PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keadilan adalah suatu konsep yang relative, setiap orang tidak sama, adil menurut
yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, kapan seseorang menegaskan bahwa ia
melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum di
mana suatu skala keadilan diakui. Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip
umum, bahwa individu-individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya
mereka terima.
Secara hukum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah
laku berupa norma/kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan
menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota
masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum. Keberadaan hukum
ditengah masyarakat menjadi kesatuan utuh dengan kehidupan manusia sehingga
hukum dan manusia tidak bisa dipisahkan. Hal ini dikarenakan hukum selalu mengikuti
kehidupan manusia sejak manusia masih di dalam kandungan sekalipun hingga
manusia itu hidup dan mati.
Negara Indonesia merupakan Negara hukum, ketentuan itu sudah jelas dituangkan
dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Maka dari itu Indonesia sangatlah menjunjung
tinggi hukum yang ada di negaranya serta seluruh tindak-tanduk yang ada di negaranya
harus didasari dan berlandaskan oleh hukum yang sengaja dibuat untuk mengatur warga
Negara dan juga tatanan pemerintahannya sendiri. Tentunya dengan keberadaan hukum
di masyarakat tidak lepas dari tujuan dibuatkannya hukum yakni keadilan, kepastian
dan kemanfaatan walaupun penerapan hukum pidana merupakan jalan terakhir dalam
menyelesaiakan suatu permasalahan.
Hukum, dengan demikian, dianggap sebagai suatu pranata yang belum difungsikan
optimal, khususnya dalam tahap implementasinya oleh lembaga penegak hukum.
Dalam praktik penegakan hukum masih terdapat kecenderungan menegakkan hukum
hanya dari aspek kepastian hukum dengan mengabaikan nilai keadilan (justice value),
kemanfaatan bagi manusia. Menegakkan hukum yang hanya berpatokan pada kepastian
hukum justru menyebabkan hukum itu kehilangan makna yang sesungguhnya yaitu
hukum yang memberikan keadilan, kemanfaatan, kebahagiaan dan menjamin
terpenuhinya hak asasi manusia (HAM).
Bagaimana pun juga hakikat dan inti hukum itu adalah keadilan yaitu keadilan bagi
banyak orang. Para penegak hukum, khususnya hakim harus bisa merasakan pesan
moral di balik setiap undang-undang yaitu keadilan yang senantiasa ditunggu pencari
keadilan (iustitiabelen) dan masyarakat pada umumnya. Dalam konteks itulah Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa “tidak ada undang-undang yang abadi, oleh karena
undang-undang itu adalah perumusan yang pasti, sementara ia harus berhadapan
dengan kehidupan yang selalu berubah. Undang-undang yang terpatok pada rumusan
kata-kata itu akan selalu tertinggal dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat, yang justru harus dikontrol atau dikendalikannya” inilah yang disebut “De
wet hinkt achter de feiten aan”.
Banyak kasus yang terjadi di Indonesia, contohnya tindak pidana perampokan yang
terjadi di sebuah toko penjual es krim Walls, di Kudus. Korban bernama Kuswanto dan
empat rekannya ditangkap anggota Polres Kudus di Cafe Perdana, Kota Kretek. Mereka
dibawa paksa oleh anggota Polres dan dipaksa untuk mengakui bahwa mereka telah
melakukan perampokan. Tak kunjung mengaku anggota Polres tersebut menutup mata
Kuswanto dengan lakban. Kemudian anggota Polres tersebut membawa Kuswanto dan
empat rekannya ke lapangan yang bersebelahan dengan Universitas Muria Kudus, dan
kembali mendesak Kuswanto untuk mengakui kesalahan tersebut. Tak mendapatkan
jawaban yang dikehendaki, anggota Polres tersebut menyiramkan bensin ke tubuh
Kuswanto dan membakar Kuswanto. Praktik salah tangkap yang dilakukan oleh
anggota Kepolisian tersebut telah melanggar hak asasi seseorang. Hal ini juga berkaitan
dengan salah satu hak yang dimilikioleh tahanan, yaitu bebas dari tekanan seperti
intimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik. Yang menjadi permasalahan utama
pada kasus ini, setelah adanya praktik penangkapan yang dilakukan dengan kekerasan
terhadap seseorang yang menjadi korban salah tangkap itu, tidak ada proses
penyelesaian baik secara hukum ataupun baik secara pengadilan umum yang dilakukan
kepada penyelidik atau penyidik tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan
adalah ketidakadilan penegakkan hukum di Indonesia, yang akan di jelaskan dalam
makalah ini dengan judul “Keadilan Hukum Di Indonesia”.
Perkara salah tangkap bukanlah sebuah cerita baru di dalam dunia hukum
Indonesia. Salah tangkap atau eror in persona adalah orang-orang yang secara
individu maupun kolektif yang menderita secara fisik maupun mental yang
disebabkan oleh keselahan prosedur atau kesalahan proses penyidikan atau penahanan
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang maupun sejenisnya.2
Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya korban salah tangkap disebabkan oleh
kesalahan dalam proses penyidikan atau penahanan.
Salah tangkap biasanya diakukan oleh sub sistem peradilan pidana terutama pihak
kepolisian dan kejaksaan. Hal tersebut terjadi karena kedua lembaga ini memiliki
kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Aturan-aturan yang jelas dan tidak
berkesan kabur akan sangat memberikan kepastian hukum terutama yang menyangkut
dengan pelaksanaan tugas kepolisian dan kejaksaan guna menghindari terjadinya
salah tangkap.
Tanggung jawab yang diberikan negara mengenai peristiwa salah tangkap dapat
disimak dari pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP lebih lanjutnya menjelaskan
mengnai perihal ganti kerugian dan juga rehabilitasi yang diberikan kepada korban
peristiwa salah tangkap akibat adanya pelanggaran hak-hak maupun pelanggaran
hukum yang administrative dan diadili tanpa suatu alasan yang jelas yang tidak sesuai
dengan undangundang. Perihal tanggung jawab negara mengenai ganti kerugian dapat
pasal 95 dan pasal 96 KUHAP, dilihat dari Pasal 1 angka 22 KUHAP ganti kerugian
kurang lebihnya dijelaskan sebagai hak individu atau warga negara untuk
mendapatkan suatu pemenuhan atas tuntutan yang diperolehnya berupa uang karena
individu atau warga negara tersebut telah ditangkap, ditahan, dan dituntut, maupun
diadili tanpa adanya suatu dasar hukum sesuai undang-undang atau juga karena
kekeliruan yang telah dilakukan oleh aparat maupun hukum yang diterapkan sesuai
cara yang diatur didalam undang-undang ini. Sedangkan bentuk tanggung jawab
negara perihal rehabilitasi terhadap individu atau warga negara yang salah tangkap
dapat dilihat pada pasal 97 KUHAP.Dilihat dari Pasal 1 angka 23 KUHAP rehabilitasi
kurang lebih diartikan sebagai hak individu atau warga negara yang sedang
menjalankan proses peradilan pidana untuk mendapatkan kembali haknya dalam
kemampuan, harkat martabatnya saat ditingkat penyidikan, penuntutan maupun
peradilan karena telah ditangkap dan diproses tanpa alasan yang berlandaskan
undang-undang atau karena kekeliruan yang dibuat oleh aparat maupun hukum yang
diterapkan sesuai cara yang diatur didalam undang-undang ini.
Peraturan mengenai ganti kerugian terhadap korban salah tangkap di dalam
menjalani proses sistem peradilan pidana sejatinya terdapat didalam Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan KUHAP yang disahkan oleh
Presiden Soeharto kemudian pada tahun 2015 direvisi oleh Presiden Jokowi menjadi
Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas PP No. 27
Tahun 1982. Hal pentingyang didapat dari adanya PP no 92 Tahun 2015 bagi korban
salah tangkap di Indonesia yakni dalam hal ganti kerugian sesuai pasal 77 huruf b
juga pasal 95 KUHAP nominal yang diberikan oleh negara dalam rangka mengganti
kerugian yang didapat oleh individu atau warga negara yang menjadi korban salah
tangkap yaitu sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) hingga Rp. 100.000.000
(serratus juta rupiah), terdapat juga ganti kerugian akibat menerima luka berat sesuai
yang diatur didalam pasal 95 KUHAP yaitu nominalnya sebesar Rp. 25.000.000 (dua
puluh lima juta rupiah) hingga Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah), hingga ada
juga ganti kerugian yang apabila terjadi kematian nominal ganti kerugiannya dari Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) hingga mencapai Rp. 600.000.000 (enam ratus
juta rupiah). Pemberian tanggung jawab negara wajib memberikan ganti rugi sesuai
dengan undang-undang yang ada maksimal sejak 14 (empat belas) hari dimulai saat
Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan terkait ganti rugi dapat diterima oleh
pemerintah.
Kasus salah tangkap ini banyak terjadi di Indonesia, salah satunya adalah kasus
salah tangkap yang terjadi di Aceh Utara terhadap Faisal, Syahrul, dan Bahagia,
warga Desa Asan, Kecamatan Madat, Aceh Timur yang berprofesi sebagai penarik
ojek (RBT), yang diduga terlibat dalam pembunuhan anggota Polres Aceh Utara.
Sebelumnya Polres Aceh Utara berhasil mengamankan enam tersangka (satu
meninggal di TKP dan satu lagi meninggal di rumah sakit). Belakangan diketahui tiga
diantaranya tidak terlibat dalam kelompok pembunuhan Bripka Faisal sehingga
dikembalikan kepada keluarganya. Sempat diberitakan bahwa kondisi fisik mereka
saat dilepaskan dalam keadaan babak belur karena mendapatkan pukulan pada saat
penangkapan/pemeriksaan.
Praktik salah tangkap yang dilakukan oleh anggota Kepolisian tersebut telah
melanggar hak asasi seseorang. Berdasarkan syarat-syarat penangkapan setiap
anggota Kepolisian saat bertugas dilarang menggunakan kekerasan, hal ini sesuai
dengan Pasal 11 huruf b Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip
dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, yaitu “Setiap
petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang
yang disangka terlibat dalam kejahatan”
Kesalahan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian dalam proses menyelidiki
sebuah kasus menyebabkan sebuah permasalahan lain. Yang salah satunya adalah
perilaku sewenang-wenang dengan menggunakan kekuatan fisik dalam hal ingin
mendapatkan keterangan dari perilaku yang disangkakan. Namun, setelah itu terjadi
dan ketika korban salah tangkap tersebut tidak terbukti, tidak ada
pertanggungjawaban dan pemulihan korban ataupun permintaan maaf secara resmi
yang dilakukan oleh anggota Kepolisian yang melakukan hal tersebut. Tidak adanya
pertanggungjawaban dari mereka yang melakukan kekerasan merupakan kecacatan
hukum sendiri bagi lembaga hukum itu sendiri dan hal tersebut dapat melanggar Catur
Prasetya dan Tribrata Kepolisian.