Anda di halaman 1dari 6

HUKUM ADAT DI INDONESIA

Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukumnya, dimana ada
tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan
hukum adat. Pada praktiknya masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam
mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
ada. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tata hukum adatnya masing-masing untuk mengatur
kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam yang sebagian besar hukum adat tersebut tidak
dalam bentuk aturan yang tertulis.1
Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan tradisi rakyat
yang ada. Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya
mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut. Keberadaan hukum adat ini secara resmi
telah diakui oleh negara, akan tetapi dengan penggunaan yang terbatas. Merujuk pada pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 yang mana menyebutkan: 
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang” 
Hukum adat harus dikaji dalam rangka pembangunan hukum nasional karena secara
alamiah situasi dan kondisi masyarakat di masing-masing daerah berbeda. Perbedaan itu juga
selanjutnya menimbulkan variasi dalam nilai-nilai sosial budaya mereka, termasuk nilai-nilai
hukum sebagai produk budaya. Dengan demikian, walaupun di satu sisi hukum adat tetap
mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dimilikinya namun di sisi lain hukum adat pun dapat
menerima perubahan yang mempengaruhinya. Oleh karena itu dapat terlihat letak fleksibilitas
dari hukum adat. Konstitusi sebagai hukum yang bersifat organik, memberikan sebuah jaminan
kepastian hukum kepada hukum adat dan masyarakat hukumnya dengan mencantumkan
pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat.2 

1
Maladi, Y. (2010). Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen. Mimbar Hukum –
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22(3), 450–464.
2
Manarisip, M. (2012). Eksistensi Pidana Adat dalam Hukum Nasional. Lex Crimen, 1(4), 39.
TEORI HUKUM SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE DI INDONESIA
Sociological jurispridence dapat diartikan sebagai sintesis dari madzhab hukum sejarah
dan madzhab hukum positivisme yang bersumber dari pencetusnya, yakni Hans Kelsen dan Carl
von Savigny. Lalu pendapat lain yang serupa dari Roscoe Pound mengatakan bahwa
Sociological jurisprudence adalah kondisi ideal hukum sebagai suatu akomodator dari suatu
proses sosial yang terjadi dalam masyarakat dan proses sosial ini menjadi suatu pertimbangan
dalam suatu peradilan.3
Di Indonesia, sociological jurisprudence ini dipelopori oleh beberapa pemikir terkenal
seperti Satjipto Rahardjo, Mochtar Kusumaatmadja, hingga Romli Atmasasmita yang menjadi
titik awal dari lahirnya aliran ini di Indonesia. Mereka semua ini adalah praktisi sekaligus
akademisi hukum yang terkenal di Indonesia. Mereka secara eksplisit mungkin memang tidak
mengakui teori hukum yang mereka anut mengambil dasar dari sociological jurisprudence,
namun secara implisit hal ini dapat dibuktikan dengan mengambil dasar dari pemikiran hukum
progresifnya Profesor Satjipto Rahardjo yang mengambil dasar sociological jurisprudence
sebagai landasan berpikir dari tujuan hukum progresif, yakni hukum itu untuk manusia, bukan
hukum untuk manusia dan hukum itu tujuannya adalah untuk kebahagiaan.4
Aliran Sociological Jurisprudence dalam ajarannya berpokok pada pembedaan antara
hukum positif dengan hukum yang hidup (living law), atau dengan perkataan lain suatu
pembedaan antar kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Bahwa hukum
positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahwa
pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-
keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat
itu sendiri.5
Dalam perspektif sociological jurisprudence tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak
melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik,
tetapi sekaligus mendesain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas
yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa
konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha
3
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007),
74.
4
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), 206.
5
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 135.
de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus
memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan
melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori
hukum fungsional).

KONSEP LAW IS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING DI INDONESIA


Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama menganalisis yurisprudensi serta metodologi
ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah
gagal dalam menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir semakin
terabaikan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para koleganya dari Jerman.
Pound menyatakan bahwa hukum adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol sosial.
Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai instrumen
penting untuk mencapai ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan untuk
melestarikan peradaban karena fungsi utamanya adalah mengendalikan “aspek internal atau sifat
manusia”, yang dianggapnya sangat diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal atau
lingkungan fisikal.6
Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum
diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan disesuaikan
dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social engineering” yang
merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja
kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang
lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya oleh karena lebih
menonjolnya perundangundangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau
yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi
tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham
legisme yang banyak ditentang di Indonesia.7
Sifat mekanisme itu nampak dengan digunakannya istilah “tool” oleh Roscoe Pound.
Itulah sebabnya mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung menggunakan istilah “sarana”
6
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2002), 74.
7
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan (Bandung: Binacipta, 1990), 10
daripada alat. Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia konsepsi tersebut
dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop dan policy-oriented dari Laswell dan Mc
Dougal. Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang
atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya, seperti telah dikemukakan dimuka, di Indonesia
yang paling menonjol adalah perundang-undangan, yurisprudensi juga berperan namun tidak
seberapa. Agar supaya dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk
pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang
dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran sociological Jurisprudence
yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Sebab
jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan
mendapat tantangan-tantangan. Beberapa contoh perundangundangan yang berfungsi sebagai
sarana pembaharuan dalam arti merubah sikap mental masyarakat tradisional kearah modern,
misalnya larangan penggunaan koteka di Irian Jaya, keharusan pembuatan sertifikat tanah dan
sebagainya.8
Dalam hal ini dengan adanya fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat,
dapat pula diartikan, bahwa hukum digunakan sebagai alat oleh agent of change yang merupakan
pelopor perubahan yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan
masyarakat sebagai pemimpin dari satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor ini
melakukan penekanan untuk mengubah sistem sosial, mempengaruhi masyarakat dengan sistem
yang direncanakan terlebih dahulu disebut social engineering ataupun planning atau sebagai alat
rekayasa sosial.

TEORI HUKUM HISTORICAL JURISPRUDENCE DI INDONESIA

8
Ibid.
Akar utama dari paham aliran historical jurisprudence adalah pada pandangan bahwa
pembelajaran mengenai suatu sistem hukum harus berawal dari sejarah dan pemahaman tentang
pola-pola evolusi dari sistem hukum itu sendiri dari masa ke masa. Hukum dianggap menjadi
suatu ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing bangsa dimana perkembangannya berbeda-
beda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Historical Jurisprudence lahir sebagai suatu
mahzab yang menyeruak di kalangan para filsuf waktu itu, sebagai bentuk penentangan terhadap
teori hukum kodrat yang memiliki anggapan bahwa manusia di seluruh dunia memiliki
pemikiran yang serupa sehingga berlaku juga bagi hukum yang dianggap sebagai hasil dari
pikiran yang sama pula. Berangkat dari hal ini munculah gerakan kodifikasi di Benua Eropa
yang akhirnya melatarbelakangi timbulnya gerakan pelopor aliran historical jurisprudence.
Historical jurisprudence memberikan deskripsi dari hukum dalam konteks mistiknya, hal ini
karena penerimaan terhadap perkembangan hukum secara naluriah tanpa rekayasa pikiran
manusia. Adapun tokoh yang paling terkenal dalam aliran ini adalah Friedrich Karl Von
Savigny. Berdasarkan pandangan utama yang dikemukakannya dapat disimpulkan bahwa sistem
hukum tidaklah pernah lepas dari sejarah, hukum justru muncul dan berkembang di dalam dan
bersama masyarakat.9
Berbicara soal pandangan-pandangan dari Savigny, terdapat beberapa konsep
dikemukakannya untuk mendukung aliran historical jurisprudence ini. Salah satunya adalah
pendapatnya tentang sifat organik dari hukum dimana hukum tidak lepas dan memang
bersenyawa dengan tiap unsur-unsur kehidupan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan perkembangan
dari hukum itu sendiri yang kemudian berjalan secara alamiah. Savigny kemudian juga
berpendapat bahwa sumber utama dari hukum adalah volkegeist atau jiwa bangsa. Pendapat ini
dibekali dengan asumsi bahwa setiap bangsa pada hakikatnya adalah satu kesatuan dalam hal-hal
tertentu sehingga dari sanalah hukum itu memiliki inti. Pengikut dari aliran historical
jurisprudence memiliki anggapan bahwa hukum bukanlah seperti apa yang dipahami setelah
sekian lama pada waktu itu. Bagi para pengikut aliran ini, hukum bukanlah suatu aturan pengikat
yang abstrak seperti norma, hukum adalah bagian yang terintegrasi dalam dan dari masyarakat
sebagai hasil dari suatu kebiasaan sosial. Perbedaan masa, antara masa lalu dan masa kini yang
menjadi penyebab kedinamisan hukum yang berkembang mengikuti masa ke masa sejatinya
adalah berjembatan suatu keadaan ekonomi yang kemudian menghubungkan para anggota tiap
9
See H.Kantorowicz, “Savigny and The Historical School of Law” (1937) 53 L.Q.R.326;stone, Social Dimensions
of Law and Justice (1966), pp.86-89, 101-111.
masa tersebut. Aliran ini juga memungkinkan beberapa toleransi di dalamnya. Hal ini dapat
terlihat dari sifat keterbukaan yang terkandung di dalamnya dimana nilai-nilai budaya asing
diizinkan masuk namun tetap harus melalui proses penyaringan agar dapat dipilah-pilah antara
yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan mana yang tidak sesuai.10
Bila diterapkan pada keadaan bangsa Indonesia, pada masa perjalanan historisnya untuk
menjadi sebuah bangsa dimana pada waktu itu bangsa ini masih minim akan referensi identitas,
metodologi dari Savigny yang mengedepankan unsur historis sangat membantu dalam halnya
penemuan jati diri bangsa pada waktu itu. Refleksi kesejarahan tentang hukum yang
diperkenalkannya menjadikan sejarah bangsa ini dapat dipandang sebagai suatu referensi yang
selama ini dicari-cari dalam rangka pencarian identitas. Hukum positif bila dipandang sebagai
suatu produk dari komunikasi yang jujur masyarakat yang menyejarah bisa memiliki pengertian
sebagai hukum yang apresiatif terhadap fakta-fakta di masa lampau secara bijaksana, hukum
yang kontekstual dengan kekinian masyarakat dan hukum yang mengawas secara tanggap
gerakan zaman serta gerakan jiwa bangsa Indonesia.11
Akan tetapi perlu dicermati pula, terdapat beberapa bagian dari pandangan Savigny yang
sebetulnya dapat dikritisi. Hukum adalah sebuah entitas sistemik yang tidak hanya melingkupi
aspek suprastruktur tetapi juga infrastruktur. Memandang hukum hanya dengan bertolak kepada
suprastruktur saja tentu akan mengesampingkan aspek infrastrukturnya, sifat praktis, teknis dan
instrumental. Hukum bukanlah selalu tentang kebudayaan, ideologi, kebiasaan atau cita-cita saja
melainkan dilengkapi juga dengan perangkat dan aparat teknis. Bila hukum secara seharusnya
dipandang sebagai suatu sistem maka barulah dapat ditemukan struktur, substansi dan kultur dari
hukum itu sendiri. Strukturnya dapat meliputi lembaga peradilan yang melingkupi institusi
kehakiman, kepolisian, kejaksaan dan yang lainnya. Substansi meliputi peraturan perundang-
undangan dari segi materiil maupun formil sedangkan kultur meliputi aspek pengetahuan,
kepercayaan, dan nilai-nilai yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial.12

10
Of the Vacation of Our Age for Legislation and Jurisprudence (1831) (transl.Haywood), p.24.
11
L.Pospisil, Anthropology of Law (1971), p.142.
12
See Ancient Law. Maine did not admire judicial legislation in English Law and favoured codification. But he was
essentially and “evolutionist.”

Anda mungkin juga menyukai