agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.
Imam Al-ghazali mena’rifkan bahwa maslahah mursalah pada dasarnya ialah meraih
manfaat dan menolak mudarat.
Menurut Imam Muhammad Hasbih As-Siddiqi, maslahah mursalah ialah memelihara
tujuan dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk.
Ketiga ta’rif diatas mempunyai tujuan yang sama yaitu, maslahah mursalah memelihara
tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.

b. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah


Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1) Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan.
2) Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh.
3) Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i.
4) Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar.

c. Macam-Macam Maslahah

1. Maslahah Dharuriah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan
manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelah kerusakan, timbullah
fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima
perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
2. Maslahah Hajjiyah

17
Maslahah hajjiyah adalah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar
yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga
terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan.
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan,
dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalah dan bidang jinayat.
3. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh
adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak. Tahsiniyah ini juga masuk
dalam lapangan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat.
Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu melarang wanita-
wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai pakaian-pakaian yang seronok atau
perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan
masyarakat banyak pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga
dan terutama oleh agama.

d. Kehujjahan dan Objek Maslahah Mursalah


Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul
diantaranya :
1) Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyyah,
ulama-ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah, seperti Ibnu Hajib dan ahli
zahir.
2) Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama Malik dan
sebagian ulama Syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
ulama-ulama ushul.

e. Contoh-Contoh Maslahah Mursalah


Tindakan Abu Bakar terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat, itu adalah demi
kemaslahatan.
Mensyaratkan adanya surat kawin, untuk syahnya gugatan dalam soal perkawinan.
Menulis huruf Al-Qur’an kepada huruf latin.
Membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya barang, karena ada
gelombang besar yang menjadikan kapal oleng. Demi kemaslahatan penumpang dan menolak
bahaya.
Dalam Al-Qur’an tidak ada perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari hafalan dan tulisan,
tetapi para sahabat melakukannya.

G. Urf

18
a. Pengertian ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui,
dikenal, dianggap baik, diterima oleh pikiran yang sehat.
pengertian ‘urf menurut ahli fiqih ialah “sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan
mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun sikap
meninggalkan sesuatu. Disebut juga adat kebiasaan”.
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nasafi dari kalangan Khanafi, Ibnu Abidin, Al-
Rahawi dalam Syarh Kitab Al-Manar dan Ibnu Nujaim dalam kitab Al-Asyibah Wa Al-
Nazhair berpendapat bahwa ‘Urf sama dengan adat tidak ada perbedaan antara keduanya,
namun sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan Al-Bazdawi membedakan antara adat
dengan ‘Urf dalam kedudukannya sebagai suatu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat
didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional. Sedangkan ‘Urf adalah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan aaupun
perbuatan. Dalam pengertian ini adat lebih luas dibandingkan ‘Urf. Adat mencakup seluruh
jenis ‘Urf, tetapi tidak sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam
makan, berpakaian, tidur, dan sebagainya dinamakan adat, tetapi tidak disebut ‘Urf. Tetapi
dari sisi yang lain ‘Urf lebih umum disbanding adat, sebab, adat hanya mencakup perbuatan,
sedangkan ‘Urf mencakup perbuatan dan ucapan sekaligus.

b. Dasar hukum ‘Urf


Para ulama memandang ‘Urf sebagai salah satu dalil untuk mengistinbathkan hukum Islam
hal ini dapat dilihat dari beberapa ucapan ulama. Ada juga sebagian ulama yang memperkuat
kehujjahan ‘Urf dengan dalil Al-Qur’an dan Hadits. Mereka mengemukakan ayat 199 surat
Al-A’raf sebagai dalilnya :
‫خذ العفو امر بالعرف واعرض عن الجاهلين‬
“jadilah enkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh”.
Diantara hadits yang dijadikan kehujjahan ‘urf adalah hadits yang diriwayatkan jama’ah
selain Tirmidzi yang menceritakan kisah pengaduan hindun perihal sifat bakhil suaminya,
Abu Sufyan dalam pemberian nafkah, beliau bersabda :
‫خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف‬
“Ambillah (ambillah dari harta suamimu) kadar yang cukup untukmu dan anakmu menurut
ukuran yang cukup”
Nafkah yang ma’ruf dari hadits ini adalah kadar nafkah yang biasa berlaku pada masyarakat
arab pada saat itu. Dan juga hadits mauquf dari Ibnu Abbas :
‫ماراه المسلمون حسنا فهوعندهللا حسن‬
“apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dipandang baik pula disisi Allah”[6]

19
Abdul karim Zaidan mengkritik penggunaan ayat dan hadits diatas bagi kehujjahan ‘Urf, dan
mengatakan sebagai dalil yang lemah. Sebab kata Al-‘Urf dalam ayat diatas berarti kebaikan
yang diperintahkan oleh syara’ dan wajib mengamalkannya. Sementara hadits diatas adalah
hadits mauquf, dan hanya berhenti pada Ibnu Mas’ud yang lebih tepat dijadikan sebagai
argument kehujjahan ijma’ bukan kehujjahan ‘Urf. Disamping dalil-dalil tersebut, para ulama
menggunakan ‘Urf sebagai dalil mengemukakan beberapa argument kehujjahan ‘Urf :
1) Kita mendapati Allah dan meresipir ‘Urf-‘Urf orang arab yang dipandang baik.
2) ‘Urf pada dasarnya disandarkan pada salah satu dalil-dalil syara’ yang mu’tabarah.
3) Para ulama dari masa kemasa telah menggunakan ijma’ sebagai dalil atau hujjah
hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama mengakuinya sebagai dalil.

c. Syarat-syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa suatu ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil
dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
1. Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan mayarakat.
2. Urf tersebut masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada ‘Urf tersebut
ditetapkan. Jika ‘Urf telah berubah, maka hukum tidak dapat dibangun diatas ‘Urf
tersebut.
3. Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘Urf oleh pihak-pihak yang
terlibat didalamnya.
4. Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung
nash tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’
karena kehujjahan ‘urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung
hukum permasalahan yang dihadapi.

d. Kedudukan ‘Urf
Disamping memiliki kedudukan penting dalam penetapan hukum ‘Urf juga memiliki
kedudukan penting dalam penerapan suatu hukum, sebagaimana diketahui hukum Islam
memiliki dua sisi yaitu, sisi penetapan (istinbath) dan sisi penerapan (tathbiq). Keduanya bisa
berjalan parallel bisa juga tidak. Artinya suatu produk hukum adakalanya dapat diterapkan
secara langsung tanpa mempertimbangkan kemaslahatan lokus dimana hukum terebut
diterapkan, dan ada kalanya tidak dapat diterapkan, karena tidak sesuai dengan kemaslahatan
masyarakat ditempat dimana hukum Islam tersebut akan diterapkan. Dalam kaitan ini’Urf
menjadi dasar bagi penerapan suatu hukum.
Segala sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan Allah tidak menjelaskan kadarnya, maka
ukurannya dikembalikan kepada ‘Urf, seperti ukuran besarnya mahar, besarnya mut’ah bagi
istri yang dicerai suaminya, upah bagi buruh atau pembantu rumah tangga disuatu tempat dan
lain-lain.

e. Macam-macam ‘Urf
Para ulama fiqih membagi ‘Urf menjadi tiga macam :

20
1. Dari segi objeknya
2. Dari segi cakupannya
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
BAB III
KESIMPULAN

Al Quran adalah kitab suci umat Islam sebagai penyempurna kitab kitab sebelumnya dan
sebagai pedoman hidup hingga akhir zaman . Alquran adalah mukjizat terbesar Nabi
Muhammad SAW, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya.
Alquran membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah
ditetapkan sebelumnya.

Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah baik berupa
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul baik setelah ke nabiannya maupun sebelum ke
nabiannya.
Kedudukan as-sunnah dalam sumber ajaran agama Islam menempati urutan ke dua
setelah al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia. Ayat-ayat dalam al-Qur’an juga perlu
mendapat penjelasan dari hadis karena banyak ayat-ayat al-Qur’an yang masih berupa
pernyataan secara global untuk itu perlu adanya sunnah/hadis untuk menjelaskannya secara
terperinci.

ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-
dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang
dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.

Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah atau Al-Hadis dengan hal (lain) yang hukumnya disebutkan dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena persamaan illat
(penyebab atau alasan) nya.

Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu
dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum pertama. Macam macam istihsan ada dua macam,
yaitu pertama: Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena
adanya suatu dalil. Kedua: Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum)
dengan adanya suatu dalil.

Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat) dan
memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah.
Obyek maslahah mursalah berlandaskan pada hukum syara’ secara umum juga harus
diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Secara ringkas
maslahah mursalah itu juga difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik

21
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya
melalui suatu I’tibar

Urf adalah salah satu metode Ushul Fiqih untuk mengistinbathkan hukum, dan
merupakan sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia yang mana mereka menjadikannya
sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pun sikap meninggalkan sesuatu. ada
yang mengatakan bahwa ‘Urf adalah adat dan ada pula yang membedakannya dalam hal
penerapan hukum. Suatu ‘Urf dapat dijadikan hukum apabila ia memenuhi beberapa syarat
yaitu Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan mayarakat, ‘Urf tersebut masih
tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada ‘Urf tersebut ditetapkan, Tidak terjadi
kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘Urf oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya,
‘Urf tidak bertentang dengan nash.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ali Zainuddin, Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005


Hamidi Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, Yogyakata, 2004.

[1] Ali Zainuddin, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 13.

[2] Ali Zainuddin, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 16.

[3] Ali Zainuddin, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 18.

[4] Hamidi Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, (Yogyakata, 2004), hal. 13.

[5] Hamidi Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, (Yogyakata, 2004), hal. 17

23

Anda mungkin juga menyukai