com
BARU ICOSAP):361-373
Abstrak
Sebagai negara multikultural, pluralisme hukum di Indonesia sudah sepatutnya
ditempatkan pada perspektif gerakan sosial baru, yang terletak pada abstraksi
subyek kolektif untuk memperjuangkan emansipasi. Pengalaman menunjukkan
bahwa banyak kebijakan dan undang-undang politik terkait sumber daya alam
tidak memberikan ruang yang cukup bagi keterwakilan masyarakat adat. Sebagai
gerakan sosial baru dalam konteks multikulturalisme, memperjuangkan
redistribusi sosial ekonomi dan sumber daya alam sama pentingnya dengan
memberikan ruang untuk menumbuhkan perjuangan budaya dalam rangka
melawan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Dalam bahasa Belanda teori
pluralisme hukum disebut dengan theorie van het rechtspluralisme. Lawrence M.
Friedman mengajukan definisi pluralisme hukum sebagai hadirnya sistem dan
budaya hukum yang berbeda dalam satu komunitas politik. Penelitian ini
menggunakan metode hukum sosial dengan pendekatan konseptual dan historis.
Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan
hukum dalam suatu lingkaran sosial. Lebih lanjut, konsep pluralisme hukum tidak
mendorong adanya dikotomi antara hukum negara di satu sisi dengan hukum
rakyat dan hukum agama di sisi lain.
Abstrak
Indonesia sebagai negara yang multikulturalisme, pluralisme hukum
diletakkan dalam perspektif gerakan sosial baru yang bertumpu sebagai
abstaksi subyek yang secara kolektif demi memperjuangkan emansipasi.
Berdasarkan pengalaman, banyak kebijakan dan politik hukum atas sumber
daya alam tidak memberi ruang representasi terhadap masyarakat hukum
adat. Sebagai gerakan sosial baru dalam konteks multikulturisme tidak hanya
penting dalam memperjuangkan redistribusi sosial ekonomi dan sumber daya
alam, tetapi juga memberi ruang munculnya gerakan untuk memperjuangkan
diskriminasi perjuangan budaya (tantangan budaya) masyarakat terhadap
hukum adat. Lawrence M. Friedman memaparkan pengertian pluralisme
hukum yang berarti “adanya sistem-sistem atau kultur hukum yang berbeda
dalam sebuah komunitas
Artikel yang diterbitkan Jurnal Analisa Sosiologi pada edisi khusus ICOSAPS ini telah
memenuhi syarat-syarat karya ilmiah, diproses sama seperti pada penerbitan non edisi
khusus (terbitan normal), dipresentasikan di International Conference on Social and
Political Sciences (ICOSAPS) ”Strengthening Resilient Society in the Disruptive Era” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta pada tanggal 7-8 Oktober 2020.
Suci Flambonita, Vera Novianti, Artha Febriansyah 362
PERKENALAN
Istilah teori pluralisme hukum berasal dari bahasa Inggris. Dalam bahasa
Belanda disebut teori van het rechtspluralisme. Lawrence M. Friedman mengemukakan
definisi pluralisme hukum sebagai hadirnya sistem dan budaya hukum yang berbeda
dalam satu komunitas politik, sedangkan John Griffiths mendefinisikan pluralisme
hukum sebagai hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam suatu lingkaran sosial
(Griffiths, 1986) , dalam hal ini tidak hanya hukum negara dan hukum adat tetapi juga
hukum adat dan agama (Simarmata, 2005).
Hubungan antara hukum negara dan hukum adat dapat menimbulkan
ketegangan yang berujung pada konflik jika tidak ada rekonsiliasi (Safitri, 2011). Secara
umum pluralisme hukum merupakan kritik yang ditujukan terhadap apa yang disebut
oleh John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum. Gagasan pluralisme hukum
sebagai sebuah konsep mulai mendapat perhatian pada tahun 1970-an seiring dengan
maraknya antropologi hukum.
Para ahli mempunyai pandangan berbeda mengenai pluralisme hukum. Menurut
Keebet von Benda-Beckman, ada dua jenis pluralisme hukum. Tipe pertama adalah apa yang
oleh John Griffiths disebut sebagai pluralisme “lemah”, oleh Vanderlinen disebut sebagai
pluralisme “relatif”, dan oleh Woodman (2005) disebut sebagai pluralisme “hukum negara”.
Yang dimaksud dengan konstruksi hukum adalah hukum dominan, baik secara implisit
maupun eksplisit, memberi ruang pada jenis hukum lain seperti hukum adat dan hukum
agama. Undang-undang negara bagian menyetujui dan mengakui keberadaan undang-
undang lain dan memasukkannya ke dalam sistemnya. Jika keberadaan pluralisme hukum
bergantung pada pengakuan hukum negara, maka hal ini disebut pluralisme hukum lemah
(Griffiths, 1986). Tipe kedua adalah apa yang oleh John Griffiths disebut sebagai pluralisme
“kuat” atau “pluralisme deskriptif, sedangkan oleh Woodman disebut sebagai pluralisme
“dalam”. Pluralisme hukum yang kuat merupakan kondisi dimana semua sistem hukum
yang beragam bersifat otonom, dan keberadaannya tidak bergantung pada pengakuan
negara hukum (Warma, 2009). Konsep pluralisme hukum tidak mengedepankan dikotomi
antara hukum negara di satu sisi dengan hukum rakyat dan hukum agama di sisi lain. Dalam
perkembangan selanjutnya pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan
koeksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi berjalannya norma, proses, dan
lembaga hukum dalam masyarakat (Nurjaya, 2006). Indonesia dengan keberagaman suku,
masyarakat adat, dan agamanya tentu membutuhkan pluralisme hukum.
METODE
Metode penelitian menggunakan hukum sosial dengan pendekatan konseptual dan
historis
sebagai undang-undang yang dihasilkan oleh organisasi multilateral dan bilateral serta
lembaga moneter internasional dan menuju hubungan saling ketergantungan dengan
undang-undang nasional dan lokal (Bakti, 2015).
Pembahasan mengenai hukum dapat dilihat dari berbagai dimensi, baik dalam
konteks yang dibuat oleh negara maupun dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan
politik. Dalam batasan-batasan tertentu, hukum berkaitan dengan hukum negara,
khususnya hukum dalam kitab. Para antropolog memandang hukum sebagai acuan
normatif yang luas, yang terus mencintai dan berkembang secara dinamis (living law). Hal
ini tidak hanya mencakup hukum negara tetapi juga sistem maupun di luar negara. Hal ini
juga diperkuat oleh seluruh proses dan aktor yang ada di dalamnya. Hukum tidak hanya
mengandung konsepsi normatif, yaitu boleh dan dilarang, tetapi juga mengandung konsep
kognitif (Benda Beckmann, 2009). Perjumpaan atau interaksi antara suatu pengertian
hukum atau bahkan suatu sistem hukum dengan yang lain merupakan suatu pembahasan
tersendiri dan menarik dalam kajian hukum; disebut dengan studi pluralisme hukum.
Istilah pluralisme hukum telah diakui sebagai konsep kunci dalam kajian hukum
postmodern. Sangat membantu dalam memberikan penjelasan tentang faktual adanya
tatanan hukum yang diciptakan oleh negara.
Komunitas tradisional adalah kelompok individu yang hidup secara
turun temurun di suatu wilayah geografis tertentu dan terikat oleh
identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah adat, wilayah, dan
sumber daya alamnya. Sistem nilai mereka menentukan institusi ekonomi,
politik, dan hukum mereka. Masyarakat adat adalah kelompok individu
yang hidup secara turun temurun di suatu wilayah geografis tertentu
Jurnal Analisa Sosiologi 365
dan terikat oleh identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah adat,
wilayah, dan sumber daya alam. Sistem nilai mereka menentukan pranata
ekonomi, politik, dan hukum yang diatur oleh lembaga adat yang mempunyai
kewenangan mengatur anggotanya. Berdasarkan definisi tersebut, dalam
penelitian ini istilah masyarakat adat lebih tepat.
Pluralisme hukum merupakan seperangkat kacamata yang berupaya mengkonsep
ulang hubungan antara hukum dan masyarakat. Pluralisme hukum juga mencoba
mengidentifikasi keaslian fenomena hukum yang beroperasi dalam lingkup global. Oleh
karena itu, berdasarkan postur konsep terkait, pluralisme hukum menjadi area pembahasan
yang cukup luas (Rahardjo, 1979). Masyarakat yang (a) sistem sosialnya tertentu
memberikan pedoman kepada anggotanya mengenai bagaimana hendaknya terjalin
hubungan di antara mereka. Pernyataan mengenai persebaran sumber daya alam di
masyarakat secara konseptual dapat ditemukan dalam aturan-aturan yang bersifat
mendasar terhadap alam. Bilamana undang-undang memutuskan suatu pembagian, maka
besarnya ditentukan oleh hubungan antara hukum dan keadilan. Menurut Aristoteles,
keadilan adalah suatu kebijakan politik yang peraturannya menjadi landasan peraturan
negara, dan peraturan itu menjadi tolok ukur hak.
Menurut Griffiths, ada dua jenis pluralisme hukum: pluralisme hukum kuat dan pluralisme
hukum lemah. Pluralisme hukum yang kuat adalah kondisi dimana masing-masing sistem hukum
yang berbeda bersifat otonom, dan keberadaannya tidak bergantung pada hukum negara. Jika
keberadaan pluralisme hukum bergantung pada hukum negara, maka kondisi tersebut disebut
pluralisme hukum yang baik (Griffiths, 1986). Dengan kata lain, pluralisme hukum akan kuat
apabila terdapat situasi dimana berbagai sistem hukum hidup secara setara tanpa dominasi salah
satu dari keduanya. Individu atau kelompok yang hidup dalam ruang atau wilayah sosial tertentu
bebas memilih salah satu undang-undang dan bebas memadukan berbagai sistem dalam
menjalani kehidupan sehari-hari dan menyelesaikan perselisihan. Pluralisme hukum yang lemah
terjadi ketika salah satu sistem hukum lebih unggul dibandingkan sistem hukum lainnya. Disini
individu atau kelompok menggunakan salah satu sistem karena adanya tekanan.
-Hukum internasional
-hukum nasional
-Hukum agama/Islam
-Hukum adat
-Ruang sosial
norma-norma yang tidak peduli dengan hak asasi manusia. Kelompok rentan lainnya
juga sangat berisiko ketika sistem hukum non-negara menganut paham patriarki.
Sistem ini juga dapat mencerminkan bias yang signifikan terhadap individu dan
keluarga yang berkuasa, dan proses hukum seringkali kurang memiliki perlindungan
inti, seperti norma proses hukum yang bersifat prosedural dan substantif.
Sebagaimana ditekankan oleh Waldorf, elit “peradilan” non-negara tidak independen
dan tidak memihak, dan keputusan mereka bersifat diskresi demi keharmonisan
masyarakat, bukan keadilan individual” (WALDORF, 2006).
Selain itu, pemikiran mengenai konsep pluralisme juga memperhatikan kondisi.
Pluralisme hukum menurut Sumardjono merupakan pluralisme hukum lemah atau
pluralisme hukum negara (Maria SW Sumardjono 2017, 4). Wacana interaksi antara
hukum nasional dan hukum adat mengenai pertanahan tidak harus ditempatkan pada
kondisi kompetitif melainkan pada kondisi saling melengkapi. Cirinya, hukum nasional
atau hukum formal cenderung bersifat statis dan stabil demi menjaga norma-norma
sosial dan ketertiban umum, sehingga cenderung kurang dinamis. Sedangkan nilai-
nilai hukum adat yang hidup dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis dan lokal
karena hidup dalam lingkungan sosial sebagai wilayah kerjanya. Oleh karena itu,
kondisi yang saling melengkapi ini juga dapat dipahami mengingat lemahnya kedua
sistem hukum tersebut; Walaupun hukum nasional lebih unggul dibandingkan
kepastian hukum, hukum adat memberikan rasa keadilan yang lebih tinggi bagi
masyarakat.
Harmonisasi berupaya untuk memastikan bahwa keluaran sistem peradilan non-
negara konsisten dengan nilai-nilai inti sistem negara. Pada saat yang sama, sistem
peradilan non-negara dimasukkan dan dilegitimasi sampai batas tertentu. Untuk
mendukung harmonisasi, negara-negara dan donor internasional sering kali mendanai
kegiatan-kegiatan untuk mendorong para praktisi peradilan non-negara agar bertindak
sesuai dengan hukum negara secara umum. Namun, sering kali terdapat pengakuan secara
diam-diam bahwa aktor non-negara mempunyai otonomi dan legitimasi independen yang
cukup besar. Oleh karena itu, terdapat kesediaan untuk menoleransi beberapa perbedaan
normatif dalam standar penilaian. Berbeda dengan mencoba membuat pengadilan non-
negara bertindak seperti pengadilan negara, yang ada adalah fokus pada perubahan
perlakuan terhadap permasalahan hukum tertentu, misalnya perlakuan aktor non-negara
terhadap perempuan (CHOPRA, 2012). Aktor peradilan negara juga sering melakukan
diskriminasi terhadap perempuan, namun biasanya hal ini dilakukan dengan melanggar
hukum negara dan bukan karena praktik yang lazim (CAMPBELL, 2016),
pluralisme dan negara hukum, maka perlu mempertimbangkan makna dan isi negara
hukum agar memiliki pemahaman yang jelas tentang konsep yang digunakan dalam artikel
ini. (Yohanes, 2005)
Strategi yang sukses dan berkelanjutan harus berakar pada pemahaman mendalam
tentang bagaimana budaya, politik, dan sejarah suatu negara dapat membantu mendukung
tatanan hukum yang sah.
Definisi pertama bersifat formal dan berbunyi seperti ini: “rule of law berarti pejabat
pemerintah dan warga negara terikat dan patuh pada hukum” (Tamanaha, 2011). Definisi
kedua memiliki muatan substantif dan melihat supremasi hukum sebagai sebuah prinsip
tata kelola yang di dalamnya semua orang, lembaga dan entitas, publik dan swasta,
termasuk Negara itu sendiri, bertanggung jawab terhadap undang-undang yang
diumumkan secara publik, ditegakkan secara setara, dan diputuskan secara independen.
dan yang konsisten dengan norma dan standar hak asasi manusia internasional. Hal ini juga
memerlukan langkah-langkah untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip
supremasi hukum, persamaan di depan hukum, akuntabilitas terhadap hukum, keadilan
dalam penerapan hukum, pemisahan kekuasaan, partisipasi dalam pengambilan keputusan,
kepastian hukum, dan penghindaran pelanggaran hukum. kesewenang-wenangan dan
transparansi prosedural dan hukum (PBB 2004, 4)
Menjembatani Para pembangun negara yudisial berupaya melakukan Para pembangun negara berusaha untuk melakukan hal tersebut
pengadilan negara.
Alternatifnya, kecil
perselisihan dapat dikirim ke tempat-
pengadilan negara.
Harmonisasi Para pembangun negara yudisial berupaya melakukan Hukum yang dilarang
hal tersebut diskriminatif
memastikan bahwa keadilan non- praktik di non-negara
negara keputusan dan
keluaran sistem adalah pelatihan untuk mengakhiri
konsisten diskriminatif
dengan nilai-nilai inti sistem praktik.
negara.
Suci Flambonita, Vera Novianti, Artha Febriansyah 370
KESIMPULAN
Konsep pluralisme hukum diartikan sebagai garis penghubung berbagai sistem
hukum dalam suatu masyarakat tertentu, termasuk budaya hukum. Pluralisme hukum
di Indonesia didominasi oleh persinggungan hukum dengan gejala-gejala sosial yang
tumbuh dan berkembang secara kompleks dalam budaya hukum Indonesia.
Jurnal Analisa Sosiologi 371
Paradigma pluralisme hukum muncul untuk mengungkap gejala dan fenomena hukum
dalam ruang sosial yang sama. Oleh karena itu, untuk mengungkap konsep tersebut kita
perlu membiarkan budaya hukum hidup dan tumbuh di Indonesia yang majemuk karena
pada hakikatnya sumber utama hukum bukanlah negara (seperti yang diyakini oleh
positivisme) melainkan perilaku manusia dan hukum yang dapat mengakomodasi
pluralisme masyarakat, yaitu hukum adat yang tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa
menggunakan hukum negara. Memahami pluralisme hukum penting dalam setiap
intervensi hukum atau kebijakan, termasuk namun tidak terbatas pada pembangunan
negara. Tanpa memahami dinamika pluralisme hukum dalam konteks tertentu, intervensi
mungkin tidak akan efektif. Bahkan inisiatif-inisiatif yang berhasil dalam jangka pendek pun
kemungkinan besar tidak akan berkelanjutan, karena inisiatif-inisiatif tersebut
mencerminkan nasib baik dan bukan pendekatan yang berdasarkan informasi. Harmonisasi
berupaya untuk memastikan bahwa keluaran sistem peradilan non-negara konsisten
dengan nilai-nilai inti sistem negara. Pada saat yang sama, sistem peradilan non-negara
dimasukkan dan dilegitimasi sampai batas tertentu. Untuk mendukung harmonisasi,
negara-negara dan donor internasional sering kali mendanai kegiatan-kegiatan untuk
mendorong para praktisi peradilan non-negara agar bertindak sesuai dengan hukum
negara secara umum. Namun, sering kali terdapat pengakuan secara diam-diam bahwa
aktor non-negara mempunyai otonomi dan legitimasi independen yang cukup besar.
Pertama Definisinya formal dan berbunyi seperti ini: “rule of law berarti pejabat pemerintah
dan warga negara terikat dan patuh pada hukum”Kedua Definisi tersebut memiliki muatan
substantif dan melihat supremasi hukum sebagai prinsip pemerintahan yang di dalamnya
semua orang, lembaga dan entitas, publik dan swasta, termasuk Negara itu sendiri.
REFERENSI
Albrecht, P & H. Kyed. (2010). Keadilan dan Keamanan: Ketika Negara Tidak
Penyedia Utama.Ringkasan Kebijakan DISS.
CHOPRA, T & Isser D. (2012). Akses terhadap Keadilan dan Pluralisme Hukum di
Negara Rapuh: Kasus Hak-Hak Perempuan.Jurnal Den Haag tentang
Supremasi Hukum, 4(2), 337–358.
WALDORF, L. (2006). “Keadilan Massal atas Kekejaman Massal: Memikirkan Kembali Lokal
Keadilan sebagai Keadilan Transisi.”.Tinjauan Hukum Bait Suci, 79(1), 1–87.