Institut Agama Islam Negeri Bone, Jl. Hos Cokroaminoto, Watampone, Indonesia
ABSTRACT
1. Pendahuluan
seorang dengan yang lain Ada yang sederhana , ada yang rumit. Bahkan kebebasan
kepentingan dan keperluan yang lain. Kalau semua manusia mempunyai kepentingan
dan keperluan, sedangkan objek dari kepentingan dan keperluan itu sama, jelaslah
objek itu menjadi perebutan antara sesama manusia. Bahkan kadangkadang manusia
menjadikan manusia yang lain sebagai objek atau dalam hal lain sebagai sarana
1
Moh. Tolchah Mansoer, Hukum, Negara, Masyarakat, Hak-Hak Asasi Manusia dan Islam,
(Bandung: Alumni, 1979), h. 18.
1
2
kejadian, sebagai suatu gejala yang satu, lambat laun ia diterima berkali-kali dan
akhirnya merupakan suatu nilai yang tertentu, yang didukung oleh semua
anggota masyarakat, dan selanjutnya nilai-nilai yang menjadi landasan dan ukuran
bagi setiap tindakan lebih lanjut dari setiap anggota masyarakat, baik itu tertulis
maupun tidak tertulis, dan kelak, iapun akan mengalami perkembangan yang serupa.
Dengan kata lain nilai-nilai itu merupakan hukum, jadi hukum merupakan
suatu alat untuk tercapainya seluruh kepentingan manusia. Hukum sendiri bukanlah
yang mengatur tingkah laku manusia dan juga sebagai pengukur bagi tingkah laku
manusia dalam hidup bermasyarakat. Jadi hukum diperlukan oleh manusia karena:
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka jelas bahwa salah satu orientasi hukum
adalah menciptakan keadilan yang dapat dielaborasi lebih jauh terutama dari dimensi
diambil oleh orang yang tidak mengerti akan nilai –nlai sosial yang ada dalam
masyarakat tersebut.
2
3
2. Metode Penelitian
teori living law. Objek studi dalam kajian ini adalah teori-teori memahami eksistensi
hukum islam serta upaya legislasi hukum islam di bidang hukum keluarga melayu
Pelaksanaannya
bahwa perilaku tertentu diatur oleh hukum, sehingga ada kecenderungan untuk
yang tidak dilakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain.3 Menurut Soerjono
Soekanto, kesadaran hukum adalah kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam
diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.4
Kesadaran hukum tersebut merupakan proses psikis yang terdapat dalam diri
2
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (T.Tp: Gita Media Press, t.th), h. 667.
3
Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, (Yogyakarta:
Liberty, 1981), cet.ke-1, h. 3.
4
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali,
1982), cet. ke-1, h. 152.
3
4
manusia yang mungkin timbul dan mungkin pula tidak timbul. Akan tetapi tentang
asas kesadaran hukum itu terdapat pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia
dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkret dalam
hukum itu sendiri, menjamin kepastian hukum dan keadilan. Pada masyarakat
senantiasa terdapat perbedaan antara pola perilaku masyarakat dengan pola perilaku
dengan ketaatan hukum. Semakin tinggi kesadaran hukum seseorang, makin tinggi
juga ketaatan hukumnya. Sebaliknya kesadaran hukum yang rendah cenderung pada
dideritanya. Tinggi atau rendahnya kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari
beberapa indikator yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan
perilaku hukum.5
5
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1987), cet. ke-2, h. 229.
4
5
hukum. Hal ini disebabkan karena kesadaran hukum merupakan suatu penilaian
terhadap hukum yang ada dan hukum yang dikehendaki yang seharusnya ada.6 Selain
itu, kesadaran hukum dapat pula merupakan variabel yang terletak antara hukum
dengan perilaku manusia nyata. Walaupun perilaku yang nyata tersebut terwujud
dalam kepatuhan hukum tersebut telah mendapat dukungan sosial.
Ilmu filsafat sosiologis hukum atau yang dalam Bahasa Inggris disebut
yang seabad lalu muncul dan mulai dianut oleh masyarakat modern yang
hukum yang fokus utamanya adalah menganalisis tentang pengaruh kausalitas antara
hukum dan masyarakat. Sehingga hukum yang hakiki itu adalah hukum yang sesuai
dengan nilai-nilai yang melekat pada masyarakat, dan jika hukum ingin diterima dan
ditaati, maka hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah
understood apart from the social norms of the 'living law.'”. “At the present as well
6
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1987), cet. ke-2, h207.
7
Priban, J. Roger Cotterrell: Sociological Jurisprudence: Juristic Thought and Social Inquiry.
Journal of Law and Society Vol 45 No. 2, (2018): h.337.
6
as at any other time, the center of gravity of legal development lies not in legislation,
Pendapat Ehrlich di atas menjadi konsep awal yang paling mendasar dalam
seperti Friedrich Carl von Savigny (1804–1961), Roscoe Pound (1870–1964), Hans
Para tokoh di atas juga telah berperan besar dalam mendefinisikan apa itu
hukum Pound berpandangan bahwa hukum secara filosofis sosiologis dapat diartikan
Kepuasan masyarakat ini bisa diraih dengan melihat dari nilai-nilai tercipta dari
norma-norma yang sudah ada dan turun temurun hidup dalam masyarakat.10 Nilai-
nilai tersebut yang kemudian menjadi elemen dasar dalam kehidupan sosial yang
tidak akan pernah lepas dari masyakarat. Nilai-Nilai yang hidup di tengah
masyarakat ini menjadi akar hukum bagi bangsa-bangsa yang menerapkan hukum
modern.11 yang mulai dan sampai saat ini sudah mengenal masyarakat sebagai subjek
8
Bodenheimer, E. Jurisprudence: The Phiolosphy and Method of the Law (London: Harvard
University Press, 1947), h.114.
9
Morrison, W. Jurisprudence: from the Greek to Post-Modernism. (London: Routledge,
2005), h. 19.
10
Wirawan. I.B. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial
dan Perilaku Sosial (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 45
11
hardjo, S. Ilmu Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), h. 263
7
hukum untuk diterima dan diakui hak , keinginan, dan kepentingan mereka.12
jurisprudence adalah studi yang memandang bahwa sistem, doktrin dan lembaga
hukum sebagai fenomena sosial yang dikritisi dan dikaji melalui kondisi, struktur,
pemikiran hukum dan sosial secara langsung maupun tidak langsung.13 Pada
akhirnya, sociological jurisprudence menciptakan singkronisasi kepastian hukum
(hukum positif) dengan living law (hukum yang hidup di dalam masyarakat) sebagai
Istilah the living law pertama kali dikemukakan oleh Eugen Ehrlich
sebagai lawan kata dari state law (hukum dibuat oleh negara/hukum positif).15
Bagi Eugen Ehrlich perkembangan hukum berpusat pada masyarakat itu sendiri,
bukan pada pembentukan hukum oleh negara, putusan hakim, ataupun pada
masyarakat merupakan sumber utama hukum. Hukum tidak dapat dilepaskan dari
yang hidup (the living law) adalah hukum yang mendominasi kehidupan itu
Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa The living law merupakan
Hukum tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Hukum dibentuk oleh masyarakat,
Eugen Ehrlich hukum negara (state law) bukan merupakan sesuatu yang
memperhatikan the living law yang telah hidup dan tumbuh dalam kehidupan
masyarakat.
15
Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of The Sociology of Law, Walter L. Moll trans.,
1936, h. 137.
16
Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of The Sociology of Law, Walter L. Moll trans.,
1936, h.9.
17
Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of The Sociology of Law, Walter L. Moll trans.,
1936, h. 493.
9
living law mengatakan bahwa keberlakuan hukum positif dapat berjalan secara
maksimal dan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat
”living law”18. Dan di Indonesia sendiri, hukum yang hidup di tengah masyarakat
“living law” telah menjadi hukum yang sebenarnya dan cenderung lebih ditaati
pendapat dari Ehrlich di atas bahwa hukum positif karenanya akan sangat efektif
terhadap suatu masyarakat apabila hukum tersebut sesuai dan tidak bertentangan
dengan apa yang tercermin dalam nilai-nilai dalam suatu masyarakat tersebut (living
law).20 Begitupula dengan apa yang diusahakan oleh Roscoe Pound ketika
menciptakan aturan hukum yang efektif tanpa harus dengan paksaan, ancaman.
akan mentaati hukum yang dibangun di atas living law tanpa harus menggunakan
paksaan. yang di antaranya adalah pertama, karena sudah menjadi kebiasaan. Kedua,
menghormati nilai-nila yang sudah ada dari nenek moyang (atau para pendiri
negara). Ketiga, nilai-nila tersebut akan menjadi pengingat bagi seseorang di setiap
18
Suliantoro, B.W. “Dinamika Arah Kepastian Hukum Di Tengah Transformasi Sosial-
Budaya Dalam Perspektif Pemikiran Mazhab Sociological Jurisprudence”. Jurnal Filsafat Vol 17, No.
1, (2017): 31.
19
Yuningsih, D. “The Essence Of Justice For The Living Law In The Alternative Dispute
Resolution Of Indonesia Legal System”. International Journal of Approximate Reasoning Vol 5, No.
3, (2017): 1930.
20
Wiranata, I.G.A.B. Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005), h.298.
10
kesempatan.21
budaya hukum. Peraturan hukum tidak lepas dari aturan nilai-nilai, keyakinan dan
moralitas sebagai ikatan sosial. Dalam buku The Concept of Law, L.A. Hart
mengatakan bahwa moral merupakan sumber dari hukum, dan isi dari Hukum pada
hakikatnya adalah kaidah moral. Ketika dia melanggar hukum, maka ia telah
kesadaran hukum dan budaya hukum tidak menunjang. Oleh karena itu, perlu
terarah mengenai orientasi pemikiran, sikap tindak, dan kebiasaan berprilaku dalam
Sikap menghormati hukum dan Orientasi berfikir dan bertindak yang selalu
didasarkan atas hukum masih harus dibina dan ditingkatkan menjadi kebiasaan hidup
rakyat Indonesia. Di tengah issue Hak Asasi Manusia yang selama ini menghantui
cara berfikir hampir semua orang, juga perlu didasari mengenai pentingnya dimensi
kewajiban dan tanggung jawab asasi manusia. hukum harus bersifat dinamis dan
21
Wiranata, I.G.A.B. Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005), h.12.
22
Jimly Ash Shiddiqie, Hukum Islam di antara Agenda Reformasi Hukum Nasional,
Makalah Diskusi tentang Eksistensi Islam Dalam Reformasi Sistem Nasional, Diselenggarakan oleh
BPHN-Dep Keh-HAM, Jakarta, 27 September 2000, h. 1
11
fleksibel, sebenarnya hukum dan keadilan justru terletak pada keseimbangan dinamis
dalam hubungan hak dan kewajiban yang tidak dilepaskan dari kepentingan para
subjek hukum dalam arti sempit atau kepentingan masyarakat pada arti luas.
hidup dalam masyarakat. Jika ingin diadakan perubahan hukum, maka hal yang patut
dalam kehidupan masyarakat harus memperhatikan hukum yang hidup (living law)
pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau
ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri (the centre of gravity of legal
development it’s not in legislation nor in juristic, nor in judicial decision, but in
society).
sosial terhadap hukum dan bukan karena penerapannya yang resmi oleh negara.
erat dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Harus ada chemistry antara
masyarakat dengan hukum yang akan dibuat oleh negara sehingga hukum yang
mempunyai chemistry tersebut secara sukarela akan ditaati oleh masyarakat. Dengan
terdapat suatu hukum negara tapi di sisi lain adanya hukum rakyat yang eksis berasal
23
Abdul.Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), h .19.
12
4. Kesimpulan
kesadaran hukum dan budaya hukum tidak menunjang. Oleh karena itu, perlu
5. Referensi
Mansoer, Moh. Tolchah. Hukum, Negara, Masyarakat, Hak-Hak Asasi Manusia dan
Ash Shiddiqie Jimly, Hukum Islam di antara Agenda Reformasi Hukum Nasional,
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia,. T.Tp: Gita Media Press, t.th.
Routledge, 2005.
Wirawan. I.B. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi
Yuningsih, D. “The Essence Of Justice For The Living Law In The Alternative