Anda di halaman 1dari 17

POLIGAMI DALAM PRESPEKTIF ISLAM

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas UTS
“Fiqih Munakahah Jinayah”

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Damanhuri, MA

Disusun Oeh:
A Yulian Syamsudl Dluha (D91219090)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa terhaturkan kehadirat Allah swt. yang telah
melimpahkan rahmat, inayah, taufik, serta hidayah Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang sangat sederhana ini.
Shalawat serta salam selalu terucapkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad saw. yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah menuju
zaman islamiyah.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu sumber wawasan dan pengetahuan mengenai khazanah mata kuliah “Fiqih
Munakahah Jinayah”. Dan semoga makalah ini dapat membantu menambah
pengetahuan serta wawasan bagi para pembaca.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
Al Ustadz Dr. KH. Damanhuri , M.A selaku dosen mata kuliah Profil tenaga
Pendidik yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ Poligami Dalam Prespektif Islam” ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun, khususnya dari dosen matakuliah guna menjadi acuan dalam
tambahan pengalaman bagi penulis untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Surabaya, 23 April 2020

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Apakah Menikahi Langsung 2 Wanita Islami........................................3
B. Bagaimana Ayat Al-Qur’an Tentang Poligami......................................4
C. Bagaimana Hadist atau Sejarah Sunnah Poligami..................................5
D. Apakah Ada Dukungan Ilmu Tentang Poligami....................................9
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan...........................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini
lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Perkataan poligami sendiri
berasal dari bahasa yunani, yaitu polu yang berarti banyak dan gamein yang
berati kawin. Jadi poligami adalah perkawinan yang banyak, atau di
Indonesia terkenal dengan istilah permaduan. Berbeda dengan definisi yang
tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah poligami
secara umum adalah sistem yang dipakai bagi seorang laki-laki (suami) yang
kawin lebih dari satu wanita (isteri). Secara umum, poligami adalah
perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita dalam
waktu yang sama. Poligami termasuk poligini, yaitu perkawinan dengan lebih
dari satu istri, dan poliandri, yaitu perkawinan dengan lebih dari satu suami.
Istilah poligami sering dipakai untuk mengacu kepada poligini saja karena
praktek ini lebih sering diamalkan daripada poliandri. Demikian juga dalam
penelitian ini, poligami dipakai sebagai sinonim poligini.
Menurut sejarah, pernikahan pada zaman dahulu dilakukan secara bebas
dengan tidak ada pembatasan jumlah wanita yang boleh dinikahi. Seorang
laki-laki boleh menikahi setiap wanita yang dikehendaki. Banyak orang
mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka beranggapan bahwa
Islamlah yang membawa ajaran poligami. Bahkan, ada yang secara tegas
menuduh Islam sebagai penyebab munculnya poligami dalam sejarah
manusia. Padahal, masalah poligami bukanlah masalah baru, masalah ini
berada dan justru banyak terjadi sejak sebelum Islam datang ke permukaan
bumi ini. Dengan artian, bahwa poligami sudah tersebar luas pada banyak
bangsa sebelum Islam itu sendiri datang. ulama besar asal Mesir secara tegas
menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa
poligami ditetapkan oleh syari’ah. Di antara bangsa-bangsa yang menjalankan
poligami adalah Ibrani, Arab Jahiliyah (pra Islam), dan Cisilia serta Saxon.

1
Kedatangan Islam memberikan petunjuk yang benar sesuai syari’at
dalam Al-Qur’an tentang praktek poligami ini. Pada hakikatnya, Islam datang
bukan untuk menghapus praktek poligami, namun, Islam membatasi
kebolehan poligami terbatas pada empat orang istri saja. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat al-Nisa’ ayat 3.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah Menikahi Langsung 2 Wanita Islami?
2. Bagaimana Ayat Al-Qur’an Tentang Poligami?
3. Bagaimana Hadist atau Sejarah Sunnah Poligami?
4. Apakah Ada Dukungan Ilmu Tentang Poligami?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Pandangan Islam Tentang Menikahi 2 Wanita
Secara Langsung.
2. Untuk mengetahui Ayat Al-Qur’an Tentang Poligami.
3. Untuk mengetahui Hadist atau Sejarah Sunnah Poligami.
4. Untuk mengetahui Dukungan Ilmu Tentang Poligami.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prespektif Islam Tentang Menikahi 2 Wanita Secara Langsung


Secara fikih, laki-laki boleh memiliki empat orang istri dengan syarat di
antara keempat istri tersebut tidak ada hubungan mahram sebab nasab atau
susuan. Akad nikah laki-laki dengan empat istrinya tidak harus dilakukan
pada hari dan tempat yang berbeda. Bisa saja akad nikah mereka dilakukan
secara beruntun pada satu hari dan di tempat yang sama, dan itu sah. Maka
yang demikian itu tidak ada bedanya antara menikahi dua orang wanita
sekaligus di waktu yang sama, atau di waktu yang sedikit berbeda. Akan
tetapi para Ulama’ Rahimahumullah membenci apabila malam pengantin dua
wanita tadi dilaksanakan di satu malam yang sama, karena dikhawatirkan
mengurangi hak salah satu dari keduanya karena kurang maksimal pembagian
waktunya.
Namun, kebolehan tersebut juga (terkadang) harus menyesuaikan dengan
norma, adat, dan kebiasaan (‘urf) yang berlaku di masyarakat. Di Indonesia,
menikahi beberapa perempuan dalam satu waktu dan tempat adalah hal yang
tidak lazim. Karena itu, meski mengumpulkan pernikahan dalam satu waktu
dan tempat sah menurut hukum Islam, tampaknya hal-hal yang terkait
kebiasaan, adat, dan kelaziman juga mesti menjadi pertimbangan.1
Alhasil, pernikahan sejatinya adalah upaya menghadirkan hubungan
suami istri yang harmonis, saling percaya, dan saling pengertian. Tujuannya
adalah untuk mendapatkan ridha Allah. 
Lebih jauh, dalam ikatan pernikahan ada hak-hak istri dan suami yang
saling berkelin dan satu dengan lainnya yang harus menjadi perhatian
bersama, ketimbang hanya ingin mendahulukan kesenangan pribadi. Suami
berhak ridha dan bahagia dalam pernikahan, begitu pula dengan istri.

1
Beni Ahmad Saebani dan Boedi Abdullah, Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim,
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), 5.

3
Rasulullah ‫ﷺ‬  bersabda: 
‫أَ ْك َم ُل ْال ُم ْؤ ِمنِينَ إِي َمانًا أَحْ َسنُهُ ْم ُخلُقًا َو ِخيَا ُر ُك ْم ِخيَا ُر ُك ْم لِنِ َسائِ ِه ْم ُخلُقًا‬
Artinya : “ Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaknya. Dan yang terbaik di antara kalian adalah yang
terbaik terhadap istrinya (HR. Tirmidzi no. 1162; hadis sahih menurut Imam
Suyuthi).
B. Ayat Tentang Poligami
Ayat yang sering dikutip sebagai dalil kebolehan poligami adalah Al-
Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3 :
َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬
‫ث َور ُٰب َع ۚ فَا ِ ْن ِخ ْفتُ ْم‬ َ َ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا َما ط‬
‫ك اَ ْد ٰنٓى اَاَّل تَعُوْ لُوْ ۗا‬
َ ِ‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬ ِ ‫اَاَّل تَ ْع ِدلُوْ ا فَ َو‬
ْ ‫اح َدةً اَوْ َما َملَ َك‬

Artinya : “ Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka
nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah)
seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (QS. An-Nisa [4]:
3).
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan (Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap anak-anak yatim) sehingga sulit bagi kamu untuk
menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di
antara wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan arti
siapa (yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat
orang) boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. (kemudian
jika kamu tidak akan dapat berlaku adil) di antara mereka dalam giliran dan
pembagian nafkah (maka hendaklah seorang saja) yang kamu kawini (atau)
hendaklah kamu batasi pada (hamba sahaya yang menjadi milikmu) karena
mereka tidak mempunyai hak-hak sebagaimana istri-istri lainnya. (Yang
demikian itu) maksudnya mengawini empat orang istri atau seorang istri saja,
atau mengambil hamba sahaya (lebih dekat) kepada (tidak berbuat aniaya)
atau berlaku lalim.

4
Ada beragam riwayat mengenai sabab al-nuzûl (sebab turun). Pertama,
riwayat dari Aisyah r.a menyebutkan bahwa ayat itu turun berkaitan dengan
seorang laki-laki yang menjadi wali anak yatim yang kaya. Lakilaki itu ingin
mengawini anak yatim tersebut demi kekayaannya semata dan dengan
maskawin yang tidak standar bahkan maskawinnya tidak dibayar. Tidak
jarang, setelah menikah, perempuan yatim tersebut kerap mendapatkan
perlakuan yang tidak wajar. Daripada menelantarkan perempuan yatim
tersebut, maka Allah melalui ayat tersebut mempersilakan laki-laki untuk
menikahi perempuan lain yang tidak yatim dan disukai, bahkan sampai
dengan empat orang perempuan jika mampu untuk bertindak adil. Dalam
realitasnya, tawaran poligami itu lebih diminati dan anak-anak yatim dapat
terselamatkan dari ketidakadilan. Pemberian konsesi dan kompensasi
poligami itu tampaknya cukup berhasil melindungi perempuan yatim dari
kezaliman sebagian laki-laki saat itu.2
Kedua, riwayat lain menyebutkan bahwa ayat itu diturunkan berkaitan
dengan seorang laki-laki yang memiliki sepululuh orang istri bahkan lebih. Di
samping sepuluh istri itu, dia juga memilik beberapa anak yatim dalam
perwaliannya. Dikisahkan bahwa laki-laki tersebut kerap mengambil
kekayaan anak yatim yang di bawah perwaliannya itu untuk kepentingan
memberikan nafkah kepada istri-istrinya yang banyak itu.
Dengan demikian, ayat ini turun sebagai teguran terhadap orang yang
telah mengambil harta anak yatim secara zalim. Begitu juga, ayat ini menurut
Syekh Nawawî al-Jâwî merupakan teguran terhadap laki-laki yang tidak bisa
adil dalam pemberian nafkah kepada para istri sebagaimana mereka tidak bisa
adil dalam pemenuhan hak anak-anak yatim. Jika demikian kenyataannya,
maka cukuplah baginya untuk menikahi satu perempuan saja, karena itu yang
paling memungkinkan bagi laki-laki untuk terhindar dari kezaliman.
C. Hadist atau Sejarah Sunnah Poligami
Hadis tentang poligami disebutkan dalam berberapa kitab hadis yang
bersumber dari beberapa orang sahabat Nabi, di antaranya hadis poligami

2
Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi` al-bayan fii ta’wil Al-Qur;an Jilid III, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmîyah, 1999), 574.

5
yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam kitab Sunan al-Tirmidzi no 1047
adalah sebagai berikut:
‫ي ع َْن َسالِ ِم ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ ع َْن‬ ُّ ‫َح َّدثَنَاَا هَنَّا ٌد َح َّدثَنَا َع ْب َدةُ ع َْن َس ِعي ِد ْب ِن أَبِي َعرُوبَةَ ع َْن َم ْع َم ٍر ع َْن‬
ِّ ‫الز ْه ِر‬
َ ‫ي أَ ْسلَ َم َولَهُ َع ْش ُر نِ ْس َو ٍة فِي ْال َجا ِهلِيَّ ِة فَأ َ ْسلَ ْمنَ َم َعهُ فَأ َ َم َرهُ النَّبِ ُّي‬
ُ ‫صلَّى هَّللا‬ َّ ِ‫ا ْب ِن ُع َم َر أَ َّن َغ ْياَل نَ ْبنَ َسلَ َمةَ الثَّقَف‬
‫الز ْه ِريِّ ع َْن َسالِ ٍم ع َْن أَبِي ِه قَا َل و‬ ُّ ‫ال أَبُو ِعي َسى هَ َك َذا َر َواهُ َم ْع َم ٌر ع َْن‬ َ َ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن يَتَ َخي ََّر أَرْ بَعًا ِم ْنه َُّن ق‬
ُ‫ص ِحي ُح َما َر َوى ُش َعيْبُ بْنُ أَبِي َح ْمزَ ةَ َو َغ ْي ُره‬ َّ ‫يث َغ ْي ُر َمحْ فُو ٍظ َوال‬ ٌ ‫َس ِمعْت ُم َح َّم َد ْبنَ إِ ْس َم ِعي َل يَقُو ُل هَ َذا َح ِد‬
‫ال‬َ َ‫ت ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن س َُو ْي ٍد الثَّقَفِ ِّي أَ َّن َغ ْياَل نَ ْبنَ َسلَ َمةَ أَ ْسلَ َم َو ِع ْن َدهُ َع ْش ُر نِ ْس َو ٍة ق‬
ُ ‫ي قَا َل ُحد ِّْث‬ ُّ ‫ع َْن‬
ِّ ‫الز ْه ِر‬
‫ق نِ َسا َءهُ فَقَا َل لَهُ ُع َم ُر لَتُ َرا ِج َع َّن‬ ٍ ِ‫الز ْه ِريِّ ع َْن َسالِ ٍم ع َْن أَبِي ِه أَ َّن َر ُجاًل ِم ْن ثَق‬
َ َّ‫يف طَل‬ ُّ ‫يث‬ ُ ‫ُم َح َّم ٌد َوإِنَّ َما َح ِد‬
َ‫ث َغ ْياَل نَ ْب ِن َسلَ َمة‬ ِ ‫ك َك َما ُر ِج َم قَ ْب ُر أَبِي ِرغَا ٍل قَا َل أَبُو ِعي َسى َو ْال َع َم ُل َعلَى َح ِدي‬ َ ‫ك أَوْ أَل َرْ ُج َم َّن قَ ْب َر‬
َ ‫نِ َسا َء‬
‫ِع ْن َد أَصْ َحابِنَا ِم ْنهُ ْم ال َّشافِ ِع ُّي َوأَحْ َم ُد َوإِ ْس َح‬
Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah
menceritakan kepada kami 'Abdah dari Sa'id bin Abu 'Arubah dari Ma'mar
dari Az Zuhri dari Salim bin Abdullah dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin
Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki sepuluh orang
istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya agar memilih empat dari mereka.
Abu Isa berkata; "Demikian yang diriwayatkan dari Az Zuhri dari Salim dari
Bapaknya" (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Saya telah mendengar
Muhammad bin Isma'il berkata; hadits ini tidak mahfuzh. Yang sahih adalah
yang diriwayatkan Syu'aib bin Abu Hamzah dan yang lainnya dari Az Zuhri,
berkata; saya telah menceritakannya dari Muhammad bin Suwaid Ats
Tsaqafi bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam, saat itu memiliki sepuluh
istri. Muhammad berkata; "Hadits Az Zuhri dari Salim dari Bapaknya bahwa
seorang laki-laki dari Tsaqif telah menceraikan isterinya. Umar berkata
kepadanya; 'Rujuklah pada para isterimu atau akan saya rajam kuburanmu
sebagaimana kuburan Abu Righal". Abu Isa berkata; "Hadits ghailan bin
Salamah diamalkan oleh sahabat kami, di antaranya adalah Syafi'i, Ahmad
dan Ishaq."
Dalam hadis ini dijelaskan agar seseorang yang sudah menjadi Muslim
diperintahkan untuk mengambil apa yang sudah ditentukan oleh rasulullah
SAW, yakni empat orang isteri, ini sifatnya wajib untuk dilaksanakan
sebagaimana kata amr dalam hadis tersebut. Artinya, seseorang dilarang

6
mengambil lebih dari empat karena hal itu menyalahi perintah. Sedangkan
perintah itu wajib dilaksanakan sebagaimana dalam kaidah Ushul al-Fiqh “al-
asl fial-amr li al-wujūb,” artinya pada dasarnya perintah itu adalah wajib.
Dilihat dari aspek sejarah, poligami bukanlah praktik yang dilahirkan
Islam. Jauh sebelum Islam datang tradisi poligami telah menjadi salah satu
bentuk praktik peradaban Arabia patriarkhis. Peradaban patriarkhi adalah
peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang menentukan
seluruh aspek kehidupan. Nasib hidup kaum perempuan dalam sistem ini
didefinisikan oleh laki-laki dan untuk kepentingan mereka. Peradaban ini
sesungguhnya telah lama berlangsung bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia,
tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia dan
Mediterania bahkan di bagian dunia lainnya. Dengan kata lain, perkawinan
poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, tetapi juga peradaban
bangsa-bangsa lain.
Di dunia Arab sebelum Nabi Muhammad saw lahir, perempuan
dipandang rendah dan entitas yang tak berarti. Al-Qur‟an dalam sejumlah
ayatnya menginformasikan realitas sosial ini. Perbudakan manusia terutama
perempuan, dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam
masyarakat Arabia saat itu.
Ketika Islam hadir, praktik-praktik ini tetap berjalan. Meskipun Rasul
mengetahui bahwa poligami yang dipraktikkan bangsa Arab banyak
merugikan kaum perempuan, tetapi cara Islam untuk menghapuskan praktik
ini tidak dilakukan dengan cara-cara yang memaksa. Bahasa yang digunakan
al-Qur‟an tidak pernah provokatif atau radikal. Al-Qur‟an dan Nabi
Muhammad saw selalu berusaha memperbaiki keadaan ini secara persuasif
dan mendialogkannya dengan intensif. Bukan hanya isu poligami, seluruh
praktik kebudayaan yang tidak menghargai manusia selalu diupayakan Nabi
saw untuk diperbaiki secara bertahap dan terus-menerus untuk pada akhirnya
tercapai sebuah kondisi yang paling ideal. Kondisi ideal adalah keadilan dan
penghargaan terhadap martabat manusia. Ini adalah kehendak logis dari
sistem kepercayaan Islam: Tauhid.3
3
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 32.

7
Selanjutnya pendekatan historis tentang hadist diatas . Pendekatan
historis adalah mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis
itu disampaikan oleh Nabi SAW. Dengan kata lain pendekatan historis adalah
pendekatan yang dilakukan dengan mengaitkan antara ide atau gagasan yang
terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi
historis kultural yang mengitarinya. Pendekatan ini digunakan untuk
memahami hadis dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa
yang terkait dengan latar belakang munculnya hadis. Pendekatan model hadis
seperti ini sebenarnya telah dirintis oleh ulama klasik yang ditandai dengan
munculnya asbab al-wurud, yaitu suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab
mengapa Nabi SAW menuturkan sabdanya dan waktu menuturkannya.4
Secara historis disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor ekonomi,
dimana perempuan bersama anak-anaknya membantu suaminya di kebun. Ini
menjadi bukti bahwa daerah Arab pada waktu itu sudah ada perkebunan
seperti Mesir, suami mengandalkan hasil perkebunannya, sehingga ia
mengambil cara menikah dengan perempuan yang kaya raya dikarenakan
kesulitan keuangan pada saat itu. kebiasaan poligami pada zaman dahulu
sudah tersebar di kalangan bangsa Arab jahiliyyah. Pada saat itu tidak ada
hukum perundangan yang mengatur manusia membatasi poligami. Pada
zaman Nabi Muhammad, ada seorang yang bernama Ghailan bin Salamah
masuk Islam sedangkan pada saat itu ia memiliki sepuluh orang isteri, lalu
Rasulullah SAW menyuruh untuk menahan empat isterinya dan menceraikan
sisanya.
Berdasarkan kondisi historis tersebut, dapat dipahami bahwa adanya
poligami pada waktu itu disebabkan aspek ekonomi yang memburuk,
sehingga dengan terpaksa seorang suami berpoligami sebagai solusi untuk
menyelesaikan masalah keluarga. Hal ini berbeda kondisinya pada saat ini.
Dimana seorang suami yang sudah merasa cukup dan mampu menikah lagi,
memutuskan menikah lagi dengan perempuan yang disukai. Kemungkinan
alasannya bermacammacam, ada yang berangkat dari unsur ibadah, dorongan

4
Said Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi: Pendekatan Sosio-
Historis-Kontektual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 26.

8
hawa nafsu dan ada juga yang ingin mempunyai keturunan disebabkan isteri
pertama tidak bisa memberikan keturunan. Kasus seperti ini dialami oleh
Nabi Ibrahim alaihi salam dan istrinya Sarah. Sarah tidak bisa memberikan
keturunan hingga akhirnya Nabi Ibrahim meminta izin kepada Sarah untuk
menikah dengan Hajar.
Poligami dalam bahasa Arab dikenal ta’adud al-Zawjah yang berarti
isteri lebih dari satu. Selain poligami, bentuk-bentuk pernikahan dalam
masyarakat Arab sebelum Islam datang adalah Zawaj al-Mut’ah wa Zawaj al-
Hibbah. Bentuk pertama adalah suatu perkawinan yang bersifat sementara
waktu yang bertujuan untuk menikmati hubungan seks secara bersama.
Sedangkan bentuk kedua adalah perkawinan pengorbanan laki-laki kepada
perempuan yang tidak mempunyai hak untuk menentukan sesuatu.
Setting historisnya bahwa poligami disebutkan dalam hadis Nabi dan
Islam sangat menghormati kebutuhan setiap individu, yaitu himmah atau
berkeinginan keras mempunyai keturunan. Apabila isteri tidak bisa
memberikan keturunan bahkan sakit-sakitan, maka dalam kondisi seperti ini
pilihan berpoligami lebih baik dan terhormat untuk merealisasikan
keinginannya dengan catatan istri pertama tidak dicerai dan hak-haknya tetap
diperhatikan.5
Perlu dipahami, Nabi Muhammad menikahi perempuan bukan karena
nafsu. Akan tetapi demi menjalankan misi yang diembannya, yakni
menegakkan kebenaran dan menyebarkan agama Islam. Beliau menikahi
sekian wanita itu pada saat usianya sudah melewati 30 tahun dari masa
mudanya. Hal ini mengambarkan bahwa Rasulullah adalah sosok manusia
yang menjadi idola dan suri tauladan baik bagi umatnya.6
D. Dukungan Ilmu Tentang Poligami
Secara logika tidak mungkin sesuatu di lipatkan pada sesuatu yang lain
kecuali sesuatu itu jumlahnya lebih banyak, maka wajarlah sesuatu itu dapat
di lipatkan sebagai contoh : apabila sepuluh orang masuk ke dalam satu orang
yang di dalamnya terdapat sepuluh kursi, maka tiap-tiap orang akan
5
Yusuf al-Qardhawi, Panduan Fiqh Perempuan, Terj. Ghazali Mukri, (Yogyakarta: Salma
Pustaka, 2004), 197.
6
Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009),
565-567.

9
mendapatkan satu kursi masing-masing, tetapi apabila yang masuk berjumlah
sepuluh orang di dalam ruangan ada dua belas kursi, maka bisa jadi salah satu
dari mereka akan duduk di dua kursi sambil bersandar di kursi yang lain,
maka seorang tidak akan mendapat dua kursi kecuali ada dua kursi yang
lebih.
Jadi, poligami tidak mungkin terjadi kecuali ada kelebihan jumlah, dari
sudut pandang sosial semakin zaman bertambah maka populasi atau jumlah
kelahiran akan meningkat, kuantitas peningkatan jumlah kelahiran tidak sah
(tanpa ikatan suami istri) yang tersebar di berbagai penjuru dunia khususnya
diBenua Eropa dan Amerika hal ini akan membuat pengkaji sosial akan
pusing.
Fenomena ini terjadi tidak lain karena laki-laki tidak cukup menikah
dengan satu perempuan dan semakin banyaknya perempuan yang tidak
mendapatkan sarana untuk menyalurkan kebutuhan ekonomis dan biologis
mereka, apabila kita lihat jauh, kita akan ketahui bahwa peningkatan tersebut
karena pertemuan sisi negatif dan positif, antara laki-laki dan perempuan,
serta jumlah laki-laki lebih sedikit di bandingkan perempuan. Apabila setiap
laki-laki hanya di perbolehkan menikah dengan satu orang perempuan, maka
akan muncul perawan tua dalam jumlah yang sangat besar, dan hal yang
seperti demikian kondisi masyarakat sebagai makhluk sosial tidak akan stabil.
Namun apabila poligami di terapkan di tengah-tengah masyarakat luas,
maka jumlah wanita yang tidak menikah akan berkurang dan terjadinya
tekanan-tekanan terhadap perempuan akan semakin menipis.
Untuk menjaga masyarakat dari kerusakan dan kekacauan yang di
akibatkan oleh meningkatnya masyarakat tersebut, solusi yang di tawarkan
islam ialah solusi yang sesuai dengan realitas atau keadaan perempuan yang
sebagai makhluksosial tetap akan membutuhkan yang namanya suami, dan
syariat yang mulia ini sebagai antisipasi terhadap perlimpahan yang terjadi
pada makhluknya.
Bahkan peningkatan kuantitas tersebut memiliki hikmah, dan banyak
negara-negara lain saat ini mengambil hikmah tersebut setelah melihat jumlah

10
laki-laki yang menurun yang di akibatkan banyak faktor, mereka menyukai
poligami sampai laki-laki di jadikan rebutan.
Penelitian yang dilakukan oleh Broude (1994) menemukan bahwa
sebagian besar masyarakat yang menganut sistem pernikahan poligami
memberikan status yang terhormat pada istri pertama. Istri pertama memiliki
kontrol terhadap istri-istri lain dan memiliki hak istimewa untuk tidak berbagi
dengan istri lain, istri pertama lebih memiliki pengaruh terhadap suami
dibandingkan istri-istri yang lain. Kemudian pada beberapa masyarakat, istri
pertama memiliki hak untuk menentukan dan merancang pernikahan kedua
suaminya.7

7
Karim Hilmi Farhan Ahmad, Poligami Berkah Atau Musibah, (Yogyakarta : ISBN, 2007), 65.

11
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Secara fikih, laki-laki boleh memiliki empat orang istri dengan syarat di
antara keempat istri tersebut tidak ada hubungan mahram sebab nasab atau
susuan. Namun, kebolehan tersebut juga (terkadang) harus
menyesuaikan dengan norma, adat, dan kebiasaan (‘urf) yang berlaku di
masyarakat. Di Indonesia, menikahi beberapa perempuan dalam satu waktu
dan tempat adalah hal yang tidak lazim. Karena itu, meski mengumpulkan
pernikahan dalam satu waktu dan tempat sah menurut hukum Islam,
tampaknya hal-hal yang terkait kebiasaan, adat, dan kelaziman juga mesti
menjadi pertimbangan.
Ayat yang sering dikutip sebagai dalil kebolehan poligami adalah Al-
Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3 :
َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬
‫ث َور ُٰب َع ۚ فَا ِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تَ ْع ِدلُوْ ا‬ َ َ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا َما ط‬
‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذلِكَ اَ ْد ٰنٓى اَاَّل تَعُوْ لُوْ ۗا‬
ْ ‫فَ َوا ِح َدةً اَوْ َما َملَ َك‬
Artinya : “ Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka
nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah)
seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”
Hadis tentang poligami disebutkan dalam berberapa kitab hadis yang
bersumber dari beberapa orang sahabat Nabi, di antaranya hadis poligami
yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam kitab Sunan al-Tirmidzi no 1047.
Di dunia Arab sebelum Nabi Muhammad saw lahir, perempuan dipandang
rendah dan entitas yang tak berarti. Al-Qur‟an dalam sejumlah ayatnya

12
menginformasikan realitas sosial ini. Perbudakan manusia terutama
perempuan, dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam
masyarakat Arabia saat itu. Ketika Islam hadir, praktik-praktik ini tetap
berjalan. Meskipun Rasul mengetahui bahwa poligami yang dipraktikkan
bangsa Arab banyak merugikan kaum perempuan, tetapi cara Islam untuk
menghapuskan praktik ini tidak dilakukan dengan cara-cara yang memaksa.
Bahasa yang digunakan al-Qur‟an tidak pernah provokatif atau radikal. Al-
Qur‟an dan Nabi Muhammad saw selalu berusaha memperbaiki keadaan ini
secara persuasif dan mendialogkannya dengan intensif.
Penelitian yang dilakukan oleh Broude (1994) menemukan bahwa
sebagian besar masyarakat yang menganut sistem pernikahan poligami
memberikan status yang terhormat pada istri pertama. Istri pertama memiliki
kontrol terhadap istri-istri lain dan memiliki hak istimewa untuk tidak berbagi
dengan istri lain, istri pertama lebih memiliki pengaruh terhadap suami
dibandingkan istri-istri yang lain. Kemudian pada beberapa masyarakat, istri
pertama memiliki hak untuk menentukan dan merancang pernikahan kedua
suaminya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Beni Ahmad Saebani dan Boedi. Perkawinan dan Perceraian Keluarga
Muslim. Bandung: Pustaka Setia, 2013.

Ahmad, Karim Hilmi Farhan. Poligami Berkah Atau Musibah. Yogyakarta :


ISBN, 2007.

al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyurrahman. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka al-


Kautsar, 2009.

Al-Qardhawi, Yusuf. Panduan Fiqh Perempuan, Terj. Ghazali Mukri.


Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004.

al-Thabarî, Ibn Jarîr. Jâmi` al-bayan fii ta’wil Al-Qur;an Jilid III. Beirut: Dâr al-
Kutub al-`Ilmîyah, 1999.

Munawwar, Said Agil Husin. Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi:
Pendekatan Sosio-Historis-Kontektual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Nasution, Khoiruddin. Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran


Muhammad Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

14

Anda mungkin juga menyukai