Anda di halaman 1dari 14

1

Teori-Teori Memahami Eksistensi Hukum Islam Serta Upaya Legislasi Hukum

Islam Di Bidang Hukum Keluarga Melayu Nusantara (Suatu Tinjauan Teori

dalam Ilmu Hukum)

Annisya Dwirezky Kaswarah, Nur Alma

Institut Agama Islam Negeri Bone, Jl. Hos Cokroaminoto, Watampone, Indonesia

ABSTRACT

Dalam melegislasikan suatu hukum tentu memerlukan beberapa pendekatan salah


satunya adalah pendekatan eksistensi hukum Islam, begitupula dalam memahami
eksistensi hukum Islam juga memerlukan teori-teori. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji teori-teori yang dimaksud, diantaranya teori rechtgeful (kesadaran hukum
masyarakat), teori sosiological jurisprudence, dan teori living law, serta kegunaan
ketiga teori tersebut dalam legislasi hukum Islam. Penelitian ini menggunakan
metode yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis yang
dijabarkan secara kualitatif dan bersumber pada bahan hukum sekunder dan
tersier. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa ketiga teori tersebut sangat
berkaitan erat dengan upaya memahami eksistensi hukum Islam.

1. Pendahuluan

Serangkai dengan kebebasan, manusia itu mempunyai keperluan-keperluan

dan kepentingan-kepentingan. Keperluan dan kepentingan itu berbeda antara yang

seorang dengan yang lain Ada yang sederhana , ada yang rumit. Bahkan kebebasan

itupun termasuk keperluan dan kepentingan manusia, untuk mewujudkan

kepentingan dan keperluan yang lain. Kalau semua manusia mempunyai kepentingan

dan keperluan, sedangkan objek dari kepentingan dan keperluan itu sama, jelaslah

objek itu menjadi perebutan antara sesama manusia. Bahkan kadangkadang manusia

menjadikan manusia yang lain sebagai objek atau dalam hal lain sebagai sarana

untuk mencapai tujuan yang berupa keperluan dan kepentingannya itu.1

1
Moh. Tolchah Mansoer, Hukum, Negara, Masyarakat, Hak-Hak Asasi Manusia dan Islam,
(Bandung: Alumni, 1979), h. 18.

1
2

Sekarang, karena manusia membentuk masyarakatsengaja atau tidak, tentulah

di dalam masyarakat itu timbul nilainilai tertentu, mula-mula merupakan suatu

kejadian, sebagai suatu gejala yang satu, lambat laun ia diterima berkali-kali dan

akhirnya merupakan suatu nilai yang tertentu, yang didukung oleh semua

anggota masyarakat, dan selanjutnya nilai-nilai yang menjadi landasan dan ukuran

bagi setiap tindakan lebih lanjut dari setiap anggota masyarakat, baik itu tertulis

maupun tidak tertulis, dan kelak, iapun akan mengalami perkembangan yang serupa.

Dengan kata lain nilai-nilai itu merupakan hukum, jadi hukum merupakan
suatu alat untuk tercapainya seluruh kepentingan manusia. Hukum sendiri bukanlah

tujuan. Ia hanya merupakan suatu sarana. Tegasnya, hukum adalah aturan-aturan

yang mengatur tingkah laku manusia dan juga sebagai pengukur bagi tingkah laku

manusia dalam hidup bermasyarakat. Jadi hukum diperlukan oleh manusia karena:

(a) Manusia mempunyai keperluan-keperluan atau banyak keperluan. (b) Kehidupan

manusia mempunyai tujuan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka jelas bahwa salah satu orientasi hukum

adalah menciptakan keadilan yang dapat dielaborasi lebih jauh terutama dari dimensi

keadilan hukum seperti pemberantasan korupsi yang sesungguhnya untuk

mengembalikan hak-hak orang yang statusnya ekonomi lemah karena haknya

diambil oleh orang yang tidak mengerti akan nilai –nlai sosial yang ada dalam

masyarakat tersebut.

2
3

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan motode penelitian kualitatif (yakni menelaah referensi

atau literatur-literatur yang terkait dengan pembahasan) yang mengkaji pengertian,

pelaksanaan, dan kegunaan teori rechtgehul, teori sosiological jurisprudence, dan

teori living law. Objek studi dalam kajian ini adalah teori-teori memahami eksistensi

hukum islam serta upaya legislasi hukum islam di bidang hukum keluarga melayu

nusantara. Olehnya itu, penulis menggunakan metode yuridis normatif dengan

spesifikasi penelitian analisis deskriptif dengan menganalisis data yang telah

dikumpulkan kemudian memberikan penawaran solusi berdasarkan hukum Islam.

3. Hasil dan Pembahasan

A. Teori Rechtgeful (Kesadaran Hukum Masyarakat) Pengertian dan

Pelaksanaannya

Kesadaran hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengetahuan

bahwa perilaku tertentu diatur oleh hukum, sehingga ada kecenderungan untuk

mematuhi peraturan.2 Menurut Sudikno Mertokusumo, kesadaran hukum berarti


kesadaran tentang apa seyogyanya dilakukan atau perbuat atau yang seyogyanya

yang tidak dilakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain.3 Menurut Soerjono

Soekanto, kesadaran hukum adalah kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam

diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.4

Kesadaran hukum tersebut merupakan proses psikis yang terdapat dalam diri

2
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (T.Tp: Gita Media Press, t.th), h. 667.
3
Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, (Yogyakarta:
Liberty, 1981), cet.ke-1, h. 3.
4
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali,
1982), cet. ke-1, h. 152.

3
4

manusia yang mungkin timbul dan mungkin pula tidak timbul. Akan tetapi tentang

asas kesadaran hukum itu terdapat pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia

mempunyai rasa keadilan.

Penekanan kesadaran hukum di atas adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum

dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkret dalam

masyarakat tertentu. Peranan hukum di dalam masyarakat sebagaimana tujuan

hukum itu sendiri, menjamin kepastian hukum dan keadilan. Pada masyarakat

senantiasa terdapat perbedaan antara pola perilaku masyarakat dengan pola perilaku

yang dikehendaki oleh norma-norma hukum. Kesadaran hukum mempunyai korelasi

dengan ketaatan hukum. Semakin tinggi kesadaran hukum seseorang, makin tinggi

juga ketaatan hukumnya. Sebaliknya kesadaran hukum yang rendah cenderung pada

pelanggaran hukum , dengan berbagai bentuk pelanggaran, dan kerugian yang

dideritanya. Tinggi atau rendahnya kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari

beberapa indikator. Menurut Soerjono Soekanto, kesadaran hukum mempunyai

beberapa indikator yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan

perilaku hukum.5

5
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1987), cet. ke-2, h. 229.

4
5

Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap suatu hukum berpengaruh

terhadap kesadaran hukum. Hukum adakalanya diartikan sebagai jaringan nilai-nilai,

dan masalah nilai-nilai dalam hukum dengan sendirinya mencakup kesadaran

hukum. Hal ini disebabkan karena kesadaran hukum merupakan suatu penilaian

terhadap hukum yang ada dan hukum yang dikehendaki yang seharusnya ada.6 Selain

itu, kesadaran hukum dapat pula merupakan variabel yang terletak antara hukum

dengan perilaku manusia nyata. Walaupun perilaku yang nyata tersebut terwujud
dalam kepatuhan hukum tersebut telah mendapat dukungan sosial.

B. Teori Sosiological Jurisprudence Pengertian dan Pelaksanaannya

Ilmu filsafat sosiologis hukum atau yang dalam Bahasa Inggris disebut

sebagai Sociological jurisprudence (Jerman: Soziologische Jurisprudenz; Prancis:

Sociologique; Belanda: Rechtswetenschap) merupakan Modern Theories of Law

yang seabad lalu muncul dan mulai dianut oleh masyarakat modern yang

demokratis.7 Sociological jurisprudence juga merupakan bagian dari ilmu filsafat

hukum yang fokus utamanya adalah menganalisis tentang pengaruh kausalitas antara

hukum dan masyarakat. Sehingga hukum yang hakiki itu adalah hukum yang sesuai
dengan nilai-nilai yang melekat pada masyarakat, dan jika hukum ingin diterima dan

ditaati, maka hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah

hidup di dalam masyarakat.

Terkait konsep Sociological jurisprudence, seorang pemikir sosiologis Austria

Eugen Ehrlich (1862-1922) pernah mengungkapkan bahwa “positive law cannot be

understood apart from the social norms of the 'living law.'”. “At the present as well
6
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1987), cet. ke-2, h207.
7
Priban, J. Roger Cotterrell: Sociological Jurisprudence: Juristic Thought and Social Inquiry.
Journal of Law and Society Vol 45 No. 2, (2018): h.337.
6

as at any other time, the center of gravity of legal development lies not in legislation,

nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself.”8

Pendapat Ehrlich di atas menjadi konsep awal yang paling mendasar dalam

Sociological jurisprudence sekaligus menjadikannya sebagai tokoh utama penggagas

teori Sociological jurisprudence. Selain Ehrlich, beberapa tokoh intelektual lainnya

seperti Friedrich Carl von Savigny (1804–1961), Roscoe Pound (1870–1964), Hans

Nawiasky (1880–1961), George Whitecross Paton (1902-1985), Oliver Wendell


Holmes Jr (1902-1932) dan Laurence M. Friedmann (1930-sekarang) juga dipercaya

sebagai penggagas dari paham aliran dan pemikiran Sociological jurisprudence.

Para tokoh di atas juga telah berperan besar dalam mendefinisikan apa itu

Sociological jurisprudence. Roscoe Pound misalnya, Sebagai bapak filsafat sosiologi

hukum Pound berpandangan bahwa hukum secara filosofis sosiologis dapat diartikan

sebagai “adat kebiasaan sosial yang bertujuan untuk memuaskan masyarakat”. 9

Kepuasan masyarakat ini bisa diraih dengan melihat dari nilai-nilai tercipta dari

norma-norma yang sudah ada dan turun temurun hidup dalam masyarakat.10 Nilai-

nilai tersebut yang kemudian menjadi elemen dasar dalam kehidupan sosial yang
tidak akan pernah lepas dari masyakarat. Nilai-Nilai yang hidup di tengah

masyarakat ini menjadi akar hukum bagi bangsa-bangsa yang menerapkan hukum

modern.11 yang mulai dan sampai saat ini sudah mengenal masyarakat sebagai subjek

8
Bodenheimer, E. Jurisprudence: The Phiolosphy and Method of the Law (London: Harvard
University Press, 1947), h.114.
9
Morrison, W. Jurisprudence: from the Greek to Post-Modernism. (London: Routledge,
2005), h. 19.
10
Wirawan. I.B. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial
dan Perilaku Sosial (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 45
11
hardjo, S. Ilmu Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), h. 263
7

hukum untuk diterima dan diakui hak , keinginan, dan kepentingan mereka.12

Berdasarkan pemaparan penjelasan di atas, maka Inti dari Sociological

jurisprudence adalah studi yang memandang bahwa sistem, doktrin dan lembaga

hukum sebagai fenomena sosial yang dikritisi dan dikaji melalui kondisi, struktur,

perkembangan sosial melalui pendekatan multidisiplin ilmu. Bukan hanya itu,

sociological jurisprudence juga bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara

pemikiran hukum dan sosial secara langsung maupun tidak langsung.13 Pada
akhirnya, sociological jurisprudence menciptakan singkronisasi kepastian hukum

(hukum positif) dengan living law (hukum yang hidup di dalam masyarakat) sebagai

wujud pemenuhan akan kebutuhan masyarakat hukum dan penghargaan terhadap

pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum.14

Di Indonesia, filsafat hukum sosiologis telah diakomodasi dalam setiap proses

pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan- undangan sangat menaruh

perhatian dengan hukum yang hidup di masyarakat. Hendaknya setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan wajib memperhatikan landasan sosiologis sebagai

pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis

sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan

kebutuhan masyarakat dan negara.


12
Morrison, W. Jurisprudence: from the Greek to Post-Modernism. (London: Routledge,
2005), h. 19.
13
Zamboni, M. Thoughts on Sociological Jurisprudence: Juristic Thought and Social Inquiry
(Roger Cotterrell). Ratio Juris.Vol 32, No. 4, (2019): 497.
14
Fuadi, M. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum. (Jakarta: Kencana, 2013), h.
248.
8

C. Teori Living Law Pengertian dan Pelaksanaannya

Istilah the living law pertama kali dikemukakan oleh Eugen Ehrlich

sebagai lawan kata dari state law (hukum dibuat oleh negara/hukum positif).15

Bagi Eugen Ehrlich perkembangan hukum berpusat pada masyarakat itu sendiri,

bukan pada pembentukan hukum oleh negara, putusan hakim, ataupun pada

pengembangan ilmu hukum. Eugen Ehrlich ingin menyampaikan bahwa

masyarakat merupakan sumber utama hukum. Hukum tidak dapat dilepaskan dari

masyarakatnya. 16Dengan dasar tersebut, Eugen Ehrlich menyatakan bahwa hukum

yang hidup (the living law) adalah hukum yang mendominasi kehidupan itu

sendiri walaupun belum dimasukkan ke dalam proposisi hukum.17

Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa The living law merupakan

seperangkat ketentuan yang kelahirannya bersamaan dengan lahirnya masyarakat.

Hukum tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Hukum dibentuk oleh masyarakat,

dan hukum berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat. Karenanya, bagi

Eugen Ehrlich hukum negara (state law) bukan merupakan sesuatu yang

independen dari faktor-faktor kemasyarakatan. Hukum negara harus

memperhatikan the living law yang telah hidup dan tumbuh dalam kehidupan

masyarakat.

Eugen Ehrlich sebagai pemikir sociological jurisprudence dan bapak dari

15
Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of The Sociology of Law, Walter L. Moll trans.,
1936, h. 137.

16
Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of The Sociology of Law, Walter L. Moll trans.,
1936, h.9.

17
Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of The Sociology of Law, Walter L. Moll trans.,
1936, h. 493.
9

living law mengatakan bahwa keberlakuan hukum positif dapat berjalan secara

maksimal dan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat

”living law”18. Dan di Indonesia sendiri, hukum yang hidup di tengah masyarakat

“living law” telah menjadi hukum yang sebenarnya dan cenderung lebih ditaati

dengan baik oleh masyarakat Indonesia.19

Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan persetujuannya terhadap

pendapat dari Ehrlich di atas bahwa hukum positif karenanya akan sangat efektif

terhadap suatu masyarakat apabila hukum tersebut sesuai dan tidak bertentangan

dengan apa yang tercermin dalam nilai-nilai dalam suatu masyarakat tersebut (living

law).20 Begitupula dengan apa yang diusahakan oleh Roscoe Pound ketika

menguraikan tujuan dari Sociological jurisprudence yang salah satunya adalah

menciptakan aturan hukum yang efektif tanpa harus dengan paksaan, ancaman.

sanksi, dan menakut- nakuti.

Ada alasan-alasan yang rasional mengapa masyarakat Indonesia khususnya

akan mentaati hukum yang dibangun di atas living law tanpa harus menggunakan

paksaan. yang di antaranya adalah pertama, karena sudah menjadi kebiasaan. Kedua,

menghormati nilai-nila yang sudah ada dari nenek moyang (atau para pendiri

negara). Ketiga, nilai-nila tersebut akan menjadi pengingat bagi seseorang di setiap

18
Suliantoro, B.W. “Dinamika Arah Kepastian Hukum Di Tengah Transformasi Sosial-
Budaya Dalam Perspektif Pemikiran Mazhab Sociological Jurisprudence”. Jurnal Filsafat Vol 17, No.
1, (2017): 31.
19
Yuningsih, D. “The Essence Of Justice For The Living Law In The Alternative Dispute
Resolution Of Indonesia Legal System”. International Journal of Approximate Reasoning Vol 5, No.
3, (2017): 1930.
20
Wiranata, I.G.A.B. Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005), h.298.
10

kesempatan.21

D. Kegunaan Ketiga Teori ini dalam Legislasi Hukum Islam

Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu dari tujuan

budaya hukum. Peraturan hukum tidak lepas dari aturan nilai-nilai, keyakinan dan

moralitas sebagai ikatan sosial. Dalam buku The Concept of Law, L.A. Hart

mengatakan bahwa moral merupakan sumber dari hukum, dan isi dari Hukum pada
hakikatnya adalah kaidah moral. Ketika dia melanggar hukum, maka ia telah

melanggar kaidah moral. Walaupun demikian Hart mendefinisikan hukum itu

haruslah melalui proses legislasi raja atau penguasa.

Penataan kelembagaan (Legal Stucture) dan pembaharuan berbagai perangkat

perundang-undangan tidak akan dapat diharapkan berfungsi efektif apabila

kesadaran hukum dan budaya hukum tidak menunjang. Oleh karena itu, perlu

dikembangkan upaya-upaya pembinaan dan pembaharuan yang sistematis dan

terarah mengenai orientasi pemikiran, sikap tindak, dan kebiasaan berprilaku dalam

kehidupan masyarakat luas.22

Sikap menghormati hukum dan Orientasi berfikir dan bertindak yang selalu

didasarkan atas hukum masih harus dibina dan ditingkatkan menjadi kebiasaan hidup

rakyat Indonesia. Di tengah issue Hak Asasi Manusia yang selama ini menghantui

cara berfikir hampir semua orang, juga perlu didasari mengenai pentingnya dimensi

kewajiban dan tanggung jawab asasi manusia. hukum harus bersifat dinamis dan

21
Wiranata, I.G.A.B. Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005), h.12.
22
Jimly Ash Shiddiqie, Hukum Islam di antara Agenda Reformasi Hukum Nasional,
Makalah Diskusi tentang Eksistensi Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, Diselenggarakan oleh
BPHN-Dep Keh-HAM, Jakarta, 27 September 2000, h. 1
11

fleksibel, sebenarnya hukum dan keadilan justru terletak pada keseimbangan dinamis

dalam hubungan hak dan kewajiban yang tidak dilepaskan dari kepentingan para

subjek hukum dalam arti sempit atau kepentingan masyarakat pada arti luas.

Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaruan hukum

melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memerhatikan kenyataan yang

hidup dalam masyarakat. Jika ingin diadakan perubahan hukum, maka hal yang patut

diperhatikan dalam membuat undang-undang sehingga berlaku secara efektif di

dalam kehidupan masyarakat harus memperhatikan hukum yang hidup (living law)

dalam masyarakat tersebut. 23


Dari kontruksi ini, Ehrlich ingin membuktikan bahwa

pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau

ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri (the centre of gravity of legal

development it’s not in legislation nor in juristic, nor in judicial decision, but in

society).

Oleh karenanya, ketertiban dalam masyarakat itu didasarkan pada pengakuan

sosial terhadap hukum dan bukan karena penerapannya yang resmi oleh negara.

Mereka yang berperan mengembangkan hukum harus mempunyai hubungan yang

erat dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Harus ada chemistry antara

masyarakat dengan hukum yang akan dibuat oleh negara sehingga hukum yang

mempunyai chemistry tersebut secara sukarela akan ditaati oleh masyarakat. Dengan

demikian sangat mungkin terjadi adanya pluralisme hukum di Indonesia yaitu

terdapat suatu hukum negara tapi di sisi lain adanya hukum rakyat yang eksis berasal

dari adat, agama, atau kebiasaan-kebiasaan.

23
Abdul.Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), h .19.
12

4. Kesimpulan

Hal yang patut diperhatikan dalam membuat undang-undang sehingga berlaku

secara efektif di dalam kehidupan masyarakat yaitu harus memperhatikan hukum

yang hidup (living law) dalam masyarakat tersebut.

Penataan kelembagaan (Legal Stucture) dan pembaharuan berbagai perangkat

perundang-undangan tidak akan dapat diharapkan berfungsi efektif apabila

kesadaran hukum dan budaya hukum tidak menunjang. Oleh karena itu, perlu

dikembangkan upaya-upaya pembinaan dan pembaharuan yang sistematis dan terarah

mengenai orientasi pemikiran, sikap tindak, dan kebiasaan berprilaku dalam

kehidupan masyarakat luas.

5. Referensi

Bodenheimer, E. Jurisprudence: The Phiolosphy and Method of the Law.London:

Harvard University Press, 1947.

Cotterrell, Přibáň, J. Roger. Sociological Jurisprudence: Juristic Thought and Social

Inquiry. Journal of Law and Society

Ehrlich, Eugen.Fundamental Principles of The Sociology of Law.Walter L. Moll


trans., 1936.

Hardjo, S. Ilmu Hukum.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012.

M. Fuadi,.Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum. Jakarta: Kencana, 2013.

Manan, Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana, 2006.

Mansoer, Moh. Tolchah. Hukum, Negara, Masyarakat, Hak-Hak Asasi Manusia dan

Islam. Bandung: Alumni.

Mertokusumo, Sudikno. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat. Yogyakarta:

cet.ke-1; Liberty, 1981..


13

Ash Shiddiqie Jimly, Hukum Islam di antara Agenda Reformasi Hukum Nasional,

Makalah Diskusi tentang Eksistensi Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional,

Diselenggarakan oleh BPHN-Dep Keh-HAM. Jakarta, 27 September 2000.

B.W. Suliantoro. “Dinamika Arah Kepastian Hukum Di Tengah Transformasi Sosial-

Budaya Dalam Perspektif Pemikiran Mazhab Sociological Jurisprudence”.

Jurnal Filsafat Vol 17, No. 1, (2017):

Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat.

Jakarta: CV. Rajawali, 1987.

Soekanto,Soerjono. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: cet. ke-1.

CV. Rajawali, 1982.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Cet. I; Yogyakarta: Liberty, 1986.

Syahrani, Ridwan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Jakarta, Pustaka Kartini:1991.

Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia,. T.Tp: Gita Media Press, t.th.

W. Morrison. Jurisprudence: from the Greek to Post-Modernism. London:

Routledge, 2005.

Wiranata, I.G.A.B. Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Wirawan. I.B. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi

Sosial dan Perilaku Sosial. J akarta:Kencana, 2012.

Yuningsih, D. “The Essence Of Justice For The Living Law In The Alternative

Dispute Resolution Of Indonesia Legal System”. International Journal of

Approximate Reasoning Vol 5, No. 3, (2017)

Zamboni, M. Thoughts on Sociological Jurisprudence: Juristic Thought and Social

Inquiry (Roger Cotterrell). Ratio Juris.Vol 32, No. 4, (2019): 497.


14

Anda mungkin juga menyukai