Disusun Oleh :
Brigita Cindy Meiliana (E0017099)
Dosen Pengampu :
Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum.
1 Donald Black, The Behavior of Law (London: Academic Press, 1976), hlm. 2-4; juga dalam tulisannya
tentang “The Boundaries of Legal Sociology”, Yale Law Review, Th. LXXXI (1981), hlm. 1086-1100.
2 Keebet von Benda-Beckman dan Fons Strijbosch (ed.), Anthropology of Law In The Netherlands
(Dordrecht: Foris Publications,1986), hlm. 67.
yang telah berlaku sebagai moral dan tradisi masyarakat ke dalam bentuknya yang formal
dan baru sebagai teks-teks undang-undang untuk kemudian dikitabkan. Dari proses kerja
seperti inilah datangnya istilah ‘hukum yang telah dipositifkan’ atau ‘hukum positif, atau
pula istilah ‘ius constitutum’ yang berarti ‘norma hukum yang telah dibentuk’. Maka,
dengan demikian, tidaklah keliru dan salah apabila orang berkeyakinan bahwa materi
hukum yang telah berlaku selama ini di dalam masyarakat pada hakikatnya sama saja
dengan norma substantif yang termuat dalam setiap undang-undang.
Karena pada awalnya undang-undang negara bangsa itu “hanya” merupakan
formalisasi saja dari apa yang telah berlaku secara nyata dalam masyarakat, maka lahirlah
doktrin dalam ilmu hukum bahwa kodifikasi itu pada hakikatnya adalah sebuah gambaran
normatif suatu masyarakat yang benar-benar “bulat, lengkap dan tuntas”. Dari keyakinan
doktrinal seperti ini pulalah lahirnya doktrin berikutnya yang dikenal dengan adagium
berbahasa Latin ‘ignoratio iuris’; ialah, bahwa tak seorangpun dalam sidang pengadilan
boleh menolak diberlakukannya undang-undang terhadap dirinya dengan dalih bahwa dia
tidak pernah membaca dan mengetahui adanya undang-undang itu.
Dalam kajian-kajian sosiologi, keyakinan seperti itu disebut keyakinan yang
menyamakan hukum dengan masyarakatnya. Inilah keyakinan fiktif bahwa apa yang
telah dihukumkan dalam undang-undang (the law) tidaklah berbeda dengan apa yang
berlaku dalam masyarakatnya (the society). Inilah yang dari sudut pandang sosiologik
atau antropologik merupakan suatu fiksi bahwa law is society. Dikatakan suatu fiksi
karena dari kajian ilmu-ilmu sosial – yang ekonomik, politik, sosial maupun budaya –
law is not always society, atau bahkan law is not society. Hukum undang-undang sebagai
teks tidaklah selamanya sama dan sebangun dengan realitasnya dalam konteks sosial-
kultural.
Demikianlah, manakala ‘Ilmu Hukum’ sebagai kajian law in books berkonsentrasi
pada ihwal hukum undang-undang yang tengah berlaku, yang demi kepastian akan
dijadikan dasar hukum untuk mengadili perkara-perkara, ‘Hukum Dalam Masyarakat’
adalah kajian tentang ihwal kebermaknaan sosial hukum undang-undang itu. Adapun
yang dimaksudkan dengan ‘the social significance of law’ ini tak lain ialah fakta actual
yang hendak mengabarkan sejauh mana hukum undang-undang yang berstatus formal itu
ditaati dan terealisasi menjadi perilaku warga masyarakat dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Dengan demikian, hukum undang-undang tak hanya tersimak sebagai bacaan
tentang perintah-perintah yang harus ditaati akan tetapi juga tersimak secara indrawi
sebagai pola perilaku yang faktual. Semakin sering hukum undang-undang itu tampak
dipatuhi dan terwujud secara nyata dalam perilaku para waraga dalam kehidupan sehari-
hari akan boleh dikatakan bahwa hukum undang-undang itu semakin bermakna secara
sosial dan kultural.
Kajian ‘Hukum Dalam Masyarakat’.
Adagium kepastian hukum yang menurut doktrinnya dilekatkan pada eksistensi
hukum undang-undang yang positif itu sebenarnya hanyalah suatu pernyataan yang hanya
akan bisa diterima dalam makananya yang relatif. Sepanjang sejarah, hukum akan
berubah sejalan dengan perubahan jaman. Dari kajian hukum positif ini pulalah lahirnya
kajian ‘hukum dalam masyarakat’ yang berfokus pada kajian text in context.
Meningkatnya migrasi dan urbanisasi yang kian membikin komplek secara
drastik heterogenitas dan pluralitas kehidupan, atau pula maraknya kekumuhan dan
kemiskinan yang berseiring dengan terjadinya massa pekerja pabrik dan kejahatan yang
merebak di kota-kota, adalah dua-tiga contoh saja dari sekian banyak perkembangan
sosial-ekonomi yang menuntut terwujudnya sistem normatif baru guna menjamin
terwujudnya tertib kehidupan yang baru pula. Sebelum datangnya masa krisis dengan
segenap kerisauannya itu, para pemikir besar di bidang filsafat sosial amatlah
berkeyakinan akan kebenaran paham progresisme.3 Ialah paham yang bertolak dari suatu
paradigma saintisme yang empirik dan positif, bahwa perubahan macam apapun yang
terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, jejak langkahnya sudahlah pasti akan selalu
berarah ke bentuk dan substansi yang secara kodrati akan lebih baik daripada yang sudah-
sudah.
Adalah kenyataan bahwa transisi-transisi transformatif yang pesat dan tertampak
sebagai kenyataan sosiologis itu tak bisa secara cepat diimbangi oleh pembaharuan dalam
seluruh tatanan perundang-undangan yang ada itu. Pendayagunaan kajian sosilogik
inilah yang kemudian memperkuat daya kerja ilmu hukum, dari kajian-kajiannya yang
terlalu murni — yang mengkaji hukum dengan keyakinannya yang doktrinal namun
sempit akan eksistensi ilmu hukum sebagai ilmu yang tersendiri, sui generis – menjadi
suatu studi yang lebih berufuk luas. Membuka diri untuk memanfaatkan hasil kajian-
kajian ilmu sosial yang marak sejak belahan akhir abad 19, sudah pada pertengahan abad
20 ilmu hukum telah memiliki karakternya yang baru sebagai apa yang disebut ‘in-
between jurisprudence’. 4
3 Scott Gordon, The History of Philosophy anad Social Science, (London: Routledge, 1991), Bab 8, hlm.
148-167.
4 Dragan Milovanovich, A Premier in The`Sociology of Law (New York: Harrow and Heston, 1994).
Istilah ‘in-between jurisprudence’ ini memang sering mengundang kontroversi,
apakah kajian ‘hukum dalam masyarakat’ itu sesungguhnya terbilang ilmu hukum
(jurisprudence) ataukah sudah bergeser menjadi kajian yang sudah lebih masuk ke ranah
ilmu-ilmu sosial yang lebih empirik (dengan fokus kajiannya yang berarah ke persoalan
‘apa yang terjadi’ dan ‘mengapa sampai terjadi’) daripada yang normatif dan/atau
preskriptif (dengan fokus kajiannya yang berarah ke persoalan ‘bagaimana seharusnya
bertindak’). Pendapat yang menolak kajian ‘in-between jurisprudence’ sebagai kajian
hukum menyebut kajian yang berada di wilayah abu-abu ini sebagai kajian sosiologi
hukum yang tak ada gunanya bagi praktik hukum kaum profesional. Sementara itu,
mereka yang mau menerima kajian yang satu ini sebagai kajian ilmu tentang hukum
menyebutnya dengan istilah ‘hukum dalam masyarakat’.
Secara garis besar makna hukum dapat dipilah menjadi dua kategori, yaitu hukum
dalam arti sebagai norma, dan hukum dalam arti sebagai nomos. Jadi, hukum dapat
berupa norma dan berupa nomos.
Kata “nomos” di sini perlu diberi penjelasan lebih dalam. Kata ini berasal dari
bahasa Yunani (jamak: “nomoi”) yang berarti kebiasaan. Pada awalnya, masyarakat
memahami apa yang boleh dan tidak boleh [dilakukan] diukur berdasarkan kebiasaan
yang mereka terima sebagai kenyataan. Jadi, hukum adalah kebiasaan. Kebiasaan adalah
hukum. Inilah nomos. Pada galibnya, kebiasan itu berkenaan dengan masyarakat dalam
jumlah banyak dan berlangsung dalam waktu lama, bahkan bergenerasi-generasi. Hanya
orang-orang yang berada dalam ruang dan waktu yang sama akan merasa terikat pada
kebiasaan bersama itu, yaitu kebiasan yang kemudian dilanggengkan sebagai
kebudayaan. Adat adalah contoh dari nomos seperti ini.
Dalam kaitan dengan pembentukan hukum, nomos merupakan sumber material
bagi norma hukum. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang kaya
dengan dimensi primordial, nomos dalam makna yang pertama (adat kebiasaan) mungkin
akan sangat berperan untuk berkontribusi sebagai sumber material. Sementara dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berdimensi netral, khususnya yang
berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat urban atau yang bersentuhan dengan era
digital dan teknologi informasi, dapat dipastikan nomos dalam makna kedua (pola
perilaku komunitas) justru lebih berperan. Bagi ilmuwan hukum, substansi yang dialirkan
dan berasal dari nomos ini perlu untuk diformat dalam prosedur dan kemasan hukum.
Dengan kata lain, ada tahap pemositifan agar bisa menjadi hukum positif. Nomos-nomos
(nomoi) itu belum tentu dipertahankan seperti materi awalnya. Tahap pemositifan itu juga
akan menambahkan unsur stuktural di dalam substansi tersebut. Jadi, di dalam norma
hukum positif tersebut, ketika sudah disahkan dan diberlakukan pada masyarakat, sudah
tidak lagi sekadar norma substansial. Di situ sudah ada norma proseduralnya, dan di
dalamnya ada struktur hukum yang akan menjamin implementasinya berjalan dengan
baik. Apabila ada sanksi pidana, misalnya, maka dipastikan di situ institusi kepolisian,
kejaksaan, kehakiman, akan diikutsertakan.
Demikianlah, terlihat di sini suatu pola transformasi yang menarik dari nomos ke
norma dan selanjutnya dari norma ke nomos. Pada pola transformasi yang pertama
(nomos ke norma), fungsi hukum yang diharapkan pertama-tama adalah fungsi hukum
sebagai social order. Masyarakat luas dan/atau komunitas berharap materi nomos yang
mereka berikan kepada norma, bakal pas mengatur apa yang selama ini sudah berjalan.
Masyarakat/komunitas itu ingin tercipta tertib sosial dalam aktivitas mereka, kurang lebih
sama seperti yang telah mereka praktikkan selama ini. Namun, di mata hukum normatif,
tidak mungkin norma itu sekadar mengikuti nomos dalam arti material [mentah] itu tadi.
Hukum normatif ingin agar nomos dapat mengikuti kehendak norma. Dengan perkataan
lain, nomos perlu berubah atau menyesuaikan diri mengikuti pesan-pesan norma. Fungsi
hukumnya sekarang tidak lagi social order, tetapi menjadi social engineering.
Patut dicatat bahwa sumbangan substansial dari nomos boleh jadi belum siap
untuk langsung diakomodasi menjadi norma hukum positif (norma yuridis). Dalam
kondisi demikian, material nomos itu akan disimpan dulu menjadi norma ideal yang
memiliki keberlakuan filosofis (filosofische Geltung). Sebagai norma ideal, ia bersifat
metayuridis. Artinya, ia belum dipositifkan, tetapi tetap bisa dijadikan acuan normatif
yang berlaku [baru] dalam tahap prapositif.
Jika mengacu pada keterangan di atas, berarti fungsi social engineering bisa
berhasil atau tidak berhasil sangat bergantung pada dua hal. Petama dari sisi materi atau
substansi normanya, yaitu apakah kandungan nomos yang diakomodasi di dalam norma
itu masih dapat diterima oleh masyarakat/komunitas sebagai subjek norma
(normadressaat; normadressaten) yang notabene adalah pemangku kepentingan dalam
hukum positif itu. Kedua dari sisi struktur norma yang disertakan di dalam materi norma
itu tadi. Aspek struktural yang dilekatkan di dalam substansi hukum menunjukkan adanya
intervensi negara di dalam proses pemositifan hukum. Oleh sebab itu, dari sisi ini akan
dicermati seberapa jauh negara memainkan peranannya, ikut mengatur pola-pola perilaku
di dalam nomos. Misalnya, benarkah kewenangan yang diserahkan kepada lembaga-
lembaga hukum itu cukup wajar (tidak berlebihan atau melampaui batas)? Benarkah
sanksi-sanksi akibat pelanggaran norma itu tidak dirasakan memberatkan, sehingga hak-
hak anggota masyarakat/komunitas tidak jadi terkekang?
Untuk dapat merekayasa masyarakat sesuai dengan fungsi social engineering ini,
para pembentuk norma hukum positif harus memiliki strategi. Mungkin saja,
masyarakatnya belum siap untuk langsung berubah dalam waktu cepat. Untuk itu, perlu
disusun strategi jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Tujuannya adalah
agar dari waktu ke waktu ekspektasi norma hukum positif untuk mengubah nomos itu
berhasil dilakukan.
Posisi ius constituendum ini sebenarnya ada di dalam norma juga, yakni norma
metayuridis. Apabila pembentuk undang-undang ingin merevisi hukum positif, norma
metayuridis ini wajib untuk dijadikan acuan ideal di samping pembentuk undang-undang
perlu terus memeriksa dinamika perkembangan pada ranah nomos. Demikian juga, hakim
pun dapat menggunakan norma metayuridis ini melalui penafsiran futuristis untuk
menyelesaikan kasus-kasus konkret.5
Akan tetapi jika melihat secara jernih dalam positivisme hukum sebagaiman
diajarkan oleh tokoh berikutnya yakni Hans Kelsen yang mengemukan Teori norma
hukum berjenjang dan berkelompok (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen)
Hans Nawiasky ini jika diproyeksikan ke Norma hukum yang berlaku di Indonesia maka
akan diperoleh pengelompokan hirarki sebagai berikut:
1. Norma Dasar (Grundnorm)/Fundamental Negara (Staatsfundamentalnor) Indonesia
adalah Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI 1945). Sehingga seluruh perundangan dibawahnya harus merujuk ke norma
dasar ini (Hans Kelsen),
2. Aturan Pokok Negara (Statgrundgesetz) Indonesia adalah batang tubuh UUD NRI
1945, TAP MPR RI dan Konvensi Ketatanegaraan,
3. Undang-Undang Formal (Formell Gesetz) Indonesia adalah Undang-Undang,
4. Aturan Pelaksana/Aturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) Indonesia
adalah secara hirarkis mulai Peraturan Pemerintah, hingga keputusan Bupati/Walikota.6
Hans Nawiasky murid dari Hans Kelsen telah meletakan dasar teori jenjang
hukum yang ia kembangkan (die theorie vom stufenordung der rechtsnormen) norma
7 Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang Undangan (Yogyakarta: Kanisius, Buku I, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Donald Black, The Behavior of Law (London: Academic Press, 1976), hlm. 2-4; juga
dalam tulisannya tentang “The Boundaries of Legal Sociology”, Yale Law Review, Th.
LXXXI (1981), hlm. 1086-1100.
“The Concept of Folklaw in Historical Context: A Brief Outline”, dalam Keebet von
Benda-Beckman dan Fons Strijbosch (ed.), Anthropology of Law In The Netherlands
(Dordrecht: Foris Publications,1986), hlm. 67.:
Scott Gordon, The History of Philosophy anad Social Science, (London: Routledge,
1991), Bab 8, hlm. 148-167.
Jimly Asshiddiqie. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah
Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang Undangan (Yogyakarta: Kanisius, Buku
I, 2010).