Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

‘’SUMBER HUKUM ISLAM YANG DI SEPAKATI’’

DI
S
U
S
U
N

OLEH :

Muhammad Dasri
MK: Ilmu Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu : Tgk. Jamaluddin Taib, MA

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS SEKOLAH TINGGI AGAMA


ISLAM NUSANTARA TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Puji syukur saya hantarkan kehadirat


Allah swt yang telah melimpahkan berkah dan karunia-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya, Makalah ini saya tulis demi untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan agama islam dengan judul “Sumber Hukum
Islam Yang Di Sepakati”.
Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari kesalahan-kesalahan
karna saya masih dalam tahap belajar, semoga makalah ini bisa memberikan informasi
kepada pembaca, dan memberikan saran ataupun kritikan demi kebenaran makalah saya
ini.
Demikianlah pengantar dengan iringan serta harapan semoga tulisan sederhana ini
dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Dengan semua ini saya
mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu Tgk. Jamaluddin Taib, MA yang telah
membimbing saya mudah-mudahan mendapatkan amal baik yang diberikan oleh allah swt.

Blang Dalam,Aceh jaya 20 oktober 2023


Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi DaliI
B. Dalil Hukum yang Disepakati
1. Al-Qur'an
a. Definisi
b. Kedudukan Al-Qur'an sebagai Sumber Hukum
c. Hukum-hukum dalam Al-Qur'an
2. As-Sunnah
a. Definisi As-Sunnah
b. Kehujjahan As-Sunnah
c. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur'an
d. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur'an
3. Ijma'
a. Definisi
b. Kehujjahan Ijma'
4. Qiyas
a. Pengertian
b. Rukun-Rukun Al-Qiyas
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
B. Saran
BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Sumber hukum dalam agama Islam yang paling utama dan pokok dalam menetapkan hukum
dan memecah masalah dalam mencari suatu jawaban adalah Al-Qur’an dan al-Hadis. Sebagai
sumber paling utama dalam Islam, Al-Qur`an merupakan sumber pokok dalam berbagai hukum
Islam. Al-Qur’an sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum yang sudah lengkap.

Selain itu juga Al-Qur`an memberikan tuntunan bagi manusia mengenai apa-apa yang
seharusnya ia perbuat dan ia tinggalkan dalam kehidupan kesehariannya. Sedangkan Al-Hadis
merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Disamping sebagai sumber ajaran Islam
yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah Saw, juga karena fungsinya
sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al-Qur’an mujmal, mutlak, amm dan sebagainya.

Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai
macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum.Dalil-
dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga yang tidak
sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur'an, As- Sunnah, Ijma' dan Qiyas tetapi antara
lima dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian
kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.

Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati
dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil
sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil
tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari dalil itu?
2. Apa saja dalil hukum yang di sepakati
C. TUJUAN
1. Untuk mengetaui dalil-dalil yang di sepakati.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi DaliI

Ilmu ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni:

(1) menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil dan

(2) menetapkan dalil bagi suatu hukum.

Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan
hukum.

Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku
petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk
(petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma'nawi).

Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu:
sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara' yang berkenaan dengan perbuatan
manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau
Zhanni (kuat).

Selain itu beberapa definisi tentang dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan. di antaranya
adalah sebagai beriku:

UShull Ilmu Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni:

(1) menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil dan

(2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas
dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum.

Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku
petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk
(petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma'nawi).

Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu:
sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara' yang berkenaan dengan perbuatan
manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau
Zhanni (kuat).

Selain itu beberapa definisi tentang dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan. di antaranya
adalah sebagai beriku:

1.Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan
(orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang
diinginkannya.

2. Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan "sesuatu yang
mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek
informatif"
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang dijadikan
landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.

Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebaga dalil dan
berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang
menolaknya: atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya.

Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah merupakan sesuatu yang daripadanya
diambil hukum syara' yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan
qathi atau dengan jalankanni mengenai pandangan kebenaran.

B. Dalil Hukum yang Disepakati

Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat
sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi,
ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas). A. Hassan,
guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma, terutama setelah masa sahabat.
Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara
tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari
tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.

Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur'an, As- Sunnah, Ijma'
dan Qiyas.

1. Al-Qur'an

a. Definisi

Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira'ah, yaitu mashdar (infinitif) dari
lafadz qara'a, qira'atan, qur'anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti "mengumpulkan dan
menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun
rapih". Sedangkan secara istilah al-Qur'an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir,
tanpa ada keraguan.

Al-Qur'an adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur'an merupakan
puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.

Jadi dapat disimpulkan Al-Qur'an Al-Qur'an ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan
kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi
oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan
mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.

b. Kedudukan Al-Qur'an sebagai Sumber Hukum

Al-Qur'an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar
berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia
berhakim kepada al-Qur'an. Al- Qur'an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan
pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah
dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur'an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan herbagai segi
kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana,
karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.

Pada setiap problem itu al-Qur'an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar
yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah- langkali manusia dan yang sesuai pula
dengan zaman. Dengan demikian, al- Qur'an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan
tempat, karena Islam adalah agama yang abadi.

Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, "Islam
adalah suatu sistem yang lengkap. ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan
tanah air atau pemerintah dan bangsa, la adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. la
adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan
dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah
yang benar dan ibadah yang sah".

c. Hukum-hukum dalam Al-Qur'an

Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur'an itu ada 3 macam, yaitu: Pertama, hukum-
hukumi tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk
beriman kepada Allah, Malaikat- malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari
pembalasan. Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-
sifat yang tercela. Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-
perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan muamalah (kerja sama) sesama
manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur'an- dan itulah yang hendak dicapai oleh
Ilmu Ushul Fiqih.

Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur'an itu terdiri atas dua macam,yakni:

1) Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.

2) Hukum-hukum mu'amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi- transaksi


kebendaan, jinayat dan 'uqubat (hukum pidana dan sanksi- sanksinya). Hukum-hukum mu'amulah ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai
perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Hukum-hukum selain ibadat menurut syara'
disebut dengan hukum mu'amalat. Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur'an yang
berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al- Qur'an yang berkaitan
dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat
ta'abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya
dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan

lingkungan. Adapun selain hukum-hukum ibadat danahwal al-syakhshiyah, seperti hukum


perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dustriyah). intemasional (daulivah) dan ekonomi
dan keuangan (iqtishadiyah wa al- maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan
yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal
itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.

Dalam hal ini Al-Qur'an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi
saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan
melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari'at.

2. As-Sunnah

a. Definisi As-Sunnah

As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa
qaul (ucapan), ti'il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga
hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3
macam,yaitu:

1) Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian.
Misalnya sabda beliau sebagai berikut. Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan.
(HR. Malik). Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada
umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.

2) Sunnah filiyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw, Misalnya tindakan beliau melaksanakan
shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara. syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan
ibadah haji, dan sebagainya.

3) Sunnah taqriniyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui
pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh
sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.

b. Kehujjahan As-Sunnah

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-
ayat al-Qur'an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah
bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat
bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada
yang sifatnya mutaba ah diikuti) yaitu tha 'ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah)
misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba'ah (tidak diikuti) yaitu
jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode
pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih
dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba'da Ashar.

Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang
diistinbathkan dari al-Qur'an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan
65, dan Al- ahzab: 36.

c. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur'an

As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni
hubungannya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya
dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur'an. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain. As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al- Qur'an
disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta'ala dalam QS.al- Hlasyr: 7,
an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.

d. Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur'an


Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur'an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi
sebagai berikut.

1). As-Sunnah berfungsi sebagai ta'kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-
Qur'an. Hukum tersebut mempunyai 2 Dasar hukum, yaitu Al- Qur'an sebagai penetap hukum dan
As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, larangan syirik. riba dan sebagainya.

2) As-Sunnah sebagai bayam (penjelas)

3). Takhshish (pengkhusus) dan taquid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal
(global), am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur'an yang belum jelas
petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah.
Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda:
"Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat," (HR. Bukhari)

3. Ijma'

a. Definisi

Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam
pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu masalah.
Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat
Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian
tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.

b. Kehujjahan Ijma'

Apabila keempat rukun ijma terpenuhi :

1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya peristiwa,

2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar belakang.

3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid,

4. Realisasi dari kesepakatan mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara
masa-masa sesudah Rasulullah SAW walat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut
perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan kepada suatu kejadian
untuk diketahui hukum syara'nya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat, baik
secara kolektif ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum mengenai
suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang- undang syar'I yang wajib
diikuti dan tidak boleh ditentang.

Jadi kehujjahan ijma' sebagaimana dalam Qur'an Surat An-Nisa ayat 59. Allah memerintahkan
orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan
Ulil Amrisebagai Ulama', jika ulama telah sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu
diikuti dan ditaati.

c. Macam-Macam Ijma'

Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu:
1) Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian
dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi
fatwa atau memberi keputusan.

2) Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara
jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak
menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya. Sedangkan dilihat
dari segi qath'i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai
berikut.

1) Qoth Ijma 'i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan
lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum
syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.

2) Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat
mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil
ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.

4. Qiyas

a. Pengertian

Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul
Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada
nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu
dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang
hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90.
Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan
hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.

b. Rukun-Rukun Al-Qiyas

Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut

I). Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut Maqis
'Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).

2). Al-Far'u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya
disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)

3). Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai sebagai
hukum asal bagi al-Far'u.

4). Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl kemudian al-Far'u itu
disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari hasil penjabaran diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwasannya dalam ushul fiqh
bertemakan sumber hukum islam yang disepakati ada beberapa macam pembahasan yaitu Al-
Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas, merupakan sumber hukum islam itu sendiri digunakan dalam
mencari hukum didalam suatu permasalahan yang ada. Al-Qur'an sendiri yaitu Kalamullah yang
diturunkannya kepada Nabi Muhammad, dengan secara tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab,
yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir. Bahwasannya setiap orang yang membacanya
maka akan bernilai ibadah, namun dalam Al-Qur'an sendiri terdapat banyak pembahasan
diantaranya yaitu penjelasan Al-Qur'an terhadap hukum, hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an,
dan cara Al- Qur'an menjelaskan hukum. Sedangkan Sunnah yaitu sesutau perkataan, perbuatan dan
pengakuan Rasulullah saw. yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri'. Oleh sebab itu, sunnah
terhadap Al-Qur'an sendiri adalah memberi penjelasan/menguatkan hukum yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur'an. sumber hukum islam yang di sepakati itu ada empat yaitu: Al-quran,
Sunnah, Ijtima’ dan Qias.

Ijma' memiliki arti pandangan para sahabat Nabi dan pencapaian persetujuan dalam berbagai
keputusan dan dilakukan oleh para ulama, fuqoha atau mufti yang ahli didalam banyaknya persoalan
dinul islam. Dalam ijma' sendiri terdapat pendapat ulama', diambil menurut Ahl al-Sunnah
bahwasannya ijma' memposisikan sebagai dalil yang dapat berdiri sendiri setelah dua sumber hukum
sebelumnya (al-qur'an dan sunnah) akan tetapi didalam ijma juga terdapat perbedaan pendapat
berkaitan dengan adanya pembatasan dan persyaratan, baik dari batasan dalam pendefinisiannya
dan lain sebagainnya. Yang terakhir yaitu Qiyas yang memiliki arti menyamakan suatu masalah baru
yang tidak memiliki ketentuan hukumnya dalam Al-qur'an dan Sunnah Nabi dengan masalah yang
memang sudah ada hukumnya didalam Al-qur'an dan Sunnah yang berdasarkan dengan adanya
persamaan illat hukumnya.

B. Saran

Untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat hendaklah kita benar-benar mengetahui apa
yang menjadi landasan hukum itu saran pemakalah setiap perlakuan hendaklah memiliki dasar yang
kuat agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Rahman,A. 2002.Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah).RajaGranfindoPersada.

Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Samarang: Dina Utama, 1999).

Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.

Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Departemen Agama RI. 1971. Al-Qur'an dan terjemahnya: Jakarta.

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999).

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999).

Anda mungkin juga menyukai