Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keadilan adalah suatu konsep yang relative, setiap orang tidak sama, adil menurut
yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, kapan seseorang menegaskan bahwa ia
melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum di
mana suatu skala keadilan diakui. Bagi kebanyakan orang keadilan adalah prinsip
umum, bahwa individu-individu tersebut seharusnya menerima apa yang sepantasnya
mereka terima.
Secara hukum kita dapat melihat bahwa hukum merupakan seluruh aturan tingkah
laku berupa norma/kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat mengatur dan
menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang harus ditaati oleh setiap anggota
masyarakatnya berdasarkan keyakinan dan kekuasaan hukum. Keberadaan hukum
ditengah masyarakat menjadi kesatuan utuh dengan kehidupan manusia sehingga
hukum dan manusia tidak bisa dipisahkan. Hal ini dikarenakan hukum selalu mengikuti
kehidupan manusia sejak manusia masih di dalam kandungan sekalipun hingga
manusia itu hidup dan mati.
Negara Indonesia merupakan Negara hukum, ketentuan itu sudah jelas dituangkan
dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Maka dari itu Indonesia sangatlah menjunjung
tinggi hukum yang ada di negaranya serta seluruh tindak-tanduk yang ada di negaranya
harus didasari dan berlandaskan oleh hukum yang sengaja dibuat untuk mengatur warga
Negara dan juga tatanan pemerintahannya sendiri. Tentunya dengan keberadaan hukum
di masyarakat tidak lepas dari tujuan dibuatkannya hukum yakni keadilan, kepastian
dan kemanfaatan walaupun penerapan hukum pidana merupakan jalan terakhir dalam
menyelesaiakan suatu permasalahan.
Hukum, dengan demikian, dianggap sebagai suatu pranata yang belum difungsikan
optimal, khususnya dalam tahap implementasinya oleh lembaga penegak hukum.
Dalam praktik penegakan hukum masih terdapat kecenderungan menegakkan hukum
hanya dari aspek kepastian hukum dengan mengabaikan nilai keadilan (justice value),
kemanfaatan bagi manusia. Menegakkan hukum yang hanya berpatokan pada kepastian
hukum justru menyebabkan hukum itu kehilangan makna yang sesungguhnya yaitu
hukum yang memberikan keadilan, kemanfaatan, kebahagiaan dan menjamin
terpenuhinya hak asasi manusia (HAM).
Bagaimana pun juga hakikat dan inti hukum itu adalah keadilan yaitu keadilan bagi
banyak orang. Para penegak hukum, khususnya hakim harus bisa merasakan pesan
moral di balik setiap undang-undang yaitu keadilan yang senantiasa ditunggu pencari
keadilan (iustitiabelen) dan masyarakat pada umumnya. Dalam konteks itulah Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa “tidak ada undang-undang yang abadi, oleh karena
undang-undang itu adalah perumusan yang pasti, sementara ia harus berhadapan
dengan kehidupan yang selalu berubah. Undang-undang yang terpatok pada rumusan
kata-kata itu akan selalu tertinggal dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat, yang justru harus dikontrol atau dikendalikannya” inilah yang disebut “De
wet hinkt achter de feiten aan”.
Banyak kasus yang terjadi di Indonesia, contohnya tindak pidana perampokan yang
terjadi di sebuah toko penjual es krim Walls, di Kudus. Korban bernama Kuswanto dan
empat rekannya ditangkap anggota Polres Kudus di Cafe Perdana, Kota Kretek. Mereka
dibawa paksa oleh anggota Polres dan dipaksa untuk mengakui bahwa mereka telah
melakukan perampokan. Tak kunjung mengaku anggota Polres tersebut menutup mata
Kuswanto dengan lakban. Kemudian anggota Polres tersebut membawa Kuswanto dan
empat rekannya ke lapangan yang bersebelahan dengan Universitas Muria Kudus, dan
kembali mendesak Kuswanto untuk mengakui kesalahan tersebut. Tak mendapatkan
jawaban yang dikehendaki, anggota Polres tersebut menyiramkan bensin ke tubuh
Kuswanto dan membakar Kuswanto. Praktik salah tangkap yang dilakukan oleh
anggota Kepolisian tersebut telah melanggar hak asasi seseorang. Hal ini juga berkaitan
dengan salah satu hak yang dimilikioleh tahanan, yaitu bebas dari tekanan seperti
intimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik. Yang menjadi permasalahan utama
pada kasus ini, setelah adanya praktik penangkapan yang dilakukan dengan kekerasan
terhadap seseorang yang menjadi korban salah tangkap itu, tidak ada proses
penyelesaian baik secara hukum ataupun baik secara pengadilan umum yang dilakukan
kepada penyelidik atau penyidik tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan
adalah ketidakadilan penegakkan hukum di Indonesia, yang akan di jelaskan dalam
makalah ini dengan judul “Keadilan Hukum Di Indonesia”.

1.2. Rumusan Masalah


1. Sejauh mana gambaran ketidakadilan hukum di Indonesia?
2. Seperti apa proses penyelesaian kasus salah tangkap menurut hukum dan peradilan
di Indonesia?

1.3. Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui sejauh mana ketidakadilan hukum di Indonesia
2. Untuk memperoleh referensi terkait proses penyelesaian kasus salah tangkap
menurut hukum dan peradilan di Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi keadilan menurut para ahli


1. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBBI)
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Keadilan adalah tidak sewenang wenang,
tidak memihak, tida berat sebelah
2. Notonegoro
Menurut Keadilan yaitu suatu keadaan yang dikatakan adil jika sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
3. Panitia Ad-hoc MPRS 1966.
a. Keadilan individu, keadilan yang akan tergantung pada kemauan baik atau
buruk dari masing-masing individu.
b. Keadilan sosial, keadilan yang pelaksanaannya tergantung pada struktur yang
terdapat dalam bidang politik ekonomi, sosial-budaya, dan ideologi.
4. John Rawls
John Rawls mendefinisikan keadilan sebagai fairness, dengan kata lain
prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dan
kesepakatan. Dalam keadilan sebagai fairness, posisi kesetaraan asali atau dasar
seseorang berkaitan dengan kondisi alam dalam teori tradisional kontrak sosial.
John Rawls mengasumsikan bahwa posisi asali ini tidak diangap sebagai kondisi
historis, apalagi sebagai kondisi primitif kebudayaan, namun lebih dipahami
sebagai hipotesis yang dicirikan mendekati pada konsepsi keadilan tertentu.
5. Aristoteles
Keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan
mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga
keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia
dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan
keseimbangan antara dua pihak.
6. Thomas Hobbes
Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat dikatakan adil
apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati.
7. Hans Kelsen
Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang
dibawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dan subur.
Karena keadilan menurutnya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian,
keadilan demokrasi – keadilan toleransi.
8. Frans Magnis Suseno
Frans Magnis Suseno menyatakan bahwa keadilan yaitu suatu keadaaan antar
manusia yang diperlakukan dengan sama, yang sesuai dengan hak dan
kewajibannya masing-masing.
9. Plato
Plato menyatakan bahwa keadilan ialah diluar suatu kemampuan manusia
biasa yang mana suatu keadilan tersebut hanya ada di dalam sebuah hukum dan
juga perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli.
10. W.j.s Poerwardono
Menurut W.J.S Poerwadarminto menyatakan keadilan yaitu tidak berat
sebelah yang artinya seimbang, dan yang sepatunya tidak sewenang-wenang.

2.2. Pengertian hukum menurut para ahli


1. Satjipto Rahardjo
Hukum adalah karya manusia berupa norma-norma berisikan petunjuk-
petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia
tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan ke mana harus diarahkan.
Oleh karena itu, pertama-tama hukum mengandung rekaman dari ide-ide yang
dipilih oleh masyarakat tempat hukum diciptakan. Ide-ide tersebut berupa ide
mengenai keadilan.
2. J.c.t. simorangkir dan Woerjono sastropranoto
Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-
badan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan hukuman.
3. Sudikno Mertokusumo
Hukum adalah kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa
yang seyogianya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum
merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya
atau seyogianya.
4. S.M. Amin
Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari
norma dan sansksi-sanksi dan tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban dalam
pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara
5. Tirta Amidjaya
Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam aturan tingkah
laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman harus mengganti
kerugian jika melanggar aturan.
6. Soedjono Dirdjosisworo
Hukum adalah gejala sosial, ia tampil dalam menyerasikan pertemuan antara
kebutuhan dan kepentingan warga masyarakat, baik yang sesuai maupun yang salin
bertentangan. Hal ini selalu berlangsung karena manusia senantiasa hidup bersama
dalam suasana saling ketergantungan.
7. Abdul Manan
Hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku atau
perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum itu sendiri
mempunyai ciri yang tetap yakni hukum merupakan suatu organ peraturan-
peraturan abstrak, hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan manusia, siapa
saja yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuia dengan apa yang telah
ditentukan.
8. H.M.N, Poerwosutjipto
Hukum adalah keseluruhan norma, yang oleh penguasa negara atau penguasa
masyarakat yang berwenang menetapkan hukum, dinyatakan atau dianggap sebagai
peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat, dengan
tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.
9. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka
Hukum diartikan sebagai berikut:
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan
b. Hukum sebagai suatu disiplin
c. Hukum sebagai kaidah
d. Hukum sebagai tata hukum
e. Hukum sebagai petugas (law enforcement officer)
f. Hukum sebagai keputusan penguasa
g. Hukum sebagai proses pemerintahan
h. Hukum sebagai sikap tindak ajek atau peri kelakuan yang teratur, dan
i. Hukum sebagai nilai-nilai
10. Mochtar Kuaumaatmadja
Hukum yang menandai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai
suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, tapi harus pula mencangkup lembaga dan proses yang diperlukan
untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
11. Aristoteles (384-322 SM)
Hukum tertentu adalah sebuah hukum yang setiap komunitas meletakkanya
sebagai dasar dan mengaplikasikannya kepada anggotanya sendiri. Hukum
universal adalah hukum alam
12. Prof. Mr E.M Meyers
Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbanga kesusilaan, ditunjukkan
kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman bagi
penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
13. Leon Duguit
Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya
penggunaannya pada saat tertentu diindahkan olehg suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama
terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
14. Immanuel Kant
Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini dikehendak bebas dari orang
yang satu dapat meneyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain
menuruti asas tentang kemerdekaan
15. Utrecht
Hukum ialah himpunan peraturan-peraturan (perintah- perintah dan larangan-larangan)
yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh
masyarakat itu.
16. Nakamura (Seorang peneliti islam dari jepang)
Hukum adalah suatu kompilasi yang komprehensif dari putusan-putusan dan pendapat-
pendapat ulama terhadap berbagai masalah dengan menunjuk pada syariat
(misalnya apakah suatu perbuatan manusia itu masuk fardu, manbuk, mubah, atau
haram dalam sudut pandang agama.
17. S.M. Amin
Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dam
sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan
ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban
terpelihara.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Gambaran ketidakadilan hukum di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk cukup banyak di Asia.
Selain itu negara Indonesia juga dikenal sebagai negara hukum, karena terdapat
sistem hukum di dalamnya. Indonesia sebagai negara hukum terdapat dalam UUD
1945 pasal 1 ayat 3. Sebagai suatu negara yang penduduknya cukup banyak ini,
negara Indonesia mempunyai sistem hukum yang harus ditaati oleh setiap warga
negaranya. Hukum diandaikan dapat menertibkan masyarakat dari tindak
kejahatan, serta mengajarkan kepada masyarakat bahwa segala tindakan yang
menyimpang akan mendapatkan konsekuensi (resiko) yaitu hukuman dan
berakibat buruk bagi diri sendiri dan orang lain.
Faktanya, di negara Indonesia masih banyak masyarakat menengah ke bawah
yang mengalami ketidakadilan hukum dengan alasan yang tidak logis. Sedangkan
masyarakat menengah ke atas yang terjerat kasus hukum sangat mudah
“mendapatkan” keadilan itu, dikarenakan mereka dapat “membeli” hukum dengan
uang (seolah-olah uanglah yang berkuasa atas hukum). Dari sinilah terbentuk
istilah “Hukum: Tumpul ke atas, Tajam ke bawah”, pada akhirnya yang tidak
bersalah di hukum, dan yang bersalah justru bebas merdeka berkeliaran
melakukan kejahatan, karena memiliki “uang banyak” untuk membeli hukum.
a. Kasus Ketidakadilan Yang Berkaitan Dengan Sila Pertama
Sebagai salah satu contoh dari pelanggaran sila pertama tidak adanya
sikap toleransi kepada sesama yang berujung pada penistaan agama. Di
negara ini, seolah-olah dengan mudahnya agama disangkut pautkan
dengan segala hal. Ada yang melaporkan bahwa si A melakukan tindakan
penistaan agama, padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Ada
beberapa oknum yang sengaja berbuat seperti itu supaya si A ditangkap
dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan yang dengan terang-terangan
menistakan agama, tidak dilaporkan dan malah dapat berkeliaran bebas.
Betapa lucunya hukum di negara ini, dimana ketidakadilan terjadi pada
mereka yang sama sekali tidak berbuat salah.
Kasus-kasus seperti ini perlu ditindak lanjuti dengan adil dan benar.
Bukan karena berbeda kepercayaan lalu dengan mudah menuduh
seseorang menistakan agama. Alangkah indahnya jika hidup rukun dan
damai. Dalam hati manusianya ditumbuhi rasa toleransi yang tinggi,
sehingga tidak perlu lagi ada kejadian pelanggaran sila pertama. Hukum
yang memerintah (polity) menurut Aristoteles termasuk dalam konstitusi
yang ideal. Karena hukum yang memerintah adil dan kesejahteraan bisa
dirasakan seluruh warga negara.
b. Kasus Ketidakadilan Yang Berkaitan Dengan Sila Kedua
di Indonesia banyak kasus-kasus yang menyangkut pelanggaran
Pancasila dan hukum. Pelanggaran sila kedua yang berbunyi
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” dengan contoh kasus eksploitasi
anak di bawah umur, perbudakan, hutang berupa pajak yang memberatkan
bagi masyarakat menengah ke bawah, dan masih banyak lagi pelanggaran
lainnya. Memang miris rasanya melihat sistem hukum di Indonesia ini,
proses hukum yang terkesan lambat dalam penangannya.
Contoh kasus yang melanggar sila kedua adalah seorang guru
perempuan (menengah ke bawah) yang mendapat pelecehan dari pihak
sekolah, ia tidak berani melapor kepada pihak yang berwajib karena takut
pekerjaannya akan hilang. Namun temannya yang merasa kasihan padanya
melaporkan kasus pelecehan tersebut ke pihak berwajib. Tersangka pelaku
pelecahan tidak terima, dan ia malah melaporkan si guru yang ia lecehkan
tersebut, padahal si guru tersebut tidak melaporkan pelecehan sama sekali.
Si guru korban pelecehan akhirnya mendapat proses hukum.
Jika dilihat dari sisi keadilan, si guru (korban) justru tidak mendapat
keadilan sebagaimana mestinya, apalagi ia sama sekali tidak bersalah.
Saya sebagai perempuan merasa tidak tega mendengar kasus seperti ini,
dimanakah wujud sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan
beradab?. Kaum perempuan seolah tertindas, padahal mempunyai hak
yang sama. Sistem pemerintahan hukum (polity) menurut Aristoteles
sudah diterapkan di negara Indonesia, namun bagi saya tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Perlu adanya tindakan tegas dari pemerintah soal
hukum yang adil, tanpa pandang gender.
c. Kasus Ketidakadilan Yang Berkaitan Dengan Sila Kelima
menurut Aristoteles, pemerintahan dengan supremasi hukum adalah
ideal karena keadilan lebih dapat diraih. Sebenarnya sistem pemerintahan
hukum (polity) ini sudah diterapkan di Indonesia, namun tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Melihat kasus yang terjadi di Indonesia dewasa ini,
banyak kasus-kasus berkaitan dengan hukum yang makin marak terjadi.
Yang lebih menyedihkan lagi, ketika masyarakat menengah ke
bawahlah yang menjadi sasaran ketidakadilan hukum ini. Kasus hukum ini
sudah melanggar sila kelima, yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Tapi mana wujud nyata dari sila kelima ini? sedangkan
faktanya masih ada yang mengalami ketidakadilan di negara ini. Keadilan
itu sendiri seolah menjadi hal tabu, yang tidak akan bisa diraih jika
manusia-manusianya sendiri berlaku culas, tidak bersikap adil pada
sesamanya, mementingkan egoisme dan mencari keuntungan bagi dirinya
sendiri.
Contoh kasus yang tidak asing kita dengar dan paling sering terjadi
adalah kasus korupsi. Jika di luar negeri, kasus korupsi ditangani dengan
cepat dan setimpal dengan perbuatannya. Berbeda dengan kasus di
Indonesia yang penangannya sangat lama untuk diproses. Di sisi lain ada
seorang nenek yang mencuri pisang karena kelaparan, dan malangnya ia
langsung dijatuhi hukuman.
Bagi saya, hati nurani sangat amat berperan penting dalam kasus-kasus
yang menyangkut hukum. Orang yang menggunakan hati nuraninya tidak
akan tega membawa kasus di atas ke jalur hukum. Ia malah akan merasa
iba, dan tidak tega melihat kondisi si nenek yang sebenarnya. Lain halnya
dengan orang yang tidak menggunakan hati nuraninya dengan baik,
dengan mudahnya ia membawa kasus di atas ke jalur hukum tanpa
memikirkan dahulu kondisi yang sebenarnya terjadi. Hal ini juga bisa
terjadi pada hakim yang menjatuhkan vonis/hukuman, jika ia tidak
menggunakan hati nuraninya maka dengan mudah ia menjatuhkan
hukuman yang tidak adil, apalagi jika motivasi utamanya karena “diberi
uang”.
2. Proses Penyelesaian Kasus Salah Tangkap Menurut Hukum & Peradilan Di
Indonesia

Perkara salah tangkap bukanlah sebuah cerita baru di dalam dunia hukum
Indonesia. Salah tangkap atau eror in persona adalah orang-orang yang secara
individu maupun kolektif yang menderita secara fisik maupun mental yang
disebabkan oleh keselahan prosedur atau kesalahan proses penyidikan atau penahanan
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang maupun sejenisnya.2
Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya korban salah tangkap disebabkan oleh
kesalahan dalam proses penyidikan atau penahanan.
Salah tangkap biasanya diakukan oleh sub sistem peradilan pidana terutama pihak
kepolisian dan kejaksaan. Hal tersebut terjadi karena kedua lembaga ini memiliki
kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Aturan-aturan yang jelas dan tidak
berkesan kabur akan sangat memberikan kepastian hukum terutama yang menyangkut
dengan pelaksanaan tugas kepolisian dan kejaksaan guna menghindari terjadinya
salah tangkap.
Tanggung jawab yang diberikan negara mengenai peristiwa salah tangkap dapat
disimak dari pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP lebih lanjutnya menjelaskan
mengnai perihal ganti kerugian dan juga rehabilitasi yang diberikan kepada korban
peristiwa salah tangkap akibat adanya pelanggaran hak-hak maupun pelanggaran
hukum yang administrative dan diadili tanpa suatu alasan yang jelas yang tidak sesuai
dengan undangundang. Perihal tanggung jawab negara mengenai ganti kerugian dapat
pasal 95 dan pasal 96 KUHAP, dilihat dari Pasal 1 angka 22 KUHAP ganti kerugian
kurang lebihnya dijelaskan sebagai hak individu atau warga negara untuk
mendapatkan suatu pemenuhan atas tuntutan yang diperolehnya berupa uang karena
individu atau warga negara tersebut telah ditangkap, ditahan, dan dituntut, maupun
diadili tanpa adanya suatu dasar hukum sesuai undang-undang atau juga karena
kekeliruan yang telah dilakukan oleh aparat maupun hukum yang diterapkan sesuai
cara yang diatur didalam undang-undang ini. Sedangkan bentuk tanggung jawab
negara perihal rehabilitasi terhadap individu atau warga negara yang salah tangkap
dapat dilihat pada pasal 97 KUHAP.Dilihat dari Pasal 1 angka 23 KUHAP rehabilitasi
kurang lebih diartikan sebagai hak individu atau warga negara yang sedang
menjalankan proses peradilan pidana untuk mendapatkan kembali haknya dalam
kemampuan, harkat martabatnya saat ditingkat penyidikan, penuntutan maupun
peradilan karena telah ditangkap dan diproses tanpa alasan yang berlandaskan
undang-undang atau karena kekeliruan yang dibuat oleh aparat maupun hukum yang
diterapkan sesuai cara yang diatur didalam undang-undang ini.
Peraturan mengenai ganti kerugian terhadap korban salah tangkap di dalam
menjalani proses sistem peradilan pidana sejatinya terdapat didalam Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan KUHAP yang disahkan oleh
Presiden Soeharto kemudian pada tahun 2015 direvisi oleh Presiden Jokowi menjadi
Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas PP No. 27
Tahun 1982. Hal pentingyang didapat dari adanya PP no 92 Tahun 2015 bagi korban
salah tangkap di Indonesia yakni dalam hal ganti kerugian sesuai pasal 77 huruf b
juga pasal 95 KUHAP nominal yang diberikan oleh negara dalam rangka mengganti
kerugian yang didapat oleh individu atau warga negara yang menjadi korban salah
tangkap yaitu sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) hingga Rp. 100.000.000
(serratus juta rupiah), terdapat juga ganti kerugian akibat menerima luka berat sesuai
yang diatur didalam pasal 95 KUHAP yaitu nominalnya sebesar Rp. 25.000.000 (dua
puluh lima juta rupiah) hingga Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah), hingga ada
juga ganti kerugian yang apabila terjadi kematian nominal ganti kerugiannya dari Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) hingga mencapai Rp. 600.000.000 (enam ratus
juta rupiah). Pemberian tanggung jawab negara wajib memberikan ganti rugi sesuai
dengan undang-undang yang ada maksimal sejak 14 (empat belas) hari dimulai saat
Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan terkait ganti rugi dapat diterima oleh
pemerintah.
Kasus salah tangkap ini banyak terjadi di Indonesia, salah satunya adalah kasus
salah tangkap yang terjadi di Aceh Utara terhadap Faisal, Syahrul, dan Bahagia,
warga Desa Asan, Kecamatan Madat, Aceh Timur yang berprofesi sebagai penarik
ojek (RBT), yang diduga terlibat dalam pembunuhan anggota Polres Aceh Utara.
Sebelumnya Polres Aceh Utara berhasil mengamankan enam tersangka (satu
meninggal di TKP dan satu lagi meninggal di rumah sakit). Belakangan diketahui tiga
diantaranya tidak terlibat dalam kelompok pembunuhan Bripka Faisal sehingga
dikembalikan kepada keluarganya. Sempat diberitakan bahwa kondisi fisik mereka
saat dilepaskan dalam keadaan babak belur karena mendapatkan pukulan pada saat
penangkapan/pemeriksaan.
Praktik salah tangkap yang dilakukan oleh anggota Kepolisian tersebut telah
melanggar hak asasi seseorang. Berdasarkan syarat-syarat penangkapan setiap
anggota Kepolisian saat bertugas dilarang menggunakan kekerasan, hal ini sesuai
dengan Pasal 11 huruf b Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip
dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, yaitu “Setiap
petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang
yang disangka terlibat dalam kejahatan”
Kesalahan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian dalam proses menyelidiki
sebuah kasus menyebabkan sebuah permasalahan lain. Yang salah satunya adalah
perilaku sewenang-wenang dengan menggunakan kekuatan fisik dalam hal ingin
mendapatkan keterangan dari perilaku yang disangkakan. Namun, setelah itu terjadi
dan ketika korban salah tangkap tersebut tidak terbukti, tidak ada
pertanggungjawaban dan pemulihan korban ataupun permintaan maaf secara resmi
yang dilakukan oleh anggota Kepolisian yang melakukan hal tersebut. Tidak adanya
pertanggungjawaban dari mereka yang melakukan kekerasan merupakan kecacatan
hukum sendiri bagi lembaga hukum itu sendiri dan hal tersebut dapat melanggar Catur
Prasetya dan Tribrata Kepolisian.

Anda mungkin juga menyukai