Anda di halaman 1dari 15

PLURALITAS HUKUM DALAM BUDAYA MASYARAKAT DITINJAU

DARI PERSPEKTIF SISTEM HUKUM


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Artikel Antropologi Hukum

Dosen Pengampu
Indawati, S.H, M.H
Oleh:
Aulia Disty Radita Kurniawan 2211111086
Anggita Setya Pratiwi 2211111063
Jacinda jannatin Aaliyah 2211111041
Zando Brahma Pradana Santoso 2211111021
Rania Nurhalisha 2211111029
I Made Adi Firman Wisnu Wardana 2211111068
Moch. Alief Haidar 2211111102
Dhuta Ramadhan 2211111094

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA 2023
ABSTRAK
Dalam budaya hukum masyarakat terkandung nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat yang
ditinjau dari perspektif sistem hukum. Di dalam suatu system hukum terkandung dalam budaya
hukum dimasyarakat. Struktur hukum dan substansi hukum dengan sendirinya akan mengalir
dengan budaya hukum masyarakat. Di dalam budaya hukum inilah yang akan memberikan
pemahaman mengenai struktur dan substansi hukum.
Kata kunci: Sistem Hukum dan Budaya Masyarakat

A. Pendahuluan
Dalam perspektif sistem hukum terlebih dahulu memahami system itu sendiri. Di suatau istilah “
sistem “ berasal dari Bahasa Yunani, yaitu sistema ” yang berarti suatu keseluruhan yang
tersusun dari sekian banyak bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur
terhadap suatu keseluruhan. Menurut N.Jordan dalam bukunya yang berjudul “ Some Thinking
about System “. Istilah sistem yang menunjuk suatu wujud benda yang memiliki tata aturan. Dari
bagian bagian ini memberikan kesan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang
berkaitan untuk mencapai keseluruhan, tujuan bersama sistem tersebut. Dalam istilah lain suatu
sistem terjadi suatu proses yang dilaksanakan oleh sekumpulan unsur, yang dipadukan secara
fungsional dan oprasional dalam tujuan. Berikut ini di temukan beberapa definisi sistem, yang
pada dasarnya memuat beberapa unsur yang sama. Menurut Wiliiam A. shrode Dan Voich,
sistem adalah “a system is a set of interrelated ports working independently and jointly, in pusuit
of common objectives of the whole, whitin a complex environment”.
Adapun Satjipto Rahardjo menyatakan :
“Sistem ini mempunyai pengertian yang penting untuk dikenali, sekalipun dalam pembicaraan-
pembicaraan keduanya sering dipakai secara tercampur begitu saja, yaitu: pertama, pengertian
sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu disini menunjuk
kepada suatu struktur yang tersusun.1 Secara pandangan teoritis keragaman budaya merupakan
entitas budaya yang mencerminkan jati diri bangsa. Sebagai aspek kebudyaan, manusia dalam
hidup bermasyarakat telah dibekali untuk menjunjung tinggi nilai-nilai budaya tertentu (adat
istiadat). Nilai-nilai budaya dalam masyrakat tertentu harus dijunjung tinggi , namun belum tentu
dianggap penting oleh masyarakat lain. Nilai-nilai budaya mencangkup lebih kongkretdalam
norma-norma social, yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat agar menjadi pedoman
untuk melakukan berbagai peranan dalam situasi social. Dalam ilmu antropologi hukum
mempelajari juga mengenai peran, status atau kedudukan, nilai, norma dan juga budaya atau
kebudayaan. Dengan semua ini merupakan hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan ilmu
1
Abdul Halim Barkatullah, (Budaya Hukum masyarakat dalam Perspektif Sistem Hukum),
/Jurnal UKSW_Budaya Hukum .pdf
antropologi hukum. Awal kelahiran dari Antropologi hukum dikaitkan dengan karya Sir Henry
Maine yang berjudul “ The ancient law” yang diterbitkan pada tahun 1861 yang dikenal sebagai
peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik ( the
evolusionistic theory) mengenai masyarakat dan hukum yang menyatakan bahwa hukum
berkembang seiring berjalannya perkembangan masyarakat dari masyarakat yang sederhana,
tradisional, dan kesukuan ke masyarakat yang kompleks dan modern. Lawrence Friedman
membedakan hukum budaya internal, yang menyangkut praktik-praktik dan kebiasaan para
profesi hukum, dan budaya hukum eksternal yang menyangkut opini. Kepentingan dan tekanan-
tekanan terhadap hukum dan kelompok menuntut atau menghendaki penyelesaian jalur hukum.
Hubungan erat antara budaya hukum dengan kesadaran hukum masyarakat maupun penegak
hukum semakin terlihat, bahwa masyarakat serta penegak hukum memeiliki tingakat kesadan
hukum yang tinggi.
Gambaran ideal yang merupakan kebudayaan dari masyarakat itu hendak dilestarikan melalui
cara hidup warga masyarakat dan salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat
supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum.2
B. PEMBAHASAN
1. Istilah Pluralisme Hukum
Werner Menski dalam bukunya Comparative Law in a Global Contex (The Legal)
System of Asia and Africa) mendefinisikan pluralisme hukum, yaitu: dimana pendekatan
untuk memahami hubungan antara hukum tata negara (hukum positif), aspek
masyarakat (pendekatan sosio - yuridis) dan hukum alam (moral/etika/agama). 3 Dari
definisi itu, pluralisme Hukum dimaksudkan sebagai cara untuk memahami bahwa
hukum yang hidup dalam masyarakat dapat hidup berdampingan dengan hukum yang
ada dikenakan oleh negara.
Unsur utama yang menjadi ciri pluralisme hukum menurut definisi ini adalah
berfungsinya semua sistem hukum secara keseluruhan, bukan Sebagian. Unsur interaksi
telah melekat dalam pemahaman konsep pluralisme karena erat kaitannya dengan:
hubungannya dengan sistem hukum yang hidup dalam masyarakat majemuk. hukum itu
2
Muhammad Hugo Javier Deylan, (Antropologi hukum Dalam Pandangan Hukum Adat), fakultas hukum universitas
Ekasakti
3
Muhammadun dan Murjazin, “Pluralisme Hukum Dalam Bingkai Masyarakat Madani: Masa Nabi dan Masa Kini,”
jurnal indo-islamika 4, no. 2 September, 2020, hal.190.
kehidupan dalam masyarakat didasarkan pada realitas sosial yang memiliki keragaman
sistem hukum, sebagai ekspresi identitas sosial budaya Publik. Keberagaman identitas
masyarakat tercermin dalam bentuk hukum adat, hukum agama dan hukum tata negara. 4
Pentingnya mengkonseptualisasikan pluralisme hukum tidak berarti: menciptakan
sistem hukum baru, melainkan pardigma pemikiran yang menekankan aspek mengakui
keragaman hukum yang berlaku di perusahaan, tunduk pada kondisi: beberapa daerah
terkadang tidak terlayani secara memadai oleh sistem hukum negara, yang terpusat.
Penelitian hukum dapat dilihat dalam dimensi yang berbeda, baik yang dibuat
oleh negara dalam konteks sosial, budaya, ekonomi dan politik. Secara garis beras
Hukum terbatas berkaitan dengan hukum negara, khususnya Undang-Undang (law in
books). Para antropolog melihat hukum sebagai acuan normatif yang luas dan jelas dan
berkembang secara dinamis (living law), termasuk tidak hanya hukum nasional, tetapi
juga Sistem normatif di luar negeri, ditambah semua proses dan aktor yang ada di
dalamnya. Hukum mengandung lebih dari konsep normatif: larangan dan Diizinkan,
tetapi juga mencakup konsep kognitif.
Mengenal dari konseptualisasi dari legal pluralisme, Sally Engle Merry pada
tahun 1988 mengatakan bahwa : “is generally defined as a situasion in which two or
more legal systems coexist in the same social field”. Bahwa pandangan Merry,
pluralisme hukum pada prinsipnya ada dua atau lebih sistem hukum yang berkembang
di masyarakat baik itu dibentuk oleh pemerintah secara formil maupun sistem hukum
yang tidak aturan formil yang berkembang dan dijalankan serta dipatuhi masyarakat itu
sendiri.5 Hal ini sejalan dalam pemberlakuan plural hukum dalam tatanan kehidupan
masyarakat.
Berdasarkan perspektif pluralisme hukum, bisa dilihat bahwa di luar hukum
negara sejatinya juga banyak terdapat jenis - jenis dan bentuk - bentuk aturan hukum
yang lain yang dibuat dan dipertahankan sendiri oleh masyarakat yang secara nyata
berfungsi sebagai pedoman berperilaku oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai the
living law. Berangkat dari asumsi ideal bahwa aturan hukum yang baik adalah aturan
hukum yang sesuai dengan realitas dinamika yang ada di masyarakat, karena
bagaimanapun hukum dibuat dan diperuntukkan untuk mengatur masyarakat, maka
4
Ibid, hal. 192
5
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S Hiariej, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Red & White Publishing, 2021, hal. 364
walaupun antara hukum positif dan living law adalah dua entitas yang berbeda,
keduanya dalam tataran realitas adalah saling mempengaruhi satu sama lain.
Teori pluralisme menunjukkan bahwa tidak hanya hukum negara yang
berlaku dalam masyarakat, tetapi hukum lain juga hidup dalam masyarakat. Pluralisme
hukum menempatkan ruang-ruang sosial dan bernegosiasi satu sama lain dalam ruang
hukum negara. Dalam konteks ini, pluralisme hukum merupakan konsep yang
menujukkan kondisi, bahwa lebih dari satu sistem hukum yang ada dan berlaku
bersamaan atau berinteraksi dalam mengatur berbagai aktivitas dan hubungan manusia
di suatu tempat. Berbagai sistem hukum yang di dalam suatu wilayah, bukan hanya
sekedar hidup berdampingan tanpa melakukan interaksi. Bila dalam lapangan sosial
yang sama hidup berdampingan lebih dari satu sistem hukum namun tidak saling
melakukan interaksi maka keadaan tersebut dinamai plurality of law (pluralitas
hukum). Namun bila antar sistem hukum tesbut melakukan interaksi, maka keadaan
tersebut dinamai dengan legal pluralism (pluralisme hukum).
Brian Tammanaha juga menyatakan bahwa istilah pluralisme hukum telah
digunakan sampai sekarang dianggap sebagai konsep kunci dalam firma hukum
postmodern. Pluralisme hukum sangat berguna untuk menjelaskan fakta bahwa ada
sistem hukum yang dihasilkan oleh negara. Ungkapan ini menegaskan bahwa dalam
lingkup social keragaman sistem normatif merupakan suatu keniscayaan. Namun, yang
menarik dari pluralisme hukum tidak hanya terletak pada keragaman sistem normatif
tersebut, tetapi juga pada kontradiksi aktual dan potensial di antara mereka yang
menimbulkan ketidakpastian. Ketidakpastian ini merupakan salah satu kerawanan yang
“diserang” oleh pluralisme hukum, meskipun hal ini tidak sepenuhnya benar, karena
masalah utama dari potensi konflik ini adalah hubungan asimetris dari sistem
normative.6 Dalam perkembangannya, pengertian pluralisme hukum telah berubah
dengan hadirnya dunia globalisasi Sulistiyowaty Irianto membagi perkembangan
pluralisme hukum menjadi tiga periode:,
Periode awal, yaitu pertengahan abad ke-19 (1960-1970) dan abad ke-20. Pada
abad ke-19, keragaman sistem hukum dipandang sebagai gejala perkembangan hukum,

6
Mokhammad Najih, “Dilemma Legal Pluralism in Indonesia: Prospects and Role of Islamic Law in the National
Legal Reform”.
sedangkan pada abad ke-20 keragaman hukum dipahami sebagai gejala pluralisme
hukum. Meskipun terdapat perbedaan desain pluralisme hukum pada periode awal,
Sulistiyowati menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan visi, yaitu bahwa pluralism
hukum diartikan sebagai upaya untuk menjaga eksistensi suatu tatanan hukum. Hukum
(koeksistensi) dalam bidang sosial yang dipelajari tertentu. Penelitian hukum terbatas
pada upaya memetakan keragaman hukum dalam suatu bidang kajian tertentu (mapping
the legal universe).7 Karakteristik pandangan keragaman sistem hukum periode ini
terjadi dikotomi pemahaman tentang hukum, masing-masing sistem hukum
menampilkan eksistensinya.
Pada periode kedua (akhir tahun 1990-an) muncul konsep pluralisme hukum.
Langkah ini terkait dengan hubungan topik pluralisme hukum. Setiap orang saling
mempengaruhi lainnya dalam berbagai sistem hukum yang digunakan, hukum itu
dipahami sebagai hasil interaksi di antara mereka. Sistem hukum yang berlaku, seperti
hubungan antara hukum adat dan hukum Agama saling mempengaruhi. Menurut
Sulistiyovati, Munculnya model pemetaan dan pendekatan independen ini adalah
kontribusi positif bagi dunia hukum. Suatu pendekatan yang menyederhanakan
fenomena hukum yang kompleks dalam masyarakat. Ada juga pluralisme hukum dalam
sistem tersebut. Hukum populer seperti hukum agama, adat istiadat, dan kebiasaan
"bersaing" lainnya. sistem hukum negara Ini memiliki bentuk jamak. Dalam banyak
kasus terdapat pluralisme dalam hukum. Negara dapat memilih hukum mereka dan
hukum dapat bertentangan. Meskipun pemisahan yurisdiksi peraturan di satu sisi seperti
pengaturan badan hukum, lembaga politik, badan ekonomi dan badan administrasi. Saya
menggunakan sistem yang sama.8 Tahapan ketiga adalah tipikal pluralisme hukum di era
globalisasi. Dari perspektif global, pluralisme hukum berfokus pada satu sama lain.
Dependensi, Adopsi atau Interaksi (Interdependensi, Antarmuka) antara sistem hukum
lainnya. Munculnya saling ketergantungan antar sistem Hukum internasional, nasional
dan regional. dia mempelajarinya. Perkembangan antropologi hukum diawali dengan
pengaruh politik. Konvensi Internasional tentang Sistem Hukum dan Kebijakan di
7
Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta,
2016, hal. 174.
8
Dedy Sumardi, Islam, “Pluralisme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen, Asy-Syir’ah”, Jurnal Ilmu Syari’ah
dan Hukum, Vol. 50, No. 2, Desember, 2016, hal. 493.
tingkat nasional mempengaruhi sistem hukum dan Politik di tingkat local. 9 Dalam
tahapan-tahapan di atas bahwa konsep pluralisme itu diartikan bahwa keberlakuan
sistem hukum yang berbeda membuat hukum itu sendiri beragam dan dapat
diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat yang menginginkan konsep hukum yang
lain di lingkungan masyarakat. Keberagaman hukum yang hidup di masyarakat harus
memahami akan pentingnya mengkonseptualisasi pluralisme hukum tidak maksud
untuk membuat sistem hukum baru, melainkan sebuah paradigma berpikir tekanan pada
aspek pengakuan atas kekerasan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dalam
kondisi tertentu terkadang belum terakomodir dengan baik oleh sistem hukum Negara
yang bersifat sentralistik.10 Sistem Hukum Pada Masyarakat Pluralis

Tentu saja, hukum tidak bekerja dalam ruang hampa, yaitu mengapa pada
kenyataannya hukum merupakan faktor integral dalam masyarakat. Hukum sebagai alat
pengatur atau kontrol sosial tentu saja harus dilaksanakan proses yang panjang dan
bervariasi berbagai macam kegiatan untuk eksis di masyarakat. Seperti yang sering kita
lakukan mendengar bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum Pasal 1
ayat (3) dari Undang-Undang Dasar 1945. Masyarakat majemuk Indonesia pasti
berpengaruh perundang-undangan yang terlibat Gunakan. Munculnya slogan
pluralisme hukum pasti berlandaskan Ada beberapa faktor, mis Faktor Sejarah Bangsa
Indonesia keragaman etnis, bahasa, budaya dan ras. Kemajemukan penegakan hukum
menciptakan masyarakat yang harmonis dan dapat diedit pemecahan masalah berbasis
hukum yang berlaku masyarakat itu sendiri. Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia
menganut sistem tersebut Undang-Undang Hak Sipil, yang dalam hal ini Satjipto
Rahardjo menegaskan dia itu di dunia ini kita tidak melihat satu sistem hukum saja,
tetapi lebih dari satu. Tentang sistem hukum Ini berisi elemen seperti: struktur, kelas dan
sketsa Dari berbagai elemen inilah perbedaan sistem hukum tercipta.

Hukum adat Budaya Indonesia juga bisa dilihat salah satu sumber penegakan hukum
legislasi domestik karena hukum umum adalah penggabungan berasal dari masyarakat
Indonesia. Penegakan hukum kebiasaan masyarakat terkadang tidak sesuai dengan
9
Ibid, hal. 494
10
Ibid.
mereka mandat konstitusional. Alasannya sering budaya yang dianggap melanggar
hukum pidana, padahal tidak untuk komunitas tertentu itu adalah apa disebut budaya
hukum. Terlepas dari penerapan hukumnya dalam masyarakat, kemudian secara
internal formasi tidak diperbolehkan melanggar UUD 1945, hukum harus tetap
berada di koridor Konstitusi. Ini juga ditekankan kembali dengan memposting UU No
11 Tahun 2012 pada desain regulasi Legislasi. Umumnya, surat perintah masuk UU
No 11 Tahun 2012 memimpin agensi legislasi untuk membingkai aturan perundang-
undangan yang tidak ada jauh dari aturan yang berlaku ditentukan berdasarkan
perjanjian dalam hukum. Bukan orang asing tentunya bagi kami, inilah yang diklaim
oleh teori stufenbau hukum tingkat rendah harus membumi oleh hukum yang lebih
tinggi dan oleh Norma itu disebut Grundnorm atau Pancasila. Seperti teori yang
dikemukakan oleh Laurance M Friedman dalam bukunya “The Legal System a Social
Perspektif ilmiah” berpendapat bahwa sistem hukum terdiri dari struktur, materi dan
11

kultur atau kebudayaan hukum masyarakat itu sendiri. Dari ketiga komponen tersebut
jika dibangunkan, tentu saja itu bagus mendukung berjalannya sistem hukum hadirin
Struktur itu sendiri diperiksa oleh institusi polisi, konten dapat dilihat oleh hukum atau
aturan hukum yang ditegakkan dan budaya adalah nilai-nilai atau kebiasaan yang
berkaitan dengan aturan atau norma yang berlaku pada diri mereka dalam masyarakat.
Negara hukum Indonesia bukan hanya sekedar negar itu hanya berfungsi sebagai
perwujudan hukum formal, tapi negara Indonesia harus bisa berbuat lebih mewujudkan
moralitas batin konstitusi (desain moral). Seperti yang ini kata robin m william “moral,
nilai atau budaya adalah contoh perilaku perilaku warga"

Pluralisme Hukum di Indonesia

Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut
John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam
sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986:1). Pada dasarnya, pluralisme hukum
melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi
sentralisme hukum (legal centralism). Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai
11
ibid
”hukum negara” yang berlaku seragam untuk semua orang yang berada di wilayah
yurisdiksi negara tersebut. Dengan demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan
dalam suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga
negara yang ditugaskan secara khusus untuk itu. Meskipun ada kaidah-kaidah hukum
lain, Sentralisme hukum menempatkan hukum negara di atas supremasi hukum lain
seperti hukum adat, hukum agama dan adat. Norma hukum lainnya dianggap memiliki
kekuatan mengikat yang lebih lemah dan harus mengikuti hukum negara. Pluralitas
hukum ini tidak lepas dari beberapa persoalan yang selama ini berjalan kritik antara
lain: (1) pluralisme yudisial tidak dipandang menindas batasan istilah hukum yang
digunakan: (2) pluralisme hukum dianggap tidak lengkap dengan mempertimbangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi struktur makro sosial ekonomi sentralisme hukum
dan pluralisme hukum. Apalagi menurut Ricardo Simarmata, kelemahan utama lain dari
pluralisme hukum adalah administrasi peradilan. Namun, pluralisme hukum tidak dapat
memberikan konsep yang tepat bertentangan dengan hukum negara. Pluralisme hukum
hanya dapat digunakan untuk memahami realitas hukum masyarakat. 12 Gerakan
Pluralisme Hukum di Indonesia

Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan reformasi hukum lahir atas nama
masyarakat adat. Dalam hal ini Pluralisme hukum digunakan untuk melindungi tanah
komunal yang diduduki dipaksakan oleh negara atau aktor swasta (Simarmata, 2005).
Hukum adat disajikan bertentangan dengan hukum tanah yang menjamin legalitas
perampasan tanah adat. Pada akhirnya, UUPA memiliki peluang aturan yang mengakui
keberadaan tanah adat (ulayat). Singkatnya, konsepnya pluralisme hukum digunakan
untuk menghidupkan kembali hukum umum, berusaha melindungi sumber daya alam
milik masyarakat adat teknik yang disahkan oleh hukum negara. Selanjutnya,
pluralisme hukum digunakan untuk mempromosikan pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini harus
mengeluarkan peraturan tentang pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-
12
Rahardjo, 2000: 235), Yunus, 2012: 6, Maladi, 55: 2010
kesatuan masyarakat hukum adat menurut hak tradisionalnya berdasarkan Pasal 18 B
Undang-Undang Dasar. 1945 dalam amandemen kedua tahun 2000. Selain itu muncul
TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Pertanian, yang juga mengaturnya
karena masyarakat adat juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme hukum. Setelah
munculnya aturan ini, hampir semua produk hukum pemerintah terkait kode sumber
daya alam berisi peraturan adat ini. Pada tataran praktis, gerakan ini mempromosikan
pengakuan terhadap masyarakat adat Aktivis pribumi terus melaksanakan. Diantara
mereka pemetaan area umum di beberapa lokasi dan dokumentasi hukum umum.
Karena dua hal ini bisa syarat dasar untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum
adat. Selain itu, bisnis ini juga mendorong pemerintah daerah untuk mengakui
masyarakat adat dengan dikeluarkannya beberapa peraturan daerah. Di sisi lain, paksaan
pemerintah daerah juga semakin membawa angin baru ke dalam gerakan ini. Selain itu
gerakan aktivis pluralis hukum sedang berusaha menginvasi bidang penyelesaian
sengketa, yakni mendorong keberadaannya pengakuan badan arbitrase adat (pengadilan
biasa). Hal ini dilihat sebagai salah satu respon terhadap situasi lembaga penyelesaian
sengketa negara (pengadilan) yang bobrok, yang dinilai tidak dapat memberikan
keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan untuk membiarkan masyarakat
menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat tanpa melalui melibatkan
pengadilan.13

Konteks gerakan sosial yang sah ini adalah jatuhnya rezim otoriter dan militer Soeharto
pada tahun 1998, yang diikuti dengan kebangkrutan Soeharto. Struktur negara yang
mengalami krisis ekonomi politik yang luar biasa melahirkan perannya reformasi di
berbagai bidang. Reformasi ini, sering dikaitkan dengan istilah “reformasi”, memasuki
sistem hukum. Pengaturan dimulai dengan produk hukum dan urusan negara UUD atau
Perubahan Pertama Sampai Keempat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(disebut UUD 1945), yang merevisi beberapa undang-undang yang dianggap
bermasalah, khususnya tentang bagian dari sentralisme kekuatan politik dan
pemerintah pusat daerah dengan dukungan politik undang-undang yang secara bertahap
dan lebih demokratis mereformasi sistem pemilu. sistem yang legal Bagian yang

13
Heru Harianto. (Pluralisme Hukum Di Indonesia) Universitas Ekasakti Indonesia
direformasi juga tidak luput dari persoalan yudikatif, common law dan administrasi
negara, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan pembentukan pengadilan khusus
lainnya. Institusi negara baru diciptakan untuk mengikuti kebijakan perubahan.
Misalnya pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman Republik
Indonesia (ORI), UKP4, Pokja Anti Korupsi Mafia Hukum, Badan Narkotika Nasional
(BNN) dll. Singkatnya, keduanya adil dan badan-badan negara baru di bawah eksekutif
akan mengalami inflasi yang cepat. Konstelasi politik seperti itu menyebabkan
perubahan struktural yang cukup penting di permukaan tanah. Tak lebih dari delapan
tahun pemerintahan sejak 1998, soal pemakzulan presiden meskipun tidak sesakral
selama rezim Orde Baru. gelombang demokratisasi lembaga publik yang memerlukan
pengelolaan yang baik dan bertanggung jawab atau baik administrasi menjadi ikon
politik, dipromosikan secara agresif oleh elit politik dan birokrasi Parlemen.
Singkatnya, situasi Aufklärung (pencerahan), yang belum pernah terjadi sebelumnya
dalam fase pergolakan politik hukum. sebelumnya, terjadi sekarang. Ketika itu terjadi
sebelumnya, itu hanya geraman situasional yang tidak bisa dilihat ritual politik pemilu
yang sering disebut sebagai Partai Demokrasi Rakyat Indonesia. Ironisnya mendalam
Dalam perkembangannya, proses demokratisasi telah banyak mengalami perubahan
harapan ideal reformasi yang diinginkan. Dalam konteks lokal, masyarakat adat, petani,
masyarakat pesisir dan masyarakat dengan sistem sosial budayanya sendiri sangat
tergusur. Negara, melalui interpretasi kekuasaan, menghilangkan dan mengingkari hak-
hak masyarakat lahan dan sumber daya alam. Pengecualian dan penyangkalan semacam
itu bukan hanya masalah bentuk konflik hukum yang melibatkan interpretasi yang
berbeda dari hukum negara bagian dan lokal. Namun, lebih Lebih ekstrim lagi,
interpretasi secara formal berkaitan dengan bahasa hukum (“resmi” atau “resmi”).
Melalui penggunaan institusi dan prosedur terpusat dan rantai kekerasan untuk
melestarikan bahasa kekuatan seperti itu. Kalau perlu, menurut Luis, negara mengulangi
kekerasan ideologis Althusser (1971) atau kontrol wacana dan struktur seperti yang
disarankan oleh Antonio Gramsci (1971). Oleh karena itu, praktik di lapangan
menunjukkan situasi ketika konsep pluralisme hukum diusung kekerasan dan
penindasan seperti itu ketika negara selalu memiliki posisi defensif yang lebih baik
kekuatan politik sendiri. Belum lagi kekuasaan fungsional tidak hanya
merepresentasikan supremasi negara, tetapi juga penguatan kepentingan ekonomi dan
politik lokal, yang seringkali mensubordinasikan struktur pegawai negeri Relasi
kekuasaan ini melahirkan elit predator yang ternyata tidak hanya berada pada posisi
yang kuat akan merebut semua kekayaan sumber daya alam, mengalahkan posisi
pemerintah dan melenyapkannya sosial budaya masyarakat dengan begitu mudah.
Faktor-faktor tersebut secara langsung menghalangi, membatasi formasi atau usaha
revitalisasi hukum lokal, termasuk pelestarian sistem sosial budaya yang hidup dalam
masyarakat. Tingkat wacana dalam interpretasi hukum yang dominan di negara ini
tidak melampaui metode karena kesewenang-wenangan kekuasaan yang berkuasa,
tetapi juga ditembus ke dalam bidang pendidikan hukum, yang semakin memberikan
arus utama legitimasi. Selain itu, dukungan dari negara dan kelompok investasi besar
nasional dan internasional memberikan perlakuan yang berbeda intelektual tergoda
untuk "membeli" dan akhirnya mengikuti arus besar. Dalam hal itu a Dengan demikian,
selain kontrol politik dan ekonomi, sifat neoliberalisme juga diperkuat juga mencakup
hakikat formalisasi hukum dalam dunia pendidikan tinggi. Hakikat formalisasi ini dapat
dilihat pada konstruksi konsep “pluralisme hukum”. Keberagaman hukum seringkali
dipandang sebagai unsur yang melemahkan kepastian hukum yang terkait dengan
produk pegawai negeri, mencegah pengenalan lembaga formal untuk memecahkan
masalah dan bentuknya Yang paling ekstrim adalah melemahnya sistem hukum negara
hukum. Pengkritik Oposisi terhadap pluralisme hukum sering dimunculkan dalam
konteks praktik regulasi hubungan sosial di mana hukum negara dianggap lebih
sempurna dan di atas segalanya partai politik sebagai tempat munculnya segala
perbedaan. Dengan kritik pluralisme hukum semacam ini, kajian sedikit demi sedikit
"akan ditinggalkan" dan banyak yang tidak tertarik lagi, terutama pada modernisasi dan
gelombang besar globalisasi yang ingin melegalkan segala sesuat (semuanya
melegalkan atau didasarkan pada hukum yang berlaku). Tanda ini dapat dikaitkan
dengan penghapusan dari kursus antropologi hukum kurikulum sekolah hukum di
beberapa fakultas hukum di Indonesia. Atau setidaknya membuatnya lebih buruk gelar
mahasiswa hukum dari wajib hingga pilihan. Di sisi lain, pluralisme hukum dipandang
demikian, terutama di kalangan pembuat kebijakan sesuatu yang bermasalah bagi
komunitas lokal tertentu yang membuat undang-undang, bahkan seringkali terkadang
bertentangan dengan keinginan elit politik baik di parlemen maupun di birokrasi. Juga,
ketika undang-undang (hukum negara) dibuat, masyarakat setempat tidak diminta untuk
merumuskannya atau berpartisipas secara inklusif. 14 Pengaruh Prulalisme Hukum
Terhadap Masyarakat

Suatu norma Hukum akan memiliki keberlakuan Filosofis bila aturan hukum tersebut
sejalan dengan prinsip-prinsip hukum (rechts idea) yang tercantum dalam dasar filosofis
suatu negara. Landasan dasar filosofis yang dimaksud di Indonesia adalah Pancasila dan
pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, dengan kata lain tidak diterima
keberlakuannya suatu norma perundang-undangan yang substansinya justru
bertentangan dengan dasar filosofis negara tersebut.
Model budaya hukum sebagai kerangka kegiatan penegakan hukum, Hal itu
disesuaikan dengan nilai-nilai filosofis ideologi negara. Budaya hukum negara dimaknai
sebagai nilai-nilai asli bangsa yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Bentuk model pertama dari kebudayaan yaitu “system budaya (culture system)”.
“Soerjono Soekanto :1990 : 186-187 ;” Sistem kebudayaan ini ialah bagian ideal dari
budaya karena berkaitan dengan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan , dan
sebagainya.15 Gagasan adalah konsep atau nilai-nilai yang mengatur dan mengarahkan
tingkah laku serta Tindakan masyarakat. Dalam kaitannya dengan gejala hukum yang
berfungsi untuk membimbing dan menentukan nilai-nilai budaya bagaimana masyarakat
menanggapi gejala hukum dalam arti apakah hukum itu dikehendaki, dipatuhi,
diabaikan, atau dilanggar.
Hukum sangat erat kaitannya dengan unsur budaya dikarenakan hukum sangat erat
kaitannya dengan sikap, etika, dan perilaku masyarakat. Namun itu tidak sepenuhnya
melekat dalam masyarakat karena hukum ada yang dibuat oleh penegak hukum atau
pihak berwenang, karena banyak orang yang melakukan perbuatan melanggar isi
Undang-Undang. Friedman ( M.Sastraprateja :1993 : 7) menyatakan . “ Tanpa budaya
hukum, sistem hukum sendiri itu tidak akan memiliki kekuatan – seperti ikan yang
sudah mati yang berenang dikeranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di
14
Herlambang P. Wiratraman, Pluralisme Hukum Dalam Konteks Gerakan Sosial
15
Soerjono Soekanto, Hukum sebagai nilai kebudayaan.
lautnya”. Perumpamaan Friedman ini memperlihatkan betapa dekatnya keterkaitan
antara substansi hukum dan budaya hukum.16
Kebudayaan hukum yang dibangun selanjutnya selanjutnya harus mencerminkan
nilai-nilai Pancasila secara lengkap. Membiasakan perilaku yang tidak baik untuk
menjadi budaya tentu saja tidak menyerminkan bebudayaan yang semestinya
diterapkan. Sebagai contoh dalam kasus tindak pidana pencurian, masyarakat telah
sepakat bahwa mencuri tidak sesuai dengan sila ketuhanan dan sila kemanusiaan.
Namun disisi lain masyarakat menganggap memberikan hadiah kepada pejabat
dengan maksud tujuan tertentu, yang secara normatif dianggap sebagai gratifikasi dan
termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi justru dianggap sebagai hal
biasa dalam bentuk pemberian.17 Atau misalkan menganggap bias ajika menempatkan
anggota keluarga dalam satu kantor yang sama tanpa memenuhi persyaratan yang
sesuai, padahal secara etika dan tindakan tersebut dapat dianggap sebagai nepotisme,
sebagaimana dijepaskan dalam Pasal 1ayat 5, yaitu “ tindakan penyelenggara negara
yang bertentangan dengan hukum dengan cara menguntungkan kepentingan keluarga di
atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara Tindakan korupsi, kolusi, nepotisme
adalah perilaku yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Lebih dari
sekedar mencuri, tindakan ini termasuk nilai-nilai ketuhanan karena bertentangan
dengan ajaran agama apa pun. Melanggar nilai-nilai kemanusiaan karena lebih memihak
kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan masyarakat, bangsa, dan
negara. Merusak nilai-nilai persatuan dan Nasionalisme karena memicu perpecahan
yang merusak pertumbuhan ekonomi dan moral bangsa. Menyia-nyiakan nilai
demokrasi yang cerdas dan bijaksana, serta menghilangkan makna sacral dan keadilan
sosial yang merata.
Perilaku yang sebenarnya bukan bagian dari kebudayaan asli bangsa Indonesia harus
segera diperbaiki, disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang benar dan mulia.
Pancasila bukan hanya berfungsi sebagai penapis bangsa asing yang masuk ke

16
Friedman( M. Sastraprateja : 1993 : 7) Sistem hukum; perspektif ilmu sosial. Bandung: Nusa media
17
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Indonesia, tetapi juga kebiasaan buruk yang disamakan dengan budaya yang justru
bertentangan dengan nilai-nilai mulia yang terkandung dalam Pancasila. 18

18
Pasal 1 ayat 5 KHUAP tentang peraturan sistem pemerintahan

Anda mungkin juga menyukai