Anda di halaman 1dari 13

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

361 Suci Flambonita, Vera Novianti, Artha Febriansyah

KONSEP PLURALISME HUKUM DI Jurnal Analisa Sosiologi

INDONESIA DALAM GERAKAN SOSIAL Juli 2021, 10 (Edisi Khusus

BARU ICOSAP):361-373

Suci Flamboni1, Vera Novianti2, Artha Febriansyah3

Abstrak
Sebagai negara multikultural, pluralisme hukum di Indonesia sudah sepatutnya
ditempatkan pada perspektif gerakan sosial baru, yang terletak pada abstraksi
subyek kolektif untuk memperjuangkan emansipasi. Pengalaman menunjukkan
bahwa banyak kebijakan dan undang-undang politik terkait sumber daya alam
tidak memberikan ruang yang cukup bagi keterwakilan masyarakat adat. Sebagai
gerakan sosial baru dalam konteks multikulturalisme, memperjuangkan
redistribusi sosial ekonomi dan sumber daya alam sama pentingnya dengan
memberikan ruang untuk menumbuhkan perjuangan budaya dalam rangka
melawan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Dalam bahasa Belanda teori
pluralisme hukum disebut dengan theorie van het rechtspluralisme. Lawrence M.
Friedman mengajukan definisi pluralisme hukum sebagai hadirnya sistem dan
budaya hukum yang berbeda dalam satu komunitas politik. Penelitian ini
menggunakan metode hukum sosial dengan pendekatan konseptual dan historis.
Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan
hukum dalam suatu lingkaran sosial. Lebih lanjut, konsep pluralisme hukum tidak
mendorong adanya dikotomi antara hukum negara di satu sisi dengan hukum
rakyat dan hukum agama di sisi lain.

Kata Kunci: konsep, hukum, pluralisme

Abstrak
Indonesia sebagai negara yang multikulturalisme, pluralisme hukum
diletakkan dalam perspektif gerakan sosial baru yang bertumpu sebagai
abstaksi subyek yang secara kolektif demi memperjuangkan emansipasi.
Berdasarkan pengalaman, banyak kebijakan dan politik hukum atas sumber
daya alam tidak memberi ruang representasi terhadap masyarakat hukum
adat. Sebagai gerakan sosial baru dalam konteks multikulturisme tidak hanya
penting dalam memperjuangkan redistribusi sosial ekonomi dan sumber daya
alam, tetapi juga memberi ruang munculnya gerakan untuk memperjuangkan
diskriminasi perjuangan budaya (tantangan budaya) masyarakat terhadap
hukum adat. Lawrence M. Friedman memaparkan pengertian pluralisme
hukum yang berarti “adanya sistem-sistem atau kultur hukum yang berbeda
dalam sebuah komunitas

1,2,3,Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, Indonesia


1suciflambonita@fh.unsri.ac.id

Artikel yang diterbitkan Jurnal Analisa Sosiologi pada edisi khusus ICOSAPS ini telah
memenuhi syarat-syarat karya ilmiah, diproses sama seperti pada penerbitan non edisi
khusus (terbitan normal), dipresentasikan di International Conference on Social and
Political Sciences (ICOSAPS) ”Strengthening Resilient Society in the Disruptive Era” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta pada tanggal 7-8 Oktober 2020.
Suci Flambonita, Vera Novianti, Artha Febriansyah 362

politik tunggal”. Metode penelitian menggunakan hukum sosial dengan


pendekatan konseptual dan sejarah. Pluralisme hukum oleh John Griffiths,
diartikan bahwa hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah
lingkaran sosial, Selanjutnya konsep pluralisme hukum tidak lagi
mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu
sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama ( hukum
agama) di sisi yang lain.

Kata Kunci:Konseptual, Pluralisme, Hukum

PERKENALAN
Istilah teori pluralisme hukum berasal dari bahasa Inggris. Dalam bahasa
Belanda disebut teori van het rechtspluralisme. Lawrence M. Friedman mengemukakan
definisi pluralisme hukum sebagai hadirnya sistem dan budaya hukum yang berbeda
dalam satu komunitas politik, sedangkan John Griffiths mendefinisikan pluralisme
hukum sebagai hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam suatu lingkaran sosial
(Griffiths, 1986) , dalam hal ini tidak hanya hukum negara dan hukum adat tetapi juga
hukum adat dan agama (Simarmata, 2005).
Hubungan antara hukum negara dan hukum adat dapat menimbulkan
ketegangan yang berujung pada konflik jika tidak ada rekonsiliasi (Safitri, 2011). Secara
umum pluralisme hukum merupakan kritik yang ditujukan terhadap apa yang disebut
oleh John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum. Gagasan pluralisme hukum
sebagai sebuah konsep mulai mendapat perhatian pada tahun 1970-an seiring dengan
maraknya antropologi hukum.
Para ahli mempunyai pandangan berbeda mengenai pluralisme hukum. Menurut
Keebet von Benda-Beckman, ada dua jenis pluralisme hukum. Tipe pertama adalah apa yang
oleh John Griffiths disebut sebagai pluralisme “lemah”, oleh Vanderlinen disebut sebagai
pluralisme “relatif”, dan oleh Woodman (2005) disebut sebagai pluralisme “hukum negara”.
Yang dimaksud dengan konstruksi hukum adalah hukum dominan, baik secara implisit
maupun eksplisit, memberi ruang pada jenis hukum lain seperti hukum adat dan hukum
agama. Undang-undang negara bagian menyetujui dan mengakui keberadaan undang-
undang lain dan memasukkannya ke dalam sistemnya. Jika keberadaan pluralisme hukum
bergantung pada pengakuan hukum negara, maka hal ini disebut pluralisme hukum lemah
(Griffiths, 1986). Tipe kedua adalah apa yang oleh John Griffiths disebut sebagai pluralisme
“kuat” atau “pluralisme deskriptif, sedangkan oleh Woodman disebut sebagai pluralisme
“dalam”. Pluralisme hukum yang kuat merupakan kondisi dimana semua sistem hukum
yang beragam bersifat otonom, dan keberadaannya tidak bergantung pada pengakuan
negara hukum (Warma, 2009). Konsep pluralisme hukum tidak mengedepankan dikotomi
antara hukum negara di satu sisi dengan hukum rakyat dan hukum agama di sisi lain. Dalam
perkembangan selanjutnya pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan
koeksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi berjalannya norma, proses, dan
lembaga hukum dalam masyarakat (Nurjaya, 2006). Indonesia dengan keberagaman suku,
masyarakat adat, dan agamanya tentu membutuhkan pluralisme hukum.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara multikultural, pluralisme hukum


hendaknya ditempatkan pada perspektif gerakan sosial baru, yang terletak pada
abstraksi subyek kolektif untuk memperjuangkan emansipasi. Pengalaman
menunjukkan bahwa banyak kebijakan dan undang-undang politik mengenai sumber
daya alam tidak memberikan ruang yang cukup bagi keterwakilan masyarakat adat
Jurnal Analisa Sosiologi 363

masyarakat. Sebagai gerakan sosial baru menuju konteks multikulturalisme,


memperjuangkan redistribusi sosial ekonomi dan sumber daya alam sama
pentingnya dengan memberikan ruang untuk menumbuhkan perjuangan
budaya dalam hal melawan diskriminasi terhadap masyarakat adat (Suci
Flambonita, 2010).
Masyarakat adat menurut Ter Haar adalah kelompok masyarakat tertib yang bertempat tinggal di
suatu wilayah tertentu dan mempunyai kekuasaan dan kekayaan tersendiri, baik benda yang berwujud maupun
tidak berwujud, yang seluruh anggotanya hidup secara normal dalam komunitasnya secara kodratnya dan tidak
ada satupun dari mereka yang mempunyai hak untuk hidup secara normal. gagasan untuk membubarkan
ikatan yang ada atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

METODE
Metode penelitian menggunakan hukum sosial dengan pendekatan konseptual dan
historis

HASIL DAN DISKUSI

Pengertian Komunitas Adat


Komunitas tradisional adalah kelompok individu yang hidup secara
turun temurun dalam suatu wilayah geografis tertentu dan terikat oleh
identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah adat, wilayah, dan
sumber daya alamnya. Sistem nilai mereka menentukan institusi ekonomi,
politik, dan hukum mereka. Masyarakat adat adalah sekelompok individu yang
hidup secara turun temurun dalam suatu wilayah geografis tertentu dan
terikat oleh identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah adat,
wilayah, dan sumber daya alamnya. Sistem nilai mereka menentukan pranata
ekonomi, politik, dan hukum yang diatur oleh lembaga adat yang mempunyai
kewenangan mengatur anggotanya. Berdasarkan definisi tersebut, dalam
penelitian ini istilah masyarakat adat lebih tepat.

Pengertian Pluralisme Hukum


Pluralisme hukum merupakan seperangkat kacamata yang berupaya
mengkonsep ulang hubungan antara hukum dan masyarakat. Pluralisme hukum juga
mencoba mengidentifikasi keaslian fenomena hukum yang beroperasi dalam lingkup
global. Oleh karena itu, berdasarkan postur konsep terkait, pluralisme hukum menjadi
area pembahasan yang cukup luas (Rahardjo, 1979) (Hooker, 1975). Masyarakat yang
mempunyai sistem sosial tertentu memberikan pedoman kepada anggotanya
mengenai bagaimana seharusnya hubungan di antara mereka terjalin. Pernyataan
mengenai persebaran sumber daya alam di masyarakat secara konseptual dapat
ditemukan dalam aturan-aturan yang bersifat mendasar. Bilamana undang-undang
memutuskan suatu pembagian, maka besarnya ditentukan oleh hubungan antara
hukum dan keadilan. Menurut Aristoteles, keadilan adalah suatu kebijakan politik yang
peraturannya menjadi landasan peraturan negara, dan peraturan itu menjadi tolak
ukur hak (Rahardjo, 1979).
Dalam perkembangannya pluralisme hukum tidak hanya mendikotomikan suatu sistem
hukum dengan sistem hukum lainnya. Merupakan konsep tertua dalam ilmu pluralisme hukum
(Simarmata, 2005). Perkembangannya tidak terbatas pada bidang tertentu saja, namun
pembahasannya mulai mengarah pada gejala hukum transnasional seperti itu
Suci Flambonita, Vera Novianti, Artha Febriansyah 364

sebagai undang-undang yang dihasilkan oleh organisasi multilateral dan bilateral serta
lembaga moneter internasional dan menuju hubungan saling ketergantungan dengan
undang-undang nasional dan lokal (Bakti, 2015).

Yurisprudensi Sosiologis Roscoe Pound yang Memperkenalkan Hukum


sebagai Alat Rekayasa Sosial”.
Konsep yurisprudensi sosiologis Roscoe Pound relevan dengan ciri-ciri
progresifitas hukum, yakni secara dinamis mencari esensi kebutuhan dan cita-
cita masyarakat. Disini fungsi hukum digunakan untuk menggerakkan
masyarakat menuju keadaan yang lebih baik dan maju.

Teori Hukum Alam Hans Kelsen tentang Meta-Yuridis.


Menurut teori ini hakikat hukum adalah pencarian keadilan, sehingga keadilan
ditempatkan sebagai hal yang utama dan tertinggi. Konsep pencapaian keadilan ini
mendorong munculnya pilihan-pilihan hukum terhadap hukum negara yang dirasakan
dapat membawa keadilan bagi masyarakat.
Hubungan antara keadilan dan hukum positif telah menarik banyak
perhatian para filsuf dari waktu ke waktu. Tokoh-tokoh hukum alam atau klasik
seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas telah meletakkan landasan
keadilan. Plato menggambarkan model negara yang adil, dimana setiap kelompok
mempunyai ruang alaminya masing-masing sehingga tercipta keadilan. Ia menilai
aturan hukum yang adil dapat memenuhi tujuan hukum dengan tetap tunduk
pada sifat paksaan (nomos). Baginya, keadilan merupakan cerminan
keharmonisan antar masyarakat di satu sisi dan antar individu di sisi lain
(Zainuddin, 2006).
Sampai saat ini terdapat banyak konsep dan atribut pluralisme hukum. Para ahli
hukum mengajukan konsep pluralisme hukum yang meskipun beragam, namun
mengacu pada lebih dari satu sistem yang tumbuh bersama dalam lingkup sosial.

Pembahasan mengenai hukum dapat dilihat dari berbagai dimensi, baik dalam
konteks yang dibuat oleh negara maupun dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan
politik. Dalam batasan-batasan tertentu, hukum berkaitan dengan hukum negara,
khususnya hukum dalam kitab. Para antropolog memandang hukum sebagai acuan
normatif yang luas, yang terus mencintai dan berkembang secara dinamis (living law). Hal
ini tidak hanya mencakup hukum negara tetapi juga sistem maupun di luar negara. Hal ini
juga diperkuat oleh seluruh proses dan aktor yang ada di dalamnya. Hukum tidak hanya
mengandung konsepsi normatif, yaitu boleh dan dilarang, tetapi juga mengandung konsep
kognitif (Benda Beckmann, 2009). Perjumpaan atau interaksi antara suatu pengertian
hukum atau bahkan suatu sistem hukum dengan yang lain merupakan suatu pembahasan
tersendiri dan menarik dalam kajian hukum; disebut dengan studi pluralisme hukum.

Istilah pluralisme hukum telah diakui sebagai konsep kunci dalam kajian hukum
postmodern. Sangat membantu dalam memberikan penjelasan tentang faktual adanya
tatanan hukum yang diciptakan oleh negara.
Komunitas tradisional adalah kelompok individu yang hidup secara
turun temurun di suatu wilayah geografis tertentu dan terikat oleh
identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah adat, wilayah, dan
sumber daya alamnya. Sistem nilai mereka menentukan institusi ekonomi,
politik, dan hukum mereka. Masyarakat adat adalah kelompok individu
yang hidup secara turun temurun di suatu wilayah geografis tertentu
Jurnal Analisa Sosiologi 365

dan terikat oleh identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah adat,
wilayah, dan sumber daya alam. Sistem nilai mereka menentukan pranata
ekonomi, politik, dan hukum yang diatur oleh lembaga adat yang mempunyai
kewenangan mengatur anggotanya. Berdasarkan definisi tersebut, dalam
penelitian ini istilah masyarakat adat lebih tepat.
Pluralisme hukum merupakan seperangkat kacamata yang berupaya mengkonsep
ulang hubungan antara hukum dan masyarakat. Pluralisme hukum juga mencoba
mengidentifikasi keaslian fenomena hukum yang beroperasi dalam lingkup global. Oleh
karena itu, berdasarkan postur konsep terkait, pluralisme hukum menjadi area pembahasan
yang cukup luas (Rahardjo, 1979). Masyarakat yang (a) sistem sosialnya tertentu
memberikan pedoman kepada anggotanya mengenai bagaimana hendaknya terjalin
hubungan di antara mereka. Pernyataan mengenai persebaran sumber daya alam di
masyarakat secara konseptual dapat ditemukan dalam aturan-aturan yang bersifat
mendasar terhadap alam. Bilamana undang-undang memutuskan suatu pembagian, maka
besarnya ditentukan oleh hubungan antara hukum dan keadilan. Menurut Aristoteles,
keadilan adalah suatu kebijakan politik yang peraturannya menjadi landasan peraturan
negara, dan peraturan itu menjadi tolok ukur hak.
Menurut Griffiths, ada dua jenis pluralisme hukum: pluralisme hukum kuat dan pluralisme
hukum lemah. Pluralisme hukum yang kuat adalah kondisi dimana masing-masing sistem hukum
yang berbeda bersifat otonom, dan keberadaannya tidak bergantung pada hukum negara. Jika
keberadaan pluralisme hukum bergantung pada hukum negara, maka kondisi tersebut disebut
pluralisme hukum yang baik (Griffiths, 1986). Dengan kata lain, pluralisme hukum akan kuat
apabila terdapat situasi dimana berbagai sistem hukum hidup secara setara tanpa dominasi salah
satu dari keduanya. Individu atau kelompok yang hidup dalam ruang atau wilayah sosial tertentu
bebas memilih salah satu undang-undang dan bebas memadukan berbagai sistem dalam
menjalani kehidupan sehari-hari dan menyelesaikan perselisihan. Pluralisme hukum yang lemah
terjadi ketika salah satu sistem hukum lebih unggul dibandingkan sistem hukum lainnya. Disini
individu atau kelompok menggunakan salah satu sistem karena adanya tekanan.

Berbagai konsep tersebut dikembangkan oleh Simarmata. Pluralisme juga


menemukan relasi antara berbagai sistem hukum; mereka mungkin dalam bentuk
difusi, kompetisi, atau kerja sama. Misalnya, hukum negara tidak selalu mengingkari
hukum adat. Sebaliknya mengakui dan mengakomodasi keberadaan hukum adat,
begitu pula sebaliknya. Pluralisme hukum tidak hanya berkembang dari segi wilayah
atau objek kajiannya saja, tetapi juga berkembang ke arah lain, yakni
menyempurnakan dan mempertajam dirinya. Beberapa pemikiran serupa adalah (1)
pluralisme hukum yang kuat dan pluralisme hukum yang lemah, (2) pemetaan hukum,
dan (3) pluralisme hukum kritis (Simarmata, 2005).
Berkenaan dengan pluralisme hukum, ada banyak sistem hukum yang
berlaku. Realitas empiris mengenai ruang sosial adalah banyaknya sistem hukum
di Indonesia. Lebih jauh lagi, perkembangan hukum nasional (hukum modern) dan
globalisasi cenderung bersifat sentralistik, seragam, dan responsif, yang pada
akhirnya meminggirkan atau bahkan merusak keberadaan hukum adat.
Perlawanan masyarakat hukum terhadap masyarakat global menghadapi realitas
hukum nasional dan globalisasi tidak dapat dihindari. Paradigma pluralisme
hukum muncul untuk mengungkap gejala dan fenomena hukum dalam ruang
sosial yang sama.
Suci Flambonita, Vera Novianti, Artha Febriansyah 366

Gambar 1. Kontribusi teoritis fenomena hukum dalam ruang sosial

-Hukum internasional
-hukum nasional
-Hukum agama/Islam
-Hukum adat
-Ruang sosial

Meskipun prevalensi dan ketahanan mekanisme peradilan non-negara dapat dilihat


sebagai bukti perlunya peradilan negara untuk mendukung supremasi hukum, mekanisme
peradilan non-negara sering kali mempunyai eksternalitas negatif yang signifikan. Tatanan
hukum non-negara sering kali mencerminkan norma-norma budaya atau agama yang tidak
mempedulikan hak asasi manusia. Perempuan dan kelompok rentan lainnya sangat berisiko
ketika sistem hukum non-negara menganut paham patriarki. Sistem ini juga dapat
mencerminkan bias yang signifikan terhadap individu dan keluarga yang berkuasa, dan
proses hukum seringkali kurang memiliki perlindungan inti, seperti norma proses hukum
yang bersifat prosedural dan substantif. Sebagaimana ditekankan oleh Waldorf, elit
“peradilan” non-negara tidak independen dan tidak memihak, dan keputusan mereka
bersifat diskresi demi keharmonisan masyarakat, bukan keadilan individual” (WALDORF,
2006). Selain itu, hubungan antara peradilan negara dan non-negara seringkali tidak jelas,
dan kasus-kasus dapat diselesaikan dengan cara yang berbeda, sehingga mendorong forum
shopping oleh pihak-pihak, terutama pihak-pihak yang memiliki kekuatan ekonomi atau
politik yang lebih besar. Dominasi sistem negara tidak menjamin hasil yang adil pada tingkat
sistem, karena hal ini bisa menjadi sarana despotisme yang lebih efektif (KRYGIER, 2011).
Walaupun para penganut paham pluralisme hukum tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai “hukum” dalam pluralisme hukum, mereka telah menunjukkan bahwa hukum
dapat ada dan berjalan tanpa adanya negara yang merupakan syarat yang diperlukan
(Woodman 1998; Beckmann 2002), dan hukum non-negara dapat hidup berdampingan di
dalam negara. bidang sosial yang sama dengan hukum negara di setiap masyarakat

Teori pluralisme hukum dimaknai sebagai garis penghubung antara


berbagai sistem hukum dalam masyarakat tertentu, termasuk budaya hukum.
Hal inilah yang ditangkap oleh Werner Menski, seorang profesor hukum di
Universitas London dalam penelitiannya tentang perbandingan hukum antara
negara-negara Asia dan Afrika. Ia menyimpulkan, penegakan hukum di
negara-negara Asia dan Afrika berbeda dengan penegakan hukum di negara-
negara Barat, khususnya Eropa. Penegakan hukum di Eropa tidak banyak
dipengaruhi oleh unsur-unsur non-hukum seperti moralitas, etika, dan agama.
Bangsa-bangsa Eropa sangat nyaman dengan hukum negara (Kherid, 2019).

Pengertian pluralisme berada pada ranah kajian sosio-hukum. Menski


menggambarkan pluralisme sebagai sebuah segitiga yang terdiri dari hukum alam,
positivisme negara, dan pendekatan sosio-hukum. Ketiga unsur tersebut membentuk
pluralisme hukum yang diperkenalkan oleh Menski pada tahun 2006. Konsep segitiga
pluralisme hukum ini mendukung teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, yaitu
struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Dalam budaya hukum inilah
pluralisme hukum berhasil. Kerja pluralisme hukum dalam budaya hukum Indonesia
dipengaruhi oleh nilai-nilai hukum lokal. Hukum dapat bekerja secara efektif dan efektif
Jurnal Analisa Sosiologi 367

diterima oleh masyarakat ketika hukum tidak bertentangan dengan hukum


setempat. Dalam konteks Indonesia, inti budaya hukum adalah Pancasila yang
menjadi tolak ukur berjalannya struktur hukum (Saptomo, 2012).
Leopold Pospisil dalam bukunya The Anthropological Law (1971) mengemukakan bahwa
sumber utama hukum bukanlah negara (seperti yang diyakini oleh positivisme) melainkan dari
perilaku manusia dan dari hukum yang dapat mengakomodasi pluralisme masyarakat. Begitu
pula dengan Frederick Karl von Savigny yang memandang bahwa hukum yang baik berasal dari
adat istiadat, kebiasaan, dan keinginan masyarakat yang diwujudkan melalui lembaga perwakilan
sehingga hukum yang dihasilkan dapat memenuhi keinginan masyarakat dalam memenuhi
kehidupan bermasyarakat (Saptomo, 2012).
Menurut ajaran hukum progresif, revisi aturan diperlukan apabila terbukti aturan
yang ada tidak mendukung upaya penegakan hukum (Sasmito, 2011). Progresifitas dalam
hukum adalah kepekaan terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Tantangan dalam
pembuatan undang-undang adalah proses penegakan hukum sejak dini. Penegakan hukum
pembuatan undang-undang meliputi perdebatan pemikiran para pembuat undang-undang
yang berangkat dari berbagai sudut pandang seperti politik, agama, budaya, sosiologi,
antropologi, hingga adat istiadat. Penegakan hukum diarahkan untuk menyusun hukum
yang plural dan holistik yang berorientasi pada pencapaian tujuan bangsa. Oleh karena itu,
pembentuk undang-undang dituntut memiliki visi politik hukum jangka panjang (ius
constituendum). Konstitusi sebagai hukum negara atau staatsfundamentalnorm
menempatkan pluralisme sebagai landasan atau acuan dalam pembuatan undang-undang.
Norma dasar merupakan kewajiban yang dikehendaki yang diperoleh dari obyektifikasi
keinginan para founding fathers. Oleh karena itu, karena norma-norma dasar merupakan
hasil obyektifikasi kehendak bersama, maka norma-norma tersebut tidak berubah sebagai
pedoman batin (Samekto, 2015).
Seiring dengan perkembangannya, pluralisme hukum tidak sekedar
mendikotomikan suatu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya. Menurut
Simarmata, hal tersebut merupakan konsep tertua dalam gagasan pluralisme hukum
(Simarmata, 2005). Dalam konteks ini, pluralisme hukum merupakan konsep yang
menunjukkan suatu kondisi dimana lebih dari satu sistem hukum hidup berdampingan.
Mereka secara bersamaan berlaku dan berinteraksi dengan mengatur berbagai
aktivitas dan hubungan manusia di satu tempat (Hooker, 1975). Secara teoritis,
pengertian pluralisme hukum Keebet von Benda digunakan untuk membedakan
pluralisme hukum dengan pluralitas hukum. Berbagai sistem hukum dalam suatu
wilayah tidak serta merta hidup berdampingan tanpa melakukan interaksi apa pun.
Apabila lebih dari satu sistem hukum hidup berdampingan dalam ruang sosial yang
sama tetapi tidak melakukan interaksi apa pun, maka disebut pluralitas hukum. Namun
jika terjadi interaksi antar sistem disebut pluralisme hukum.
Di negara berkembang, diperkirakan 80 hingga 90 persen sengketa ditangani di luar sistem
peradilan negara (ALBRECHT, 2010). 1). Peran pluralisme hukum sangat penting dalam situasi konflik
dan pasca-konflik, karena negara-negara tersebut cenderung memiliki institusi negara yang lemah dan
otoritas pemerintahan yang saling bersaing (FEARON, 2004.) Di negara-negara dengan tingkat kapasitas,
legitimasi, atau keduanya yang lebih rendah, mereka akan mencari dukungan dari negara-negara yang
memiliki tingkat kapasitas, legitimasi, atau keduanya yang lebih rendah. aktor non-negara dapat
berfungsi sebagai taktik penghindaran konflik atau bahkan strategi tata kelola yang lebih luas yang
berupaya mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok berkuasa yang mungkin skeptis terhadap
negara. 2). Meskipun prevalensi dan ketahanan mekanisme peradilan non-negara dapat dilihat sebagai
bukti perlunya peradilan negara untuk mendukung supremasi hukum, mekanisme peradilan non-negara
sering kali mempunyai eksternalitas negatif yang signifikan. Tatanan hukum non-negara sering kali
mencerminkan budaya atau agama
Suci Flambonita, Vera Novianti, Artha Febriansyah 368

norma-norma yang tidak peduli dengan hak asasi manusia. Kelompok rentan lainnya
juga sangat berisiko ketika sistem hukum non-negara menganut paham patriarki.
Sistem ini juga dapat mencerminkan bias yang signifikan terhadap individu dan
keluarga yang berkuasa, dan proses hukum seringkali kurang memiliki perlindungan
inti, seperti norma proses hukum yang bersifat prosedural dan substantif.
Sebagaimana ditekankan oleh Waldorf, elit “peradilan” non-negara tidak independen
dan tidak memihak, dan keputusan mereka bersifat diskresi demi keharmonisan
masyarakat, bukan keadilan individual” (WALDORF, 2006).
Selain itu, pemikiran mengenai konsep pluralisme juga memperhatikan kondisi.
Pluralisme hukum menurut Sumardjono merupakan pluralisme hukum lemah atau
pluralisme hukum negara (Maria SW Sumardjono 2017, 4). Wacana interaksi antara
hukum nasional dan hukum adat mengenai pertanahan tidak harus ditempatkan pada
kondisi kompetitif melainkan pada kondisi saling melengkapi. Cirinya, hukum nasional
atau hukum formal cenderung bersifat statis dan stabil demi menjaga norma-norma
sosial dan ketertiban umum, sehingga cenderung kurang dinamis. Sedangkan nilai-
nilai hukum adat yang hidup dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis dan lokal
karena hidup dalam lingkungan sosial sebagai wilayah kerjanya. Oleh karena itu,
kondisi yang saling melengkapi ini juga dapat dipahami mengingat lemahnya kedua
sistem hukum tersebut; Walaupun hukum nasional lebih unggul dibandingkan
kepastian hukum, hukum adat memberikan rasa keadilan yang lebih tinggi bagi
masyarakat.
Harmonisasi berupaya untuk memastikan bahwa keluaran sistem peradilan non-
negara konsisten dengan nilai-nilai inti sistem negara. Pada saat yang sama, sistem
peradilan non-negara dimasukkan dan dilegitimasi sampai batas tertentu. Untuk
mendukung harmonisasi, negara-negara dan donor internasional sering kali mendanai
kegiatan-kegiatan untuk mendorong para praktisi peradilan non-negara agar bertindak
sesuai dengan hukum negara secara umum. Namun, sering kali terdapat pengakuan secara
diam-diam bahwa aktor non-negara mempunyai otonomi dan legitimasi independen yang
cukup besar. Oleh karena itu, terdapat kesediaan untuk menoleransi beberapa perbedaan
normatif dalam standar penilaian. Berbeda dengan mencoba membuat pengadilan non-
negara bertindak seperti pengadilan negara, yang ada adalah fokus pada perubahan
perlakuan terhadap permasalahan hukum tertentu, misalnya perlakuan aktor non-negara
terhadap perempuan (CHOPRA, 2012). Aktor peradilan negara juga sering melakukan
diskriminasi terhadap perempuan, namun biasanya hal ini dilakukan dengan melanggar
hukum negara dan bukan karena praktik yang lazim (CAMPBELL, 2016),

Secara umum, semakin besar kemampuan negara untuk menawarkan forum


penyelesaian sengketa yang menarik dan sah yang patut ditiru, semakin besar prospek
keberhasilan penerapan pendekatan harmonisasi. Harmonisasi yang berhasil paling
sering terjadi dalam lingkungan pluralisme hukum yang kompetitif—dan khususnya
kooperatif. Namun demikian, selama aktor-aktor non-negara masih mempunyai
otonomi yang besar, perbedaan yang berarti dengan kebijakan negara masih mungkin
terjadi. Oleh karena itu, struktur dan implikasi pluralisme hukum harus
dipertimbangkan ketika membuat dan melaksanakan kebijakan. Kata “legal” dalam
pluralisme hukum dan “hukum” dalam supremasi hukum merupakan bukti bahwa
keduanya pada hakikatnya berkaitan. Pada akar rumusan teoretis dan penerapan
praktisnya, pluralisme hukum dan supremasi hukum memiliki gagasan yang sama
tentang hukum dan legalitas sebagai tema yang sama. Akibatnya, pluralisme hukum
dan supremasi hukum terkait dengan instrumentalitas hukum dan kerangka
institusionalnya. Sebelum mengeksplorasi hubungan antara hukum
Jurnal Analisa Sosiologi 369

pluralisme dan negara hukum, maka perlu mempertimbangkan makna dan isi negara
hukum agar memiliki pemahaman yang jelas tentang konsep yang digunakan dalam artikel
ini. (Yohanes, 2005)
Strategi yang sukses dan berkelanjutan harus berakar pada pemahaman mendalam
tentang bagaimana budaya, politik, dan sejarah suatu negara dapat membantu mendukung
tatanan hukum yang sah.
Definisi pertama bersifat formal dan berbunyi seperti ini: “rule of law berarti pejabat
pemerintah dan warga negara terikat dan patuh pada hukum” (Tamanaha, 2011). Definisi
kedua memiliki muatan substantif dan melihat supremasi hukum sebagai sebuah prinsip
tata kelola yang di dalamnya semua orang, lembaga dan entitas, publik dan swasta,
termasuk Negara itu sendiri, bertanggung jawab terhadap undang-undang yang
diumumkan secara publik, ditegakkan secara setara, dan diputuskan secara independen.
dan yang konsisten dengan norma dan standar hak asasi manusia internasional. Hal ini juga
memerlukan langkah-langkah untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip
supremasi hukum, persamaan di depan hukum, akuntabilitas terhadap hukum, keadilan
dalam penerapan hukum, pemisahan kekuasaan, partisipasi dalam pengambilan keputusan,
kepastian hukum, dan penghindaran pelanggaran hukum. kesewenang-wenangan dan
transparansi prosedural dan hukum (PBB 2004, 4)

Tabel 1. Strategi sektor peradilan non-negara


Strategi Fitur Utama Contoh

Menjembatani Para pembangun negara yudisial berupaya melakukan Para pembangun negara berusaha untuk melakukan hal tersebut

hal tersebut pastikan dengan serius


memastikan bahwa kasus-kasus kejahatan tidak bisa terjadi

dialokasikan diselesaikan di luar


antara negara dan negara

non-negara pengadilan terlepas dari itu


sistem peradilan sebagai pihak yang berselisih

sesuai preferensi dengan menggunakan

berdasarkan hukum negara paralegal untuk mengarahkan

bagian, peserta kasus ke pengadilan negara atau


preferensi, dan tempat menawarkan pelatihan
kelayakan. bagaimana mengakses

pengadilan negara.

Alternatifnya, kecil
perselisihan dapat dikirim ke tempat-

tempat non-negara melalui

pengadilan negara.

Harmonisasi Para pembangun negara yudisial berupaya melakukan Hukum yang dilarang
hal tersebut diskriminatif
memastikan bahwa keadilan non- praktik di non-negara
negara keputusan dan
keluaran sistem adalah pelatihan untuk mengakhiri

konsisten diskriminatif
dengan nilai-nilai inti sistem praktik.
negara.
Suci Flambonita, Vera Novianti, Artha Febriansyah 370

Penggabungan Pembangun negara yudikatif Hasil dari


menghilangkan keadilan non-negara
perbedaan antara peradilan sistem
negara dan non-negara. didukung tetapi juga
Peradilan non-negara, setidaknya diatur oleh sistem
dalam arti formal, menjadi keadilan negara. Dalam praktek,
negara. penggabungan
bisa berarti
penciptaan secara eksplisit
agama atau adat
pengadilan dengan negara

dukungan atau pelabelan


keadilan non-negara
tempat sebagai pengadilan
negeri tingkat pertama.

Subsidi Pembangun negara peradilan Memfasilitasi reformasi


mendukung sistem negara untuk legislatif,
meningkatkannya membangun fisik
kapasitas, kinerja, dan daya infrastruktur yang digunakan oleh

tarik relatif terhadap sektor peradilan,


sistem non-negara simbolik pendukung
perwakilan,
peningkatan kapasitas, dan
mempromosikan publik
pertunangan
Represi Para pembangun negara yudisial berupaya melakukan Melarang non-negara
hal tersebut forum keadilan atau
secara mendasar melemahkan berusaha untuk menangkap atau

dan membunuh peradilan non-negara

idealnya, menghilangkan saingan negara aktor.


yang bukan negara.

Memang benar, pluralisme hukum dan supremasi hukum memiliki


hubungan yang kompleks. Kedua jenis pluralisme hukum ini dapat sejalan atau
menyimpang dari konsepsi negara hukum. Misalnya, pertimbangkan pluralisme
hukum klasik. Hukum adat dan syariah tidak hanya memberdayakan otoritas adat
dan agama tetapi juga membatasi kekuasaan mereka. Selain itu, undang-undang
ini diketahui publik, pasti, dan mempunyai penerapan umum bagi komunitas
masing-masing (Elias 1956; Anderson 2007). Selain itu, undang-undang ini jelas,
singkat, dan diketahui oleh sebagian besar masyarakat (Fenrich, Galizzi, dan
Higgins 2011).

KESIMPULAN
Konsep pluralisme hukum diartikan sebagai garis penghubung berbagai sistem
hukum dalam suatu masyarakat tertentu, termasuk budaya hukum. Pluralisme hukum
di Indonesia didominasi oleh persinggungan hukum dengan gejala-gejala sosial yang
tumbuh dan berkembang secara kompleks dalam budaya hukum Indonesia.
Jurnal Analisa Sosiologi 371

Paradigma pluralisme hukum muncul untuk mengungkap gejala dan fenomena hukum
dalam ruang sosial yang sama. Oleh karena itu, untuk mengungkap konsep tersebut kita
perlu membiarkan budaya hukum hidup dan tumbuh di Indonesia yang majemuk karena
pada hakikatnya sumber utama hukum bukanlah negara (seperti yang diyakini oleh
positivisme) melainkan perilaku manusia dan hukum yang dapat mengakomodasi
pluralisme masyarakat, yaitu hukum adat yang tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa
menggunakan hukum negara. Memahami pluralisme hukum penting dalam setiap
intervensi hukum atau kebijakan, termasuk namun tidak terbatas pada pembangunan
negara. Tanpa memahami dinamika pluralisme hukum dalam konteks tertentu, intervensi
mungkin tidak akan efektif. Bahkan inisiatif-inisiatif yang berhasil dalam jangka pendek pun
kemungkinan besar tidak akan berkelanjutan, karena inisiatif-inisiatif tersebut
mencerminkan nasib baik dan bukan pendekatan yang berdasarkan informasi. Harmonisasi
berupaya untuk memastikan bahwa keluaran sistem peradilan non-negara konsisten
dengan nilai-nilai inti sistem negara. Pada saat yang sama, sistem peradilan non-negara
dimasukkan dan dilegitimasi sampai batas tertentu. Untuk mendukung harmonisasi,
negara-negara dan donor internasional sering kali mendanai kegiatan-kegiatan untuk
mendorong para praktisi peradilan non-negara agar bertindak sesuai dengan hukum
negara secara umum. Namun, sering kali terdapat pengakuan secara diam-diam bahwa
aktor non-negara mempunyai otonomi dan legitimasi independen yang cukup besar.
Pertama Definisinya formal dan berbunyi seperti ini: “rule of law berarti pejabat pemerintah
dan warga negara terikat dan patuh pada hukum”Kedua Definisi tersebut memiliki muatan
substantif dan melihat supremasi hukum sebagai prinsip pemerintahan yang di dalamnya
semua orang, lembaga dan entitas, publik dan swasta, termasuk Negara itu sendiri.

REFERENSI
Albrecht, P & H. Kyed. (2010). Keadilan dan Keamanan: Ketika Negara Tidak
Penyedia Utama.Ringkasan Kebijakan DISS.

Alting, H. (2010).Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan


Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.Yogyakarta: LaksBang
PressIndo.

Bakti. (2015). PLURALISME HUKUM DALAM MEKANISME


PENYELESAIAN SENGKETA SUMBER DAYA ALAM DI ACEH.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 65(XVII), 129-149.
Benda Beckmann, F.&. (2009).Hukum Yang Bergerak. Tinjauan
Antropologi Hukum.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

CAMPBELL, M & Swenson G (2016). Pluralisme Hukum dan Hak-Hak Perempuan


setelah Konflik: Peran Cedaw.Jurnal Elektronik SSRN, 46-112.

CHOPRA, T & Isser D. (2012). Akses terhadap Keadilan dan Pluralisme Hukum di
Negara Rapuh: Kasus Hak-Hak Perempuan.Jurnal Den Haag tentang
Supremasi Hukum, 4(2), 337–358.

FEARON, JD & Laitin DD (2004.). Neotrusteeship dan Masalah


Negara-negara Lemah.Keamanan Internasional, 28(4), 5–43.
Suci Flambonita, Vera Novianti, Artha Febriansyah 372

Griffiths, J. (1986). Apa itu Pluralisme Hukum.Jurnal Pluralisme Hukum


dan Hukum Tidak Resmi, 24, 1.

Pelacur, M. (1976).Pluralisme Hukum: Pengantar Kolonial dan


Neokolonial Hukum. Verfassung di Recht dan Übersee
John, G. (2005).Memahami Hukum Pluralisrne, Sebuah Deskripsi
Konseptua.Jakarta, Indonesia: Ford Foundation - HuMA.

Kherid, MN (2019, Oktober). SISTEM KEADILAN pluralisme.


Masalah-Masalah Hukum, 48(4), 385-392.

KRYGIER, M. “. (2011). “Mendekati Supremasi Hukum.” Peraturan hukum


di Afghanistan: Hilang karena Kelambanan. 15–34.

Kusumaatmadja, M. (1970).Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam


Pembangunan Nasional(Jil. AKU AKU AKU). Bandung, Jawa Barat, Indonesia:
Padjajaran.

Nurjaya, IN (2006).Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif


Antropologi Hukum.Malang, Jawa Timur, Indonesia: Universitas
Negeri Malang.

Marzuki, Mahmud & Peter Mahmud. (2011).Penelitian Hukum.Jurnal


Penelitian Hukum.

Rahardjo, S. (1979).Budaya Hukum dalam Masalah Hukum di


Indonesia.Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum
Nasional ke IV, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.

Safitri, MA (2011).Untuk Apa Pluralisme Hukum? Konsep, Regulasi,


Negosiasi Dalam Konflik Agraria Di Indonesia.Jakarta : Institut
Epistema.

Samekto, FA (2015). Normativitas Keilmuan Hukum Dalam Perspektif


Aliran Pemikiran Neo-Kantian.Masalah-Masalah Hukum, 44, 11.

Saptomo, A. (2012).Budaya Hukum dalam Masyarakat Plural dan Masalah


Implementasinya.Jakarta: (Dialektika) Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial.

Sasmito, HA (2011). Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Dalam


Pengujian Undang-Undang.Hukum Reformasi,6(2), 55–81.Reformasi Hukum, 6
(2), 55–81.

Simarmata, R. (2005). Karakter Aksial dalam Pluralisme


Hukum” Tim HuMa, Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan
Interdisiplin.HuMa, 7.

Suci Flamboni, HA (2010).Pokok-pokok Hukum Adat.palembang:


Universitas Sriwijaya Pers.

SWENSON, G. (2018). Pluralisme Hukum dalam Teori dan Praktek.


Tinjauan Studi Internasional, 438-462.
Jurnal Analisa Sosiologi 373

WALDORF, L. (2006). “Keadilan Massal atas Kekejaman Massal: Memikirkan Kembali Lokal
Keadilan sebagai Keadilan Transisi.”.Tinjauan Hukum Bait Suci, 79(1), 1–87.

Warman, K. (2009). Kedudukan Hukum Adat Dalam Realitas Pembangunan


Hukum Agraria Indonesia.Jumal Konstitusi, 6(4), 25.

Woodman, GR (2005)."Mungkinkah Membuat Peta Hukum?",Pluralisme


Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin.Jakarta: Ford Foundation
- HuMa.

Anda mungkin juga menyukai