Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian


Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Konsekuensi dari sebuah Negara
hukum adalah seluruh aktivitas masyarakat tanpa terkecuali tidak
boleh atau bertentangan dengan norma-norma hukum yang
berlaku dan setiap tindakan yang melanggar hukum akan
dikenakan sanksi sesuai ketentuan hukum.
Tindak pidana yang sering terjadi di lingkungan masyarakat
adalah tindak pidana pembunuhan. Perilaku pembunuhan,
terutama pembunuhan yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum,
adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (a crime against
humanity). Terlepas dari pembicaraan tentang takdir,
pembunuhan merupakan perilaku yang sadis, kejam dan tidak
berperikemanusiaan. Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh
tindak pidana pembunuhan adalah hilangnya nyawa korban.
Padahal, nyawa adalah sesuatu milik yang paling berharga bagi
setiap orang, memupus eksistensi kehidupan korban. Dampak
lainnya adalah hilangnya sumber penghasilan keluarga korban.
Hal ini bila korban adalah tulang punggung utama ekonomi
keluarganya. Maka kematian korban jelas sangat besar
dampaknya secara ekonomis bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Pembunuhan merupakan fitur pervasif (mudah menyebar)
dalam masyarakat dan bisa mengenai individu atau anggota
kelompok sosial manapun sehingga fitur ini menimbulkan stress
di banyak wilayah kehidupan publik. Oleh sebab itu penanganan

1
2

yang tepat bagi pelaku akan menimbulkan rasa aman serta


pembelajaran yang baik bagi masyarakat. Hukum Pidana
mempunyai tujuan umum, yaitu menyelenggarakan tertib
masyarakat, kemudian tujuan khususnya yaitu untuk
menanggulangi kejahatan maupun mencegah terjadinya
kejelahatan dengan cara memberikan sanksi yang sifatnya keras
dan tajam sebagai perlindungan terhadap kepentingan-
kepentingan hukum yaitu orang (martabat, jiwa, tubuh, dan lain
sebagainya), masyarakat dan Negara.
Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia diatur
mengenai tindak pidana pembunuhan berencana. Dalam Undang-
Undang tersebut dijelaskan bahwa salah satu hukuman kejahatan
tindak pidana pembunuhan secara sengaja/berencana
dikenanakan sanksi pidana hukuman mati. Pembunuhan
berencana terjadi sebab faktor yang berbeda-beda. Mulai dari
masalah ekonomi hingga cemburu buta, perasaan dendam, tidak
senang, iri hati dan lain sebagainya. Masalah-masalah yang
menyangkut pembunuhan tersebut cukup sering terjadi di
masyarakat. Meningkatnya kasus pembunuhan berencana ini
kebanyakan dipengaruhi oleh faktor pergaulan maupun
lingkungan keluarga karena kasus-kasus yang sering terjadi
korbannya adalah dari keluarga ataupun kerabat dekatnya
sendiri. Karenanya adalah wajar bila masyarakat melalui norma
hukum postifnya melindungi nyawa setiap warganya dari segala
upaya pelanggaran oleh orang lain dengan memberi ancaman
hukuman yang sangat berat kepada pelaku pembunuhan.
Proses perkembangan pidana mati dari abad ke abad sampai
pada jaman modern saat sekarang ini dapat dianggap sebagai
salah satu indikasi atau ukuran mengenai arah kemajuan
dari perkembangan kehidupan budaya manusia dari tahun ke
tahunnya. Pelaksanaan hukuman mati sangatlah bervariasi
3

tergantung pada masyarakat atau negaranya, tradisi, tingkat


kepercayaan, tingkat kebudayaan, dan lain sebagainya.1
Perkembangan pemidanaan hukuman mati di Indonesia tentu
tidak terlepas dari nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang
di tengah masyarakat, mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diselaraskan dengan pola pandangan kebijakan
hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini penulis memiliki pandangan bahwasannya
pidana hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan berencana sangat baik untuk diberlakukan, karena
bertujuan untuk ancaman dan pelajaran bagi masyarakat pada
umumnya, dimana hal tersebut membuat seseorang merasa takut
dan menahan diri untuk melakukan kejahatan.
Dari pembahasan diatas maka penulis tertarik untuk
mengambil judul skripsi tentang “PELAKSANAAN HUKUMAN
MATI PADA PASAL 340 KUHP DIHUBUNGKAN DENGAN
PRINSIP KEADILAN”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang penulisan, penulis
mengidentifikasikan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1. Apakah pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku tindak
pidana pembunuhan berencana sudah tepat diberlakukan
sesuai hukum pidana di Indonesia ?
2. Bagaimana proses pemberian grasi atau pengampunan
terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan berencana ?

C. Kerangka Pemikiran
1
Jacob Elfinus Sahetapy dalam Todung Mulya Lubis & Alexander Lay. Kontroversi Hukuman
Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: Kompas, 2009, hlm. 220.
4

Dalam melakukan pembahasan dan menganalisa


permasalahan yang diangkat oleh penulis, maka penulis
menggunakan beberapa teori untuk mendukung pendapat penulis
dalam membahas pidana mati terhadap pelaku pembunuhan
berencana. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis
menggunakan teori hukum sebagai grand theory, serta penulis
menggunakan teori keadilan sebagai middle theory, dan penulis
menggunakan teori pemidanaan sebagai applied theory.

1. Teori Hukum

Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem


aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan
demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal
(rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu
kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.
Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika
hanya memperhatikan satu aturan saja.2

Setiap saat hidup kita dikuasai oleh hukum. Hukum


mencampuri urusan manusia sebelum ia lahir dan masih
mencampurinya sesudah ia meninggal. Hukum melindungi
benih di kandungan ibu dan masih menjaga jenazah orang
yang telah mati. Sejak lahir, manusia merupakan pendukung
hak. Segala benda yang mengelilingi kita merupakan obyek
hak. Ikatan hukum yang jumlahnya tak terhinga,
menghubungkan manusia satu sama lain dan dengan dunia
jasmani yang mengelilinginya.3 Hukum itu gejala
kemasyarakatan, gejala sosial. Jadi : agar ada hukum, maka

2
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kensel Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal
& Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 13.
3
Van Aveldoorn L J., Pengantar Ilmu Hukum, Pradina Paramita, Jakarta, 2011, hlm. 16.
5

perlu ada masyarakat orang. Bilamana tiada masyarakat


orang, maka tentu tiada hukum. 4 Fungsi dari setiap tatanan
sosial adalah untuk mewujudkan tindakan timbal balik dalam
masyarakat, untuk membuat orang tidak melakukan tindakan
yang mengganggu masyarakat, dan untuk melakukan sesuatu
yang bermanfaat bagi masyarakat.5

Oleh karena itu, hukum berperan penting dalam


mengatur tatanan hidup manusia. Dan dalam
mewujudkan hukum tersebut, diperlukan upaya-upaya
dalam penegakannya. Penegakan hukum tersebut baik
dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil
yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap
perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang
bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum
yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-
undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma
hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.6
Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem
sosial. Fungsi sistem hukum sosial ini adalah untuk
mengintegrasikan kepentingan anggota masyarakat,
sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib. Hal ini
mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah untuk
mencapai keadilan, yaitu keserasian antara nilai
kepentingan hukum (rechtszekerheid).7
2. Teori Keadilan

John Rawls menyebutkan bahwa setiap orang dapat


memiliki konsep keadilan yang berbeda dengan konsep orang
lain. Dalam keadaan-keadaan tertentu, orang-orang yang
memiliki konsep keadilan yang berbeda bisa saja sepakat
untuk memberikan penilaian tentang adil tidaknya suatu

4
Utrecht. E. & Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan,
Jakarta, 1983, hlm. 1.
5
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Op. cit, hlm. 23.
6
Arifin Firdaus, Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat, Logos Publishing, Bandung,
2020, hlm. 13.
7
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 6.
6

tindakan.8 Misalnya, apabila pemerintah menerapkan


pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan berencana secara menyeluruh terhadap siapa
saja tanpa membeda-bedakan kelompok tertentu. Pada saat
itu, seluruh unsur-unsur masyarakat, setuju memberikan
penilaian “adil” bagi pemerintah. Pandangan setuju/sepakat
dari unsur masyarakat yang berbeda-beda (misalnya,
kelompok berlandaskan agama, budaya pengusaha, lainnya)
dan memiliki latar belakang masing-masing, kesepakatan
itulah dapat terjadi karena konsep “keadilan”, yang mana
menjadi konsep yang terbuka, manusia menggunakan
akalnya dalam penafsiran.

Satu hal yang membuat jelas adalah bahwa keadilan,


sebagai konsep moral yang mendasar, dapat
didefinisikan dalam konteks yang melibatkan kesadaran,
rutinitas, dan pengertian moral. Keadilan adalah suatu
masalah di mana tidak hanya terdapat unsur kesadaran
tetapi juga suatu aktivitas yang mempunyai tujuan. 9.
Aktivitas tersebut bisa merupakan penjatuhan hukuman
mati terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan berencana.
Penjatuhan hukuman mati diberlakukan untuk ancaman dan
pelajaran bagi masyarakat pada umumnya. Selain itu,
penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku merupakan
bentuk keadilan, yang mana kejahatan tersebut terhadap
jiwa/menghilangkan nyawa seseorang dan dilakukan secara
sengaja, hal ini tercantum dalam Pasal 340 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Berbeda dengan tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan secara tidak sengaja, hukuman
yang dijatuhkan terhadap pelaku pun bukan pidana

8
Purba Jonlar, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Bermotif Ringan dengan
Restorative Justice, Jala Permata Aksara, Bekasi, 2017, hlm. 47.
9
Ibid, hal. 48.
7

hukuman mati, hal tersebut tercantum dalam Pasal 338 Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana. Keadilan bukan merupakan
tujuan hukum. Karena hukum harus dapat mewujudkan
keadilan atau dengan kata lain, konkretisasi keadilan
dilakukan melalui hukum. Dengan demikian, pemahaman
mengenai keadilan secara konkret dapat dilihat dari
pemahaman terhadap hukum.10

Makna keadilan menurut Artidjo, sangat luas


jangkauannya. Baginya, di dunia ini tidak ada keadilan
yang hakiki karena ada kecenderungan manusia
memenuhi keinginan (hawa nafsu) atas manusia lain.
Hanya di akhirat kelak, Allah SWT akan memberi
muqsith (adil) yang hakiki. Yang dapat dicapai untuk itu
hanya parameter dalam penegakkan hukum yang
bersumber pada kebenaran, lalu kemudian keadilan.
Kebenaran itu ada dalam pikir (logika), sedangkan
keadilan itu ada dalam dzikir, di dalam perasaan batin
(hati/keyakinan).11
Setiap manusia, memiliki nilai-nilai keadilan yang
melekat dan merupakan hasil olah spiritual dan jiwanya.
Bagi hakim sebagai penegak hukum, keadilan yang
bersifat spiritual diwujudkan melalui hukum yang
berfungsi sebagai alat, sebagai cara dan keluaran (output)
dalam suatu sengketa hukum. Keadilan yang
dimaksudkan dalam tulisan ini adalah interaksi antara
Teori Keadilan dan Hukum, bagaimana keduanya saling
mempengaruhi, terkait satu dengan lainnya.12
3. Teori Pemidanaan

Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri,


berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu
teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian),
teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori
perlindungan sosial (social defence). Teori-teori pemidanaan
10
Ibid, hlm. 49.
11
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b18b342b8e34/keadilan-dalam-perspektif-
artidjo/, diakses pada hari kamis, 28 Oktober 2021, pukul 20.00 WIB.
12
Purba Jonlar, Op.cit hlm. 47.
8

mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak


dicapai di dalam penjatuhan pidana.13 Dalam hal ini penulis
mengambil Teori absolut (teori retributif) dan Teori relatif/
pencegahan (deterrence) yang mendukung penelitian
hukuman terhadap tindak pidana pembunuhan berencana.

a. Teori absolut (teori retributif)


Memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan
atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi
pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri.
Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima
sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar
hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena
kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang
lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus
diberi penderitaan.14
Nigel Walker juga menjelaskan bahwa teori
retributive murni (The Pure Retributivist)
memandang penghukuman pidana bertujuan
“untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara
apa yang disebut The Gravity Of The Offence dengan
pidana yang dijatuhkan.” Maksudnya, pidana yang
dijatuhkan sebanding (proporsinya sama dengan
berat kesalahan). Dasar tujuan pemidanaan ini
disebut proportionality.15

b. Teori relatif (deterrence)


Teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai
sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk
melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari
teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana
13
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT. Rafika Aditama,
Bandung, 2009. hlm. 22.
14
Marpaung Leden, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.
105.
15
Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Kencana, Jakarta, 2018,
hlm. 4.
9

pencegahan, yaitu pencegahan umum yang


ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini,
hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan
maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai
akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan
hukuman adalah untuk mencegah (prevensi)
kejahatan.16

Pelaksanaan hukuman mati apabila ditinjau dari


Agama maupun Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 tidak ada aturan yang
melarangnya satupun, adapun Pasal 28i UUD 1945 yang
berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, dipertegas oleh
Pasal 28j ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”.
Jadi makna Pasal 28 UUD 1945, yakni bahwa Hak
Asasi Manusia dijamin oleh Negara, tetapi dalam
penerapan hukuman mati atas tindak kejahatan
terhadap nyawa pun dapat diberlakukan, karena Hak
Asasi Manusia tersebut dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan yang telah ditetapkan. Sedangkan
aturan hukuman mati atas tindak pidana pembunuhan
berencana tercantum dalam Pasal 340 KUHP dan UU No.
2/PNPS/1964 tentang Pelaksanaan Eksekusi Mati.
16
Ibid, hlm. 106.
10

Menurut Sahetapy, tujuan pemidanaan dibedakan


secara makro-sosio-kriminologi bertalian dengan
masyarakat, dan secara mikro-sosio-kriminologi dengan
terpidana, lingkungannya, para korban, dan
sebagainya.17 Dengan demikian, dalam penjatuhan
pidana harus dilakukan dengan seadil-adilnya
berdasarkan nilai yang terkandung dalam pancasila,
karena berkaitan dengan garis hidup seseorang dan
kepentingan negara dalam mewujudkan ketertiban
hukum ditengah masyarakat.

D. Maksud Dan Tujuan Penelitian


Adapun yang menjadi tujuan peneliti dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji pelaksanaan hukuman mati
terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan berencana
sesuai hukum pidana di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji proses pemberian grasi atau
pengampunan terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan
berencana.

E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis
maupun praktis yaitu :
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
wawasan guna pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
ilmu hukum lainnya, khususnya Hukum Pidana tentang

17
Gunawan, Op.cit, hlm. 71.
11

hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan


berencana yang terdapat dalam Pasal 340 KUHPidana. Dan
tinjauan yuridis pemberian grasi atau pengampunan
terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan berencana.

2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
wawasan bagi pemerintah, kalangan praktisi hukum,
akademisi, mahasiswa dan juga masyarakat pada umumnya.

F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah metode pendekatan yuridis normatif. Dalam metode
ini penulis menggunakan bahan kepustakaan serta peraturan
perundang-undangan dalam analisa terkait pelaksanaan
hukuman mati terhadap tindak pidana pelaku pembunuhan
berencana.
2. Sifat Penelitian
Adapun penelitian ini bersifat penelitian deskriptif analisis,
penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan
untuk melukiskan tentang sesuatu hal didaerah tertentu dan
pada saat tertentu.18 (menggambarkan) dan tidak bermaksud
menguji hipotesis.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data penelitian, penulis melakukan
pengamatan melalui data sekunder, yaitu data yang diperoleh
dari studi kepustakaan melalui beberapa literatur seperti
buku-buku, dokumen-dokumen, peraturan perundang-

18
Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, 2008, hlm. 8.
12

undangan dan bahan lainnya yang berhubungan dengan


skripsi ini serta informasi lain yang digunakan sebagai acuan
dalam pengumpulan dan mendapatkan data.
4. Analisis Data
Sehubungan dengan pendekatan yuridis normatif, maka
teknik pengumpulan data yang diperoleh dari bahan hukum
primer, seperti peraturan perundang–undangan. Dan bahan
hukum sekunder berupa buku, jurnal, hasil penelitian,
ensiklopedia, kamus hukum dan lain–lain serta bahan
hukum tertier yaitu bahan dari internet.
Data dianalisa secara yuridis kualitatif. Analisa yuridis
kualitatif di sini adalah analisis yang tidak mendasarkan
kepada penggunaan statistik, atau tabel kuantitatif. Tetapi
melalui pemaparan dan uraian berdasarkan kaidah–kaidah
silogisme hukum, interpretasi dan dan kontruksi hukum yang
berlaku. Selanjutnya data yang diperoleh dimasukan kedalam
kesimpulan dan sajian dalam bentuk uraian-uraian kalimat
yang sistematis.

Anda mungkin juga menyukai