Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang memiliki beberapa suku yang mana suku-suku
tersebut memiliki hukum adatnya masing-masing, hukum adat tersebut dipelihara,
dihormati dan diakui oleh hukum agama dan hukum Negara. Dalam praktiknya
sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adatnya untuk mengelola ketertiban
dalam lingkungan wilayah adatnya. Hukum adat diakui keberadaannya tetapi dibatasi
dalam peraktiknya.
Hukum adat merupakan norma-norma adat atau kebiasaan yang diberlakukan
dalam suatu wilayah adat yang berbentuk aturan yang tidak terulis dan tersebar serta
dipatuhi oleh masyarakat hukum adat. Hukum yang berlaku dalam adat tersebut
adalah suaru kekhasan dan kekayaan budaya dari kemajemukan bangsa Indonesia
yang seharusnya kita lestarikan.
Bicara tentang hukum, tentu kita akan membahas mengenai manusia dan badan
hukum sebagai subjek hukum, dalam hukum adat sendiri, masyarakat hukum adat
merupakan subjek dari hukum adat tersebut. Masyarakat hukum adat adalah
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau dasar keturunan.
Masyarakat hukum adat memiliki hubungan hukum dengan tanah, hubungan
tersebut merupakan hubungan lahiriah dan batiniah, yang mana merupakan sebagai
akibat hubungannya yang telah berlangsung secara turun-temurun. Hubungan tersebut
menimbulkan hak mas
yarakat hukum adat atas tanah. Dalam makalah ini, penulis akan membahas
secara terperinci mengenai masyarakat hukum adat dan dan hak atas tanahnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud masyarakat hukum adat?
2. Apa sajakah unsur dan pembagian bentuk masyarakat hukum adat?
3. Apa peranan pimpinan masyarakat hukum adat?
4. Bagaimanakah konsep hukum dan perubahan sosial?
5. Apa sajakah hak masyarakat adat atas tanah wilayah?
6. Apa yang dimaksud hak perorangan dan pembagiannya?
7. Apa saja faktor luar yang mempengaruhi hukum adat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mayarakat Hukum Adat
1. Definisi Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat (yang disebut persekutuan hukum adat oleh Soepomo
dan beberapa ahli hukum adat lainnya) adalah komunitas Masyarakat (paguyuban)
sosial manusia yang merasa bersatu karena terikat oleh kesamaan leluhur dan atau
wilayah tertentu, memiliki kekayaan sendiri, dipimpin oleh seorang atau beberapa
orang yang dipandang memiliki kewibawaan atau kekuasaan, atau memiliki tata nilai
sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan untuk memisahkan diri.1

2. Unsur-Unsur Masyarakat Hukum Adat2


a) Ada komunitas manusia yang merasa bersatu, terikat oleh perasaan
kebersamaan karena kesamaan keturunan (geneologis) dan atau wilayah
(territorial).
b) Mendiami wilayah tertentu, dengan batas-batas tertentu menurut konsepsi
mereka.
c) Memiliki kekayaan sendiri baik kekayaan materiel maupun immaterial.
d) Dipimpin oleh seseorang atau beberapa orang sebagai perwakilan kelompok,
yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan yang legal/didukung oleh
kelompoknya.
e) Memiliki tata nilai sebagai pedoman dalam kehidupan sosial mereka.
f) Tidak ada keinginan dari anggota kelompok itu untuk memisahkan diri.
3. Peranan Pimpinan Masyarakat Hukum Adat
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintaha Daerah
dimana didalamnya ada ketentuan yang mengatur tentang desa. Menurut Pasal 104
undang-undang ini dinyatakan bahwa Badan Perwakilan Desa atau yang disebut nama
lain berfungsi mengayomi adat istiada membuat peraturan desa menampung dan
menyatukan serta melakuka pengawasan terhadap pelanggaran pemerintah desa.
Sebagai pelaksanaan ketentuan undang-undang ini telah dikeluarkan Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penyesuaian Peristilahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa/ Marga dan

1
Rosdalina, Hukum Adat, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), hlm. 113.
2
Ibid., hlm. 119-120.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum
Pengaturan Mengenai Desa/Marga. Mengenai tugas dan kewajiban kepala desa/marga
dinyatakan sebagai berikut:3
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa/marga;
b. Membina perekonomian desa/marga.
c. Mendamaikan perselisihan masyarakat desa/marga.
d. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa/marga.
e. Mewakili desa/marganya di dalam dan di luar pengadilan dan menunjuk kuasa
hukumnya.
f. Mengajukan Rancangan Peraturan Desa/Marga dan bersama BPD/BPM
menetapkan sebagai peraturan desa/marga.
g. Menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang 8 desa/marga
yang bersangkutan.
4. Hukum dan Perubahan sosial
Di dalam proses perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat maka
merupakan suatu gejala yang umum bahwa perubahan-perubahan terutama akan
mengenai gejala sosial yang dinamakan hukum Tidak jarang tanpa disadari
perubahan-perubahan yang terjadi dalam ber- bagai bidang kehidupan lainnya akan
berpengaruh terhadap nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum. Sebaliknya, hukum
sebagai kaidah mau pun sebagai perilaku, memberi bentuk dan tata tertib pada
bidang-bidang lain, seperti politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan bidang lainnya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ragam keluhan yang berkaitan dengan
tatanan kehidupan selalu dikaitkan dengan lemahnya kemampu an hukum untuk
memfasilitasinya. Seolah perubahan sosial dan hukum serta akibat yang
ditimbulkannya terpisah secara total dari realitas sosial padahal hukum pada
hakikatnya adalah sebuah realitas sosial. Sebagai suatu realitas sosial, (Soerjono
Soekanto; 2001), maka hukum harus dapat dikembalikan pada 3 (tiga) tatanan yang
bersifat mendasar sebagai karakteristik hukum itu sendiri:4
a. Stabilitas: Hukum menghendaki adanya stabilitas dalam masyarakat. Tuntutan
terhadap stabilitas tersebut sering kali menutup mata kalangan hukum (yang
formil-dogmatis-legistis) terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi.
b. Formalisme: terutama untuk melihat hukum sebagai kaidah-kaidah yang
3
I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia: Perkembanagnnya dari Masa ke Masa, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2005), hlm. 126.
4
Ibid.,hlm. 133.
mengatur hubungan-hubungan antara manusia.
c. Tertib: hukum cenderung untuk mementingkan tertiban.
Pendekatan terhadap hukum dalam 3 (tiga) dimensi di atas adalah pen-
dekatan secara yuridis belaka. Semua ada benarnya dan dipastikan adalah benar.
Padahal, pendekatan masyarakat secara behavioral dalam memandang hukum harus
dilihat secara karakteristik masyarakatnya. Dengan demikian, menganalisis perubahan
sosial harus melihat aspek filsafati, analitis, sekaligus sosiologis. Salah satu teori yang
umum diper- gunakan sebagai landasan melihat eksistensi hukum di dalam masya-
rakat adalah teori Talcott Parsons. Talcott Parsons dilahirkan di Colorado 1902-1979
dan ia adalah seorang Sarjana Sosiologi Amerika. Serikat. Teori Fungsional Talcot
Parsons menempatkan individu tidak semata-mata sebagai suatu kelakuan biologis
semata, namun dalam struktur kelakuan yang bermakna dan berstruktur. Dalam
menjalankan nilai fungsi, uraiannya memuat sekurang-kurangnya 4 (empat) fungsi
harus diupayakan manusia dalam rangka hidup bersama dengan anggota struktur
lainnya dalam masyarakat, yaitu meliputi fungsi:
a. Memepertahankan pola: fungsi ini menghubungkan subsistem sosial
tindakan dan subsistem budayanya, maka hubungan yang ada didalamnya akan
menjadi bermakna.
b. Mencapai tujuan: fungsi ini menghubungkan subsistem kepribadian sebagai
perantara melakukan unsur tindakan.
c. Melakukan integrasi: fungsi ini erat hubungannya dengan perlakuan dalam
melakukan hubungan komunikasi dan koordinasi antara manusia 1 dengan yang
lain.
d. Adaptasi: fungsi ini mempunyai hubungan erat dalam hal melakukan secara
fisik dengan lingkungan sekitar secara umum.
Sistem sosial terbentuk dari ragam interaksi yang dilakukan individu satu
dengan individu lain dalam suatu struktur masyarakat. Masyarakat adalah sistem
sosial dengan tingkat independensi tertentu dalam mencukupi ke- butuhan-
kebutuhannya. Dalam interaksi demikian patut dicermati unsur- unsur apa saja yang
menjadi dasar suatu sistem kerangka sosial khusus nya sistem hukum sehingga akan
terjalin harmonisasi sistem nilai antara anggota masyarakat satu dan masyarakat
lainnya secara keseluruhan atau utuh. Agar hukum dapat ditegakkan, menurut
Soerjono Soekanto (1987) hukum terlebih dahulu haruslah berfungsi dalam
masyarakat. Secara teori terdapat 3 (tiga) anggapan harus ada manakala hukum
diharapkan benar-benar memenuhi fungsinya:5
a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis
Penentuannya didasarkan oleh kaidah lebih tinggi tingkatannya (Hans
kelsen), terbentuk melalui suatu caraa yang ditetapkan (W. Zevenbergen)
serta menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.
b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis
Dapat dipaksa keberlakuannya oleh penguasa (teori kekuasaan) atau
kaidah hukum itu dapat diterima dan diakui oleh masyarakat pendukung
(teori pengakuan).
c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis
Sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sistem hukum
ada mempunyai unsur yang dinamakan Gegevens van het Recht, yang
meliputi:
1) Unsur Idiil
Unsur ini terdiri dari rasa susila, rasa keadilan dan rasio manusia.
2) Unsur Riil
Unsur ini berpengaruh terhadap segenap mentalitas, lingkungan
sosial, dan budaya. Hal ini muncul dalam kaitan kehidupan manusia
satu dengan manusia lainnya dalam konsep hubungan sosial
kelompok, baik aspek mental maupun aspek fisik. Manusia di dalam
kehidupannya senantiasa dipengaruhi oleh unsur pribadi maupun
lingkungan sosialnya. Mana yang lebih dominan berpengaruh hingga
saat ini belum dapat dipastikan.
Lingkungan alam merupakan lingkungan di luar lingkungan sosial, yang
mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga tidak jarang manusia ber
gantung pada lingkungan tersebut. Kebudayaan merupakan hasil ciptaan
manusia dalam pergaulan hidup, yang terwujud dalam hasil karya, rasa, dan
cipta. Karya menghasilkan kebudayaan materiel, sedangkan rasa dan cipta
menghasilkan kebudayaan imaterial atau spiritual.6

B. Hukum Tanah Adat


1. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

5
Ibid., hlm. 134.
6
Ibid., hlm. 137.
Sebelum kemerdekaan, peraturan Agrarische Wet (Staatsbalad No. 55 tahun
1870), tidak ada mengatur tentang rumusan hak ulayat. Hak ulayat diakui berdasarkan
domeinverklaring untuk Sumatera yang disebutkan dalam pasal 1, kemudian
peraturan ini tidak berlaku lagi seteah diundangkan UUPA. Istilah hak ulayat
dijumpai dalam pasal 13 UUPA, namun tidak ada satu rumusan pengertian hak ulayat
secara jelas. Di dalam pasal 3 UUPA juga hanya memberikan kepastian bahwa hak
ulayat atau hak yang serupa itu masih diakui eksistensinya hak ulayat itu harus
diperhatikan dan dihormati. Dalam pasal 3 UUPA hanya disebutkan bahwa hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu ialah bescheikkingsrecht.
Peraturan yang memberikan pengertian hak ulayat hanya dapat ditemui dalam
PMNA/KA. BPN No. 5 Tahun 1999, Pasal 1 yang menyatakan: "Hak ulayat dan yang
serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah
kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu
atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut,
bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara
lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. "Kemudian dalam ayat (2) Pasal 1
Permen tersebut tanah ulayat dirumuskan sebagai bidang tanah yang di atasnya
terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu. Maka dengan
demikian dapat dipahami pengaturan hak ulayat dalam UUPA, sesuai dengan
maksudnya adalah untuk mendudukkan hak ulayat dalam tempat yang sewajarnya,
adalah memberikan pengakuan yang wajar terhadap hak ulayat yang tercantum dalam
Pasal 3 UUPA.7
Pengertian hak ulayat yang dirumuskan dalam permen tersebut menunjukkan
adanya pengakuan terhadap hak ulayat, dan juga menjadi pegangan dalam melihat hak
ulayat, di mana selama ini belum ada pengertian hak ulayat yang secara jelas dalam
peraturan perundang- undangan. Dalam rumusan tersebut ciri-ciri hak ulayat
ditunjukkan sekurang-kurangnya sebagai berikut:
a. Ada masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum
b. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat berdasarkan hukum adat.
c. Adanya wilayah tertentu yang merupakan wilayah hukum adat (sebagai
objek).
7
Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2017), hlm. 17.
d. Anggota masyarakat hukum mengambil manfaat/hasil dari tanah untuk
kelangsungan hidup dan penghidupannya.
e. Adanya hubungan lahiriah dan batiniah turun temurun antara masyarakat
hukum dengan tanah.
Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukur adat, yaitu nagari, suku, kaum desa.
Masyarakat hukum dimaksud merupaka warga dalam kelompok sebagai nagari, desa.
Masyarakat hukum adat dengan berbagai nama menurut bahasa daerahnya masing-
masing adalah sekelompo orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suat persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal (teritorial)
ataupu atas dasar keturunan atau hubungan keluarga (genealogis).8
Berdasarkan rumusan hak ulayat sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa
masyarakat hukum adat atas tanah yang tidak terbatas atas tanah tetapi segala sesuatu
yang ada di atas tanah. Objek hak ulayat pada umumnya adalah meliputi semua tanah
(daratan, pantai, sungai, danau yang terletak dalam wilayah masyarakat hukum adat,
dan hak ulayat yang menyangkut tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dan binatang liar).9
2. Hak Perorangan atas Tanah Adat
Hubungan persekutuan hukum / masyarakat hukum adat dengan hak perorangan
atas tanah digambarkan dengan mulur mungkret. cMaka, semakin banyak usaha yang
dilakukan oleh perorangan terhadap tanahnya makin erat hubungan antara perorangan
dengan tanah, dan kekuasaan persekutuan terhadap hak ulayat makin berkurang atau
lemah. Sebaliknya, apabila hak perorangan kurang, contohnya menelantarkan dan
meninggalkan tanah, maka hak ulayat semakin kuat. Dengan demikian, hak itu
kembali kepada kekuasaan persekutuan. Jika hak ulayat itu masih kuat, maka tidak
ada kemungkinan hak itu dapat berpindah kepada orang lain, dan sebaliknya jika hak
ulayat itu berkurang kuatnya, tergantung pada persekutuan hukum untuk menetapkan
siapa yang menjadi pemiliknya.10
Dimana hak ulayat semakin melemah, disitu hak perorangan semakin menguat,
dalam hali ini lahirlah hak-hak atas tanah (hak perorangan). Hak perorangan adalah
hak yang lahir dari hubungan tanah dengan seseorang di luar hak ulayat dari
masyarakat hukum adat, misalnya hak turun-temurun, hak milik adat, dll. Hak ini ada
sejak pertama meletakkan hubungannya dengan tanah, yakni membuka hutan belukar
atau tanah kosong, yang kemudian dijadikan pertanian, tempat tinggal, dan
8
Ibid., hlm. 19.
9
Ibid., hlm. 20.
10
Ibid., hlm. 21.
sebagainya. Yang semuanya ini membentuk dan menguatkan hak kepemilikan atas
tanah.11
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak persekutuan hukum
dibatasi oleh hak perorangan. Hak perorangan ini sebenarnya bersumber dari hak
ulayat (hak komunal). Karena itu, sesuai dengan corak hukum adat yang bersumber
dari alam pikiran masyarakat Indonesia bahwa tanah-tanah tidak mutlak dimiliki oleh
perorangan secara mutlak, sebagaimana hukum perdata Eropa.
Berikut macam-macam hak perorangan:
a. Hak milik (inlands bezitrecht)
Hak milik atas tanah atau disebut juga dengan istilah “hak milik terkait” adalah
hak yang dibatasi oleh hak komunal. Inlands bezitrecht adalah hak dari anggota
masyarakat (hak perorangan) untuk menguasai secara penuh atas tanah. Sifat berkuasa
sepenuhnya adalah penguasaan seperti milik sendiri, seperti dalam arti menguasai
rumah, ternak, dan benda lain miliknya. Namun meskipun demikian, tetap dibatasi
oleh hak-hak sebagai berikut: 12
1) Hak ulayat masyarakat hukum.
2) Kepentingan-kepentingan lain yang memiliki tanah.
3) Peraturan-peraturan/ hukum adat seperti kewajiban memberi izin ternak
orang lain selama tidak dipagari atau tidak dipergunakan.
Sedangkan hak-hak perorangan sebagai warga suatu masyarakat hukum sebagai
berikut:
1) Mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu, dan lain sebagainya.
2) Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan masyarakat
hukum;
3) Mengambil hasil dari pepohonan yang tumbuh liar;
4) Membuka tanah dan mengerjakan tanah secara-terus menerus; dan
5) Pengusahaan tanah dan pengurusan tanah.
Dengan perbuatan-perbuatan tersebut, khususnya mengambil hasil hutan,
membuka tanah, dan pengusahaan tanah serta pengurusan tanah, maka lahirlah suatu
perhubungan perseorangan, yang biasanya diberi tanda pelarangan yang religius-
magis, sehingga ia ditinggalkan dan tidak diurus lagi, maka tanah itu dikuasai oleh
hak ulayat.

11
Ibid., hlm. 29.
12
Ibid., hlm. 30.
Bentuk dari hak milik atas tanah ini di Jawa Barat biasanya disebut “sawah
yasan” atau “sawah milik”, di Jawa Tengah disebut “sawah yasa” atau “sawah
pusaka”. Selain hak milik (Islands bezitsrecht) dikenal juga hak milik terkekang atau
terbatas atas tanah (ingeklemd inlands bezitsrecht), yaitu apabila pemilikan kekuasaan
atas tanah tersebut dibatasi oleh hak masyarakat hukum adat. Hak milik terkekang
atau terbatas di Jawa disebut sawah pekulen atau sawah nawrawita, di Jawa Barat
disebut kasikepan (Cirebon atau Kuningan), Ciamis disebut kanomeran, kacahan
(Majalengka).
Meskipun diberi wewenang penuh, kewenangan atau kekuasaan tersebut tidak
mutlak. Menurut Soedikno Mertokusumo bahwa pembatasan terhadap hak milik
terjadi karena:
1) Timbul dari peraturan, misalnya Stb. 1979:179 tentang Larangan Penjualan
Tanah, Stb.1906:8 tentang Peraturan Desa;
2) Kewajiban menghormati hak menguasai dari masyarakat hukum (hak ulayat);
3) Kewajiban menghormati kepentingan pemilik tanah orang lain;
4) Kewajiban untuk mentaati dan menghormati ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan pemilik-pemilik tanh.
Hak milik atas tanah dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:
a) Membuka tanah hutan/tanah belukar
b)Mewarisi tanah
c) Pembelian, pertukaran, hadiah.
b. Hak menikmati hasil(genotrecht)
Hak menikmati hasil adalah hak yang diperoleh warga masyarakat hukum
ataupun orang lain, yaitu orang di luar warga masyarakat hukum, yang dengan
persetujuan pemimpin masyarakat hukum, untuk mengelola sebidang tanah selama
satu atau beberapa kali panen, misalnya di Jawa dan Minangkabau.13
Di Jawa, yang biasa disebut hak memungut huma, berupa hak atau wewenang
untuk menanami tanah untuk sekali panen, tanahnya disebut huma geblongan.
Sedangkan di Minahasa dan Minangkabau, terdapat sawah, yaitu sawah pusaka yang
hak miliknya ditangan suatu suku/clan, sedangkan anggota somah seperut yang de
facto menggarapnya, hanya mempunyai hak menggarap(gamgambauntqi), yaitu hak
atas yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menggunakan
atau memungut hasil tanah itu (tanah pusako).
13
Ibid., hlm. 32.
Di wilayah yang hukum adatnya menentang jatuhnya hak tetap ke tangan orang
luar/ asing, pengolah asing tersebut tidak diberikan kemungkinan untuk
mengembangkan hak menikmati hasil untuk menjadi hak milik. Sehingga hak
menikmati hasil tersebut hanya dapat berjalan sepanjang satu kali panen, setelah
memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti membayar mesi (Jawa), atau uang
pemasukan (Aceh), atau dengan ketentuan apabila lebih dari satu kali panen, maka
sesudah setiap panen hak tersebut diselingi dengan suatu masa yang dikuasai oleh hak
wenang pilih. Sedangkan bagi masyarakat hukum adat, dimungkinkan untuk
mengembangkan hak menikmati hasil menjadi hak milik. Sehingga diperkenankan
mengolah tanahnya selama beberapa kali panen berturut-turut, tanpa diselingi hak
wenang pilih.
c. Hak wewenang pilih/ hak terdahulu (voorkeursrecht)
Hak wewenang pilih adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk
mengusahakan tanah dimana orang itu lebih diutamakan dari orang lain. Selama
masih ada hubungannya dengan orang yang akan menggarapnya. Di Kalimantan, hak
wewenang pilih disebut burukan. Wewenang pilih diberikan kepada:14
1) Mereka yang melekat suatu tanda larangan atau mereka yang pernah
membuka tanah.
2) Orang yang terakhir mengusahakan tanah.
3) Orang yang tanahnya berbatasan dengan tanah belukar (ekor tanah) atau
hapuan (Sumatera Selatan).
Menurut Soekanto, hak wewenang pilih memberi kesempatan kepada warga
yang pertama kali membuka tanah dan yang mengerjakan tanah itu untuk lebih
dahulu (artinya mendahului yang lain-lain) kembali menggarap tanah-tanah yang
dimaksud, apabila berhubungan dengan sesuatu hal tanah itu ia tinggalkan untuk
sesuatu masa tertentu (tanah burukan).
d. Hak wewenang beli (naastingsrecht)
Hak wewenang beli adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk membeli
sebidang tanah dengan mengesampingkan orang lain. Wewenang beli diberikan
kepada:15
1) Sanak saudara atau kerabat si penjual.
2) Pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya; dan

14
Ibid., hlm. 33.
15
Ibid.
3) Tetangga/warga atau anggota-anggota masyarakat desa.
Jika orang-orang tersebut diatas tidak mempergunakan hak tersebut, barulah
kesempatan membeli itu diberikan kepada orang lain / orang asing.
e. Hak karena jabatan (ambtelijkepropijtrecht)
Hak karena jabatan adalah hak dari pengurus atau pejabat masyarakat hukum
adat atas sebidang tanah untuk menikmati hasil selama ia memegang jabatannya.
Maksud pemberian hak itu adalah untuk menjamin penghasilan pejabat tersebut.
Isi hak itu adalah pejabat yang bersangkutan boleh mengerjakan tanah jabatan itu
atau menyewakannya kepada orang lain, tetapi ia tdak boleh menjual atau
menggadaikannya. Kalau yang bersangkutan sudah tidak lagi menjabat, maka hak
itu kembalipada hak masyarakat hukum adat atau berpindah ke tangan pejabat
yang menggantinya.16
Pada umumnya tanah jabatan ini memiliki istilah yang beranekaragam di
setiap daerah di Indonesia, misalnya: Batak: saba nabolak, Sulawesi Selatan:
galung arajang, Ambon: dusun dati raja, Bali: bukti, Jawa: tanah
bengkok/lungguh, di Ciamis, Kuningan, Majalengka, Cirebon, ditemukan tanah
yang dimiliki para pejabat setelah pensiun yang disebut sawah kehorhamatan/
sawah pensiun.
f. Konversi hak-hak tanah adat
Dengan berlakunya UUPA, maka hak atas tanah yang diatur atau tunduk
pada hukum adat dapat dikonversi sesuai dengan hak yang tercantum dalam
UUPA. Adapun pengaturan mengenai konversi hak-hak atas tanah adat setelah
berlakunya UUPA adalah sebagai berikut:
1) Hak milik Yasan sesuai dengan ketentuan konversi pasal 11 ayat (1)
UUPA menjadi hak milik ex Pasal 28 ayat (1) UUPA;
2) Hak masyarakat hukum adat yang tidak mungkin menjadi hak milik sesuai
dengan ketentuan konversi VIII UUPA, hak ini menjadi hak pakai ex
Pasal 41 ayat (1) UUPA.;
3) Hak milik atas tanah yang jatuh kepada ahli warisnya karena meninggal si
pemilik, sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi pasal VII menjelma
menjadi hak milik ex Pasal 20 ayat (1) UUPA;
4) Tanah-tanah sawah jabatan seperti tanah bengkok atau sawah
kelungguhan, sabah nabolak, galung arajang, bukti, sesuai dengan koversi
16
Ibid., hlm. 34
pada VI UUPA menjadi hak pakai ex Pasal 41 ayat (1) UUPA.17
3. Pengaruh Luar atas Hukum Tanah Adat
Faktor-faktor extern yang mempengaruhi hukum tanah adat bersumber dari:
a. Pengaruh raja-raja18
1) Yang merusak: menimpa persekutuan-persekutuan hukum yang terletak di
wilayah sekitar pusat kerajaan, di lingkungan wilayah kediaman raja-raja dan
kaum bangsawan (negaragung). Pengaruh itu berupa:19
a) Penggantian kepala-kepala persekutuan hukum;
b) Pengambil-alihan tanah persekutuan hukum oleh raja;
c) Pemberian hak kepada wangsa atau pegawai raja untuk memungut pajak
persekutuan hukum, yang sebenarnya harus dipungut oleh raja (lungguh,
apanage). Sistem apanage ini mendesak hak ulayat dan hak milik
peroangan. Sesudah sistem ini dihapus, hak-hak yang terdesak itu
berkembang kembali.
2) Yang memperkuat: Pengaruh ini bermanifestasi dalam:20
a) Penguatan susunan organisasi persekutuan-persekutuan hukum yang
terletak di luar wilayah negaragung, di lingkungan periferi kerajaan jauh
dari wilayah kediaman raja-raja (mancanegara), agar kewajiban menyetor
pajak dan mengerahkan tenaga pekerjadapat ditunaikan sebaik-baiknya.
b) Pembentukan desa perdikan. Desa perdikan adalah desa yang dibebaskan
dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintahan pusat (pada zaman
kerajaan).
b. Pengaruh pemerintah kolonial
Pengaruh pemerintahan kolonial terhadap hukum tanah adat pada umumnya
dan hak ulayat pada khususnya ternyata dari tindakan-tindakannya dalam politik
agrarianya. Kebijakan yang membawa pengaruh terhadap hukum tanah adat
tersebut diantaranya:21
1) Landrent
Berdasarkan penyelidikannya tentang keadaan agraria di Jawa
(tahun 1811), Rafles menarik kesimpulan bahwa semua tanah adalah
kepunyaan raja atau gubernemen (selaku penjajah) yang
17
Ibid.
18
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1981), hlm. 17.
19
Ibid., hlm. 18
20
Ibid.
21
Ibid.
menyewakannya kepada kepala desa, sedang desa menyewakannya
kembali kepada para petani. Dan berdasarkan teori ini, Rafles membuat
suatu sistem pajak bumi yang disebut landrent.
Untuk memperoleh uang, Raffles menjual tanah kepada orang-orang
partikelir (orang-orang swasta Belanda), yaitu tanah di sebelah barat
Cimanuk. Dengan demikian, tanah-tanah partikelir di sebelah timur
Cimanuk tunduk kepada hukum adat dan sebelah barat tunduk pada
Reglement untuk tanah-tanah partikelir di sebelah barat Cimanuk.22
2) Culteerstelsel
Stelsel tanam paksa (1830) yang diadakan oleh Van den Bosch
bertumpu pada teori Raffles tersebut diatas. Dibuatlah perjanjian dengan
para pemilik sawah bahwa mereka tidak perlu membayar pajak bumi
lagi, akan tetapi 1/5 dari tanahnya harus ditanami tumbuhan yang laku
keras di pasaran Eropa (kopi, tembakau, teh,dll). Apabila harga hasil
tanah yang diserahkan kepada gubernemen lebih besar daripada jumlah
landrent, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada si penyetor; jika
eksploitasi tanaman perdagangan mengalami kegagalan di luar kesalahan
petani, pemerintah akan mengganti kerugian tersebut. 23
Namun dalam praktiknya, yang dipentingkan hanyalah kas negara
Belanda. Oleh karena itu, banyak terjadi ketidak-jujuran bahkan
kekejaman, sehingga sangat merugikan kemakmuran dan
menghancurkan kehidupan rakyat, terutama di Jawa.
3) Agrarische Wet dan Agrarische Besluit / Domeinverklering
a) Agrarische Wet
Agrarische Wet (s. 1870-55) adalah sebuah undang-undang yang
dibuat di Belanda yang kemudian diberlakukan di Indonesia sebagai
ayat-ayat tambahan dari Pasal 62 Regerings Reglement Hindia Belanda
tahun 1854. Pasal 62 Regerings Reglement tersebut kemudian menjadi
Pasal 51 Indische Staatsregeling pada tahun 1925.24
Tujuan dari diberlakukannya Agrarische Wet di Hindia Belanda
adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum

22
Ibid., hlm. 19.
23
Ibid.
24
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-ndang Pokok Agraria, Isi, dan
Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 33
kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia
Belanda. Agrarische Wet membuka peluang bagi para pengusaha Swasta
untuk mendapatkan tanah yang masih berupa hutan dari pemerintah.
Tanah tersebut kemudian dijadikan perkebunan dengan hak erfpacht
(hak guna usaha atau hak kebendaan untuk menikmati kegunaan tanah
kepunyaan pihak lain) yang jangka waktunya bisa mencapai 75 tahun.
Selain penguasaan tanah dengan hak erfpacht. Agrarische Wet juga
membuka peluang untuk penggunaan tanah milik rakyat dengan sistem
sewa.25
b) Agrarische Besluit / Domeinverklering
Pasal 1 Agrarische Besluit (s. 1870-118) memuat ketentuan
sebagai berikut:
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2
dan 3 Agrarische Wet tetap dipertahankan asas bahwa semua tanah
yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya,
adalah domein (milk) negara.”
Ketentuan tersebut dipandang kurang menghargai hak-hak
rakyat yang tunduk pada hukum adat. Pada praktiknya domain
verklaring berfungsi sebagai berikut:
 Landasan hukum bagi pemerintah (negara) selaku pemilik
tanah untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat.
 Untuk kepentingan pembuktian pemilikan.
Domein verklaring dipandang merugikan rakyat karena
pemerintah kolonial dapat mengeruk keuntungan yang sebesar-
besarnya dengan cara memindahkan hak eigendom kepada pihak
yang meminta dengan disertai pembayaran harganya. Selain itu
dari segi hukum acara, domein verklaring dapat menimbulkan
kerugian karena beban pembuktian ada pada pihak rakyat.
Walaupun pemerintah kolonial yang mengajukan gugatan. Hal ini
sangat bertentangan dengan prinsip pembuktian ada pada pihak
yang mengendalikan.
4) Hak Eigendom Agraris (Agrarische Eigendom Recht)
Hak Eigendom Agraris termaktub dalam pasal 51 ayat 7 IS. (Indische
25
Ibid.
Staatsregelling) s. 1870 No. 117, yang berbunyi: Tanah milik rakyat asli atas
permintaan yang berhak dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom disertai
syarat pembatasan yang perlu yang akan diatur dalam Undang-undang (ordonantie)
dan yang harus tercantum dalam surat tanda eigondom itu, yakni mengenai
kewajiban-kewajiban kepada negara dan desa dan juga tentang hak untuk menjualnya
kepada orang yang tidak termasuk golongan rakyat asli.
Hak Eigendom yang diberikan kepada bangsa Indonesia (atas tanah miliknya –
Erferlijk individueel bezitsrecht) inilah yang disebut Hak Eigendom Agraria (hak
milik agraria). Dengan demikian hak ini merupakan hak Adat yang dibaratkan, atau
hak atas tanah bentukan Pemerintah Belanda. Oleh karena demikian tidak tunduk
pada BW (pasal 4 ayat 1 Keputusan Agraria–Agrarische Besluit– S. 1870 No. 118,
yang merupakan ketentuan lebih lanjut dari pasal 51 IS, kecuali mengenai
pembebanannya dengan hypotik.
Aturan-aturan untuk mendapatkannya, tercantum dalam S. 1872 No. 117
(pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 51 ayat 7 IS. S. 1870 No. 117 yo pasal 4 ayat 1 S.
1870 No. 118). Hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.
Di dalam praktik, istilah eigendom agraria digunakan untuk membedakannya dari
“eigendom” menrut pengertian BW. Sebab eigendom agraris adalah hak Indonesia,
bukan hak Barat, sehingga tidak dikuasai oleh ketentuan-ketentuan yang bersangkutan
dengan BW (Agrarische Besluit pasal 4/3).26

26
Iman, Hukum Adat, hlm. 24.

Anda mungkin juga menyukai