BERMASYARAKAT
Disusun oleh:
Nama : Apriansyah, ST
NIM : 91222022
PENDAHULUA
Secara etimologis, Sosiologi berasal dari kata latin, Socius yang berarti
kawan dan kata Yunani Logos yang berarti kata atau yang berbicara. Jadi
Sosiologi adalah berbicara mengenai masyarakat. Menurut Comte, Sosiologi
merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umun yang merupakan hasil akhir
dari perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Sosiologi didasarkan pada
kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuna sebelumnya. Pitirim Sorokim
menyatakan bahwa Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan
pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (gejala ekonomi
dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi) dengan gejala
lainnya (nonsosial). Pada prinsipnya, sosiologi hukum (Sosiology of Law)
merupakan derivatif atau cabang dari ilmu sosiologi, bukan cabang dari ilmu
hukum. Memang, ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat
yang merupakan cabang dari ilmu hukum, tetapi tidak disebut sebagai sosiologi
hukum, melainkan disebut sebagai sociological jurispudence.
PEMBAHASAN
Hukum merupakan salah satu sarana perubahan sosial yang ada di dalam
masyarakat. Karena, terdapat suatu hubungan interaksi antara sektor hukum dan
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dapat dikatakan hukum sebagai
perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban keteraturan di dalam
masyarakat maka antara hokum dengan manusia tidak dapat di-
pisahkan maka hukum adalah bagian hidup dari manusia dan hukum harus
dicintai oleh setiap orang dan ditaati oleh setiap orang. Fungsi hukum sebagai
alat kontrol sosial dapat berjalan dengan baik bila terdapat hal-hal yang
mendukungnya. Pelaksanaan fungsi ini sangat berkait dengan materi hukum
yang baik dan jelas. Selain itu, pihak pelaksana sangat menentukan pula. Orang
yang akan melaksanakan hukum ini tidak kalah peranannya. Suatu aturan atau
hukum yang sudah memenuhi harapan suatu masyarakat serta mendapat
dukungan, belum tentu dapat berjalan dengan baik bila tidak didukung oleh
aparat pelaksana yang kimit terhadap pelaksanaan hukum. Hal yang terakhir
inilah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Aparat sepertinya
dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur lain yang sepatutnya tidak menjadi faktor
penentu, seperti kekuasaan, materi dan pamrih serta kolusi. Citra penegak hukum
masih rawan. Memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka
hukum merupakan salah satu alat pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab
masih saja diakui keberadaan pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan,
kesusilaan). Kontrol sosial merupakan aspek normatif kehidupan sosial. Hal itu
bahkan dapat dinyatakan sebagai pemberi defenisi tingkah laku yang
menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai larangan,
tuntutan, dan pemberian ganti rugi.
Hukum sebagai social engginering berkaitan dengan fungsi dan
keberadaan hukum sebagai penggerak dan pengatur perubahan masyarakat,
maka interpretasi analogi, Pound selanjutnya mengemukakan bahwa yang
dimaksud hak itu adalah kepentingan atau tuntutan yang diakui, diharuskan, dan
dibolehkan secara hukum, sehingga tercapai suatu keseimbangan dan
terwujudnya ketertiban umum (Ali, 2006). Prinsipnya, kaidah dan paradigma
hukum sebagai tool of soscial enggeneering mempunyai peranan penting
terutama dalam perubahan yang dikehendaki atau direncanakan (intended change
atau planed change). Melalui perubahan yang direncanakan dan dikehendaki
tersebut diperuntukkan sebagai perubahan yang dikehendaki dan direncanakan
oleh warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor. Masyarakat yang
kompleks di mana birokrasi memegang perana penting dalam tindakan sosial,
mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini, maka
hukum dapat menjadi alat ampuh untuk mengadakan perubahan sosial, walaupun
secara tidak langsung (Soekanto, 2009). Dengan demikian, hukum sebagai alat
kontrol sosial memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat
menetapkan tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai
sesuatu yang menyimpang terhadap aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum
dapat memberikan sangsi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu,
hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya (Ali, 1996).
Ini sekaligus berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat secara
benar menurut aturan sehingga ketentraman terwujud. Ketaatan masyarakat
terhadap hukum akan sangat berpengaruh untuk keberlakuan hukum.
Keberlakuan hukum itu sendiri disebabkan dua hal. Pertama, orang mentaati
hukum dikarenakan terpaksa karena takut dijatuhi sanksi. Keberlakuan yang
demikian disebut keberlakuan secara normatif. Kedua, orang mentaati hukum
dikarenakan menyadari akan manfaat hukum. Keberlakuan yang demikian
disebut keberlakuan hukum secara sosiologis. Keberlakuan hukum secara
sosiologis sangat dipengaruhi oleh kesadaran hukum masyarakat, sedangkan
kesadaran hukum masyarakat dipengaruhi oleh pemahaman akan hukum, dan
pemahaman hukum dipengaruhi oleh pengetahuan hukum. Sementara
dalamtradisi hukum Indonesia yang cenderung mengutamakan hukum tertulis
dari pada hukum kebiasaan seperti layaknya penganut tradisi hukum civil law
pada umumnya yang menganggap setiap orang tahu hukum sangat mustahil
adanya, mengingat tidak semua hukum tertulis (peraturan perundang-undangan)
yang dibuat berasal dari kenyataan masyarakat. Justru sebaliknya peraturan
perundang- undangan dibuat tidak lebih dari kehendak para elit. Belum lagi
keterbatasan kemampuan dalam mensosialisasikan peraturan yang ada. Oleh
karena itu, tidak adil jika setiap orang dianggap tahu hukum. Dengan demikian,
hukum yang baik adalah hukum yang bukan dibentuk berdasarkan kehendak
sepihak dari pemerintah despotik, namun hukum yang dibentuk berdasarkan
kehendak orang banyak/masyarakat dan digunakan untuk kepentingan orang
banyak untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan. Intinya,
masalah kesadaran hukumwarga masyarakat menyangkut faktor- faktor apakah
suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dipahami, ditaati, dan dihargai.
Apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum,
maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah dari mereka yang memahaminya,
dan seterusnya. Menurut Zainuddin Ali, hal-hal yang menentukan kesadaran
hukum yaitu:
1. Pengetahuan hukum Bila suatu perundang-undangan telah diundangkan dan
diterbitkan menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis
peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa
setiap warga masyarakat dianggap mengetahui adanya undang-undang
tersebut.
2. Pemahaman hukum apabila pengetahuan hukum saja yang dimiliki oleh
masyarakat, hal itu belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman atas
hukum yang berlaku, melalui pemahaman hukum, masyarakat diharapkan
memahami tujuan peraturan perundang-undangan serta manfaatnya bagi
pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan perundangan
undangan dimaksud.
3. Penaatan hukum seorang warga masyarakat menaati hukum karena berbagai
sebab. Sebab-sebab dimaksud, dapat dicontohkan sebagai berikut:
a. Takut karena sanksi negatif, apabila melanggar hukum dilanggar.
b. Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa.
c. Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya.
d. Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.
e. Kepentingannya terjamin secara teoritis, faktor keempat merupakan hal
yang paling baik. Hal itu disebabkan pada faktor pertama, kedua, dan
ketiga, penerapan hukum senantiasa di dalam kenyataannya.
4. Pengharapan terhadap hukum Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga
masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami, dan menaatinya.
Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut
menghasilkan ketertiban serta ketenteraman dalam dirinya. Hukum tidak
hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia, akan tetapi juga dari segi
batiniah.
5. Peningkatan kesadaran hukum peningkatan kesadaran hukum seyogyanya
PENUTU
3.1 Kesimpulan