Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Sumber Hukum Islam

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu:

Dr. H. M. Hasan Ubaidillah, S.HI, M.SI

Disusun Oleh:

1. Abdul Aziz Makhfud M. (C71219048)


2. Anis Nabilatul Fanny (C71219056)
3. Lailatul Fitriyah (C71219070)

KELAS B

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan
hidayahnya sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Sumber Hukum
Islam” dengan tepat waktu.

Makalah “Sumber Hukum Islam” disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Hukum Islam. Selain itu, kita berharap makalah ini dapat menambah wawasan kepada
pembaca tentang Sumber Hukum Islam.

Terimakasih kita ucapkan kepada Bapak Dr. H. Hasan Ubaidillah, S.HI, M.SI. selaku
dosen pengampu Filsafat Hukum Islam, yang telah membimbing kita dalam mata kuliah ini.
Serta kepada semua pihak yang telah membantu sehingga kita dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari, makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.

Lamongan, 25 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2

A. Dalil-dalil Hukum ................................................................................................. 2


B. Al-Qur’an............................................................................................................... 3
C. Al-Sunnah .............................................................................................................. 4
D. Ijma’ ....................................................................................................................... 6
E. Qiyas ....................................................................................................................... 8
F. Dalil-dalil Hukum Lainnya .................................................................................. 12
G. Ijtihad ..................................................................................................................... 14
H. Taqlid ..................................................................................................................... 16

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 19

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan
yang sangat menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa Dinul Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah suatu agama yang segaligus menjadi
pandangan atau pedoman hidup. Banyak sumber-sumber ajaran islam yang digunakan
mulai zaman muncul pertama kali islam pada masa Rasulullah sampai pada masa
modern sekarang ini.
Sumber-sumber yang berasal dari agama islam merupakan sumber ajaran yang
yang sudah dibuktikan keberadaanya yaitu bertujuan untuk kemalahatan umat manusia,
sumber-sumber ajaran islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam
mengatasi berbagai masalah seperti bidang akidah, sosial ekonomi, sains, teknologi dan
sebagainya. Islam sangat mendukung umatnya untuk belajar ilmu pengetahuan,
terutama yang bersumber dari sumber ajaran Al-Quran, al- sunnah, ijma’, qiyas, dan
juga ijtihad. Begitu sempurna dan lengkapnya sumber-sumber ajaran islam. Namun
masalah disini adalah banyak umat islam yang belum mengetahui diperkecil luas dan
lengkapnya sumber-sumber ajaran islam guna mendukung umat islam untuk maju
dalam bidang pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi dalil-dalil dalam hukum islam?
2. Bagaimana kedudukan al-quran dan al-sunnah sebagai sumber hukum islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dalil-dalil yang ada didalam hukum islam
2. Untuk mengetahui kedudukan al-quran dan a-sunnah sebagai sumber hukum
islam

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dalil-dalil Hukum
Secara etimologi “dalil” berarti Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat
material maupun non material (maknawi). Sedangkan "dalil" (dari bahasa Arab: al
dalil, jamaknya al adillah). 1 Secara terminologi, dalil berarti “sesuatu yang padanya
terdapat penunjukkan pengajaran baik yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang
meyakinkan atau kepada dugaan yang kuat dan tidak meyakinkan (di kalangan fuqoha).
Menurut Suparman Usman, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan
berfikir yang benar dalam memperoleh atau menemukan, mendapatkan hukum (syara’),
baik yang qoth’y (pasti) maupun yang dhanny (relatif).2
Para ulama ushul fiqh pun sebenarnya menyatakan bahwa hukum Islam itu
seluruhnya berasal dari Allah. Rasul hanya berfungsi sebagai penegas dan penjelas (al-
mu'akkid wa al-mubayyin) hukum-hukum yang disampaikan Allah melalui wahyu-
Nya, sekalipun terkadang Rasulullah SAW, menetapkan hukum tertentu melalui
Sunnahnya, ketika wahyu tidak turun dari Allah. Akan tetapi, ketetapan Rasulullah
SAW ini juga tidak terlepas dari bimbingan wahyu.3
Asy Syatibi mengemukakan prinsip-prinsip suatu dalil syara’ :
1. Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal. Prinsip ini didasarkan
kepada:
a. Kalau ia menyalahi akal bukanlah ia dalil syara’ untuk hamba yang
berakal;
b. Kalau menyalahi akal berarti membebani manusia dengan sesuatu yang
ia tidak mampu;
c. Sumber taklif adalah akal;
d. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalil syara’ berlaku menurut akal.
2. Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia mukallaf
dalam perhitungannya.

1 Suparman Usman, Itang, Filsafat Hukum Islam, (Serang: Laksita Indonesia, 2015), hal 21.

2 Ibid., hal 22.

3 Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, (Medan: Cita Pustaka, 2007), hal 74.

2
3. Setiap dalil bersifat kulli, seandainya ia juz-iadalah tersebab oleh hal-hal
mendatang dan tidak menurut asal penetapannya.
4. Dalil syara’ terbagi kepada qot’i dan zanni
5. Dalil syara terdiri dari dalil naqli dan aqli.4

Dalam literatur ushul fiqh, baik dari ushul fiqh-klasik maupun kontemporer
ditemukan bahwa sumber atau dalil syara' itu selalu dikelompokkan kepada Adillah al
ahkam al-muttafaq 'alaiha (dalil-dalil hukum yang disepakati) dan adillah al-ahkun
amukhtalaf fiha (dalil-dalil hukum yang diperselisihkan).
Adillah al-ahkam al-muttafaq alaiha, menurut nereka, terdiri atas al-Qur'an,
Sunnah, ijma’ dan qiyas. Sedangkan adillah al-ahkam ad-mukhtalaf fiha terdiri atas
istishan, istishab, mashlahah al-mursalah, al'urf, sadd aldzari'ah, mazhab shahabi, dan
syar'u man qablana.
Penerapan adillah al-mutafaq 'alaihah tersebut, didasarkan kepada firman
Allah,dalam surah an-Nisa 4. 59.

B. Al-Qur’an
Secara etimologi, al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau
“sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata al-Qur’an adalah bentuk kata benda
(masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Sedangkan secara terminologi
al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
secara mutawatir melalui malaikat Jibril dari mulai surat Al-Fatihah diakhiri surat An-
Nas dan membacanya merupakan ibadah.
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah
yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-
Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab
Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai
ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan sumber filsafat hukum Islam yang abadi dan asli,
AlQur'an berkedudukan sebagai sumber pertama dan utama hukum dalam Islam.
Kedudukan ini mengharuskan ummat Islam memahami pesan- pesan yang

4 Suparman Usman, Itang, Filsafat Hukum Islam, hal 22.

3
dikandungnya untuk dilaksanakannya dalam kehidupan sebagai upaya mengatur
perilaku yang berhubungan dengan semasa manusia, maupun manusia dengan
penciptanya. Demikian pula seluruh persoalan yang berkaitan dengan hukum mesti
dicarikan jawabannya terlebih dahulu dari petunjuk yang terkandung di dalam Al-
Qur’an.5
Al-Qur’an secara redaksional dan makna yang dikandungnya bersifat qath'i al
wurud maksudnya adalah lafaz al- qur'an dan pesan yang di kandungnya terjamin
keotentikan dan otoritas kebenarannya.
Pada aspek dalalah al-ahkam tunjukan hukum ayat-ayat al-Qur'an sebagian
bersifat pasti dan tegas qath'iy al dalalah dan sebagian lainnya bersifat tidak pasti dan
tidak tegas zhanny al-dalalah, ayat qath'i merupakan lafaz-lafaz al Qur'an yang dapat
dipahami maknanya secara jelas dan hanya mengandung satu arti yang tidak
memerlukan ijtihad dan ta’wil seperti ayat-ayat warisan, hudud, dan kafarah.
Sedangkan ayat zhanny merupakan lafaz al Qur'an yang mengandung pengertian lebih
dari satu sehingga membuka peluang terjadinya keragaman pengertian dan
memungkinkan untuk ditakwil dan dapat diijtihadi, ar seperti pengertian lafaz quru'
pada surat al Baqarah: 228 yang dapat di artikan dengan suci atau haidh.6
Hukum yang dijelaskan di dalam al-Qur'an secara keseluruhan dapat
dikelompokkan kepada persoalan ibadah dan mu'amalah. Ibadah yang dimaksudkan di
sini adalah ibadah yang bersifat khusus, yaitu hubungan yang berhubungan dengan
tuhan seperti sholat, puasa dan ibadah-ibadah pokok. Penggunaan kata khusus di sini
untuk membedakannya dengan ibadah dalam arti umum yaitu seluruh aktifitas yang
dilakukan untuk mendapat ridho Allah swt.7

C. Al-Sunnah
As-Sunnah atau sering disebut juga al-Hadits mempunyai arti yang sama, yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan,
perbuatan maupun takrirnya. Kalaupun ada perbedaan sangat tipis sekali, as-Sunnah
yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja, sedang Al-

5 Suparman Usman, Filsafat Hukum Islam, hal 25.

6 Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam., hal 61.

7 Ibid., Hal 64.

4
Hadits disandarkan bukan saja kepada Nabi Muhammad SAW. akan tetapi kepada para
sahabat Nabi. Dasar pokok as-Sunnah sebagai sumber hukum, surat an-Nisa [4] ayat
59.
Sunnah dari segi materi dan esensinya terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1. Sunnah Qouliyah
Sunnah qouliyah adalah ucapan/perkataan Nabi SAW. yang didengar oleh para
sahabatnya yang kemudian ucapan ini dijadikan sebagai hukum untuk
dilaksanakan. Seperti ucapan (hadits Nabi SAW.), yang artinya:
“Barangsiapa tidur sehingga meninggalkan shalat, atau lupa, maka
kerjakanlah shalat (yang ditinggalkan itu) ketika ingat”
2. Sunnah Fi’liyah
Sunnah fi ’liyah yaitu semua perbuatan Rasul. Kecuali perbuatan-perbuatan
nabi yang bersifat pribadi atau khusus untuk Nabi tidak wajib ditaati kecuali ada
penjelasan berupa hadits. Seperti:
“Lakukanlah shalat percis sebagaimana kalian melihatku mengerjakan
shalat”.
“Belajarlah dariku, manasik haji kalian”.
3. Sunnah Taqririyah
Sunnah taqririyah yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan
dan perbuatan orang lain (membiarkan/Nabi tidak melarang atau
memerintahkannya).
Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah SAW. dari tiga bentu di atas
(qouliyah, fi ’liyah dan taqririyah) merupakan sumber hukum Islam yang menempati
posisi kedua setelah al-Qur’an.8
Kedudukan Al-Sunnah terhadap al-Qur’an, sebagaimana dirumuskan dalam tiga hal,
yaitu:
1. Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang
mujmal.
2. Sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah
ditetapkan dengan nash al-Qur’an. Seperti sunnah datang dengan membawa
hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan pokok tersebut.

8 Suparman Usman, Filsafat Hukum Islam, hal 28-30.

5
3. Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-
Qur’an.9

D. Ijma’
Secara etimologi, ijma’ berarti “kesepakatan” atau konsensus, dan ketetapan
hati untuk melakukan sesuatu. Mayoritas ulama mendefinisikan ijma’ sebagai
kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum syara’ setelah
wafatnya Rasulullah.10 Pengertian menunjukkan sebuah musyawarah formal yang
dihadiri para mujtahid (ulama) yang berakhir dengan keputusan mufakat. hal ini pada
masa sekarang tentu mengalami kesulitan teknis, mengingat jumlah umat dan wilayah
Islam yang banyak dan meluas. Sehingga ijma’ dalam pengertiannya yang kaku seperti
di atas mustahil untuk dicapai pada masa sekarang. Syarat-Syarat Ijma’ Ijma’ itu dapat
terwujud apabila ada empat unsur, yaitu11:
1. Ada sejumlah mujtahid ketika suatu kejadian, karena kesepakatan (ijma’) tidak
mungkin ada kalau tidak ada sejumlah mujtahid, yang masing-masing
mengemukakan pendapat yang ada penyelesaian pandangan.
2. Yang bersepakat adalah para Mujtahid. Secara umum mujtahid itu diartikan
sebagai ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbaht hukum dari
hukum-hukum syara’.
3. Bila ada kesepakatan para mujtahid umat Islam terhadap hukum syara’ tentang
suatu masalah atau kejadian pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri,
kebangsaan atau kelompok mereka.
4. Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudakan dalam suatu hukum tidak
dapat dianggap ijma’ kalau hanya berdasarkan pendapat mayoritas, jika
mayoritas setuju, sedangkan minoritas tidak setuju. Berarti tetap ada perbedaan
pendapat.
5. Kesepakatan para mujtahid itu terjadi setelah ada tukar menukar pendapat lebih
dahulu, sehinga diyakini betul putusan yang akan ditetapkan.

9 Ibid., hal 32.

10 Ahsanuddin Jauhar, Filsafat Hukum Islam, (Bandung, PT. Liventurindo, 2020) hal. 77

11 Suparman Usman, Filsafat Hukum Islam, hal 42

6
Adapun rukun-rukun ijma’ ialah sebagai berikut 12:
1. Pembahasan hukum syara’ yang terlibat dalam pelaksanaan ijma’ tersebut
adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka yang tidak setuju,
sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan
hukum ijma’.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid
yang ada pada masa tersebut.
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pendapatannya.
4. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an atau hadits Rasulullah
SAW.
Tingkatan ijma’ terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu13 :
1. Ijma’ Sharih
Ijma’ Sharih Yaitu semua mejtahid mengemukakan pendapat mereka masing-
masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan).
Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang
mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati
salah satunya.
2. Ijma’ Sukuti
Ijma’ Sukuti Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang
diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau
pun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa kriteria berikut :
a. Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan
atau penolakan.
b. Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk
memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk
mengemukaka hasil pendapatnya.
c. Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah
permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat

12 Ibid, hlm 44

13 Suparman Usman, Filsafat Hukum Islam , hlm. 45

7
dzanni. Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di ijtihadi atau yang
bersumber dari dalil-dalil qath’I, jika seorang mujtahid mengeluarkan
pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam.
Hal itu tidak bisa disebut ijma’.

Para ulama memandang ijma’ sukuti ini menjadi tiga pendapat14 :

1. Imam Syafi ’i dan mayoritas fuqaha mengemukakan : tidak memasukkan ijma’


sukuti ini kedalam kategori ijma’. Mereka beralasan bahwa orang yang diam
tidak dapat dipandang sebagai orang yang berpendapat. Oleh karena itu, jika
diam dipandang sebagai ijma’, berarti diam itu dapat dianggap sebagai
pembicaraan yang dinisbatkan kepada serorang mujtahid yang belum tentu
menerima pendapat tersebut.
2. Sebagian fuqaha itu beralasan bahwa pada dasarnya diam tidak dapat
dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung atau berfi kir. Selain itu, pada
umumnya tidak semua pemberi fatwa (mufti) memberikan keterangan pada
suatu masalah. Tetapi yang umum pada setiap masa (generasi) adalah para mufti
besar memberikan fatwa, sedang ulama yang lain menerimanya.
3. Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) akan tetapi tidak termasuk
dalam kategori ijma’. Ulama yang berpendapat demikian, mereka beralasan
bahwa meskipun ijma’ sukuti tidak memenuhi kriteria ijma’, tidak setiap orang
alim mengemukakan pendapatnya, akan tetapi dapat dijadikan hujjah, karena
diamnya seorang ulama lebih kuat menunjukkan arti setuju, dibanding sikap
menentang.

Ijma’ tidak dipandang sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan
merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa
sandaran adalah tidak sah.

E. Qiyas
Secara etimologis berarti “mengukur”, “membandingkan” sesuatu dengan
sesuatu yang lain, didefinisikan oleh para ahli hukum Islam dengan menyamakan

14 ibid., hal 46

8
hukum cabang kepada hukum asal, karena sama alasannya15. Metode kedua yang
disepakati oleh para ulama adalah qiyas.
Salah satu definisi yang dikemukakan ulama ialah Muhammad Abdul Gani
yang menyebutkan bahwa Qiyas ialah, menghubungkan sesuatu persoalan yang tidak
ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan suatu persoalan yang telah disebutkan
oleh nash, karena diantara keduanya terdapat pertautan (persoalan) ’’illat hukum.
Mayoritas ulama’ Syafi ’iyah juga mendefinisikan qiyas ialah, membawa
(hukum) yang belum diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka
menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya,
disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.
Mereka sepakat menyatakan bahwa proses menetapkan hukum melalui qiyas
bukanlah berarti menetapkan hukum dari awal (itsbat al-hukmi wa insya’uhu),
melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukumnya (al-kasyfu wa izhhar li
alhukmi) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya melalui pembahasan
mendalam dan teliti terhadap ‘‘illat dari suatu kasus atau kejadian yang dihadapi.
Menurut para ahli ushul fiqih rukun qiyas terbagi empat bagian, yang kempat ini mesti
terpenuhi dalam penerapan qiyas, yaitu16:
1. Adanya pokok ( ) yaitu persoalan yang telah ditetapkan hukumnya dalam nash
Ashl ini disebut juga al-muqis ‘alaih, yaitu ukuran yang menjadi sandaran qiyas.
Dengan kata lain ashl merupakan obyek yang telah ditentukan hukumnya oleh
ayat-ayat al-Qur’an, hadits Rasul Saw, atau ijma’.
2. Adanya cabang ( ) yaitu persoalan atau permashlahan baru yang belum ada nash
yang menjelaskan hukumnya dan ia akan disamakan hukumnya dengan pokok
(ashl)-nya.
3. Adanya hukum( ) yakni ketetapan hukum pada pokok yang nantinya akan
diberlakukan pada furu’, baik yang ditentukan oleh nash atau ijma’.
4. Adanya ‘illah ( ) yaitu sifat atau keadaan yang terdapat dalam ashl (pokok) yang
menjadi dasarpenetapan atau penyariatan hukum. Pemberlakuan hukum pokok
pada cabang ini karena adanya kesamaan ‘‘illat antara keduanya.

15 Ahsanuddin Jauhar, Filsafat Hukum Islam, hal. 80

16 Suparman Usman, Filsafat Hukum Islam, hal. 54

9
Membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada
setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas, sehingga qiyas dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum, berikut adalah syarat-syarat qiyas17 :
1. Ashal, yaitu berupa kejadian atau peristiwa yang mempunyai dasar nash, karena
itu telah ditetapkan hukumnya. Syarat-syarat ashal ialah sebagai berikut :
a. Hukum Ashal itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung
kemungkinan di-naskh-kan (dibatalkan).
b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’.
c. Ashal itu bukan merupakan far’u dari ashal lainnya.
d. Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak
bersifat umum.
e. Ashal itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
f. Hukum Ashal itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2. Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis ‘alaih yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan
diberlakukan pada furu’.
3. Furu’ yakni sebagai sesuatu yang di bangun atau dihubungkan kepada sesuatu
yang lain. Syarat-syarat Furu’ ialah sebagai berikut:
a. ‘Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang
terdapat pada ashal, baik pada zatnya maupun pada jenisnya.
Maksudnya, seluruh ‘illat yang terdapat pada ashal juga terdapat pada
furu’.
b. Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
c. Hukum far’u tidak mendahului hukum ashal.
d. Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya,
tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu
bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas
ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’. Qiyas yang
bertentangan dengan nash atau ijma’, di sebut para ulama ushul fi qh
sebagai qiyas fasid, yaitu qiyas yang rusak.

17 ibid., hal. 55

10
4. Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan mrupakan unsur yang
terpenting, karena adanya ‘illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang
menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain. Para
Ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk
kemashlahatan hamba-hambaNya.
Adapun macam-macam qiyas:
1. Ditinjau dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi
menjadi dua yaitu18:
a. Qiyas al-jaly, yaitu qiyas yang ‘illat-nya secara langsung telah
ditetapkan oleh nash, atau penetapan ‘illat-nya tidak secara langsung
akan tetapi keadaanya telah dipastikan dengan cara meniadakan
pengaruh sifat yang membedakan antara ashl dan far’u.
b. Qiyas al-khafi , yaitu qiyas yang peniadaan pengaruh sifat pembeda
antara ashl danfar’u-nya hanya sebatas prasangka.
2. Ditinjau dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat dalam furu’ dibanding dengan
yang ada pada ashl, qiyas dibagi kepada tiga bentuk yaitu :
a. Qiyas al-Aulawy, yaitu qiyas yang hukum pada furu’-nya lebih kuat
daripada yang terdapat pada ashl, karena ‘illat yangterdapat pada furu’
lebih kuat daripada yang terdapat pada ashl.
Contoh : mengkiyaskan memukul kepada ucapan “ah” sebagaimana fi
rman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 23. Para ulama ushul mengatakan
bahwa ‘illat larangan tersebut adalah menyakiti orang tua. Keharaman
memukul orang tua lebih kuat daripada mengatakan “ah”. Kalau
mengucapkan kata “ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama
apalagi memukul, tentu itu lebih dilarang.
b. Qiyas al-Musawa, yaitu hukum yang ada pada furu’ asma kualitasnya
dengan yang ada pada ashl, karaena kualitas ‘llat pada keduanya sama.
Contoh : firman Allah dalam surat anNisa’ ayat 2 ; “Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta

18 Suparman Usman, “Filsafat Hukum Islam”, hlm. 58

11
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar
dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.
Ayat di atas melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar.
Para ulama ushul fi qh meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim
kepada memakan harta mereka secara tidak wajar .
c. Qiyas al-Adna, yaitu ‘illat yang pada furu’-nya lebih lemah
dibandingkan yang ada pada ashl. sebagai contoh men-qiyaskan apel
pada gandum dalam hal berlakunya riba fadl.
Contoh : Sebagaimana dijelaskan dalm sebuah hadits bahwa benda
sejenis apabila di pertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka perbedan
itu menjadi riba fadl, akan tetapi berlakunya ribafadl pada apel lebih
lemah daripada berlakunya pada gandum, karena ‘illat riba fadl pada
gandum lebih kuat.

F. Dalil-dalil Hukum Lainnya


Metode yang dimaksud disini adalah cara, teori, atau kerangka konseptual yang
dipergunakan para ulama dalam menetapkan hukum suatu persoalan. Metode-metode
ijtihad dikelompokkan menjadi dua, yaitu metode yang disepakati berlakunya oleh
jumhur ulama (fuqaha dan usuliyyin) dan metode yang diperselisihkan di antara
mereka. Metode yang disepakati berlakunya adalah Ijma’ dan Qiyas, sedangkan metode
yang tidak disepakati antara lain: istihsan, istishah,maslahah mursalah, ‘urf, dan
saddudz dzari’ah19.
1. Istihsan
Artinya memandang dan menyakini baiknya sesuatu menurut Syatibi,
istihsan adalah meberlakukan kemaslahatan parsial ketika berhadapan dengan
kaidah umum, atau mendahulukan maslahah mursalah dari qiyas. Dalam hal ini,
ada dua alternatif jawaban, yaitu syara atau akal. atau dapat diartikan dengan
kata lain mengalihkan hukum sesuatu kepada hukum baru karena adanya alasan
yang lebih kuat, atau lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Yang membolehkan : mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, karena
menganggap merupakan hukum yang kuat dalam menetapkan hukum syara.

19 Ibid

12
Yang melarang : imam Syafi’I, Az-Zahiri, Syi’ah dan Mu’tazilah20Misalnya
Pengalihan hukum berdasarkan darurat, seperti hukum menjual kotoran
binatang. Manurut qiyas, hukum jual beli kotoran binatang adalah haram,
Namun, menurut istihsan hukum jual beli tersebut boleh, karena dapat
memenuhi sebagian kebutuhan yang mendesak, khususnya dibidang pertanian.
2. Istishab
Secara etimologi, istishab artinya membandingkansesuatu dan
mendekatkannya. Dalam kajian metode ijtihad,istishab adalah memberlakukan
hukum asal yang ditetapkanberdasarkan nash sampai ada dalil lain yang
menunjukkanperubahan hukum tersebut. Jika suatu perkarasudah ditetapkan
hukumnya pada suatu waktu, makaketetapan tersebut akan tetap berlaku sampai
ada dalil baru yang mengubahnya.21
Misalnya Hak milik suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus,
sebagai akibat dari adanya transaksi, sampai ada sebab lain yang mengakibatkan
hak milik itu berpindah ke tangan orang lain.22
3. Maslahah Mursalah
Dikutip dari jurnal Penerapan Maslahah Mursalah Dalam Ekonomi
Islam karya Prof. Dr. Ahmad Qorib dan Dr. Isnaini Harahap, maslahah
mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal. Namun dengan pertimbangan
dapat mewujudkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia. Di
mana apa yang baik menurut akal juga selaras dengan tujuan syara menetapkan
hukum. Dan apa yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara
tersebut tidak ditemukan petunjuknya secara khusus, baik berupa pengakuannya
maupun penolakannya.23
Misal Dalam Alquran dan sunah Rasul tidak ada nash yang melarang
mengumpulkan Alquran dari hafalan ke dalam bentuk tulisan. Namun sahabat
di masa Abu Bakar menulis dan mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf

20 Ibid. 84

21 Suparman Usman, Itang, Filsafat Hukum Islam. Hal 39.

22 Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam. hal 85

23 Ibid

13
karena maslahat, yaitu menjaga Alquran dari kepunahan karena meninggalnya
sejumlah penghafal Alquran dari generasi sahabat.
4. Urf
Secara etimologi, ‘urf berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat
diterima akal sehat. Menurut ulama usul fiqh, ‘urf adalah kebiasaan mayoritas
masyarakat baik dalam perkataan maupun perbuatan. Urf dikatakan sahih
adalah yang mana kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash.
Contoh; menjamu tamu dengan baik, gotong royong dalam membersihkan
lingkungan, menjaga ketertiban dengan ronda, dll.
5. Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa Saddudz Dzari’ah berarti melarang jalan yang menuju
kepada sesuatu. Para ulama mendifinisikannya dengan “mencegah sesuatu yang
menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan
seseorang pada kerusakan”. Jika ada suatu perbuatan baik tetapi dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka menurut metode ini perbuatan
tersebut harus dicegah atau dilarang.24
Imam Syafi’i mencontohkan, jika ada seorang yang sakit, maka dia
boleh meninggalkan salat jum’at dan menggantinya dengan salat zuhur. Namun.
Agar tidak menimbulkan aggapan buruk, maka dia harus melakukannya secara
diam diam, supaya orang tidak menyangkanya sengaja meninggalkan salat
jum’at.

G. Ijtihad
Adapun pengertian ijtihad secara terminologi yang dikemukakan Menurut
Yusuf Qardhawi, Ijtihad adalah merupakan semua kemampuan dalam segala perbuatan,
guna mendapatkan hukum syara’ dan dalil terperenci dengan cara istinbat (mengambil
kesimpulan). Juga pula pendapat Al-Ghozali yakni, Ijtihad adalah pengerahan
kemampuan oleh Mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang hukum syara'25
Lapangan ijtihad yaitu masalah-masalah yang belum diatur hukumnya secara
pasti oleh al-Qur’an dan as-Sunah. Maka dalam masalah-masalah yang hukumnya

24 Ibid hal 87

25 Suparman Usman, hal.36

14
sudah diatur secara pasti dan jelas dalam nash al-Qur’an dan as-Sunah tidak perlu lagi
berijtihad, melainkan diwajibkan untuk melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan26
Tingkatan mujtahid terdiri beberapa tingkatan27, yaitu:
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil. Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara
menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang di-pergunakan
sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-
norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.
Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi , Imam Malik, Imam
Syafi ’i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib.Yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan
mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid
muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka
memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak
menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud
dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi ’i
seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin
Hasan dan Abu Yusuf.28
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa.
Yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab
tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah
istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu’/fi qih yang telah
dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang
memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan
menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih
dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari
madzhab Syafi ’i.29

26 Ibid.

27 Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016), hal 111.

28 Suparman Usman, Filsafat Hukum Islam. Hal 37

29 Ibid.

15
4. Ijtihad di bidang tarjih. Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari
beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu
maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara
pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan
kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi ’i, hal itu
bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi ’i. Sebagian ulama
mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali
perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka
menjadikannya satu tingkatan.
Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Berbicara tentang syarat-syarat ijtihad tidak lain
dari berbicara tentang syarat-syarat mujtahid, demikian pula sebaliknya.30
Imam Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat:31
1. Mengetahui dan menguasai ilmu syara’ mampu melihat yang dhonniy di dalam
hal-hal yang syara’ mendahulukan apa yang wajib didahulukan dan
membelakangkan apa yang mesti dikemudiankan.
2. Hendaknya seorang yang adil, menjauhi segala maksiyat yang membuat
cemarkan sifat dan sikap keadilan (‘adalah). Ini penting karena syarat ini
menjadi landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang
yang tidak mempunyai sifat ‘adalah yang demikian, fatwanya tidak boleh
menjadi pegangan. Adapun sifat yang tidak adil untuk dirinya sendiri artinya
fatwa atau ijtihad itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil tidaklah menjadi
halangan. Artinya di dalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja berijtihad untuk
dirinya sendiri dan fatwanya menjadi pegangan untuk dirinya sendiri.

H. Taqlid
Menurut istilah Taqlid adalah:32
1. Mengikut pendapat orang lain tanpa mengetahui hujjah/dalil kebenaran
pendapat tersebut.

30 Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam, hal.77

31 Suparman Usman, Filsafat Hukum Islam. Loc.Cit

32 Nur Khasanah, Ahmad Irwan Hamzani, Havis Aravik, "Taqlid dan Talfiq dalam Konsepsi Hukum Islam", Mizan: Jurnal
Islamic Law, Vol. 3, No. 2, (2019), hal. 157

16
2. Suatu ungkapan yang mencerminkan sikap seseorang yang mengikuti orang
lain, baik dalam pendapatnya maupun perbuatannya dengan meyakini
realitasnya tanpa melakukan penyelidikan dan pemikiran terhadap dalilnya.
3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalilnya
Pendapat atau topik yang dapat menjadi Objek taqlid dapat dijelaskan dengan ketentuan
hukum sebagai berikut33:
1. Taqlid dalam akidah, yakni taqlid terhadap hal-hal yang terkait erat dengan
keyakinan terhadap hal-hal yang termasuk dalam pengetahuan dasar dan
fundamental dalam agama Islam. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat,
mayoritas ulama berpendapat bahwa taqlid dalam akidah termasuk dalam hal
yang diharamkan, bahkan bagi seorang mukallaf diwajibkan untuk
menggunakan nalar dan pemikiran yang mapan. Adapun mazhab Zahiri justru
berpendapat wajib hukumnya bertaqliddalam akidah, dan bahkan diharamkan
menggunakan penalaran.
2. Taqlid dalam ushul al-din yang meliputi pemahaman terhadap sifat wajib,
muhal dan jaiz bagi Allah SWT. Ulama berbeda pendapat dalam konteks ini,
sebagian dari ulama menetapkan larangan taqlid dalam ushul al-din, sementara
mayoritas ulama justru memperbolehkan dengan pertimbangan bahwa ushul al-
din dapat dimasukkan dalam kategori furu‘.
3. Taqlid dalam al-Furu‘, yakni taqlid dalam hal-hal yang terkait amaliah ibadah
seseorang. Mayoritas ulama memperbolehkan taqlid dalam hal tersebut. Dengan
pertimbangan bahwa Allah Swt telah memerintah dalam surat an-Nahl [16]: 43
bagi orang yang tidak mempunyai ilmu untuk bertanya kepada orang yang
mempunyai ilmu. Tiada lain maksud dari perintah bertanya adalah menjalankan
pendapat dari orang yang ditanya, sehingga dapat dijadikan dasar
diperbolehkannya taqlid dalam hal yang terkait dengan al-furu‘. Berbeda halnya
dengan sebagian ulama tertentu yang tidak memperbolehkannya kecuali
memang terkait dengan hukum yang valid argumentasinya.34
Sebenarnya para imam mazhab sendiri tidak pernah menyuruh orang-orang yang
datang sesudah mereka untuk bertaqlid kepada mereka. Apalagi tidak ada ayat Alquran

33 Ibid.

34 Ibid. hal 159

17
dan Hadis yang mewajibkan seorang muslim untuk berpegang pada mazhab tertentu.
Masing-masing mazhab mempunyai kekurangan dan kelebihan. Untuk itu, perlu diteliti
ulang dan dipilih pendapat yang lebih relevan dengan situasi zaman sekarang.35
Pada sisi lain, realitas dari sikap taqlid masih menyisakan persoalan. Pasalnya,
sebagai akibat dari taqlid, paling tidak akan berimbas pada dua hal, pertama,
melemahnya nalar kritis umat Islam, terlebih dalam persoalan informasi keagamaan.
Kedua, memudarnya daya kreatifitas seseorang, sehingga seseorang sudah merasa baik,
benar dan sesuai dalam pelaksanaan ibadah dan sebagainya, konsekuensinya aturan-
aturan dalam hukum Islam tidak berkembang dengan baik, dan permasalahan-
permasalahan baru tidak dapat dipecahkan. Umat Islam dan ajaran-ajarannya sedikit
demi sedikit mengalami kemunduran dalam berbagai bidang kehidupan.36

35 Ibid. hal 172

36 Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam. hal 83

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam literatur ushul fiqh, baik dari ushul fiqh-klasik maupun kontemporer
ditemukan bahwa sumber atau dalil syara' itu selalu dikelompokkan kepada Adillah al
ahkam al-muttafaq 'alaiha (dalil-dalil hukum yang disepakati) terdiri atas al-Qur'an,
Sunnah, ijma’s dan qiyas dan adillah al-ahkun amukhtalaf fiha (dalil-dalil hukum yang
diperselisihkan) terdiri atas istishan, istishab, mashlahah al-mursalah, al'urf, sadd
aldzari'ah, mazhab shahabi, dan syar'u man qablana.
. Al-Qur’an merupakan sumber filsafat hukum Islam yang abadi dan asli,
AlQur'an berkedudukan sebagai sumber pertama dan utama hukum dalam Islam.
Hukum yang dijelaskan di dalam al-Qur'an secara keseluruhan dapat dikelompokkan
kepada persoalan ibadah dan mu'amalah.

Sumber hukum Islam yang menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Kedudukan Al-
Sunnah terhadap al-Qur’an, dirumuskan dalam tiga hal, yaitu:
1. Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang
mujmal.
2. Sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah
ditetapkan dengan nash al-Qur’an. Seperti sunnah datang dengan membawa
hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan pokok tersebut.
3. Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-
Qur’an.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ahsanuddin, J. (2020). Filsafat Hukum Islam. Bandung: PT. Laventurindo.


Arfa, F. A. (2007). Filsafat Hukum Islam. Medan: Cita Pustaka.
Nur Khasanah, A. I. (2019). Taqlid dan Talfiq Dalam Konsepsi Hukum Islam. mizan: journal
Islamic Law, 115.
Rohidin. (2016). Buku Ajar Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books.
Suparman Usman, I. (2015). Filsafat Hukum Islam. Serang: Laksita Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai