Anda di halaman 1dari 15

PEMINANGAN: SYARAT DAN AKIBAT HUKUM

PEMINANGAN
(Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan Islam)

Dosen Pengampu :
Hj. Nurul Asiya Nadhifah, M. HI.

Disusun Oleh:
 Ade Rima Miranti (C74218036)
 Muhammad Syaefuddin Suryanto (C04218024)
 Riadhotul Hidayati Nisvi Khalimatus Sadiah (C04218028)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa sebab atas segala rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini
dengan judul “Peminangan: Syarat dan Akibat Hukum Peminangan” dengan tujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan Islam.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan kepada nabi Muhammad
SAW yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua yakni syariah
agama Islam. Selain itu, kami ucapkan terima kasih kepada ibu Hj. Nurul Asiya
Nadhifah, M. HI. yang telah membimbing dan memberikan tugas ini.
Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfaat dan
edukasi mengenai gambaran umum pengukuran dan penilaian dalam pendidikan.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca untuk kemudian makalah kami ini dapat kami perbaiki dan
menjadi lebih baik lagi.

Surabaya, 04 September 2019

Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupan syariat agama yang sejalan dengan hikmah manusia
diciptakan oleh Allah untuk memakmurkan dunia dengan jalan terpeliharanya
perkembangbiakan manusia. Selain sebagai pelengkap iman, pernikahan merupakan
sebuah kebutuhan bagi tiap manusia, karena pada dasarnya manusia memang
diciptakan berpasang-pasangan.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pernikahan, ada beberapa fase yang
dilewati sebelum sampai pada tahap pernikahan. Ada baiknya apabila kita mengenal
lebih dulu tahap-tahap sebelumnya yang tak kalah penting untuk dipelajari. Demi
menghasilkan rumah tangga yang langgeng, perlu adanya pengenalan, yang biasa
disebut ta’aruf. Setelah mengenal lebih jauh calon pinangan, maka naik pada jenjang
level keseriusan yang lebih tinggi yaitu khitbah atau peminangan. Namun pada
pembahasan kali ini, penulis hanya berfokus pada poin pembahasan terkait
peminangan.
Mayoritas ulama’ menyatakan peminangan itu tidak wajib. Namun praktik
kebiasaan dalam masyarakat menunjukkan bahwa peminangan merupakan
pendahuluan yang pasti dilakukan. Karena didalamnya terdapat pesan moral dan tata
krama untuk mengawali membangun rumah tangga yang ingin mewujudkan
kebahagiaan, sakinah, mawaddah wa rahmah. Ini sejalan dengan pendapat Daud Al-
Dhahiri yang menyatakan meminang hukumnya wajib. Betapa pun juga, meminang
merupakan tidakan awal terwujudnya perkawinan yang baik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah
yaitu:
1. Apa yang dimaksud peminangan (khitbah)?
2. Apa dasar hukum yang mensyariatkan khitbah?
3. Apa syarat-syarat seorang wanita agar dapat dikhitbah oleh seorang pria?
4. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari peristiwa peminangan?
5. Bagaimana ketentuan pemutusan peminangan dan tata-caranya?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami makna peminangan secara umum dan dalam
pandangan Islam.
2. Mengetahui dasar hukum disyariatkannya peminangan dalam Islam.
3. Mengetahui syarat-syarat seorang wanita agar dapat dipinang oleh seorang
pria.
4. Memahami bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan peristiwa peminangan.
5. Mengetahui ketentuan dalam pemutusan peminangan dan tata-caranya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Peminangan
Dalam Ilmu Fiqh, peminangan disebut dengan khitbah yang berarti permintaan.
Didalam kitab-kitab fikih, khitbah diterjemahkan dengan pernyataan keinginan untuk
menikah terhadap seorang wanita yang telah jelas (izhar al-rughbat fi al-zawaj bi
imraatin mu’ayyanat) atau memberitahukan keinginan untuk menikah kepada
walinya.1
Menurut istilah, peminangan adalah menunjukkan (menyatakan) permintaan
untuk perkawinan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan secara langsung
maupun tidak langsung dengan perantara seorang yang dipercaya). Dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 1 huruf a: “ Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.”2
Dengan begitu, peminangan berarti langkah awal atau pendahuluan menuju
hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, dengan tujuan
agar waktu memasuki ikatan perkawinan didasari oleh kerelaan yang didapatkan dari
penelitian, pengetahuan, serta kesadaran masing-masing.
B. Dasar Hukum Peminangan
Di Indonesia, dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak diatur
mengenai ketentuan peminangan, namun dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.
1 tahun 1991) diatur masalah peminangan dalam pasal 11-13 (BAB III tentang
Peminangan).3
Sedangkan Dalam Islam, Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa dalam Islam
peminangan disyari’atkan bagi orang yang hendak menikah. Allah SWT. berfirman
dalam surat al-Baqarah ayat 2354, yaitu:
ْ ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َعرَّضْ تُم بِ ِه ِم ْن ِخ‬
َّ‫طبَ ِة النِّ َساء أَوْ أَ ْكنَنتُ ْم فِي أَنفُ ِس ُك ْم َعلِ َم هّللا ُ أَنَّ ُك ْم َست َْذ ُكرُونَه َُّن َولَ ِكن ال‬ َ ‫َوالَ ُجن‬
ْ ُ‫تُ َوا ِعدُوه َُّن ِس ًّرا إِالَّ أَن تَقُول‬
‫وا قَوْ الً َّم ْعرُوفًا‬
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu

1
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Grup,
2004), hlm. 82.
2
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media Grup,
2012), hlm. 273.
3
Ibid., hlm. 274.
4
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 9.
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. ”
Untuk kebaikan dalam kehidupan berumah-tangga dalam kesejahteraan dan
kebahagiaannya, maka laki-laki sekiranya melihat dulu bagaimana perempuan yang
akan dipinangnya, sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu dapat
diteruskan ataupun dibatalkan.
Ada yang berpendapat bahwa hukum melihat dahulu wanita yang akan
dipinang adalah sunnah dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk
menikahi wanita itu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ْ‫ فَ ْليَ ْف َعل‬،‫ فَإ ِ ِن ا ْستَطَا َع أَ ْن يَ ْنظُ َر ِم ْنهَا إِلَى َما يَ ْد ُعوْ هُ إِلَى نِ َكا ِحهَا‬،َ‫ب أَ َح ُد ُك ُم ْال َمرْ أَة‬
َ َ‫إِ َذا خَ ط‬
Artinya: “Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia
bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka
lakukanlah!” (HR. Ahmad dan Abu Daud)5
Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu‘anhu pernah meminang seorang wanita,
maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
‫ فَإِنَّهُ أَحْ َرى أَ ْن ي ُْؤ َد َم بَ ْينَ ُك َما‬،‫أُ ْنظُرْ إِلَ ْيهَا‬
Artinya: “Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk
melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” (HR. Nasa’i, Ibnu Majah, dan
Tirmidzi).6
Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat
dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang
dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”
Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para
ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Imam Malik
berpendapat bahwa hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan.
Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak
tangan. Sedangkan bagi sebagian para Fuqaha, seperti Abu Dauh al-Dhahiry,
membolehkan melihat seluruh badan kecuali dua kemaluan, sementara fuquha
sebagian lagi melarang melihat sama sekali. Akan tetapi yang disepakati oleh para
ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Hal tersebut karena berdasarkan
pad Q.S. An-Nur, ayat 31 yang artinya: “ Dan Janganlah (kaum wanita)
menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya.” Maksud dari
5
Amiur dan Azhari , Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm.83.
6
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010),
hlm. 25.
“perhiasan yang biasa tampak pada dirinya” kemudian ditafsirkan sebagai muka,
dan dua telapak tangan. Di samping itu, juga diqiyaskan dengan kebolehan membuka
muka dan telapak tangan pada waktu berhaji.7
C. Syarat Peminangan
Garis hukum peminangan terinci di dalam pasal 12 ayat (1) KHI juga mengatur
syarat peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang
masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. 8 Selain itu pasal
12 ayat (2),(3), dan (4) menyebutkan larangan peminangan terhadap wanita yang
mempunyai karakteristik:
 Ayat (2): wanita yang ditalak oleh suami yang masih berada dalam masa
iddah raj'i, haram dan di larang untuk dipinang.9
 Ayat (3): dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria
lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan
dari pihak wanita.10
 Ayat (4): putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan atau secara diam-diam pria meminang telah menjauhi
atau meninggalkan wanita yang dipinang.11
Dalam hukum Islam, terdapat aturan tentang siapa yang boleh dipinang dan siapa
yang tidak boleh dipinang. Seseorang yang boleh dipinang, harus memenuhi dua
syarat, yaitu:
1. Pada waktu dipinang, tak ada halangan yang melarang dilangsungkannya
perkawinan12. Maksud dari tidak ada larangan hukum yang melarang
dilangsungkannya perkawinan, yaitu sebagai berikut:
a. Wanita tidak terikat perkawinan yang sah.
b. Wanita bukan mahram yang haram dinikahi untuk sementara atau untuk
selamanya.
c. Wanita tidak dalam masa idah.
Berikut jenis masa Idah dan ketentuan peminangannya:
 Wanita yang dipinang tidak menjalani masa iddah raj'i. Ulama
sepakat bahwa haram meminang wanita yang dalam masa iddah

7
Ibid., hlm. 25-26.
8
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 10.
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 9.
karena talaq raj’iy, sekalipun dengan cara sindiran. Karena dalam
masa iddah karena talaq raj’iy, suami wanita tersebut masih
memiliki hak atas dirinya.
 Wanita yang menjalani masa iddah waffat, hanya dapat dipinang
dalam bentuk sindiran (kinayah). Karena hak suami sudah tidak ada.
 Wanita yang menjalani masa iddah bain sugra dan masa iddah bain
kubra. Dalam menanggapihal ini, para ulama terbagi atas dua
pendapat, yaitu:
1) Ulama Hanafiyah mengharamkan pinangan pada wanita yang
sedang dalam talaq ba’in dengan alasan dalam talaq ba’in sugra 
suami masih memiliki hak untuk kembali pada istri dengan akad
yang baru. Sedangkan dalam talaq ba’in kubra, keharamannya
disebabkan karena dikhawatirkan dapat membuat wanita itu
berbohong tentang batas akhir iddahnya, dan bisa jadi lelaki yang
meminang wanita tersebut merupakan penyebab dari kerusakan
perkawinan yang sebelumnya. 
2) Jumhur ulama’ berpendapat bahwa khitbah atas wanita yang
sedang dalam iddah talaq ba’in  diperbolehkan, berdasarkan
keumuman dari surat al-baqarah ayat 235 dan bahwa sebab
adanya talaq ba’in suami tidak lagi berkuasa atas istri karena
perkawinan diantara mereka telah putus. Sehingga adanya
khitbah secara sindiran ini tidak mengindikasikan adanya
pelanggaran atas hak suami yang mentalak.
dapat dipinang oleh bekas suaminya sesudah kawin dengan laki-
laki lain (ba'da dukhul) kemudian diceraikan. Sementara bekas
suami dimaksud juga sudah menikah dengan perempuan lain.
Dapat disimpulkan bahwa wanita yang mempunyai status dari yang
dijelaskan diatas, terhalang untuk dipinang.
2. Belum dipinang oleh laki-laki lain secara sah.13
Hukum meminang pinangan orang lain adalah haram, karena dapat
menghalangi hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah
hubungan kekeluargaan, dan mengganggu ketentraman. Berdasarkan hadits
nabi saw.:
13
Ibid.
‫صلَّى هللا‬ َ ‫ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن َش َما َسةَ أَنَّهُ َس ِم َع ُع ْقبَةَ ْبنَ عَا ِم ٍر َعلَى ْال ِم ْنبَ ِر يَقُو ُل إِ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ْ ‫ب َعلَى ِخ‬
‫طبَ ِة‬ َ ُ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ْال ُم ْؤ ِمنُ أَ ُخو ْال ُم ْؤ ِم ِن فَالَ يَ ِحلُّ لِ ْل ُم ْؤ ِم ِن أَ ْن يَ ْبتَا َع َعلَى بَي ِْع أَ ِخي ِه َوالَ يَ ْخط‬
)‫أَ ِخي ِه َحتَّى يَ َذ َر (رواه مسلم‬
Artinya: “Dari ‘Abdurrahman bin Syamasah, ia mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir
mengatakan di Minbar bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Seorang mukmin adalah
saudara bagi mukmin lainnya, maka tidak halal baginya untuk membeli barang yang
dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya hingga ia
meninggalkannya.” (HR. Ahmad dan Muslim).14

ِ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن يَبِي َع َح‬


َ‫ َوال‬، ‫اض ٌر لِبَا ٍد‬ َ ِ ‫ع َْن أَبِى هُ َري َْرةَ رضى هللا عنه قَا َل نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬
‫ق أُ ْختِهَا‬ ْ ‫ َوالَ يَبِي ُع ال َّر ُج ُل َعلَى بَيْع أَ ِخي ِه َوالَ يَ ْخطُبُ َعلَى ِخ‬، ‫تَنَا َج ُشوا‬
َ َ‫ َوالَ تَسْأ َ ُل ْال َمرْ أَةُ طَال‬، ‫طبَ ِة أَ ِخي ِه‬ ِ
)‫لِتَ ْكفَأ َ َما فِى إِنَائِهَا (رواه بخاري‬
Artinya: "Dari Abi Hurairah RA berkata: Rasulullah saw. melarang untuk
menjualkan barang orang desa (menjadi calo), dan jangan mencampuri barang yang
bagus dengan barang yang jelek, dan jangan membeli barang yang dibeli
saudaranya, jangan meminang pinangan saudaranya serta  Jangalah seorang wanita
meminta (kepada suaminya) untuk menceraikan madunya agar ia bisa menumpahkan
apa yang ada di bejana madunya tersebut" (HR.Bukhori).15

‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل الَ يَبِ ِع ال َّر ُج ُل َعلَى بَي ِْع أَ ِخي ِه َوالَ يَ ْخطُبْ َعلَى‬
َ ‫ع َِن ا ْب ِن ُع َم َر َع ِن النَّبِ ِّى‬
)‫طبَ ِة أَ ِخي ِه إِالَّ أَ ْن يَأْ َذنَ لَهُ (رواه مسلم‬ ْ ‫ِخ‬
Artinya: ”Dari Ibnu ‘Umar, Nabi saw. bersabda, “seseorang tidak boleh membeli
barang yang dibeli oleh saudaranya, dan jangan meminang atas pinangan
saudaranya hingga ia mengizinkan.” 
Menurut Ibnu Qasim, yang dimaksud larangan disini adalah apabila
lelaki sholeh meminang wanita yang dipinang orang sholeh pula. Sedangkan
apabila lelaki sholeh meminang wanita yang dipinang orang yang tidak
sholeh, maka pinangan semacam itu diperbolehkan.16
Meminang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi haram apabila
perempuan tersebut talah menerima pinangan yang pertama dan walinya telah
jelas-jelas mengizinkannya. Jadi, peminangan tetap diperbolehkan apabila:
a. Wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara terang-terangan
14
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hlm. 27.
15
Ibid., hlm. 28.
16
Ibid., hlm. 29.
maupun sindiran.
b. Laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah dipinang oleh
orang lain. 
c. Peminangan pertama masih dalam tahap musyawarah.
d. Lelaki pertama membolehkan lelaki kedua untuk meminang wanita.
Jika seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan menikah
dengannya setelah ia menerima pinangan pertama, maka ulama berbeda
pendapat, yaitu: 
1) Menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah, karena
meminang bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu,
pernikahannya tidak boleh difasakh sekalipun mereka telah
melanggar ketentuan khitbah. 
2) Imam Abu Daud berpendapat bahwa pernikahan dengan
peminang kedua harus dibatalkan baik sesudah maupun sebelum
persetubuhan.
3) Kalangan Malikiyah menyatakan bahwa bila dalam perkawinan
itu telah terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut tidak
dibatalkan, sedangkan apabila dalam perkawinan tersebut belum
terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan.
Perbedaan pendapat diantara ulama di atas disebabkan oleh perbedaan
dalam menanggapi pengaruh pelarangan terhadap batalnya sesuatu yang
dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinannya sah
beranggapan bahwa larangan tidak menyebabkan batalnya apa yang
dilarang, sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak
sah dan harus dibatalkan beranggapan bahwa larangan menyebabkan
batalnya sesuatu yang dilarang.
D. Akibat Hukum Peminangan
Pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang
wanita tidak mempunyai akibat hukum. Pasal (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam
mengatur sebagai berikut;
a. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan;
b. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara
yang baik sesuai agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai.
Jika pasal 13 KHI dihubungkan dengan hak peminangan seorang pria kepada
seorang wanita, yaitu menutup hak peminangan orang lain. Hal ini berarti
mengandung nilai-nilai kesopanan. Oleh karena itu, peminangan mempunyai
prinsip-prinsip yang belum mengandung akibat hukum sehingga mereka yang sudah
bertunangan belum dapat berdua-duaan hingga mereka melangsungkan akad nikah.
Prinsip ini didasari oleh hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Jabir. “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah
berdua-duaan antara seorang laki-laki dengan serang wanita karena pada saat itu
ada setan.” Namun, ada anggapan yang keliru dalam kehidupan masyarakat
tertentu saat ini bahwa apabila seorang laki-laki sudah bertunangan dengan seorang
wanita seakan-akan sudah ada jaminan bahwa mereka kelak akan menjadi suami
istri sehingga boleh-boleh saja berdua-duaan. Masyarakat yang mempunyai
anggapan demikian dapat disebut nilai-nilai moral keagamaannya sudah luntur
karena tidak tertutup kemungkinan kepada mereka akan melakukan perbuatan
perzinaan.17
E. Pembatalan Peminangan
Pembatalan peminangan menjadi hak masing-masing pihak yang telah
mengikat perjanjian. Dalam ajaran Islam tidak ada hukuman materil terhadap
seseorang yang mengingkari janjinya, sekalipun perbuatan itu dipandang amat
tercela dan salah satu sifat-sifat kemunafikan terkecuali ada alasan-alasan
pembenar. Masalah pemutusan peminangan ini diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam pada Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 1318 yakni:
 Pasal 12 Ayat 4 Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang
telah menjauhi dan meninggalkan yang dipinang.
 Pasal 13:
1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.
2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan cara
yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat,
sehingga tetap berbina kerukunan dan saling menghargai.

17
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 11.
18
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, hlm. 278.
Dalam masa peminangan ini biasanya ada pemberian barang-barang sebagai
hadiah dari pihak calon suami ke calon istri. Pemberian ini dalam adat Jawa disebut
peningset atau tanda ikatan cinta. Pemberian dan hadiah yang telah diberikan
hukumnya sama dengan hibah.
Menurut madzhab syafi’i, barang-barang hadiahnya harus dikembalikan jika
masih utuh, tetapi jika sudah rusak diganti sesuai harganya. Sedang menurut
madzhzb maliki, jika yang membatalkan dari pihak pria, maka tidak berhak lagi atas
barang-barang yang dihadiahkan. Tetapi jika pihak perempuan yang membatalkan,
maka pihak laki-laki berhak meminta kembali semua barang yang sudah
dihadiahkan baik masih utuh atau sudah rusak. Jika sudah rusak, maka harus diganti
terkecuali ada perjanjian sebelumnya, atau berdasarkan urf yang berlaku.19
Praktik di Pengadilan Mesir berdasarkan madzhab Hanafi yang menyatakan
bahwa yang segala hadiah dari pihak laki-laki berhak untuk diminta kembali selagi
barangnya utuh tidak ada perubahan. Jika barangnya sudah rusak, maka hak untuk
meminta kembali tidak ada atau meminta kembali ganti yang lain.
Pada Umumnya di Indonesia, dalam proses peminangan, pihak laki-laki yang
mendatangi pihak perempuan untuk melakukan peminangan. Tetapi dalam
masyarakat tertentu terdapat kebiasaan yang sebaliknya yakni pihak perempuan
yang mendatangi pihak laki-laki untuk melakukan pinangan. Ada banyak macam
tata cara peminangan di Indonesia, karena pada dasarnya tata cara pelaksanaan
khitbah dalam hukum islam diserahkan pada ‘urf masing-masing masyarakat.20

19
Ibid., hlm. 279.
20
Ibid.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
 Didalam kitab-kitab fikih, khitbah (peminangan) diterjemahkan dengan
pernyataan keinginan untuk menikah terhadap seorang wanita yang telah
jelas (izhar al-rughbat fi al-zawaj bi imraatin mu’ayyanat) atau
memberitahukan keinginan untuk menikah kepada walinya.
 Dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 tahun 1991) diatur masalah
peminangan dalam pasal 11-13 (BAB III tentang Peminangan). Sedangkan
Dalam Islam, syariat peminangan bagi orang yang hendak menikah telah
diatur pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 235 dan beberapa
hadis Rasulullah SAW.
 Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para
ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh
dilihat.Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan
kedua tangannya. Hal tersebut karena berdasarkan pad Q.S. An-Nur, ayat 31.
 Syarat wanita yang dapat dipinang dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:
Wanita yang dipinang bukan istri orang, wanita yang dipinang tidak dalam
keadaan dipinang oleh laki-laki lain, wanita yang dipinang tidak menjalani
masa iddah raj'i, masa iddah waffat, dan masa iddah bain sugra, ataupun
masa iddah bain kubra.
 Pelaksanaan peminangan yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada
seorang wanita tidak mempunyai akibat hukum sampai para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan (Pasal (1) dan (2) Kompilasi Hukum
Islam). Pasal 13 KHI dapat dihubungkan dengan hak peminangan seorang
pria kepada seorang wanita, yaitu menutup hak peminangan orang lain.
 Pembatalan peminangan menjadi hak masing-masing pihak yang telah
mengikat perjanjian. Dalam ajaran Islam tidak ada hukuman materil terhadap
seseorang yang mengingkari janjinya, masalah pemutusan peminangan ini
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 13.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media Grup.
Shomad, Abd. 2012. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam.
Jakarta: Prenada Media Grup,
Tihami dan Sohari Sahrani. 2010. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai