Anda di halaman 1dari 4

PLURALISME HUKUM

(Hukum Waris)

Oleh:
Ni Putu Kompiang Ratna Dewi 2282411050

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
1. Apa yang saudara pahami tentang pluralisme hukum?
Jawaban:
Semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadi sebuah frasa yang menggabarkan bahwa

Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini pula menganugerahkan

pluralisme budaya, adat istiadat dan yang tidak bisa dipungkiri pula bahwa di Indonesia

juga hidup hukum yang beraneka ragam. Fenomena ini dikenal dengan istilah pluralisme

hukum atau kemajemukan hukum (legal pluralisem). Sejak masa penjajahan, masyarakat

nusantara dipaksa untuk tunduk pada Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (univikasi

hukum). Pemaksaan ini masih berlanjut saat Nusantara bebas dari penjajahan kolonial.

Konsep yang kemudian dianut adalah konsep tatanan politik yang dikenal sebagai negara

bangsa (nation state) yang kemudian melahirkan sebuah negara baru yang berstruktur

Negara Kesatuan Republik Indonesia.1

Kendati Indonesia telah memiliki hukum nasional, keberadaan hukum dan nilai-

nilai yang hidup dimasyarakat tidak seketika kemudian diambil alih oleh hukum nasional.

Keberadaan hukum adat dan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat yang belum

diakomodasi ke dalam hukum nasional masih hidup dan dianut sebagai hukum oleh

masyarakat. Hukum ini kemudian lebih dikenal dengan istilah hukum adat. Kondisi ini

kemudian melahirkan fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam kehidupan

masyarakat. Cotterell dalam bukunya yang berjudul “Law’s Community, Legal Theory in

Sociological Perspective” sebagaimana dikutip oleh I Nyoman Nurjaya dalam

Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum,2 berpendapat bahwa:

1
Joeni Arianto Kurniawan, Pluralisme Hukum dan Urgensi Kajian Socio-Legal Menuju Studi dan
Pengembangan Hukum yang Berkeadilan Sosial, Makalah ini disampaikan sebagai materi “Pelatihan
Advokasi dan Social Justice” UKBH FH Unair, Surabaya, 16 November 2013.
2
I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, Makalah untuk
dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia
yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Pelbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika,
Jakarta.
“We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as
regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the
quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state.
Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions
of law.”

Pernyataan ini mempertegas bawhwa hukum yang hidup di masyarakat tidak

hanya berupa hukum negara (state law), namun juga dalam bentuk hukum agama

(religion law), maupun hukum kebiasaan (customary law). Sementara di Indonesia lebih

dikenal dengan istilah hukum Adat.

Pluralisme hukum sebagai sebuah fenomena yang terjadi di kehidupan masyarakat

menurut para ahli dapat didefinisikan sebagai berikut:3

1. Griffths berpendapat bahwa pluralisme hukum secara umum didefinisikan

sebagai suatu keadaan saat dua sistem hukum atau lebih bekerja

berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama, atau guna

menjelaskan keberadaan dua sistem pengendalian sosial atau lebih dalam satu

bidang kehidupan sosial.

2. Hooker berpendapat bahwa pluralisme hukum adalah suatu kondisi di mana

dua sistem hukum atau lebih berinteraksi dalam satu kehidupan sosial.

3. F. Von Benda-Beckmann menyatakan bahwa pluralisme hukum adalah suatu

kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara

berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu

kelompok masyarakat.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pluarlisme hukum (legal

pluralisem) merupakan kondisi adanya dua atau leibih sistem hukum yang berinteraksi

atau berkerja berdampingan di dalam satu bidang kehidupan sosial yang sama. Indonesia

sebagai negara yang mengakui dan menghormati eksistensi Masyarakat Adat, tentunya

3
Ibid.
tidak bisa berpaling dari realitas praktik pluralisme hukum. Secara praktis pluralisme

hukum memiliki kegunaan sebagai berikut:4

1. Pluralisme hukum berfungsi sebagai media atau lingkungan guna menyemai

dan juga merawat aturan lokal, baik yang telah ada, maupun yang akan

dikonstruksi untuk merespons perkembangan kebutuhan yang bersifat lokal;

2. Berfungsi sebagai benteng atau tameng bagi suatu kelompok dari intervensi

nilai atau norma eksternal yang tidak sejalan dengan cita-cita suatu

kelompok, dengan berpegang bahwa pada kelompok yang bersangkutan

telah terdapat tata aturan tersendiri yang harus dihormati dan difasilitasi oleh

nilai-nilai yang datang dari luar lingkungan kelompok yang bersangkutan;

dan

3. Sebagau “energizer” bagi bangkit dan bekerjanya sistem sosial lokal.

Ketiga hal tersebut sebagai kelebihan dari pluralisme hukum tentunya akan sangat

bermanfaat bagi kelompok yang ingin mempertahankan nilai-nilai kearifan lokalnya.

Terlebih lagi realitas pembangunan yang secara perlahan menggeser dan menggusur

keberadaan Masyarakat Adat beserta hak-haknya dan nilai-nilai kearifan lokal yang

melekat dengan kehidupannya.

4
Benni Setiawan, 2012, Pluralisme Hukum Islam, Sebuah Pembacaan Awal (online:
http://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3650, diakses pada 13 Maret 2023)

Anda mungkin juga menyukai