Anda di halaman 1dari 30

SUMBER HUKUM ISLAM

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah
“Materi PAI SMA”

Tim Penyusun:
Zumrotul Mufarihah (D01219052)
Fitri Sofi Yulloh (D71219066)
Moh. Anas Ainul Hakim (D91219127)

Dosen Pengampu:
Abidatul Isti’anah, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat
serta hidayahnya sehingga kita dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik,
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kita dari jalan kegelapan menuju jalan
yang terang benderang yakni agama Islam.
Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Abidatul Isti’anah, M.Pd.I yang
telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada kita tentang materi yang
berjudul “Sumber Hukum Islam”, Karena dengan disusunnya makalah ini, kami
dapat mendalami tentang materi yang telah diberikan, Tak lain kami sampaikan
banyak terima kasih kepada beberapa pihak yang telah menjadi sumber wawasan
kami.
Kami selaku penyusun makalah ini menyadari akan kesalahan baik dalam
penulisan maupun tatanan bahasa, Kami dengan senang hati menerima saran dan
kritik pembaca untuk menyempurnakan makalah kami, Semoga dengan
tersusunnya makalah ini bermanfaat untuk kita semua.

Surabaya, 29 Maret 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1


A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3
A. Pengertian Sumber Hukum Islam .............................................. 3
B. Al-Qur’an .................................................................................. 3
1. Pengertian Al-Qur’an ........................................................... 3
2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam ........ 4
3. Al-Qur’an Diturunkan secara Bertahap dan Berangsur-angsur 7
4. Kandungan Hukum dalam Al-Qur’an ................................. 8
C. Hadits ......................................................................................... 10
1. Pengertian Hadits ................................................................. 10
2. Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum Islam .............. 11
3. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an....................................... 14
4. Macam-Macam Hadits......................................................... 16
D. Ijtihad ......................................................................................... 19
1. Pengertian Ijtihad ................................................................. 19
2. Syarat-Syarat Berijtihad....................................................... 20
3. Kedudukan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam .............. 21
4. Bentuk-Bentuk Ijtihad ......................................................... 22
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber ajaran Islam merupakan segala sesuatu yang dijadikan landasan
syariat Islam. Ajaran Islam merupakan pengembagan agama Islam. Agama Islam
bersumber dari Al-Qur’an yang ang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang
memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama
ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan akal
pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain, yakni kewajiban pribadi
setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang
dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau
kelompok masyarakat.
Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan
seluruh kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang
memenuhi syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta
mengalirkan ajaran, termasuk ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.
Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan
dengan Islam perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat menghasilkan
pemahaman Islam yang komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena kualitas
pemahaman ke Islaman seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan
tindakan ke Islaman yang bersangkutan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari sumber hukum Islam?
2. Bagaimana al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam?
3. Bagaimana Hadits sebagai sumber hukum Islam?
4. Bagaimana Ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui arti dari sumber hukum Islam.

1
2. Untuk mengetahui al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam.
3. Untuk mengetahui Hadits sebagai sumber hukum Islam.
4. Untuk mengetahui Ijtihad sebagai sumber hukum Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Hukum Islam


Sumber merupakan rujukan dasar atau asal-muasal. Sumber yang baik
adalah sumber yang mempunyai sifat dinamis, benar juga bersifat mutlak.1
Hukum mempunyai arti peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang
mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat maupun peraturan dan
norma yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa.2
Sedangkan Islam berasal dari kata salima yang berarti selamat. Dan dari
kata itu terbentuk kata aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan
patuh. Islam menurut istilah berarti agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan
Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai
utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan
kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.3
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwasanya
sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar atau pedoman
dalam pengambilan hukum Islam. Adapun yang menjadi sumber hukum Islam
yakni, Al-Qur’an, hadits, dan ijtihad.
B. Al-Qur’an
1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut etimologi berasal dari kata qara’a-yaqra’u-
qiraa’atan- qur’aanan yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Sedangan
menurut terminology berarti kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai mu’jizat.4

1
Bacrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam untuk SMK (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007), 58.
2
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafira, 2006), 5.
3
Misbahudddin Jamal, Konsep Al-Islam dalam Al-Qur’an, Jurnal Al-Ulum, Vol. 11, No, 2, (2011),
287.
4
Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), 49.

3
Para ulama’ memberikan definisi yang bermacam-macam mengenai Al-
Qur’an yang diantaranya:
a. Menurut Ash-Shabuni
Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi dan
Rasul terakhir melalui malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf dan sampai
kepada kita dengan jalan mutawatir, membacanya merupakan ibadah yang
diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nass.
b. Menurut Az-Zarqani
Al-Qur’an adalah kalam yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang tertulis di dalam mushaf, dinukil dengan cara
mutawatir dan membacanya adalah ibadah.5
c. Menurut Syekh Muhammad Abduh
Al-Qur’an adalah bacaan yang telah tertulis dalam mushaf yang terjaga dalam
hafalan-hafalan umat Islam.6
Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Al-
Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai mukjizat melalui perantara malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf
dengan menggunakan bahasa Arab, disampaikan dengan jalan mutawatir,
membacanya bernilai ibadah yang diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat an-Nass. Adapun nama-nama lain Al-Qur’an adalah al-Furqan
(Pembeda antara yang haq dan yang bathil), adz-Dzikr (Pengingat atau
Peringatan kepada umat manusia), al-Kitab (Kitab), al-Hudaa (Petunjuk), an-
Nur (Cahaya), dan asy-Syifaa’ (Penawar).
2. Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang
tinggi. Karena Al-Qur’an merupakan sumber yang utama sehingga semua
persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 59:

5
Tim Penyusun MKD UIN SUNAN AMPEL SURABAYA, Bahan Ajar Studi Al-Qur’an
(Surabaya: UIN SA Press, 2018), 5-6.
6
Moh. Matsna HS, Pendidikan Agama Islam Al-Qur’an Hadits (Semarang: PT Karya Toha Putra,
2014), 6.

4
‫أ‬ ‫أ‬
ُُّ‫ُّوأ ُُّْوِِلُّٱۡل أَم ِر ُِّمن ُك أمُُّّفَِإنُّتَـنَُّـ َزعتُ أم ُِِّفُّ َش أى ٍ۬ءُّفَـ ُردوه‬َ ‫ول‬
َ ‫ُّٱلر ُس‬ ِ ‫ُّٱَّللُّوأ‬
َّ ْ‫َطيعُوا‬ َ
ِ
ََّ ْ‫ينُّءَ َامنُـٰٓواُّْأَطيعُوا‬
َ ‫يَـٰٓأَيُّـ َُّهاُّٱلَّ ِذ‬
‫أ‬ ‫يُّوأ أ‬ ٍ۬ ‫أ‬ ِ ِ ‫أ أِ ِ ِ أ أِ أ‬ َِّ ‫إِ َِل‬
ُّ 7ُّ)٥٩(ُّ‫لا‬ ُّ ‫س ُُّنُّ ََت ِوي‬ ‫َح‬ ُّ ‫خ‬ُّ ُّ
‫ك‬ ‫ل‬ ُّ
‫ذ‬ ُّ ِ
‫ر‬
ُُّّ
‫َخ‬ ‫ُّٱۡل‬ ‫ُّوٱليَـوم‬ ِ ‫ٱلر ُس‬
َّ ‫ولُّإِنُّ ُكنتُمُّتُـؤمنُو َنُّب‬
َ ََۡ َ ‫ٲ‬ َ َ ‫ٱَّلل‬ َّ ‫ُّو‬
َ ‫ُّٱَّلل‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-
Nisa’: 59)

Terjemah perkata:
ِ ‫ٱلر ُس‬ ِ
ُّ‫ول‬ َّ ‫َو‬ ْ‫ُّء َامنُـٰٓوُّا‬
َ ‫ين‬َ ‫يَـٰٓأَيـُّ َهاُّٱلَّذ‬
Dan Rasul Hai orang-orang
(Hadits) yang beriman
‫إِ ُّن‬ َُّّ ْ‫َطيعُوا‬ِ‫أ‬
َ‫ُّٱَّلل‬
Jika Ta’atilah Allah
Kamu ُّ‫ُكنتُ أم‬ Dan ‫َُّو‬
‫أ‬
Benar-benar ‫تُـؤِمنُو َُّن‬ Ta’atilah Rasul- ُّ‫ول‬
َ ‫ُّٱلر ُس‬ َّ ْ‫َطيعُوا‬ ِ‫أ‬
beriman Nya
‫أ‬
Kepada Allah َُِّّ ِ‫ب‬
‫ٱَّلل‬ Dan Ulil Amri ‫َوأ ُْوِِلُّٱۡل أَم ُِّر‬
‫أ أِ أ‬
Dan hari ِ ‫ُّٱۡل‬
‫َخ ُِّر‬ ‫َوٱليَـوم‬ Diantara kamu ‫ِمن ُك أُّم‬
kemudian
Yang demikian َُّ ِ‫ذَُّٲل‬
‫ك‬ Kemudian jika ‫فَِإن‬
itu
ٍ۬ ‫أ‬
Lebih baik ُّ ‫َخ أ‬
ۡ‫ي‬
Kamu berlainan ‫تَـنَـ َزعتُ أُّم‬
pendapat
‫س ُُّن‬ ‫أ‬ ‫ِِفُّ َش أى ٍُّ۬ء‬
َ ‫َوأ أَح‬
Dan lebih utama Tentang sesuatu
Akibatnya ُّ ‫ََت ِوي‬
‫لا‬ Maka
ُ‫وه‬
ُّ ‫فَـ ُرد‬
kembalikanlah
Kepada Allah (al- َُِّّ ‫إِ َِل‬
‫ُّٱَّلل‬
Qur’an)

Dalam ayat lain Allah juga menyatakan:


ٍ۬ ِ
‫يما‬ ‫ص‬ ‫خ‬
َ ُّ ‫ۡي‬ِ‫ُّٱَّللُُّّوََلُّتَ ُكنُّلِ أل َخآٰٮُّن‬
َّ ُّ ‫ك‬
َ ‫ٮ‬‫َر‬‫أ‬ُّ ‫ا‬
َٰٓ ِ
‫ُِّب‬ ِ
‫َّاس‬
‫ن‬ ‫ُّٱل‬ ‫ۡي‬ ُ َ
‫أ‬
‫ٱۡل ِقُّلِت أحكمُّب أ‬ِ
‫ب‬ُّ ‫ب‬‫ـ‬َ‫ت‬ِ‫ك أُّٱلك‬
َ
‫إِ ََّّنُّٰٓأَنزألنآُّٰإِل أ‬
‫َي‬ ََ
‫ا‬ َ َُ َ َ ََ َ َ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an)
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersala), karena
(membela) orang-orang yang khianat. (QS. An-Nisa’ 105)8

7
Tim Pelaksana Pentashihan Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah (Bandung: Jabal, 2010), 87.
8
Ibid., 95.

5
Terjemah Perkata:
‫أ‬ ‫أ‬
Antara manusia ُِّ ‫ۡيُّٱلن‬
‫َّاس‬ َ َ‫ب‬ Sesungguhnya
Kami telah
َ ‫إِ ََّّنُّٰٓأ‬
ٰٓ‫َنزلنَُّا‬
menurunkan
Dengan apa yang َُّ ‫ِِبَآُّٰأ ََرٮ‬
‫ك‬ Kepadamu َُّ ‫إِل أَي‬
‫ك‬
diajarkan Allah
kepadamu
Dan janganlah ‫َوََلُّتَ ُك ُّن‬ Sebuah kitab ُّ‫ب‬ ‫ـ‬َِ ‫أٱل‬
‫ت‬ ‫ك‬
engkau menjadi (Al-Qur’an) َ
‫أ‬ ‫أ‬
Karena َُّ ِ‫لِل َخآٰٮن‬
‫ۡي‬ Dengan ‫بِٱۡلَ ُِّق‬
(membela orang membawa
yang berkhianat) kebenaran
ٍ۬ ِ
Penentang ُّ‫يما‬
‫َخص ا‬
Agar engkau ‫لِتَ أح ُك َُّم‬
(orang yang mengadili
tidak bersalah)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

َّ َ‫ُّماُّإِ ْنُّ َُّت‬ ِ ُ ‫ُّ تَـرْك‬:‫ىُّهللاُّعلَي ِهُّوسلَّ ُّم‬ َّ‫ُّصل‬ ِ ُ ‫الُّرس‬


ُّ‫سكْتُ ْم‬ َ ‫تُّف ْي ُك ْمُّأ َْم َريْ ِن‬ َ َ ََ َْ َ ‫ولُّهللا‬ ُ َ َ َ‫ُّق‬,‫ال‬ َ َ‫َع ْنُّأَىبُّ ُه َريْـ َرةَُُّّق‬
ُّ ُّ‫ُّر ُسولِ ِه‬
َ َ‫ُّسنَّة‬
ُ ‫ُّو‬
ِ
َ ‫ابُّهللا‬
ِ ِ ‫ِبِِماُّل‬
َ َ‫َنُّتَضلواُُّّاَبَ اُّداُّكت‬ ْ َ
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: Aku
tinggalkan kepadamu sekalian dua perkara. Apabila kamu berpegang
teguh kepada dua perkara tersebut niscaya kamu tidak akan tersesat
selamanya. Kedua perkara tersebut adalah, Kitabullah (Al-Qur’an) dan
Sunnah Rasul (Hadits). (HR. Bukhari & Muslim)

Terjemah Perkata:
Apabila kamu َّ ََ‫َماُّإِ ْنُّت‬
‫سكْتُ ُّْم‬ Dari Abi ‫َىبُّه َريْـ َرَُّة‬
ُ ‫َع ْنُّأ‬
berpegang teguh Hurairah
Kepada dua ‫ِبِِ َما‬ Berkata ُّ‫ال‬
َ َ‫ُّق‬
perkara tersebut
Niscaya kamu ِ َ‫لَنُّت‬
‫ضل ُّوا‬ Bersabda ُّ‫ال‬
َ َ‫ق‬
tidak akan
ْ
tersesat
‫اَبَ ادُّا‬ ُّ َّ‫ُّصل‬
ُّ‫ىُّهللا‬ ِ ُ ‫رس‬
َ ‫ولُّهللا‬
Selamanya Rasulullah SAW
َُ
‫ُّو َسلَّ َُّم‬ ِ
َ ‫َعلَْيه‬
Yakni Kitabullah ُِّ ‫اب‬
‫ُّهللا‬ ِ
َ َ‫كت‬
Aku tinggalkan ‫ت‬
ُُّ ‫تَـ َرْك‬
(Al-Qur’an)
Dan Sunnah ‫ُّر ُسولُِِّه‬
َُّ َ‫ُّسنَّة‬
ُ ‫َو‬
Kepadamu ُّ‫فِ ْي ُك ْم‬
Rasul (hadits) sekalian
Dua perkara ‫أ َْم َريْ ُِّن‬

6
Berdasarkan ayat dan hadits diatas, sudah jelas bahwasanya Al-Qur’an
merupakan kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang
yang beriman. Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum, baik
dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian,
hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an ada yang bersifat rinci dan sangat
jelas maksudnya, namun juga ada yang masih bersifat umum sehingga perluh
pemahaman mendalam untuk memahaminya.9
3. Al-Qur’an Diturunkan secara Bertahap dan Berangsur-angsur
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu kurang
lebih 23 tahun, yakni sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul hingga
beliau wafat. Menurut Ali Ash-Shabuni, pentahapan ini mengandung makna lain
yakni:
a. Mudah dihafal dan dipahami oleh kaum Muslimin.
b. Tidak memberatkan kaum Muslimin, sebab ada proses pentahapan dalam
penetapan hukum agama.
c. Dapat merespon persoalan-persoalan dan kejadian-kejadian yang timbul
dalam masyarakat.
d. Menunjukkan bahwa Al-Qur’an datang dari Allah bukan dari Nabi
Muhammad sendiri.
e. Meneguhkan hati Nabi di hadapan musuh (kaum musyrik) dan sekaligus
menyenangkan hati beliau setiap kali wahyu turun.
Para ulama’ Ulum al-Qur’an membagi sejarah turunnya Al-Qur’an ke
dalam dua periode, yakni periode sebelum hijrah (ayat Makkiyah) dan periode
pasca hijrah (ayat Madaniyah). Sedangkan dalam pendapat yang berbeda, ada
yang membaginya menjadi tiga periode yakni:
a. Periode pertama, sebagaimana yang diketahui bahwa wahyu yang pertama
(iqra’) adalah ketika Nabi belum diangkat menjadi Rasul. Baru setelah wahyu
yang kedua yakni seperti yang tercantum dalam QS. Al-Mudatsir ayat 1-5.

9
Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen, Pendidikan, 50-51.

7
Setalah turunnya wahyu tersebut, beliau baru ditugaskan menyampaikan
wahyu sebagai tugas dakwah. Adapun periode ini berlangsung selama 4-5
tahun.
b. Periode kedua, yang berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi
pertarungan yang hebat antara gerakan Islam dengan kelompok jahiliyah.
Ayat-ayat yang turun banyak yang bersifat ajakan/seruan akan kewajiban-
kewajiban, seperti dalam firman Allah QS. An-Nahl ayat 125. Kemudian
dilain pihak, juga banyak yang berisi kecaman dan ancaman, seperti dalam
QS. Fushilat: 13:
c. Periode ketiga, selama periode ketiga ini dakwa Rasulullah telah dapat
mewujudkan suatu prestasi yang besar dikarenakan penganut-penganutnya
telah dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama. Periode ini berlangsung
selama kurang lebih 10 tahun.10
4. Kandungan Hukum dalam Al-Qur’an
Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an. Segala pokok syariat dan
dalil-dalil syar’i yang mencakup seluruh aspek hukum bagi manusia dalam
menjalankan hidup di dunia dan akhirat terkandung dalam Al-Qur’an.
Adapun pokok-pokok ajaran yang ada dalam Al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
a. Aqidah
Aqidah merupakan keyakinan yang tertancap kuat dalam hati. Aqidah terkait
dengan keimanan terhadap hal-hal yang ghaib yang tercantum dalam rukun
iman yakni, iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat, iman kepada
kitab suci, iman kepada rasul, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada
qada dan qadar.
b. Ibadah
Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah yang berhubungan langsung
dengan sang Pencipta, yakni Allah SWT yang disebut dengan ibadah
mahdah; yakni yang mengandung perintah untuk mengerjakan sholat, haji,

10
Retna Dwi Estuningtyas, Mengenal Islam (Yogyakarta: Pustaka Diniyah, 2018), 26-27.

8
zakat, puasa dan lain-lainya. Dan yang berhubungan dengan sesama
makhluknya yang disebut dengan ibadah ghairu mahdah seperti tata cara jual
beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan, dan lain-
lainnya. Adapun ilmu yang mempelajari tata cara ibadah adalah ilmu fiqih.11
c. Akhlak
Kata akhlak dalam Al-Qur’an ditemukan dalam bentuk tunggal yaitu khuluq
yang tercantum dalam QS. Al-Qalam ayat 4 yang artinya “Dan sesungguhnya
kmu benar-benar berbudi pekerti yang agung” yang mana dalam ayat tersebut
berkaitan dengan masalah pengangkatan Nabi Muhammad menjadi Rasul.
d. Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan
Al-Qur’an bukanlah kitab ilmiah, namun informasi yang diberikan tiada
satupun yang bertentangan dengan analisis ilmiah. Diantara ayat Al-Qur’an
yang membicarakan dasar-dasar ilmu pengetahuan adalah QS. Qaaf: 9-11
tentang siklus kehidupan di bumi, QS. Al-Fathir: 27 dan QS. An-Nur: 45
tentang aneka flora dan fauna, serta QS. An-Naml: 88 tentang informasi
bahwa gunung berjalanan seperti awan.12
e. Sejarah
Yang berisikan riwayat atau cerita-cerita mengenai perjuangan yang dialami
oleh para Nabi dan Rasul-Nya, dan juga umat-umat terdahulu. Dalam Al-
Qur’an diterangkan bahwa di antara umat terdahulu ada yang beruntung
mendapatkan kehidupan yang bahagia, adil dan Makmur, serta mendapatkan
ridhonya Allah karena mereka telah menerima dengan baik ajaran-ajaran
yang disampaikan para utusan-Nya. Namun, sebaliknya ada pula yang
ditimpa kesengsaraan, kebinasaan, dan kemurkaan Allah yang disebabkan
kekafiran dan keingkaran mereka kepada Allah dan penolakan mereka
terhadap ajaran yang disampaikan oleh para utusan-Nya. Adapun maksud dari
kisah-kisah umat terdahulu adalah agar manusia mengambil pelajaran dan

11
Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen, Pendidikan, 50.
12
Rokhmat Jaelani dan Bustanul Arifin, Tafsir Ilmu Tafsir (Mojokerto: Ladunni Press, t.t)7-8.

9
kemudian mengamalkan dengan harapan jaminan kesejahteraan hidup baik di
dunia maupun di akhirat.13
C. Hadits
1. Pengertian Hadits
Kata hadis atau Al Hadits menurut bahasa berarti Al Jadid yang memiliki
arti sesuatu yang baru lawan kata dari Al Qadim yang berarti sesuatu yang lama
kata hadis juga berarti Al khabar (berita) yaitu sesuatu yang di percakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. kata jamak nya ialah al-ahadis.14
Secara terminologis ahli hadits dan ahli usul berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian tentang hadis ulama hadis terdapat beberapa definisi
yang berbeda antara satu dengan yang lain
Adapun beberapa ulama hadis mendefinisikan tentang pengertian hadis
salah satunya ialah: “Segala perkataan nabi perbuatan dan hal ihwalnya” dalam
hadis tersebut kata ihwal ialah segala pemberitaan tentang Nabi seperti yang
berkaitan dengan himmah karakteristik sejarah kelahiran dan kebiasaan
kebiasaannya. Jadi ulama hadis menyimpulkan bahwasanya hadis adalah
“segala yang berasal dari nabi baik berupa perkataan perbuatan persetujuan
sifat fisik dan budi pekerti Jalan Hidup baik yang terjadi sebelum Nabi diutus
menjadi rasul seperti ketika bertahanus di Gua Hira maupun sesudahnya.”15
Sementara itu menurut para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan hadis
lebih terbatas dari apa yang telah dirumuskan oleh ahli hadits. Mereka
merumuskan bahwasanya hadis adalah “Segala yang berasal dari nabi selain
Alquran al-karim baik berupa perkataan perbuatan maupun persetujuan yang
pantas menjadi dalil hukum syara.” Jadi hadis menurut mereka adalah sesuatu
yang bersumber dari Nabi Muhammad yang berhubungan dengan hukum syara
baik berupa ucapan perbuatan maupun ketetapan. Mereka memandang nabi
sebagai penetap hukum dengan pengertian di atas segala perkataan atau al ahwal
nabi yang tidak mengandung isi kerasulannya seperti tentang cara berpakaian

13
Muhammad Yasir dan Ade Jamaruddin, Studi Al-Qur’an (Riau: CV. Asa Riau, 2016), 20-21.
14
Muhammad al-Sabbagh, al-Hadist al-Nabawi (Riyad: al- Maktab al-Islami, 1972), 13.
15
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh, (Beirut, Dar al-Fikr,
1989),19.

10
berbicara, tidur, makan, minum, atau segala yang menyangkut hal ihwal nabi
tidak termasuk hadis.
Diantara ulama hadis yang mendefinisikan hadis secara cara umum
menurut mereka Hadits mempunyai pengertian yang lebih luas lagi tidak hanya
terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada nabi melainkan juga segala yang
disandarkan kepada sahabat dan tabiin hal ini seperti dikatakan oleh Imam At
Tirmidzi” dikatakan dari ulama hadits bahwa hadits itu bukan hanya untuk
sesuatu yang al marfu’ atau sesuatu yang disandarkan kepada nabi melainkan
bisa juga untuk disandarkan kepada sahabat dan disampaikan kepada tabiin”.16
2. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Hadis dalam Islam menempati posisi yang sakral, yakni sebagai sumber
hukum setelah al-Qur’an. Maka, untuk memahami ajaran dan hukum Islam,
pengetahuan terhadap hadis haruslah suatu hal yang pasti. Rasulullah saw.
adalah orang yang diberikan amanah oleh Allah swt untuk menyampaikan
syariat yang diturunkannya untuk umat manusia, dan beliau tidak
menyampaikan sesuatu terutama dalam bidang agama, kecuali bersumber dari
wahyu. Oleh karenanya kerasulan beliau dan kemaksumannya menghendaki
wajibnya setiap umat Islam untuk berpegang teguh kepada hadis Nabi saw.
Pendapat para ulama tentang kedudukan hadis terhadap al-Qur’an yakni:17
a. Al-Qur’an dengan sifat yang qath’I al-wurud (keberadaannya yang pasti dan
diyakini) sudah seharusnya kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis.
Dimana status hadis adalah zhanni al-wurud (kecuali yang mutawatir).
b. Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dalam atas al-Qur’an.
Maksudnya, yang dijelaskan adalah al-Qur’an yang kedudukannya lebih
tinggi. Maka eksistensi dan keberadaan hadis sebagai bayyan tergantung
kepada eksistensi al-Qur’an.
c. Sikap para sahabat yang selalu merujuk kepada al-Qur’an terlebih dahulu jika
bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah. Jika di dalam al-Qur’an

16
Idri, Arif Jamaluddin,dkk, Studi Hadis, ( Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2019), 6.
17
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Dewi, 1998), 63.

11
tidak ditemukan maka merreka merujuk kepada Sunnah yang mereka ketahui,
atau bisa menanyakan kepada sahabat yang lain.
d. Hadis Muadz secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara al-Qur’an
dan Sunnah. “Sesungguhnya ketika Rasulullah hendak mengutus Muadz bin
Jabal ke Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaiamana engkau
memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?” Maka Muadz menjawab,
“Aku akan memutuskan berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an).” Rasul
bertanya lagi, “Apabila engkau tidak menjumpai jawabannya di dalam kitab
Allah?” Muadz berkata, “Aku akan memutuskan dengan Sunnah.” Rasul
selanjutnya bertanya lagi, “Bagaiaman jika engkau tidak menemukan di
dalam Sunnah dan tidak di dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, “Aku akan
berijtihad dengan mempergunakan akalku.” Rasul saw menepuk dada Muadz
seraya berkata, “Alhamdulillah atas taufik yang telah dianugerahkan Allah
kepada utusan Rasulnya.”
Untuk melaksanakan perintah tersebut haruslah dimulai dengan hal
keimanan, sebagaimana firman Allah swt:

ُّ‫ُِّفُّ َش ْيء‬ َ َ‫ُّاَلَ ْم ِر ُِّم ْن ُك ْمُّفَاِ ْنُّتَـن‬


ْ ِ ‫از ْعتُ ْم‬ ْ ‫وِل‬ ِ ُ‫ُّوا‬ ِ ‫ٰٰٓيَيـهاُّالَّ ِذينُّامنُـٰٓواُّاَ ِطيـعواُّاَّلل‬
َ ‫ُّواَط ْيـعُواُّا َّلر ُس ْو َل‬ َ َ ُْ ْ َ َْ َ
ِۗ ِ ُِّ ‫الر ُس ْو ِلُّاِ ْنُّ ُك ْنـتُ ْمُّتُـ ْؤِمنُـ ْو َنُّ ِِب‬ ِ ِ
ُّࣖ ‫َُّتْ ِويْ ال‬
َ ‫س ُن‬َ ‫ُّواَ ْح‬
َُّّ ۡ‫كُّ َخ ْي‬َ ِ‫ُّاَل ِخ ِرُّذل‬ ْ ‫ُّوالْيَـ ْوم‬
َ ‫َّلل‬ َّ ‫ُّو‬
َ ‫فَـ ُرد ْوهُُّا َِلُّاَّلل‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisa’:59)18

Terjemah Perkata:
kepada Allah (Al- ُِّ ‫إِ َِل‬
‫ُّاَّلل‬ wahai orang-orang yang ‫ٰيَيـ َهاُّالَّ ِذيْ َُّن‬
Quran)
dan Rasul ‫الر ُس ْوُِّل‬
َّ ‫َو‬ beriman ‫ا َمنُـ ْوُّا‬
(sunnahnya)

18
Tim Pelaksana Pentashihan Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, 87.

12
ُّ‫إِ ْنُّ ُك ْنـتُ ْم‬ ِ‫أ‬
َ‫واُّاَّلل‬
ُّ ُ‫َط ْيـع‬
jika kamu taatilah Allah

beriman ُّ‫تُـ ْؤِمنُـ ْو َن‬ dan taatilah ِ ‫وأ‬


‫َط ْيـعُ ُّوا‬ َ
kepada Allah ُِّ ‫ِِب‬
‫َّلل‬ Rasul (Muhammad) ‫الر ُس ْو َُّل‬
َّ
dan hari kemudian ُّ‫َوالْيَـ ْوُِّم‬ dan Ulil Amri ‫ُّاۡل َْم ُِّر‬ ِ ‫َوأ‬
ْ ‫ُوِل‬
(pemegang kekuasaan)
‫ْاَل ِخ ُِِّۗر‬

yang demikian itu َ ِ‫ذل‬


ُّ‫ك‬ di antara kamu ُّ‫ِم ْن ُك ْم‬

lebih utama
ۡ‫ي‬
ُّْ ‫َخ‬ kemudian, jika kamu ُّ‫فَِإ ْنُّتَـنَ َاز ْعتُ ْم‬
(bagimu) berbeda pendapat

ُّ‫س ُن‬
َ ‫َح‬
ْ ‫َّوأ‬ ِْ
‫ِفُّ َش ُّْي ُّء‬
dan lebih baik tentang sesuatu

akibatnya ُّ‫ََتْ ِويْ ا‬


‫ل‬ maka kembalikanlah
ُ‫فَـ ُرد ْوُّه‬

Ayat di atas menunjukkan kewajiban taat kepada Rasul, wujud taat


tersebut dengan mematuhi beliau ketika masih ada dan mengamalkan serta
memperdomani hadis (Sunnah) beliau sesudah tiada.19
3. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Fungsi hadis terhadap al-Qur’an secara umum adalah untuk menjelaskan
makna kandungan al-Qur’an yang sangat dalam dan global (li al-bayân). Namun
upaya penjelasan tersebut diperinci oleh para ulama ke berbagai bentuk
penjelasan20. Adapun beberapa fungsi penjelasan (bayân) hadis terhadap al-
Qur’an, yaitu:
a. Bayan Taqrir Posisi hadis sebagai penguat (taqrir) atau memperkuat
keterangan al-Qur’an (ta’qid). Bayan Al taqrir disebut juga dengan bayan al-
ta’kid dan bayan al-isbat. Yang dimaksud dengan Bayan Al taqrir ini adalah
menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Quran

19
Septi Aji Fitra Jaya, Al-Qur’an dan Hadis sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Indo-Islamika,
Vol. 9, No. 2, (2019), 213.
20
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2009), 16.

13
fungsi Hadits dalam hal ini adalah memperkokoh isi kandungan Al-Quran
Contohnya seperti ayat Al-Quran pada surat Al Maidah: 6 tentang keharusan
berwudhu sebelum salat:
ِ ِ ِ ‫ُّالصلوةُِّفَا ْغ ِسلُواُّوجوه ُكم‬
َّ ‫ٰٰٓيَيـ َهاُّالَّ ِذيْ َنُّا َمنُـْٰٓواُّاِذَاُّقُ ْمتُ ْمُّاِ َِل‬
ُّ‫س ُح ْوا‬ َ ُُّّ‫ُّواَيْديَ ُك ْمُّا َِلُّال َْم َراف ِق‬
َ ‫ُّو ْام‬ َ ْ َ ُْ ُ ْ
21 ِِۗ
ُّ ْ َ‫ُّواَ ْر ُجلَ ُك ْمُّاِ َِلُّالْ َك ْعب‬
‫ۡي‬ َُّ ‫بِ ُرءُ ْو ِس ُك ْم‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata
kaki.”
Terjemah perkata:
dan tanganmu ‫َوأَيْ ِديَ ُك ُّْم‬ wahai orang-orang ‫ٰيَيـ َهاُّالَّ ِذيْ َُّن‬
yang
sampai ke siku ‫إِ َِلُّال َْم َرافِ ُِّق‬ beriman ‫ا َمنُـ ْوُّا‬

dan sapulah ‫س ُح ْوُّا‬


َ ‫َو ْام‬
apabila kamu hendak ُّ‫إِذَاُّقُ ْمتُ ْم‬
melaksanakan
kepalamu ُّ‫بِ ُرءُ ْو ِس ُك ْم‬ shalat ِ‫وة‬ َّ ‫إِ َِل‬
ُّ ‫ُّالصل‬

dan (basuh) kedua ‫َوأ َْر ُجلَ ُك ُّْم‬ maka basuhlah ‫فَاغْ ِسلُ ْوُّا‬
kakimu
ِۗ
sampai ke kedua mata ُِّ ْ َ‫إِ َِلُّاُّلْ َك ْعب‬
‫ۡي‬ wajahmu ُّ‫ُو ُج ْو َه ُك ْم‬
kaki

Ayat diatas ditakrir oleh hadis yang dikeluarkan al-Bukhari dari Abu
Hurairah: “Tidak diterima salat seseorang yang berhadas sampai ia
berwudhu”. (HR. Bukhari)22
b. Bayan al-Tafsir dalam hal ini Hadis menjelaskan ayat yang tidak mudah
diketahui pengertiannya. Itulah yang disebut hadis berfungsi sebagai bayan
al-tafsir bagi ayat Al- Qur’an. Bayan al-tafsir ini ada beberapa macam. Di
antaranya ialah:

21
Tim Pelaksana Pentashihan Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, 108.
22
Idri, Studi Hadis, 64.

14
1) Tafshil al-ayat al-mujmalah. Kata tafshil berarti menjelaskan dan merinci.
Sedangkan kata al- mujmalah berarti yang ringkas (global), tidak
terperinci. Tafshil al-ayat al-mujmalah menyangkut masalah ibadah
maupun hukum, Sebagian ulama menyebutnya Bayan tafshil atau Bayan
tafsir. Contohnya seperti perintah salat pada beberapa ayat dalam Alquran
hanya diterangkan secara global yaitu Dirikanlah salat tanpa disertai
petunjuk Bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari semalam berapa
harokat kapan waktunya rukun-rukun dan lain sebagainya akan tetapi Nabi
bersabda “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku salat” HR. Bukhari.
Jadi sudah jelas bahwasannya Bayan tafsir berfungsi sebagai penjelas ayat
Alqur’an
2) Taqyid al-Ayat al-Muthlaqah. Kata taqyid berarti mengikat dan
membatasi. Sedangkan kata muthlaq berarti lafal tertentu yang belum ada
ikatannya (batasannya) dengan lafal lain yang mengurangi cakupannya.
Jadi, yang dimaksud hadis berfungsi sebagai taqyid al-ayat al- muthlaqah
adalah hadis datang memberi ikatan dan batasan cakupan yang dikandung
ayat yang muthlaq.
3) Takhshish al-Ayat al-‘Ammah, Kata takhshish berarti menentukan dan
mengkhususkan. Sedangkan kata al-‘ammah berarti suatu lafal yang
dipakai untuk menunjukkan kepada satuan-satuan yang tak terbatas dan
mencakup semua satuan itu.23 Jadi, yang dimaksud hadis berfungsi
mentakhshishkan ayat ‘ammah adalah hadis datang memberi
pengkhususan, penentuan, dan pembatasan maksud dan pengertian ayat
yang umum.24
c. Bayan at-Tasyri’, Kata Al-tasyri artinya pembuatan mewujudkan atau
menetapkan aturan atau hukum maka yang dimaksud dengan bayan al-tasyri’
Penjelasan hadits yang berupa mewujudkan mengadakan atau menetapkan
suatu hukum atau aturan aturan syara yang tidak didapati nashnya dalam Al-

23
‘Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm Ushuul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 298.
24
M. Jayadi, Kedudukan dan Fungi Hadis dalam Islam, Jurnal Adabiyah, Vol. XI, No. 2, (2011),
247-250

15
Qur’an dalam hal ini Rasulullah berusaha menunjukkan suatu kepastian
hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu dengan
sabdanya sendiri. Bayan ini oleh Sebagian ulama disebut juga dengan bayan
za’id ala al-kitab al-karim (tambahan terhadap Nash Al-Qur’an) disebut
tambahan karena sebenarnya di dalam Al-Qur’an sendiri ketentuan pokoknya
sudah ada sehingga datangnya hadis tersebut merupakan tambahan terhadap
ketentuan pokok itu. 25
4. Macam-Macam Hadits
a. Hadits ditinjau dari segi persambungan sanadnya
Ditinjau dari bersambung dan tidaknya sana mata rantai perawi hadits
dibedakan menjadi dua macam yaitu muttasil dan munqati'
1) Hadits muttashil yaitu hadits yang terbukti memiliki mata rantai perawi
bersambung dari mukharrij hadis sampai sohib Al matan tidak ada yang
gugur atau tidak terputus terdapat indikasi dan bukti kuat sifat ke
bersambung sanadnya antara guru dan murid pada setiap level.
2) Hadits munqathi yaitu hadis yang mata rantai perawi dari mukharijj
sampai sohibul matan terbukti ada yang gugur.
b. Hadits ditinjau dari segi kuantitas sanad
Ditinjau dari segi kuantitas sanad atau mata rantai perawi hadis dibagi
menjadi dua bagian yaitu hadis mutawatir dan hadits Ahad26
1) Hadits mutawatir secara bahasa kata mutawatir adalah isim fa'il dari
bentuk dasar masdar tawatur yang berarti terus menerus atau
berkesinambungan. Jadi hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan
melalui jalur periwayatan yang banyak yang menurut adat kebiasaan
mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Yang dimaksud dengan jalur
periwayatan yang banyak adalah jumlah perawi pada setiap tingkatan atau
disebut dengan thabaqah dari semua tingkatan yang ada dalam sanad yang
tidak mungkin jumlah perawi yang sangat banyak itu sepakat untuk

25
Idri, Studi Hadis, 67.
26
Mahmud al-Tahhan, Tafsir Mustalah al-Hadis (Beirut: Dar al –Qur’an, 1979), 19.

16
berdusta. Dalam hal ini hadis mutawatir dibagi menjadi tiga bagian yaitu
mutawatir lafdzi mutawatir maknawi dan mutawatir Amali
a) Mutawatir lafdzi adalah hadis mutawatir yang secara tradisional sama
antara satu riwayat dengan riwayat lainnya
b) Mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang secara redaksional
berbeda antara satu wilayah dengan riwayatnya lainnya tetapi Ada
kesamaan makna atau berhimpunnya sejumlah hadits shahih dengan
redaksi yang berbeda-beda namun substansinya isinya sama
c) Mutawatir Amali yaitu praktek keagamaan yang dikerjakan Rasulullah
kemudian diikuti para sahabat lalu tabiin dan seterusnya sampai pada
generasi berikutnya
2) Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu jalur perawi
27
sedangkan secara istilah hadits Ahad adalah hadits yang didalamnya
tidak terpenuhi syarat-syarat hadis mutawatir atau hadis yang tidak
mencapai persyaratan derajat hadits mutawatir. Dalam hal ini hadis Ahad
dibagi menjadi 3 yaitu hadits masyhur hadits Aziz dan hadits gharib
1) Hadits Mashur adalah sesuatu yang telah tersebar atau populer menurut
istilah ilmu hadis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan kan oleh tiga
jalur perawi atau lebih namun tidak mencapai derajat mutawatir.
2) Hadits Aziz secara bahasa Aziz bermakna sedikit wujudnya yang sulit
diperoleh yang mulia dan kuat secara istilah hadits ini adalah hadits
yang diriwayatkan dengan 2 jalur periwayatan walaupun hal tersebut
terdapat hanya pada satu thabaqah saja.
3) Hadits gharib hore bermakna asing jauh dari negeri atau kalimat yang
sulit dipahami secara istilah hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan
hanya lewat satu jalur perawi
c. Pembagian hadis ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan

27
Ibid, 21.

17
Ditinjau dari segi kualitas sanad dan matannya hadits dapat dibagi
menjadi 4 yaitu hadits shahih, hadits hasan, hadits dhaif dan hadits
maudhu.
1) Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan
periwayatan perawi yang adil dan tobit dari perawi pertama sampai
perawi terakhirnya tidak mengandung unsur syyazz dan illat.28
Kemudian hadits shahih masih dibedakan menjadi dua macam yaitu
hadits shahih lidzatihi dan hadits shahih lighairihi.
2) Hadits Hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya dengan
periwayatan perawi yang adil dan debit tetapi nilai kedhabitannya
kurang sempurna serta selamat dari unsur syuzuz dan illat.29
3) Hadis Dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
shahih dan hadits Hasan syarat khusus hadits dhaif adalah hadits yang
terputus sanadnya atau di antara periwayatannya ada yang cacat atau
matanya bertentangan dengan akal sehat.
4) Hadits maudhu adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah
dengan dusta dan hatinya tidak ada kaitannya dengan dirinya bahkan ia
bukan hadits
d. Hadis ditinjau dari penisbatan pada pembicaranya
Dari segi ini hadis dibagi menjadi 4 yaitu hadis qudsi, hadits marfu,
hadits mauquf dan hadis maqtu30
1) Hadits qudsi adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah dan
oleh beliau disandarkan kepada Allah
2) Hadits marfu adalah hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah
sebagian ulama menyebutnya dengan Al hadits al Nabawi yakni
pernyataan yang disandarkan kepada Rasulullah atau bersumber
darinya

28
Abu al-Fida’ al-Hafidzh, al-Ba’is al-Hatsis (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 18.
29
Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawa’id Usul al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 74.
30
Nur al-din, Ulum al- Hadis (Madinah: Al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972), 68.

18
3) Hadits mauquf adalah hadits yang dinisbatkan kepada sahabat nabi atau
pernyataan murni dari lisan para sahabat nabi.
4) Hadis maqtu adalah riwayat yang dinisbatkan kepada generasi setelah
sahabat yaitu pernyataan murni dari lisan generasi tabi'in dan
sesudahnya.
D. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad menrut etimologi berasal dari kata jahada-yajhadu-jahdan yang
mempunyai arti berusaha sungguh-sungguh atau mencurahkan segala
kesungguhan. Secara terminolosi, ijtihad berarti usaha maksimal seoarang ahli
fiqh guna menemukan hukum suatu masalah yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an dan Hadits. Juga bisa diartikan dengan berusaha sekeras-sekerasnya
untuk membentuk penilaian yang bebas suatu masalah hukum.
Jadi, dapat dipahami bahwasanya ijtihad adalah upaya mencurahkan
segala kemampuan untuk merumuskan hukum syara’ dengan cara istinbath dari
Al-Qur’an dan Hadits. Maksudnya adalah dengan menggunakan kemampuan
akal untuk merumuskan hukum yang tidak disebutkan secara jelas dalam Al-
Qur’an dan Hadits.31
Adapun yang dasar hukum yang digunakan seperti halnya yang
tercantum dalam QS. Ar-Rad: 3 yang berbunyi:
ٍ۬
ُّ)٣(ُّ‫تُّلَِق أوٍُّ۬مُّيَـتَـ َف َّك ُرو َُّن‬ َُّ ِ‫…إِ َّن ُِِّفُّ ُّذَٲل‬.
ُّ ‫كُّ َۡلَيَـ‬
Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

Terjemah Perkata:
Bagi kaum ‫لِ َق أوٍُّ۬م‬ Sesungguhnya ‫إِ َُّّن‬
Yang ‫يَـتَـ َف َّك ُرو َُّن‬ Pada yang َُّ ِ‫ِِفُّ َُّذٲل‬
‫ك‬
memikirkan demikian itu
ٍ۬
Terdapat tanda- ُّ‫َۡلَيَـت‬
tanda (kebesaran
Allah)

31
Estuningtyas, Mengenal, 34.

19
2. Rukun dan Syarat Berijtihad
Nadia Syarif al-Umari dalam bukunya al-ijtihad fi al-islam menyatakan
bahwa rukun melakukan ijtihad terdapat empat jenis, yaitu:
a. Al-waqi`, yaitu adanya kasus yang menimpa, yang belum diterangkan dalam
nash, atau kasus yang diduga keras akan terjadi kelak, sehingga wilayah
ijtihad tidak sebatas masalah yang terjadi, tetapi juga mencangkup masalah-
masalah yang belum terjadi, baik yang terpikirkan, atau belum terpikirkan
b. Mujtahid, yaitu seseorang yang melakukan ijtihad yang mempunyai
kompetensi untuk berjihad dengan syarat-syarat tertentu.
c. Mujtahid fih, yaitu hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
d. Dalil syara`, yaitu menentukan suatu hukum bagi mujtahid fikih.
Keempat rukun tersebut harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum
melakukan ijtihad, mengingat masing-masing rukun secara simultan sebagai
syarat melakukan ijtihad.32
Untuk menjadi seorang mujtahid harus mengikuti syarat-syarat yang
perluh diperhatikan, Adapun syarat-syarat tersebut diantaranya:
a. Harus mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum, baik makna
semantik maupun konotasi hukumnya.
b. Harus mengetahui dan memahami hadits-hadits hukum, baik makna semantic
maupun konotasi hukumnya.
c. Harus mengetahui ayat-ayat yang Mansukh dan yang me-nasakh-nya.
d. Harus mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan lewat
ijma’.
e. Dapat mengetahui metodologi penggunaan qiyas dengan baik.
f. Harus mengetahui bahasa Arab dengan baik.
g. Harus mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh dengan baik.
h. Dan harus mengetahui maqashid al-syari’ah.33

32
Gibtiah, Fikih Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2006), 24.
33
Estuningtyas, Mengenal Islam, 38.

20
2. Kedudukan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam
Ijtihad mempunyai kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-
Qur’an dan Hadits. Ijtihad dilakukan jika sesuatu persoalan tidak ditemukan
hukumnya dalam Al-Qur’an maupun hadits. Namun demikian, hukum yang
dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan hadits. Hal
ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
ِ ‫ُّاَراَي‬:‫ال‬ ِ
ُّ‫ضاءا‬ َ َ‫َكُّق‬
َ ‫ضُّل‬َ ‫ُّع َّر‬
َ ‫تُّا ْن‬ َ ْ َ َ َ‫ىُّهللاُّعلَْي ِهُّ َو َسُّلَّ َُّمُّل ََّماُّبَـ َعثَهُُّا َِلُّاليَ َم ِنُّق‬
َ َّ‫ُّصل‬ َّ ِ‫َنُّالن‬
َ ‫َِّب‬
ِ ‫َعنُّمع‬
َّ ‫ُّأ‬:‫اذ‬ َُ ْ
ُّ‫ُّهللاُّصلًّى‬ ِ ‫الُّفَبِسُّنَّ ِةُّر ُس‬
‫ول‬ ِ َ‫الُّفَِإ ْنُّ ََلُّْيَ ُك ْنُّ ِِفُّكِت‬ ِ ُّ‫اب‬ُِّ َ‫ْض ْيُّبِكِت‬ ِ ‫الُّاَق‬ ِ ‫فُّتَـ ْق‬
َ َ ُ َ َ‫ابُّهللاُّق‬ َ َ‫هللاُّق‬ َ َ‫ضيُّق‬ َ ‫َك ْي‬
َ َ‫َجتَ ِه ُد َُّرأْيِ ْي َُّوََلُّآل ُْوُّق‬ ِ ‫ُّسن َِّةُّر ُس‬
ُُُّّ‫ُّص ْد َره‬
َ ‫ب‬َ ‫ض َر‬
َ َ‫الُّف‬ ْ ‫الُّأ‬
َ َ‫ولُّهللاُّق‬ َ ُ ‫الُّفَِإ ْنََُّلُّْيَ ُك ْنُِِّف‬
َ َ‫هللاُّعليهُّوُّسلَّ َمُّق‬
َ
ِ ‫ول‬ َ ‫ُّهللاُّلِ َماُّيَـ ْر‬ ِ ‫ولُّر ُس‬ ِ ِِ
ُّ ُّ)‫ُّهللاُّ(رواهُّالدارمى‬ ُ ‫ىُّر ُس‬
َ ‫ض‬ ُّ ‫ول‬ َ َ ‫ُّر ُس‬ َ ‫الُّاۡلَ ْم ُد ََّّللُّالَّذ‬
َ ‫يُّوفَ َق‬ َ َ‫ُُثَُّّق‬
Artinya: Dari Muadz, bahwasanya Nabi Muhammad ketika mengutusnya ke
Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana engkau akan memutuskan perkara yang
dibawa orang kepadamu?” Muadz berkata, “Saya akan memutuskan menurut
Al-Qur’an.” lalu Nabi berkata: “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak
menemukan sesuatu mengnao soal itu?.” Muadz menjawab “Jika begitu saya
akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah SAW.” Kemudian, Nabi bertanya
lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam as-Sunnah?”
Muadz menjawab, “saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran
sendiri tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian Nabi bersabda “Maha Suci Allah
yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang
disetujui Rasulnya.” (HR. Darami)

Terjemah Perkata:
Maka saya ‫ُّهللا‬
ُّ ‫ول‬ ِ ‫فَبِسُّنَّ ِةُّر ُس‬ Dari Muadz ُِّ ‫ُّم َع‬
‫اذ‬ ُ ‫َع ْن‬
َ ُ
akan
memutuskan
menurut
Sunnah
Rasulullah
Bersabda ُّ‫ال‬
َ َ‫ق‬ Bahwasanya ‫َِّب‬ َّ ‫أ‬
َُّّ ِ‫َنُّالن‬
Rasul Nabi
Muhammad
SAW
Apabila tidak ‫فَِإ ْنُّ ََلُّْيَ ُك ُّْن‬ Ketika
ُ‫ل ََّماُّبَـ َعثَُّه‬
ada mengutusnya

21
Didalam ‫ُّهللا‬
ُّ ‫ول‬ ِ ‫ُّسن َِّةُّر ُس‬
َ ُ ‫ِِف‬
Ke Yaman ‫اِ َِلُّاليَ َم ُِّن‬
sunnah
Muadz ُّ‫ُّرأْيِ ْي‬
َ ‫َجتَ ِه ُد‬
ْ ‫الُّأ‬
َ َ‫ق‬ Ia bersabda ُّ‫ال‬
َ َ‫ق‬
menjawab
saya akan
menggunakan
pertimbangan
dengan pikiran
saya sendiri
Tanpa ‫ُو‬
ُّْ ‫َوََلآل‬ Bagaimana ‫ت‬
َُّ ْ‫اَ َراَي‬
bimbang engkau
sedikitpun
ُّ‫ال‬
َ َ‫ق‬ ‫َك‬
َُّ ‫ضُّل‬ ِ
Kemudian Akan
َ ‫ُّع َّر‬
َ ‫ا ْن‬
Nabi bersabda memutuskan
perkara darimu
Dengan
ُ‫ُّص ْد َرُّه‬
َ ‫ب‬ َ ‫ض َر‬
َ َ‫ف‬ keputusan ُّ‫اء‬
‫ضا‬ َ َ‫ق‬
kemantapan
hati
Kemudian ‫ال‬
َُّ َ‫ُُثَُّّق‬ Bagaimana ِ ‫فُّتَـ ْق‬
‫ض ُّي‬ َ ‫َك ْي‬
Nabi bersabda kamu
memutuskannya
Maha Suci َُِِّّ‫اۡلَ ْم ُد‬
‫َّلل‬ Berkata Muadz ُّ‫ال‬
َ َ‫ق‬
Allah
Yang telah ُّ‫ول‬
َ ‫ُّر ُُّس‬ َُّ ‫الَّ ِذ‬
َ ‫يُّوفَ َق‬
Saya ُِّ ‫اب‬
‫ُّهللا‬ ِ َ‫ْضيُّبِ ِكت‬
ِ
ْ ‫اَق‬
memberikan memutuskan
‫ُّهللا‬
ُّ ‫ول‬ ِ ‫ر ُس‬
bimbingan َ sesuatu dengan
kepada utusan Kitabullah
Allah
Dengan suatu ُّ‫ول‬
ُ ‫ىُّر ُس‬
َ ‫ض‬ َ ‫لِ َماُّيَـ ْر‬ Rasulullah ُّ‫ال‬
َ َ‫ق‬
sikap yang bersabda
disetujui ُِّ
‫هللا‬
Rasul-Nya
Apabila tidak ‫فَِإ ْنُّ ََلُّْيَ ُك ُّْن‬
ada
Berkata Muadz ُّ‫ال‬
َ َ‫ق‬

3. Bentuk-Bentuk Ijtihad
Di kalangan ulama’ terdapat beberapa bentuk-bentuk dari ijtihad, yang
diantaranya adalah:
a. Ijma’. Secara bahasa ijma’ adalah menghimpun atau mengumpulkan atau
bersatu dalam pendapat. Secara istilah berarti kesepakatan pada ulama’
terhadap suatu masalah sepeninggal Rasullah SAW. Misalnya, ijma’ para

22
sahabat Nabi dalam pengangkatan Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalifah,
fatwa MUI tentang diharamkannya mengikuti hari Natal bersama, dan lain-
lain.
b. Qiyas. Menurut bahasa adalah mengukur sesuatu menurut contoh yang lain,
kemudian menyamarkannya. Sedangkan secara istilah berarti menetapkan
hukum suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya dalammAl-Qur’an
atau Hadits dengan jalan menyamakannya dengan masalah lain yang ada
ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadits, karena ada sebab yang
menyamakan antara keduanya (illat). Misalnya, boleh membayar zakat fitrah
dengan beras, sementara dalam hadits dijelaskan bahwasanya zakat dengan
gandum dan kurma.
c. Istihsan. Menurut bahasa berarti menganggap baik. Secara istilah adalah
menetapkan hukum sesuatu perbuatan berdasarkan prinsip-prinsip umum
ajaran Islam, seperti prinsip keadilan dan kasih sayang. Misalnya, seorang
harus memilih satu dari dua alternatif perbuatan yang sama-sama buruk.
Maka ia meyakini mengambil salah satu yang diyakini paling ringan
keburukannya, sebagaimana dalam QS. Az-Zumar: 18 yang artinya:
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
d. Mashalih Mursalah. Yakni menetapkan hukum terhadap suatu persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan
tujuan syara’. Misalnya, mengumpulkan dan menulis al-Qur’an yang
sebenarnya tidak disuruh oleh syari’at dan lain-lain.
e. ‘Urf. Yakni berbagai tradisi yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat, yang
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an maupun hadits. Para pemakai ‘urf
memperkuatnya dengan firman Allah dalam QS. Al-A’raf: 199:
34
‫أ‬
ِ‫ُّٱۡلـ ِهل‬ ِ ‫ِ أ أ أ أ ِأ أ ِ أِ أ‬
ُّ)١٩٩(ُّ‫ۡي‬
َ َ َ ‫ُّوأَعر‬ ‫ن‬ ‫ُّع‬ ‫ض‬ َ ‫ُّوأ ُمرُّبٱلعُرف‬
َ ‫ُخذُّٱل َعف َو‬
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.

34
Tim Pelaksana Pentashihan Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, 176.

23
Terjemah Perkata:
‫أ أ‬ ‫أ أ‬
Serta ُّ‫َوأَع ِرض‬ Jadilah engkau ‫ُخ ِذُّٱل َعف َُّو‬
berpalinglah pemaaf
‫أ‬ ‫أ‬ ‫أ‬
Daripada orang- َُّ ِ‫َع ِنُّٱۡلـَ ِهل‬
‫ۡي‬ Dan suruhlah ُِّ ‫َوأ ُم أرُّبِٱلعُ أر‬
‫ف‬
orang yang orang
bodoh mengerjakan
ma’ruf

Kata “al-‘urfu” dalam ayat diatas diartikan dalam konotasi tradisi-


tradisi baik yang sudah popular dan disepakati bersama oleh masyarakat.
Oleh karena itu, para pemakai urf dalam proses kajian hukumnya
mengeluarkan kaidah al-‘adalah al-muhakamah yakni bahwa kebiasaan-
kebiasaan masyarakat itu dapat dijadikan rujukan dalam pembahasan
hukum.35

35
Estuningtyas, Mengenal, 35-37.

24
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwasanya:


1. Sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar atau pedoman
dalam pengambilan hukum Islam. Adapun yang menjadi sumber hukum Islam
yakni, Al-Qur’an, hadits, dan ijtihad.
2. Kalam Allah sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui perantara malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf, disampaikan
dengan jalan mutawatir, membacanya bernilai ibadah yang diawali dari surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nass. Kedudukan Al-Qur’an adalah yang
pertama dan yang paling utama. Dan kandungan hukum yang ada di dalamnya
adalah aqidah, akhlak, ibadah dan lain-lain.
3. Hadits adalah segala yang berasal dari nabi, baik berupa perkataan, perbuatan
maupun persetujuan. Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam adalah
Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dalam atas al-Qur’an.
Maksudnya, yang dijelaskan adalah al-Qur’an yang kedudukannya lebih tinggi.
Maka eksistensi dan keberadaan hadis sebagai bayyan tergantung kepada
eksistensi al-Qur’an.
4. Ijtihad adalah upaya mencurahkan segala kemampuan untuk merumuskan
hukum syara’ dengan cara istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits. Adapun
kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum
Islam setelah al-Qur’an dan Hadits. Ijtihad dilakukan jika sesuatu persoalan
tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun hadits. Namun demikian,
hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran
dan hadits.

25
DAFTAR PUSTAKA

Al-Din, Nur. Ulum al- Hadis. Madinah: Al-Maktabah al-Ilmiyah. 1972.


Al-Hafidzh, Abu al-Fida’. al-Ba’is al-Hatsis. Beirut: Dar al-Fikr. 1996.

Ali, Zainuddin. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafira. 2006.

Al-Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. ‘Ilm Ushuul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr. 1987.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh. Beirut,
Dar al-Fikr. 1989.
Al-Sabbagh, Muhammad. al-Hadist al-Nabawi. Riyad: al- Maktab al-Islami. 1972.

Al-Tahhan, Mahmud. Tafsir Mustalah al-Hadis. Beirut: Dar al-Qur’an. 1979.


Arifin, Rokhmat Jaelani dan Bustanul. Tafsir Ilmu Tafsir. Mojokerto: Ladunni
Press. t.t.
Estuningtyas, Retna Dwi. Mengenal Islam. Yogyakarta: Pustaka Diniyah. 2018.
Gibtiah. Fikih Kontemporer. Jakarta: Kencana 2006.
Hasyim,Ahmad ‘Umar. Qawa’id Usul al-HADIS. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.

Idri, Arif Jamaluddin, dkk. Studi Hadis. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press. 2019.

Ilmy, Bacrul. Pendidikan Agama Islam untuk SMK. Bandung: Grafindo Media
Pratama 2007.

Jamal, Misbahudddin. Konsep Al-Islam dalam Al-Qur’an, Jurnal Al-Ulum, Vol.


11. No. 2. 2011.

Jamaruddin, Muhammad Yasir dan Ade. Studi Al-Qur’an. Riau: CV. Asa Riau.
2016.
Jaya, M. Kedudukan dan Fungsi Hadis dalam Islam. Jurnal Adabiyah. Vol. XI. No.
2. 2011.

Jaya, Septi Aji Fitra. Al-Qur’an dan Hadis sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal
Indo-Islamika. Vol. 9. No. 2. 2019.

Khairiyah, Nelty dan Endi Suhendi. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. 2009.

26
Matsna HS, Moh. Pendidikan Agama Islam Al-Qur’an Hadits. Semarang: PT Karya
Toha Putra 2014.
Tim Pelaksana Pentashihan Al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: Jabal.
2010.

Tim Penyusun MKD UIN SUNAN AMPEL SURABAYA. Bahan Ajar Studi Al-
Qur’an. Surabaya: UIN SA Press. 2018.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Dewi. 1998.

27

Anda mungkin juga menyukai