Anda di halaman 1dari 51

Hubungan Hukum dan Keadilan

I.

Pendahuluan

Terciptanya kehidupan yang kondusif, nyaman, dan tentram dalam berbangsa dan
bernegara merupakan suatu momentum yang dinanti-nantikan oleh sebagian besar
penghuni republik ini. Adapun untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah dengan
cara mensterilisasi serta memperbaiki beberapa hal yang memiliki pengaruh
signifikan terhadap kehidupan masyarakat di negara ini, salah
satunya adalah masalah penegakan hukum.
Penegakan hukum hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku
manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai
aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak
dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana
pendapat kaum legalistik[1]
Namun yang terjadi pada saat ini jika kita mengamati, melihat dan
merasakan bahwa penegakan hukum di negara ini berada pada kondisi yang tidak
menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum.
maka perlu dikaji lebih eklusif mengenai masalah penegakan hukum, lebih
spesifiknya mengenai keadilan karena banyak spekulasi-spekulasi negatif yang
berkembang di tengah masyarakat yang mengatakan bahwa penegakan hukum
saat ini sudah mulai menjauh dari keadilan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Dalam tulisan ini pemakalah akan mencoba membahas tentang hubungan keadilan
dan hukum, prespektik keadilan dalam lingkup nasional, serta bagaimana bentuk
dari keadilan yang diharapkan oleh masyarakat yang sejalan dengan hukum yang
ada.

II.

Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :


A.

Pengertian hukum dan Keadilan !

B.

Hubungan hukum dan Keadilan !

C.

Prespektif Keadilan Dalam Lingkup Nasional !

III.
A.

Pembahasan
Pengertian hukum dan Keadilan

1.

Definisi hukum

Hampir semua sarjana hukum memberikan definisi berbeda tentang hukum,


sebagai gambaran, Prof. Sudiman Kartohadiprojo S.H.[2] lalu memberikan contohcontoh definisi Hukum yang berbeda-beda, sebagai berikut:
a.

Prof. Mr. E.M. Meyers

Hukum adalah semua aturan yang ,mengandung pertimbangan kekususilaan,


ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman
bagi pengusasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.
b.

Leon Duguit

Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya
penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai
jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama
terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
c.

Immanuel Kant

Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang
yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain,
menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
Inilah sebabnya mengapa hukum itu sulit diberikan definisi yang tepat, ialah
karena hukum itu mempubyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tak
mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu dalam suatu definisi.
Selain itu, beberapa sarjana Hukum Indonesia lain juga telah berusaha
merumuskan tentang apakah Hukum itu[3], yang diantaranya ialah:
a.

S.M. Amin S.H.

Kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi


disebut hukum, dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam
pergaulan menusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.

b.

J.C.T. Simorangkir S.H. dan Woerjono Sastropranoto S.H.

Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan


tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan
resmi yang berwajib, pelanggaran terjadap peraturan-peraturan itu mengakibatkan
adanya tindakan dengan hukuman tertentu.
c.

M.H. Tirtaatmidjaja S.H.

Hukum ialah semua aturan yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakantindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika
melanggar aturan-aturan itu, dan akan membahayakan diri sendiri atau harta,
umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannnya, didenda dan sebagainya.
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan oleh para srjana
hukum di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu itu meliputi beberapa
unsur, seperti:
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
Peraturan itu bersifat memaksa, dan
Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

2.

Definisi keadilan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,[4] kata Adil mempunyai arti tidak
berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, dan berpegang teguh
pada kebenaran. Sedangkan Keadilan, merupakan sifat (perbuatan, perlakuan, dan
sebagainya) yang adil.
Menurut Soejono Koesoemo Sisworo,[5] keadilan adalah keseimbangan
batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas
kehadiran dan perkembangan kebenaran, yang beriklim toleransi dan kebebasan.
Sedangkan menurut Suhrawardi K. Lubis dalam bukunya Etika Profesi
Hukum,[6]mengemukakan bahwa Adil atau Keadilan adalah pengakuan dan
perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita
mengakui hak hidup, maka sebaiknya kita harus mempertahankan hak hidup
tersebut dengan jalan bekerja keras, dan kerja keras yang kita lakukan tidak pula
menimbulkan keugian terhadap orang-orang, sebab orang lain itu juga memiliki hak
yang sama. Dengan pengakuan hidup orang lain, otomatis kita wajib memberikan
kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak individunya.
Thomas Aquinas[7] seorang tokoh filsuf hukum alam, mengelompokkan
keadilan menjadi dua, yaitu:
1)
Keadilan Umum, yaitu keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus
ditunaikan demi kepentingan umum.
2)
Keadlina Khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada asas kesamaan atau
proposionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi tiga, yaitu:


Keadilan distributif (justitia distributive) adalah keadilan yang secara
proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.

Keadilan Komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara


prestasi dan kontraprestasi.

Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau


ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana
badan atau denda sesuai besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindakan
pidana yang dilakukannya.
Antara Hukum dan Keadlian saling terkait seperti dua sisi mata uang, hukum
tanpa keadilan dapat diibaratkan layaknya badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan
tanpa hukum akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di dalam
mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup dikresi yang luas serta tidak ada
keterkaitan pada perangkat aturan.

B.

Hubungan Hukum dan Keadilan

Dalam ilmu sosial ditegaskan bahwa manusia itu adalah


makhluk yang berkelompok/makhluk sosial.[8] Maka manusia saling membutuhkan
satu sama lain, begitupun dalam membentuk sebuah aturan untuk mengatur satu
sama lain, yakni dengan menciptakan sebuah hukum. Ilmu hukum tidak menjadi
bagian ilmu alam, tetapi bagian dari ilmu manusia, dan tidak dapat disangkal
bahwa hukum sebagai norma adalah sebuah realitas ideal, bukan realitas alamiah.
Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan yang ditujukan
untuk pengelompokan sosial tersebut sepenuhnya benar, yang sepenuhnya
mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu akan keadilan yang
dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan,
yang tidak bisa ditemukanya sebagai seorang individu dan karenanya mencarinya
dalam masyarakat, yang mana kebahagiaan sosial dinamakan keadilan.
Kata keadilan tentu saja juga digunakan dalam pengertian hukum, dari segi
kecocokan dengan hukum positif, terutama kecocokan dengan undang-undang. Jika
sebuah noram umum diterapkan pada satu kasus, tetapi tidak diterapkan pada
kasus sejenis yang muncul, maka dikatakan tidak adil, dan ketidakadilan tersebut
terlepas dari beberapa pertimbangan nilai norma umum itu sendiri. Meurut
pemakain kata-kata ini, menganggap sesuatu adil hanya mengungkapkan nilai
kecocokan relatif dengan sebuah norma, adil hanya kata lain dari kata benar.
Hingga kini, semua rumusan kata yang menunjukkan dan mengajarkan arti sebuah
kedailan (kebanyakan) hanya sia-sia belaka, atau hanya bersifat formalitas belaka,

seperti; kerjakan kebaikan dan hindari kejahatan, bersikaplah tengah-tengah,


dll.[9]
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum, disamping itu juga ada kepastian
hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan
kegiatanya. Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin merupakan kombinasi dari
ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat diantara ketiga tujuan
hukum tersebut , keadilan merupakan tujuan yang paling penting, dan hukum
hanya merupakan sarana.[10] tetapi tidak berarti bahwa ketiganya selalu berada
dalam keadaan harmonis. Menurut Radbruch, ketiganya lebih sering berada
dalam suasana hubungan yang tegang satu sama lain. dalam bekerjanya
seyogyanya dilihat dalam konteks yang lebih besar daripada hanya dibicarakan
dalam konteks itu sendiri Berangkat dari situ maka menjalankan sebuah aturan
hukum tidak dapat hanya dilakukan secara sistematis atau dengan cara yang
disebut mengeja pasal-pasal undang-undang.[11]
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi
mengkuti ritme zaman dan ruang. Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang
terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang keduanya
merupakan daya rohani. Diamana rasa berfungsi untuk mengendalikan keputusankeputusan akal agar berjalan diatas nilai-nilai moral, seperti kebaikan dan
keburukan. Jika hati suci, maka perbuatan akan baik, perbuatan manusia akan
berniali jika perbuatan tersebut baik dan bermanfaat yang lahir dari bisikan hati
yang suci, sehingga dengan demikian, nilai merupakan suatu prinsip etik yang
bermutu tinggi dengan pedoman bahwa keberadan manusia itu harus
memperhatikan kewajibanya untuk bertanggung jawab kepada sesamanya.
Kaum sufis berpandangan bahwa manusialah yang seluruhnya menentukan isi
undang-undang, sehingga baik dan adil tidak tergantung pada aturan alam,
melainkan hanya keputusan manusia, dimana manusia adalah ukuran segalagalanya. Manusia sebagai satu-satunya sumber yang menentukan apa yang baik
dan apa yang adil. Tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa semua manusia (warga
negara) yang menentukan isi undang-undang negara, kareana hal itu hanya
teruntuk orang-orang yang berkedudukan sebagai pejabat negara. Maka jika terjadi
kesewenang-wenangan sangat wajar, karena orang-orang yang berkuasa akan
membuat undang-undang yang terkadang melindungi kepentinganya, kecuali
teruntuk orang-orang yang memiliki kesadaran hukum dan mempunyai hati nurani
untuk sesama.
Plato mengatakan bahwa manusia itu terdiri dari tiga unsur yaitu; pikiran, perasaan
dan nafsu. Jika ketiganya dapat berkombinasi dengan baik, maka akan
menghasilkan jiwa yang teratur. Hal itu dapat terjadi bila perasaan dan nafsu
dikendalikan dan ditundukkan pada akal, dan keadilan terletak dalam batas yang
seimbang antara ketiga bagian jiwa tersebut. Manusia menurut plato hanya dapat
berkembang melalui negara. Maka keutamaan yang tertinggi oleh manusia adalah

ketaatan kepada hukum negara. Segala sesuatu yang ditetapkan oleh undangundang adalah adil, sebab adil ialah suatu yang bersifat abstrak, dan setiap
manusia (warga negara) mempunyai pandangan keadilan yang berbeda, maka
negara hadir dengan menyelaraskan keadilan untuk sesama, Dalam mengartikan
keadilan, menurut plato bersifat kolektivistik yang memandang keadilan sebagai
hubungan harmonis dengan berbagai orgisme sosial. Maka setiap warga negara
harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.
Sementara itu dalam pandangan islam Keadilan merupakan perpaduan harmonis
antara hukum dan moralitas, islam tidak bertujuan untuk menghancurkan
kebebasan individu, tetapi mengontrol kebebasan itu demi keselarasan dan
harmonisasi masyarakat yang trediri dari individu itu sendiri, dan hukum islam
memiliki peran dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan kolektif.
Sementara menurut pandangan kaum utilitarianisme ukuran satu-satunya untuk
mengukur keadilan adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia.
Kesejahteraan individual dapat saja dikorbankan untuk manfaat yang lebih besar.
[12]
Berbagai kasus yang berserakan sekarang ini merupakan cerminan tidak
dihargainya secara konsisten sebuah hukum dalam sebuah kerangka
sistem. Malah cenderung difungsikan sesuai dengan selera masing-masing
penggunanya. pengertian yang hakiki berkaitan dengan arti sebagai keadilan.
Apabila suatu yang konkret yaitu undang undang, bertentangan dengan prinsip
keadilan, maka itu tidak bersifat normative lagi. Secara teknis adil merupakan
unsur konstitutif yang ada dalam diri manusia. Mengapa sifat adil itu dianggap
sebagai bagian konstitutif ?, Alasannya adalah karena dianggap sebagai tugas etis
manusia di dunia. Artinya manusia berkewajiban membentuk suatu kehidupan yang
baik dengan mengaturnya secara adil.[13]
Penegak atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup
yang sangat luas. Sebab, strata hukum yang ada dapat dilihat dari bermacammacam sudut. Para professional hukum, seperti hakim, jaksa, advokat yang bekerja
di pemerintahan, akan melihat dan mengartikan hukum sebagai suatu bangunan
perundang-undangan. Bagi mereka tidak ada keraguan lagi, bahwa hukum itu
tampil dan ditemukan dalam wujud perundang-undangan tersebut. oleh karena
pekerjaan mereka mengharuskan berprgang teguh dengan prinsip demikian itu.
Ibarat dokter bekerja dengan stetoskop, maka para profesional hukum bekerja
dengan undang undang. Di sini otoritas perundang-undangan adalah demikian
besar.
Berbeda dengan golongan tersebut di atas, ilmuwan hukum melihat hukum sebagai
suatu objek yang dipelajari, yang tujuannnya adalah untuk mencari kebenaran. Bagi
mereka ini, hukum itu bukan barang sakral yang tidak boleh dipertanyakan atau
dipersoalkan lagi yang semata-mata dengan alasan bahwa itu sudah menjadi

undang-undang. Kepedulian mereka adalah untuk menemukan kebenaran tentang


hukum.
Tugas utama hakim adalah untuk memberi keputusan, bukan menghadiahkan
keadilan berdasarkan persekongkolan. Namun kenyataanya banyak keputusan
pengadilan mencerminkan kontaminasi keadilan tidak sehat. Sehingga bentuk
pengendalian sosial secara otomatis akan muncul. Tindakan individu maupun massa
yang dari optic yuridis dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim
sendiri (eigentricht), pada hakikatnya merupakan wujud pengendalian diri oleh
masyarakat. Karena sudah semakin tampak benar oleh mata hati masyarakat
bahwa equal justice under law masih merupakan lips service atau hanya bahan
retorika belaka para petinggi hukum. Kondisi keterpurukan hukum di Indinesia saat
ini, hanya mungkin diatasi jika para penegak hukum lebih banyak bertanyakepada
hati nuraninya, daripada perutnya, sehingga dapat disebut adil oleh
masyarakat. maka para penegak hukum harus mampu mengimplementasikan
melalui putusan hukum di pengadilan.[14]
C.

Perspektif Keadilan Dalam Lingkup Nasional

Pandangan keadilan dalam lingkup nasional bersumber pada dasar negara.


Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag)
sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi
negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilainilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang
berketuhanan,yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan
yang berkeadilan sosial.
Sebagai pendukung nilai, bangsa Indnesialah yang menghargai, mengakui, serta
menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan
penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan
dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan,
penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta
perbuatan manusia, dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah
pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan masyarakat Indonesia.
Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu sumber tertinggi dan sebagai
rasionalitasnya sumber nasional bangsa Indonesia. Pandangan keadilan
dalam nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang
mana sila kelimanya berbunyi : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan adil
menurut konsepsi nasional yang bersumber pada Pancasila.[15]
Setiap negara mengakomodir keadilan dalam prinsip peri kehidupan negara.
Terlebih dalam norma yang dipatutkan bagi berlakunya sejuta peraturan yang
diundang-undangkan, wilayah kehidupan negara yang dibatsi akan teritorial suatu
negara, namun senyatanya keadilan lah yang hadir sebagai penggalan yang

dijadikan sebuah aturan perang (misalnya) yang terbungkus dalam suatu norma.
Roscoe pound berpendapat bahwa hukum itu berfungsi untuk menjamin
keterpaduan sosial dan perubahan tertib sosial dengan cara menyeimbangakan
konflik kepentingan yang meliputi:
1.
Kepentingan-kepentingan individual (kepentingan-kepentingan privat dari
warga negara selaku perseorangan).
2.

Kepentingan-kepentingan sosial.

3.

Kepentingan-kepentingan publik (khusunya kepentingan-kepentingan negara).

Dalam rangka menyeimbangkan konflik kepentingan dalam masyarakat tersebut,


maka hukum negara harus berhakikat kepada keadilan dan kekuatan moral. sebab
tanpa adanya keadilan dan moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan
ciri independennya. Sebaliknya, ide keadilan dan moralitas akan penghargaan
terhadap kemanusiaan hanya akan memiliki nilai dan manfaat jika terwujud dalam
hukum formal dan hukum materil, serta diterapkan dalam kehidupan masyaraat.
Keadilan dalam hukum formal dan hukum materil tersebut sebenarnya merupakan
suatu keadaan keseimbangan dan keselarasan yang membawa ketentraman
didalam hati orang, yang apabila diganggu akan mengakibatkan goncangan. Hukum
akan bersupremasi (memiliki kekuasaan tertinggi) jika memiliki kekuatan moral
yang berupa keadilan.[16]
Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-pendapat
tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tiga hal tentang pengertian adil.
(1) meletakkan sesuatu pada tempatnya.
(2) menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain tanpa kurang.
(3) memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang
antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, sesuai dengan kesalahan
dan pelanggaran.
Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif nasional,
terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan
adalah pengakuan dan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban, yang mana
dapat dilakukan dengan pengakuan hak hidup orang lain, maka dengan sendirinya
diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk
mempertahankan hak hidupnya.
Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai
sumber nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar
senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar manusia secara individu
dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan
beradab.

Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu


yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk
kepentingan Individu yang lainnya, keadilan nasional hanya mengatur keadilan
bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif nasional adalah
keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat
umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih
menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan
kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.[17]
Masyarakat Indonesia yang pernah dijajah lama oleh bangsa lain sebaiknya
meninggalkan praktik yang mencerminkan bahwa hukum itu sebagai alat penguasa
untuk memerintah rakyat yang dikuasainya. Dengan demikian tercermin law is
morality dan law is right. Persamaan dihadapan hukum bagi setiap warga Negara
Indonesia merupakan tujuan dalam mewujudkan keadilan dan sebagai norma
hukum. Seperti halnya dirumuskan dalam pasal 27 ayat 1 Segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Penegakan sering kali tidak mengindahkan prinsip equality before the
law, sehingga menghasilkan perilkau diskriminatif, hal ini akan berakibat
pada tatanan sistem aturan, sekaligus akan mencederai serta kegagalan dalam
melaksanakan sistem yang menimbulkan citra buruk pada semua kalangan
masyarakat yang bermoral, termasuk masyarakat internasional. Bila kita bersepakat
bahwa muara dari pembangunan sistem nasional adalah terbagunnya
sistem nasional yang berkeadilan, maka kita harus melanjutkan upaya untuk
mengoreksi setiap elemen sistem baik pada arus pradigmatik maupun arus
teknikalnya.[18]

III.

Kesimpulan

Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan oleh para srjana
hukum di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu itu meliputi beberapa
unsur, seperti:
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
Peraturan itu bersifat memaksa, dan
Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Antara Hukum dan Keadlian saling terkait seperti dua sisi mata uang, hukum tanpa
keadilan dapat diibaratkan layaknya badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan tanpa
hukum akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di dalam
mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup dikresi yang luas serta tidak ada
keterkaitan pada perangkat aturan.
Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan yang ditujukan
untuk pengelompokan sosial tersebut sepenuhnya benar, yang sepenuhnya
mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu akan keadilan yang
dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi manusia akan kebahagiaan,
yang tidak bisa ditemukanya sebagai seorang individu dan karenanya mencarinya
dalam masyarakat. kebahagiaan sosial dinamakan keadilan. Kata keadilan tentu
saja juga digunakan dalam pengertian hukum, dari segi kecocokan dengan hukum
positif, terutama kecocokan dengan undang-undang. Jika sebuah noram umum
diterapkan pada satu kasus, tetapi tidak diterapkan pada kasus sejenis yang
muncul, maka dikatakan tidak adil, dan ketidakadilan tersebut terlepas dari
beberapa pertimbangan nilai noram umum itu sendiri. Meurut pemakain kata-kata
ini, menganggap sesuatu adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relatif dengan
sebuah norma, adil hanya kata lain dari kata benar. Berbagai kasus yang
berserakan sekarang ini merupakan cerminan tidak dihargainya secara
konsisten sebuah hukum dalam sebuah kerangka sistem. Malah cenderung
difungsikan sesuai dengan selera masing-masing penggunanya.
Setiap negara mengakomodir keadilan dalam prinsip peri kehidupan negara.
Terlebih dalam norma yang dipatutkan bagi berlakunya sejuta peraturan yang
diundang-undangkan, wilayah kehidupan negar yang dibatsi akan teritorial suatu
negara, namun senyatanya keadilan lah yang hadir sebagai penggalan yang
dijadikan sebuah aturan perang (misalnya) yang terbungkus dalam suatu norma.
Roscoe pound berpendapat bahwa hukum itu berfungsi untuk menjamin
keterpaduan sosial dan perubahan tertib sosial dengan cara menyeimbangakan
konflik kepentingan. Persamaan dihadapan bagi setiap warga Negara Indonesia
merupakan tujuan dalam mewujudkan keadilan dan sebagai norma hukum. Seperti
halnya dirumuskan dalam pasal 27 ayat 1 Segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Penegakan sering kali tidak mengindahkan prinsip equality before the law,
sehingga menghasilkan perilkau diskriminatif, hal ini akan berakibat pada tatanan
sistem aturan , sekaligus akan mencederaii serta kegagalan dalam melaksanakan
sistem yang menimbulkan citra buruk pada semua kalangan masyarakat yang
bermoral termasuk masyarakat internasional.

IV.

Penutup

Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung
telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar
akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan
segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari
para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor
membangun bagi sang pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi
setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zaiduddin. 2006. Filsafat Hokum. Jakarta: Sinar Grafika.
Arinanto, Satya. Ninuk Triyanto. 2009. Memahami Hukum. Jakarta; Rajawali Pers.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka,
Erwin, Muhamad. 2012. Filsafat Hukum; Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta;
Rajawali Pers. Ed 1. Cet 2.
K. Lubis, Suhrawardi. 1994. Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil, C.S.T. 1982. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia , Jakarta:
Balai Pustaka.
Kelsen, Hans. 2009. Pengantar Teori Hukum (Introduction To The Problems Of Legal
Theory ).Penj; Siwi Purwandari. Bandung: Nusa Media.
Khoirin, Nur. 2012. Melacak Bantuan Hukum Dalam System
Peradilan. Semarang; Walisongo Pers.
Nursidik. 2011. Kebenaran Dan Keadilan Dalam Putusan Hakim, Dalam Jurnal
Mimbar Hukum Dan Peradilan, Edisi 74, Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Islam
Dan Masyarakat Madani (Pphimm).
Rahardjo, Satjipto. 2007. Biarkan Hukum Mengalir; Catatan Kritis Tentang Pergulatan
Manusia Dan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Http://Fauzi-Iswari.Blogspot.Com/Dikases Pada Tanggal 14 Oktober 2014. Pukul
21:14 WIB.

Http://Mahendra-Servanda.Blogspot.Com/2012/04/Pengertian-Dan-Macam-MacamKeadilan 3321.Html. Diakses Pada Tanggal 11 Oktober 2014 Pukul 21.00 WIB.
Http://Ugun-Guntari.Blogspot.Com/2011/12/.Teori Keadilan Dalam Perspektif
Hukum.Html. Diakses Pada Tanggal 11 Oktober 2014 Pukul 21.00 WIB.

[1] http://fauzi-iswari.blogspot.com/dikases pada tanggal 14 oktober 2014. Pukul


21:14 WIB.
[2] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1982, Hlm. 33
[3] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia ,
Jakarta: Balai Pustaka, 1982, Hlm.36
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Hlm. 130
[5] Nursidik, Kebenaran Dan Keadilan Dalam Putusan Hakim,
Dalam Jurnal Mimbar Hukum Dan Peradilan, Edisi 74, Jakarta: Pusat Pengembangan
Hukum Islam Dan Masyarakat Madani (Pphimm), 2011, Hlm. 139
[6] Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1994,
Hal. 49
[7] Nursidik, Kebenaran Dan Keadilan Dalam Putusan Hakim,
Dalam Jurnal Mimbar Hukum Dan Peradilan, Edisi 74, Jakarta: Pusat Pengembangan
Hukum Islam Dan Masyarakat Madani (Pphimm), 2011, Hlm. 139
[8] Satjipto Rahardjo. Biarkan Hukum Mengalir; Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2007, Hlm 7.
[9] Hans Kelsen. Pengantar Teori Hukum (Introduction To The Problems Of Legal
Theory ). Penj; Siwi Purwandari. Bandung: Nusa Media. 2009. Hlm 47-49.
[10] Muhamad Erwin. Filsafat Hukum; Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta;
Rajawali Pers. 2012. Ed 1. Cet 2. Hlm 217
[11] Satjipto Rahardjo. Biarkan Hukum Mengalir; Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2007, Hlm 87, 81.

[12] Muhamad Erwin. Filsafat Hukum; Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta;
Rajawali Pers. 2012. Ed 1. Cet 2. Hlm 217-229.
[13] Zaiduddin Ali. filsafat hokum. Jakarta: sinar grafika. 2006. Hlm 86.
[14] Zaiduddin Ali. filsafat hukum. Jakarta: sinar grafika. 2006. Hlm 22.
[15] http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/12/teori-keadilan-dalam-perspektifhukum.html. Diakses pada tanggal 11 oktober 2014 pukul 21.00 WIB.
[16] Muhamad Erwin. Filsafat Hukum; Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta;
Rajawali Pers. 2012. Ed 1. Cet 2. Hlm 237-238.
[17] http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/12/teori-keadilan-dalam-perspektifhukum.html. Diakses pada tanggal 11 oktober 2014 pukul 21.00 WIB.
[18] Satya Arinanto, Ninuk Triyanto. Memahami Hukum. Jakarta; Rajawali Pers.
2009. Hlm 116, 58, 12

MAKALAH TENTANG HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peranan hukum di dalam masyarakat khususnya dalam menghadapi perubahan
masyarakat perlu dikaji dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sosial.
Pengaruh peranan hukum ini bisa bersifat langsung dan tidak langsung atau
signifikan atau tidak. Hukum memiliki pengaruh yang tidak langsung dalam
mendorong munculnya perubahan sosial pada pembentukan lembaga
kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Di sisi
lain, hukum membentuk atau mengubah institusi pokok atau lembaga
kemasyarakatan yang penting, maka terjadi pengaruh langsung, yang kemudian
sering disebut hukum digunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku
masyarakat.

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum
Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun
pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena
aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian
besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at
Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan
penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang
ada di wilayah Nusantara.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
a.

Pengertian Hukum

b.

System peradilan nasional

c.

Peranan Lembaga-Lembaga peradilan

C. Tujuan Makalah
Dengan adanya makalah ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan
memahami hal-hal di bawah ini:
a.

Mengetahui Pengertian Hukum

b.

Mengetahui System peradilan nasional

c.

Mengetahui Peranan Lembaga-Lembaga peradilan

BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM
1.

Pengertian Hukum

a.

Prof. E. M Meyers

Hukum adalah aturan yang mengadung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada


tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa
Negara dalam melakukan tugasnya.

b.

Drs. E. Utrres, S.H.

Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata
tertib masyarakat, oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat

c.

J. C. T. Simorangkir

Hukum adalah peraturan peraturan yang bersifat memeaksa yang menentukan


tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan
badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap pereturan tadi berakibat
diambilnya tindakan dengan hukum tertentu.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hokum adalah sekumpulan peraturan yang
terdiri dari perintah dan larangan yang bersifat memaksa dan mengikat dengan
disertai sangsi bagi pelanggarnya.

Latar Belakang Masalah


Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh founding father pada tanggal
17 Agustus 1945 adalah awal pemberlakukan hukum nasional yang didasarkan
pada landasan ideologi dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pada
awal kemerdekaan, Indonesia belum memiliki hukum yang bersumber dari nilai-nilai

yang hidup di masyarakat yang berlaku secara nasional namun berdasarkan


pertimbangan politik dan nasionalisme, segala peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada masa kolonial Belanda masih tetap berlaku melalui proses
nasionalisasi, sepanjang sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka,
berdaulat dan religius.
Produk peraturan perundang-undangan kolonial Belanda yang mengalami proses
nasionalisasi diantaranya: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan
nasionalisasi dari Wetboek van Straafrechts, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
merupakan nasionalisasi dari Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang merupakan nasionalisasi dari Wetboek van Koophandel. Selain
menggantikan nama, pasal-pasal yang tidak sesuai kebutuhan diganti dan ditambah
dengan yang baru berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa.
Adanya nasionalisasi produk hukum kolonial Belanda kehukum nasional, Indonesia
telah menganut sistem hukum civil law system yang dianut oleh negara-negara
Eropa Kontinental termasuk Belanda. Pada perkembangan selanjutnya, sistem
hukum yang berlaku di Indonesia tidak selalu dipengaruhi oleh Civil Law System.
Terdapat empat dari lima sistem hukum yang memengaruhi hukum di Indonesia,
yaitu Civil Law System, Common Law System, Socialist Law System dan Traditional
Law System.[1]
Dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia menentukan dalam Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Mengandung arti bahwa segala perilaku yang ada dalam suatu negara, baik
yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang diperintah (rakyat) harus
berdasarkan atas aturan-aturan hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan.
Hukum dijadikan sebagai panglima dalam kehidupan bernegara.
Momentum reformasi tahun 1998 yang diawali dengan tumbangnya orde baru,
kembali menegaskan bahwa hukum adalah panglima dalam kehidupan bernegara.
Bukan ekonomi atau politik sebagaimana yang diangung-agungkan pada era orde
baru. Sebagai panglima dalam kehidupan bernegara, hukum diharapkan mampu
mengakomodasi kepentingan warga negara tanpa membedakan suku, agama, ras
dan golongan.
Cita-cita reformasi yang menghendaki adanya pemerintahan demokrasi Indonesia
baru, pembenahan dibidang hukum menjadi prioritas utama. UUD 1945 yang telah
mengalami empat kali amanden merupakan salah satu langkah positif dalam
pembenahan hukum. Sesuatu yang dianggap tabu pada masa orde baru. Tidak bisa
disangkal, bertahannya pemerintahan mantan Presiden Soeharto selama 32 tahun
memimpin Republik ini salah satu penyebabnya adalah UUD 1945 (sebelum
amanden) memang menghendaki demikian. UUD 1945 memungkinkan presiden
untuk kembali mencalonkan diri setelah dua kali menjabat tanpa ada pembatasan.

Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dipahami dari sudut pandang yang berbeda.
Hukum berposisi sebagai penolong bagi pihak yang diuntungkan dan menjadi kejam
bagi pihak yang dirugikan. Hukum harus bersikap netral bagi setiap pencari
keadilan dan bukan bersifat diskriminatif, memihak pada yang kuat dan berkuasa.
Permasalahan hukum di Indonesia timbul karena beberapa hal, baik dari sistem
peradilan, perangkat hukum, inkonsistensi penegakkan hukum, intervensi
kekuasaan maupun perlindungan hukum. Banyak perkara yang melibatkan pihak
penguasa atau oknum aparat penegak hukum yang bias sebelum masuk pengadilan
atau diputus bebas oleh hakim. Hal ini akan memunculkan pemahaman ketidak
percayaan masyarakat terhadap hukum.

Latar Belakang

Pada dasarnya, penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem


pemerintahan Indonesiadijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas
hukum
(rechtsstaat)
bukan berdasarkan ataskekuasaan belaka
(machtsstaat)
, dalam hal ini terlihat bahwa kata hukum dijadikan lawan katakekuasaan. Tetapi
apabila kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan
pemaksaan maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak
tertentu yang menguntungkandirinya tetapi merugikan orang lain.

Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya perlu dipahami akan
makna darifilsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat dasar dari hukum.Pertanyaanpertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar
-dasar bagi kekuatan mengikat dari
hukum, merupakan contoh
-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian
itu,filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama
menggarap bahanhukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman
yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positifhanya berurusan dengan suatu tata
hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturanperaturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.

Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil sebagai
fenomenauniversal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan
menggunakan standar analisaseperti tersebut di atas.
Suatu hal yang menarik adalah, bahwa ilmu hukum atau
jurisprudence
jugamempermasalahkan hukum dalam kerangka yang tidak berbeda dengan
filsafat hukum. Ilmu hukum danfilsafat hukum adalah nama-nama untuk satu bidang
ilmu yang mempelajari hukum secara sama.Pemikiran tentang Filsafat hukum
dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa
jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk menu
njukkan ketidaksesuaianantara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi
kenyataan hukum yang baik menjadi
tidak bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtaf
sirkan untuk mencapaikepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak
terselesaikan karena ditarik ke masalah politik.Kebenaran hukum dan keadilan
dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidakmenemukan
keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa
hukum menjadi
panglima dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok
orang yang mampu
membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam
beberapa dekade terakhir,fenomena pelecehan terhadap hukum semakin marak.

Tindakan pengadilan seringkali tidak bijak karenatidak memberi kepuasan pada


masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada
setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar. Perkara
diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama antara
pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatanyang kecerdasannya mampu
membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga
berkembanglah mafia peradilan. Produk hukum telah dikelabui oleh pelanggarnya
sehingga kewibawaan
hukum jatuh. Manusia lepas dari jeratan hukum karena hukum yang dipakai telah
dikemas secarasistematik sehingga perkara tidak dapat diadili secara tuntas bahkan
justru berkepanjangan dan akhirnyalenyap tertimbun masalah baru yang lebih
aktual. Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangatmemprihatinkan karena
peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak

menyentuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan


interpretasi yang tidaksampai pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Fungsi
hukum tidak bermakna lagi, karena adanyakebebasan tafsiran tanpa batas yang
dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu.Hukum hanya
menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit ditemukan
arahnya.Politik berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis partai yang
mampu menerobos hukum darisudut manapun asal sampai pada tujuan dan target
yang dikehendaki.Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan untuk
membangun kondisi hukum yangsebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah
menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampumemformulasikan citacita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataankenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan
hasrat manusia
melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu
masa dan tempat tertentu.Olehnya itu, dari ilustrasi latar belakang di atas penulis
tertarik megambil judul makalah mengenaihakekat, pengertian hukum sebagai
obyek telaah filsafat hukum.

Latar Belakang
Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara
keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di
antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan
keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan
perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak. Keadilan hanya bisa
dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang
dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh
kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk
mengaktualisasikannya.[1]Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah
gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan
pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya
filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil
dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu,
orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain
dari pandangan ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis hanya menjelaskan tentang teori
keadilan menurut beberapa ahli dan akan diberikan khazanah dalam islam agar
arah dari teori ini mendapatkan pencerahan dalam bentuk dakwah islamiyah.
Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis merumuskan beberapa persoalan dalam
beberpa rumusan masalah yaitu :
Bagaimana pandangan aristotoles dan jows low mengenai teori keadilan ?
BAB II
LANDASAN TEORI

Pengertian Keadilan
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata adil yang berarti: tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenangwenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan
adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar
manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya
sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau
pilih kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan
kewajibannya.[2]
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan
diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua ujung ekstern yang terlalu banyak
dan terlalu sedikit. Kedua ujung eksterm itu menyangkut 2 orang atau benda. Bila 2
orang tersebut punya kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka
masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. Kalau tidak
sama, maka akan terjadi pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidak
adilan.
Pembagian Keadilan menurut Aristoteles yaitu :
Keadilan Komulatif adalah perlakuan terhadap seseorang yang tidak melihat jasa
yang dilakukannya, yakni setiap orang mendapat haknya.
Keadilan Distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasanya
yang telah dibuat, yakni setiap orang mendapat kapasitas dengan potensi masingmasing.
Keadilan Findikatif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai kelakuannya, yakni
sebagai balasan kejahatan yang dilakukan.
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Menurut John Rawls, fi lsuf Amerika Serikat yang
dianggap salah satu fi lsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa
Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana
halnya kebenaran pada sistem pemikiran.
Pada intinya, keadilan adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya Istilah
keadilan berasal dari kata adil yang berasal dari bahasa Arab. Kata adil berarti
tengah. Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang
menjadi haknya. Keadilan berarti tidak berat sebelah, menempatkan sesuatu di
tengah-tengah, tidak memihak. Keadilan juga diartikan sebagai suatu keadaan
dimana setiap orang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara memperoleh apa yang menjadi haknya, sehingga dapat melaksanakan
kewajibannya.[3]
Macam Macam Keadilan

Didalam memahami keadilan perlu di ketahui bahwa keadilan itu terbagi


kedalam beberapa kelompak yang dikaji dari berbagai sudut ilmu pengetahuan
yaitu :
Keadilan Komutatif (Iustitia Commutativa)
Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang
apa yang menjadi bagiannya, di mana yang diutamakan adalah objek tertentu yang
merupakan hak dari seseorang. Keadilan komutatif berkenaan dengan hubungan
antarorang/antarindividu. Di sini ditekankan agar prestasi sama nilainya dengan
kontra prestasi.
Keadilan Distributif (Iustitia Distributiva)
Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang
apa yang menjadi haknya, di mana yang menjadi subjek hak adalah individu,
sedangkan subjek kewajiban adalah masyarakat. Keadilan distributif berkenaan
dengan hubungan antara individu dan masyarakat/negara. Di sini yang ditekankan
bukan asas kesamaan/kesetaraan (prestasi sama dengan kontra prestasi).
Melainkan, yang ditekankan adalah asas proporsionalitas atau kesebandingan
berdasarkan kecakapan, jasa, atau kebutuhan. Keadilan jenis ini berkenaan dengan
benda kemasyarakatan seperti jabatan, barang, kehormatan, kebebasan, dan hakhak.
Keadilan legal (Iustitia Legalis)
Keadilan legal adalah keadilan berdasarkan undang-undang. Yang menjadi objek
dari keadilan legal adalah tata masyarakat. Tata masyarakat itu dilindungi oleh
undang-undang. Tujuan keadilan legal adalah terwujudnya kebaikan bersama
(bonum commune). Keadilan legal terwujud ketika warga masyarakat melaksanakan
undang-undang, dan penguasa pun setia melaksanakan undang-undang itu.
Keadilan Vindikatif (Iustitia Vindicativa)
Keadilan vindikatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang
hukuman atau denda sebanding dengan pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukannya. Setiap warga masyarakat berkewajiban untuk turut serta dalam
mewujudkan tujuan hidup bermasyarakat, yaitu kedamaian, dan kesejahteraan
bersama. Apabila seseorang berusaha mewujudkannya, maka ia bersikap adil.
Tetapi sebaliknya, bila orang justru mempersulit atau menghalangi terwujudnya
tujuan bersama tersebut, maka ia patut menerima sanksi sebanding dengan
pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya.
Keadilan Kreatif (Iustitia Creativa)
Keadilan kreatif adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang
bagiannya, yaitu berupa kebebasan untuk mencipta sesuai dengan kreativitas yang

dimilikinya. Keadilan ini memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk


mengungkapkan kreativitasnya di berbagai bidang kehidupan.
Keadilan Protektif (Iustitia Protectiva)
Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan proteksi atau perlindungan
kepada pribadi-pribadi. Dalam masyarakat, keamanan dan kehidupan pribadipribadi warga masyarakat wajib dilindungi dari tindak sewenang-wenang pihak lain.
Menurut Montesquieu, untuk mewujudkan keadilan protektif diperlukan adanya tiga
hal, yaitu: tujuan sosial yang harus diwujudkan bersama, jaminan terhadap hak
asasi manusia, dan konsistensi negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
BAB III
PEMBAHASAN
Teori Keadilan Menurut Ahli
Teori Aristoteles
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku
Nicomachean Ethics.[4]Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus
dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut,
(2) apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.
Keadilan Dalam Arti Umum
Keadilan sering diartikan sebagai ssuatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter
yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah
keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan
berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.
Pembentukan sikap dan karakter berasal dari pengamatan terhadap obyek tertentu
yang bersisi ganda. Hal ini bisa berlaku dua dalil, yaitu;
jika kondisi baik diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;
kondisi baik diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi baik
Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih, diperlukan
pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan secara
jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yang lain juga ambigu.
Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh
terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka orang
yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena
tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan
pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan

pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat.


Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan
kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Dengan demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan
yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga
kebahagian orang lain. Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan
kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai.
Keadilan dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang
berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan, namun
sebagai suatu sikap khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan dalam
hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama tindakan yang
tidak fair.
Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan
pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hukum sebagai salah satu tata nilai
sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal
tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan
ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat
menimbulkan ketidak adilan.
Sebagai contoh, seorang pengusaha yang membayar gaji buruh di bawah UMR,
adalah suatu pelanggaran hukum dan kesalahan. Namun tindakan ini belum tentu
mewujudkan ketidakadilan. Apabila keuntungan dan kemampuan membayar
perusahaan tersebut memang terbatas, maka jumlah pembayaran itu adalah
keadilan. Sebaliknya walaupun seorang pengusaha membayar buruhnya sesuai
dengan UMR, yang berarti bukan kejahatan, bisa saja menimbulkan ketidakadilan
karena keuntungan pengusaha tersebut sangat besar dan hanya sebagian kecil
yang diambil untuk upah buruh. Ketidakadilan ini muncul karena keserakahan.
Hal tersebut di atas adalah keadilan dalam arti umum. Keadilan dalam arti ini terdiri
dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing bukanlah
hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua tindakan
melanggar hukum adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan
kepatuhan terhadap hukum
Keadilan Dalam Arti Khusus
Keadilan dalam arti khusus terkait dengan beberapa pengertian berikut ini, yaitu:
Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau hal lainnya
kepada mereka yang memiliki bagian haknya.
Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu tindakan
bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara yang lebih
dan yang kurang (intermediate). Jadi keadilan adalah titik tengan atau suatu

persamaan relatif (arithmetical justice). Dasar persamaan antara anggota


masyarakat sangat tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Dalam sistem demokrasi, landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah
adalah kebebasan manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem
oligarki dasar persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat
kelahiran. Sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah
keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih
pada makna persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari
keadilan, yaitu titik tengah (intermediate) dan proporsi.
Perbaikan suatu bagian dalam transaksi
Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan (rectification). Perbaikan
muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang yang dilakukan secara
sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan apabila masing-masing
memperoleh bagian sampai titik tengah (intermediate), atau suatu persamaan
berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan, dus
ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu orang
memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang dibuat secara sederajat.
Untuk menyamakan hal tersebut hakim atau mediator melakukan tugasnya
menyamakan dengan mengambil sebagian dari yang lebih dan memberikan kepada
yang kurang sehingga mencapai titik tengah. Tindakan hakim ini dilakukan sebagai
sebuah hukuman.
Hal ini berbeda apabila hubungan terjalin bukan atas dasar kesukarelaan masingmasing pihak. Dalam hubungan yang tidak didasari ketidaksukarelaan berlaku
keadilan korektif yang memutuskan titik tengah sebagai sebuah proporsi dari yang
memperoleh keuntungan dan yang kehilangan. Tindakan koreksi tidak dilakukan
dengan semata-mata mengambil keuntungan yang diperoleh satu pihak diberikan
kepada pihak lain dalam arti pembalasan. Seseorang yang melukai tidak
diselesaikan dengan mengijinkan orang yang dilukai untuk melukai balik Timbal
balik dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran atas nilai tertentu sehingga
mencapai taraf proporsi. Untuk kepentingan pertukaran inilah digunakan uang.
Keadilan dalam hal ini adalah titik tengah antara tindakan tidak adil dan
diperlakukan tidak adil.[5]
Keadilan dan ketidakadilan selalui dilakukan atas kesukarelaan. Kesukarelaan
tersebut meliputi sikap dan perbuatan. Pada saat orang melakukan tindakan secara
tidak sukarela, maka tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tidak adil
ataupun adil, kecuali dalam beberapa cara khusus. Melakukan tindakan yang dapat
dikategorikan adil harus ada ruang untuk memilih sebagai tempat pertimbangan.
Sehingga dalam hubungan antara manusia ada beberapa aspek untuk menilai
tindakan tersebut yaitu, niat, tindakan, alat, dan hasil akhirnya. Ketika (1)
kecideraan berlawanan deengan harapan rasional, adalah sebuah kesalahansasaran

(misadventure), (2) ketika hal itu tidak bertentangan dengan harapan rasional,
tetapi tidak menyebabkan tindak kejahatan, itu adalah sebuah kesalahan. (3) Ketika
tindakan dengan pengetahuan tetapi tanpa pertimbangan, adalah tindakan
ketidakadilan, dan (4) seseorang yang bertindak atas dasar pilihan, dia adalah
orang yang tidak adil dan orang yang jahat.
Melakukan tindakan yang tidak adil adalah tidak sama dengan melakukan sesuatu
dengan cara yang tidak adil. Tidak mungkin diperlakukan secara tidak adil apabila
orang lain tidak melakukan sesuatu secara tidak adil. Mungkin seseorang rela
menderita karena ketidakadilan, tetapi tidak ada seorangpun yang berharap
diperlakukan secara tidak adil.
Dengan demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian merupakan keadilan
yang telah ditentukan oleh alam, sebagian merupakan hasil ketetapan manusia
(keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal, sedangkan keadilan yang
ditetapkan manusia tisak sama di setiap tempat. Keadilan yang ditetapkan oleh
manusia inilah yang disebut dengan nilai.
Akibat adanya ketidak samaan ini maka ada perbedaan kelas antara keadilan
universal dan keadilan hukum yang memungkinkan pembenaran keadilan hukum.
Bisa jadi semua hukum adalah universal, tetapi dalam waktu tertentu tidak mungkin
untuk membuat suatu pernyataan universal yang harus benar. Adalah sangat
penting untuk berbicara secara universal, tetapi tidak mungkin melakukan sesuatu
selalu benar karena hukum dalam kasus-kasus tertentu tidak terhindarkan dari
kekeliruan. Saat suatu hukum memuat hal yang universal, namun kemudian suatu
kasus muncul dan tidak tercantum dalam hukum tersebut. Karena itulah persamaan
dan keadilan alam memperbaiki kesalahan tersebut.
2.JOHN RAWLS
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih
menekankan pada keadilan sosial.[6] Hal ini terkait dengan munculnya
pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu.
Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup
manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.
Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur
dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan,
kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. Kategori
struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk:
menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak
melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.
Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situsi sosial
sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat

digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas


ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress)masyarakat
pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian
dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota masyarakat secara
sederajat.
Ada tiga syarat suapaya manusia dapat sampai pada posisi asli, yaitu:
Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi
tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya,
kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain.
Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk memegang
pilihannya tersebut.
Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru
kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang harus
diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.[7]
Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:
Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua
pihak;
Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling lemah.
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil
atas kesempatan.
Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yaitu:
Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas.
perbedaan
persamaan yang adil atas kesempatan.
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai
kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini
adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian
keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun
realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya
terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini
menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila
sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang
sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya memunculkan
perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik
berangkat yang sama.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Uraian dalam tulisan ini adalah secuil khasanah pemikiran keadilan yang
berkembang sepanjang sejarah peradaban manusia, sesuai dengan semangat
jamannya, situasi politik, dan pandangan hidup yang berkembang. Untuk
mempelajari keadilan memang sebuah aktivitas yang tidak ringan, apalagi mencoba
merumuskannya sesuai dengan semangat jaman saat ini.
Namun kesulitan tersebut bukan berarti bahwa studi-studi tentang keadilan harus
dikesampingkan. Untuk kalangan hukum, studi keadilan merupakan hal yang
utama, sebab keadilan adalah salah satu tujuan hukum, bahkan ada yang
menyatakan sebagai tujuan utamanya.
Mempelajari hukum tanpa mempelajari keadilan sama dengan mempelajari tubuh
tanpa nyawa. Hal ini berarti menerima perkembangan hukum sebagai fenomena
fisik tanpa melihat desain rohnya. Akibatnya bisa dilihat bahwa studi hukum
kemudian tidak berbeda dengan studi ilmu pasti rancang bangun yang kering
dengan sentuhan keadilan.
Praktek hukum terseret pada tantangan-tantangan spesialistik, teknologis, bukan
lagi pertanyaan-pertanyaan moral. Kaum profesional adalah orang-orang yang ahli
dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan tanyakan pada mereka tentang
moralitas. Praktek ini membuat sindiran sinis terhadap hukum di Amerika di mana
semboyan Equal Justice Under The Law di dinding Supreme Court (AS) ditambah
dengan kata-kata To All Who Can Afford It. Bagaimana dengan di Indonesia?

DAFTAR PUSTAKA
Beilharz, Peter. Ed. Teori-Teori Sosial. (Social Theory: A Guide to Central Thinkers).
Diterjemahkan oleh: Sigit Jatmiko. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.
Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur. International Law Book Services.
1994.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta. PT Gramedia
Pustaka Utama. 1995.
Friedmann, W. Teori Dan Filsafat Hukum. (Legal Theory). Diterjemahkan oleh:
Mohamad Arifin. Susunan I. Cetakan II. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1993.
. Teori Dan Filsafat Hukum. (Legal Theory). Diterjemahkan oleh: Mohamad
Arifin. Susunan II. Cetakan II. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1993.

Hart, H.L.A. .The Concept Of Law. Tenth Impression. London. Oxford University Press.
1961.
Kelsen, Hans. Introduction To The Problems Of Legal Theory. (Reine Rechtslehre).
First Edition. Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson.
Oxford. Clarendon Press Oxford. 1996.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Edisi Revisi. Cetakan II. Jakarta.
Pustaka Mizan. 1997.
Popper, Karl R. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya. (Open Society and Its
Enemies). Diterjemahkan oleh:Uzair Fauzan. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
2002.

Menarik sekali ketika kita sebagai masyarakat umum dan khususnya sebagai pelajar
diperhadapkan dengan situasi carut marutnya pelaksanaan hukum di Indonesia.
Pelaksanaan atau praktek hukum di Negeri ini tidak hanya terletak pada aparat
penegak hukum, tetapi juga karena diakibatkan oleh kerancuan opini publik dalam
mengartikan atau mendefenisikan pengertian 3 substansi hukum yakni keadilan,
kemanfaatn, serta kepastian hukum. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru di
masyarakat kita, akan tetapi sudah menjadi konsumsi publik dimana di dalamnya
terdapat perbedaan persepsi atau pandangan mengenai eksistensi penerapan
hukum di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa tiga (3) nilai-nilai dasar yang dikemukakan
di atas dikemukakan oleh Gustav Radbuch dimana orientasinya adalah untuk
menciptakan harmonisasi pelaksanaan hukum termasuk salah satunya adalah di
Indonesia tentunya. Sebagaimana yang menjadi tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif
dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan
yang manusia dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang
dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang
sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Usaha mewujudkan
pengayoman ini termasuk di dalamnya diantaranya adalah mewujudkan ketertiban
dan keteraturan, mewujudkan kedamaian sejati, mewujudkan keadilan bagi seluruh
masyarakat, mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat.

Namun, dalam prakteknya terkadang masyarakat tidak merasa puas dan bahkan
menganggap bahwa hukum di Indonesia tidak membawa keadilan bagi
masyarakatnya dan lebih ironisnya lagi menganggap bahwa hukum tersebut
hanyalah berpihak pada golongan tetentu yang tentunya unggul dalam berbagai
aspek, seperti aspek ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Kondisi ini menunjukkan
bahwa ternyata praktek hukum di Negeri ini belum memberikan kepuasaan
terhadap masyarakatnya atau yang menjadi obyek hukum itu sendiri yang memang
sangat kontradiksi dengan tujuan hukum yang ideal.
Fenomena di atas meruapakan keadaan yang berseberangan antara das sein (yang
ada) dan das solen (seharusnya) dalam masyarakat yang pada gilirannya akan
melahirkan erosi kepercayaan terhadap penegakkan hukum di Indonesia. Akan
tetapi, dalam tulisan ini tidak akan membahas terlalu jauh mengenai bagaimana
dinamika penegakkan hukum di Indonesia tetapi lebih mengkerucut kepada
pengertian tiga (3) nilai dasar hukum yang disebutkan di atas agar tidak
menimbulkan penafsiran yang salah mengenai hukum itu sendiri karena hukum
adalah hukum itu sendiri yang memuat tentang norma atau pedoman hidup
manusia dalam bertindak dan berperilaku yang berisi tentang anjuran, larangan,
serta sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya.
Nilai dasar yang pertama adalah keadilan hukum, sebagaimana dikemukakan Prof.
Dr. H. Muchsin, SH, bahwa keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain
darikepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Sedangkan
makna keadilan itu sendiri masih menjadi perdebatan. Namun keadilan itu
terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban.
Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai keadilan bagi
hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan rechct ist wille zur
gerechtigkeit (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan). Sedangkan Soejono
K.S mendefinisikan keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang
memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan
kebenaran yang beriklim toleransi dan kebebasan.
Selanjutnya, hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri melainkan untuk
manusia, khususnya kebahagiaan manusia. Hukum tidak memilki tujuan dalam
dirinya sendiri. Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan dan menciptakan
kesejahteraan sosial. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimumnya, hukum akan
terperosok menjadi alat pembenar kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak
penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Itulah sebabnya maka
fungsi utama dari hukum pada akhirnya menegakkan keadilan.
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan
sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum bukan hanya keadilan,
tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Idealnya, hukum memang
harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya, sedapat mungkin
merupakan resultant dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang

berpendapat, bahwa di antara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan


tujuan hukum yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan
adalah tujuan hukum satu-satunya. Hubungannya degan hal tersebut, maka Plato
(428-348 SM) pernah menyatakan, bahwa negara ideal apabila didasarkan atas
keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan dan harmoni. Harmoni di sini
artinya warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara (polis), di mana
masing-masing warga negara menjalani hidup secara baik sesuai dengan kodrat
dan posisi sosialnya masing-masing.
Namun di lain sisi, pemikiran kritis memandang bahwa keadilan tidak lain sebuah
fatamorgana, seperti orang melihat langit yang seolah-olah kelihatan, akan tetapi
tidak pernah menjangkaunya, bahkan juga tidak pernah mendekatinya. Walaupun
demikian, haruslah diakui, bahwa hukum tanpa keadilan akan terjadi kesewenangwenangan. Sebenarnya keadilan dan kebenaran merupakan nilai kebajikan yang
paling utama, sehingga nilai-nilai ini tidak bisa ditukar dengan nilai apapun. Dari sisi
teori etis ini, lebih mengutamakan keadilan hukum dengan mengurangi sisi
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, seperti sebuah bandul (pendulum) jam.
Mengutamakan keadilan hukum saja, maka akan berdampak pada kurangnya
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, demikian juga sebaliknya.
Kemudian nilai dasar yang kedua adalah kemanfaatan hukum. Penganut aliran
utilitas menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan
kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya
warga masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial, bahwa setiap
warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya.
Salah seorang tokoh aliran utilitas yang paling radikal adalah Jeremy Benthan
(1748-1832) yakni seorang filsuf, ekonom, yuris, dan reformer hukum, yang
memiliki kemampuan untuk memformulasikan prinsip kegunaan/kemanfaatan
(utilitas) menjadi doktrin etika, yang dikenal sebagai utilitarianism atau madzhab
utilitis. Prinsip utility tersebut dikemukakan oleh Bentham dalam karya
monumentalnya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789).
Bentham mendefinisikannya sebagai sifat segala benda tersebut cenderung
menghasilkan kesenangan, kebaikan, atau kebahagiaan, atau untuk mencegah
terjadinya kerusakan, penderitaan, atau kejahatan, serta ketidakbahagiaan pada
pihak yang kepentingannya dipertimbangkan. Aliran utilitas menganggap bahwa
pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau
kebahagiaan masyarakat. Aliran utilitas memasukkan ajaran moral praktis yang
menurut penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan
yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat. Bentham
berpendapat, bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya untuk manfaat
sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.
Akan tetapi, konsep utilitas pun mendapatkan ktitikan tajam seperti halnya yang
dialami oleh nilai pertama di atas, sehingga dengan adanya kritik-kritik terhadap
prinsip kemanfaatan hukum tersebut, maka John Rawls, mengembangkan sebuah

teori baru yang menghindari banyak masalah yang tidak terjawab oleh
utilitarianism. Teori kritikan terhadap utilitas dinamakan teori Rawls atau justice as
fairness (keadilan sebagai kejujuran).
Selanjutnya adalah nilai dasar yang ketiga yakni kepastian hukum. Kepastian hukum
merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam
artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian
aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan
dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan
berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis,
pandangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan
oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo
hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu
ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari
jatuhnya korban.
Kemudian muncul pengaruh pemikiran Francis Bacon di Eropa terhadap hukum
pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan
ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara
hukum yang normatif (peraturan) dapat dimuati ketertiban yang bermakna
sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin
yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukuman-hukuman yang terjadi
karena pelanggarannya. Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum,
bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan
hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian
perilaku terhadap hukum secara benar-benar.
Terkait dengan hubungan dari ketiga nilai dasar hukum yang telah disebutkan
diatas, sekalipun sudah dijelaskan, namun diantara mereka dapat terjadi
ketegangan satu sama lain. Ketegangan itu bisa dimengerti oleh karena ketigatiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan yang satu sama lain mengandung
potensi untuk bertentangan. Apabila diambil sebagai contoh kepastian hukum maka
sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan kesamping.
Menurut Radbruch, jika terjadi ketegangan antara nilai-nilai dasar tersebut, kita
harus menggunakan dasar atau asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh
pada nilai keadilan, baru nilai kegunaan atau kemanfaatan dan terakhir kepastian
hukum. Ini menunjukkan bahwa Radbruch menempatkan nilai keadilan lebih utama
daripada nilai kemanfaatan dan nilai kepastian hukum dan menempatkan nilai
kepastian hukum dibawah nilai kemanfaatan hukum.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Achmad Ali yang menyatakan bahwa ia sendiri
setuju dengan asas prioritas tetapi tidak dengan menetapkan urutan prioritas
sebagaimana dikemukakan oleh Radbruch. Ia menganggap merupakan hal yang
lebih realistis jika kita menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang ia maksudkan
ketiga nilai dasar hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi. Menurutnya jika
asas prioritas kasuistis ini yang dianut maka sistem hukum kita akan terhindar dari
berbagai konflik yang tidak terpecahkan.
Di atas disebutkan bahwa antara nilai-nilai dasar hukum dapat terjadi ketegangan.
Ketegangan tersebut muncul pada saat hukum tersebut diterapkan dalam proses
persidangan di pengadilan. Hal ini terjadi karena dalam proses penerapan hukum di
Pengadilan terdapat faktor yang mempengaruhi para penegak hukum, diantaranya
adalah norma yang berlaku bagi mereka yang ditetapkan oleh pembuat UndangUndang serta kekuatan sosial dan pribadi.

Pengertian Hukum Menurut para Ahli |Apa itu hukum? Dalam pengertian
sederhana, hukumadalah kumpulan peraturan hidup (perintah-perintah dan
larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat yang seharusnya
ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Hukum terdiri dari peraturan yang dibuat
oleh lembaga yang berwenang. Hukum mengikat semua orang. Oleh karena itu,
hukum harus ditaati karena mengatur kehidupan manusia sehingga hukum memiliki
arti penting. Sebenarnya, apa dan bagaimana hukum itu? Para Ahli telah berusaha
memberikan pengertian hukum.
Prof. Mr. E. M. Meyers: Hukum adalah semua peraturan yang memuat pertimbangan
kesusilaan, ditujukan kepada perilaku manusia dalam masyarakat, dan menjadi
panduan bagi pemerintahan Negara dalam melakukan tugasnya.
Leon Duguit: Hukum adalah peraturan perilaku para anggota masyarakat, peraturan
yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat
sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar akan menimbulkan
reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
Immanuel Kant: Hukum adalah kumpulan syarat yang membuat kehendak bebas
dari satu orang dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain,
menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
Drs. E. Utrecht, S. H: Hukum adalah kumpulan aturan-aturan (perintah dan
larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan karenanya harus
dipatuhi oleh masyarakat itu.
S.M Amin, S. H: Hukum adalah himpunan aturan/peraturan yang mengandung
norma dan sanksi.

J.C.T. Simorangkir, S.H: Hukum adalah aturan-aturan yang mempunyai sifat


memaksa, menentukan perilaku manusia dalam masyarakat, dan dibuat oleh
lembaga resmi yang berwajib. Pelanggaran terhadap aturan tadi akan
mengakibatkan tindakan, yaitu hukuman.
M. H. Tirtaatmidjaja, S.H: Hukum adalah keseluruhan aturan atau norma yang harus
dipatuhi dalam tindakan atau tingkah laku pergaulan hidup dengan ancaman
mengganti kerugian jika melanggar peraturan itu akan mendatangkan bahaya diri
sendiri, atau harta, misalnya orang akan hilang kemerdekaannya atau didenda, dan
sebagainya.
Ini adalah Coretan khusus saya yang diambil dari beberapa referensi Internet
mengenai definisi dan seputar pengertian/arti dari hukum itu sendiri.
Hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan hidup suatu
masyarakat yang bersifat kendalikan, mencegah, mengikat, memaksa.Dinyatakan
atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh
anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tata yang
dikehendaki oleh penguasa tersebut.
Dengan kata lain Hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi perintah
ataupun larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang
aman, tertib, damai dan tentram,serta terdapat sanksi bagi siapapun yang
melanggarnya.Tujuan darinhukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban,
ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan
bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan
melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum
yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap
orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Pengertian Hukum Menurut Para Aristoteles Particular law is that which each
community lays down and applies to its own members. Universal law is the law of
nature (Hukum tertentu adalah sebuah hukum yang setiap komunitas meletakkan
ia sebagai dasar dan mengaplikasikannya kepada anggotanya sendiri. Hukum
universal adalah hukum alam).
Pengertian Hukum Menurut Para Grotius Law is a rule of moral action obliging to
that which is right (Hukum adalah sebuah aturan tindakan moral yang akan
membawa kepada apa yang benar).
Pengertian Hukum Menurut Para Hobbes Where as law, properly is the word of him,
that by right had command over others (Pada dasarnya hukum adalah sebuah kata
seseorang, yang dengan haknya, telah memerintah pada yang lain).
Pengertian Hukum Menurut Para Phillip S. James Law is body of rule for the
guidance of human conduct which are imposed upon, and enforced among the

members of a given state (Hukum adalah tubuh bagi aturan agar menjadi petunjuk
bagi kelakuan manusia yang mana dipaksakan padanya, dan dipaksakan terhadap
ahli dari sebuah negara).
Pengertian Hukum Menurut Para Immanuel Kant Hukum ialah keseluruhan syaratsyarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan
diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum
tentang kemerdekaan.
Pengertian Hukum Menurut Para Prof. Mr. EM. Meyer Hukum adalah semua
peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku
manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara
dalam melakukan tugasnya.
Pengertian Hukum Menurut Para Leon Duquit Hukum adalah aturan tingkah laku
para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu
diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan
jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan
pelanggaran itu.
Pengertian Hukum Menurut Para SM. Amin, SH. Hukum adalah kumpulan
peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang disebut
hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan
manusia sehingga keamanan dan ketertiban terjamin.
Pengertian Hukum Menurut Para MH. Tirtaatmidjaja, SH Hukum adalah seluruh
aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam
pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturanaturan itu, akan membahagiakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan
kehilangan kemerdekaan dan didenda.
Pengertian Hukum Menurut Para Wasis Sp. Hukum adalah perangkat peraturan baik
yang bentuknya tertulis atau tidak tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang,
mempunyai sifat memaksa dan atau mengatur, mengandung sanksi bagi
pelanggarnya, ditujukan pada tingkah laku manusia dengan maksud agar kehidupan
individu dan masyarakat terjamin keamanan dan ketertibannya.

Hukum dan moral merupakan dua entitas yang memiliki tujuan yang sama untuk
mencapai keadilan. Tetapi persoalannya adalah baik hukum, moral maupun keadilan
adalah sesuatu yang abstrak.[1] Hanya kaum positivistik dapat mengkonkretkan
hukum, moral dan keadilan melalui sekumpulan peraturan perundang-undangan.
Sementara kaum Sofis, terutama mazhab hukum alam klasik hanya sampai pada
pemahaman bahwa hukum dan moral memiliki nilai, yaitu nilai kebaikan, nilai
kemanfaatan, dan nilai kebahagian demi pencapaian keadilan.
Hal itu memang terbukti dengan telaah histori aliran pemikiran dalam ilmu. Hukum
pada fase pertamanya semata-mata selalu dinarasikan sebagai keadilan.
Pemahaman hukum yakni sesuatu yang abstrak. Titik tautnya hanya mampu
diketemukan melalui penggalian pada hakikat dan makna segala dimensi kebaikan
dan keburukan yang terpatri dalam rasio, baru kemudian diwujudkan dalam
tindakan, perbuatan, hingga pada pergaualan sosial.
Kendatipun hukum sudah dianggap konkret dengan peraturan peundanganundangan. Utang budi yang belum terbayar oleh penganut hukum positivistik;
seperti Hans Kelsen, John Austin dan HLA Hart terhadap mazhab hukum alam yang
selalu membincangkan keadilan. Bahwa sekuat apapun hukum positif
membersihkan segala anasir nonhukum[2] terhadap kepastian hukum, terutama
anasir hukum moral. Hukum sebagai peraturan perundang-undangan tidak akan
terbentuk tanpa penalaran awal teori hukum yang digali dari seperangkat moral
keabadian dan keadilan yang terdapat di alam rasio manusia.
Pertautan hukum dan keadilan dibangun
berdasarkan maxim, principat, postulat, principle sehingga hukum lahir
secara concreto. Segala penyebutan medium tersebut sebagaimana apa yang
disebut asas-asas hukum merupakan beginsel. Beginsel sendiri diartikan awal
untuk memulai sesuatu. Sedangkan sesuatu di sini yang dicakup adalah hukum.
Sehingga asas hukum yang mengikat daya keberlakukan hukum itulah wujudnya
dalam norm in concreto pada tujuannya untuk mencapai keadilan.
Hubungan hukum dan keadilan walaupun sifat dasarnya abstrak, seolah-olah hanya
menjadi ruang lingkup telaah filsafat. Tetapi kelesatarian sebagai relafansi antara
hukum dan keadilan selalu terjaga. Lintasan sejarah dari seluruh aliran pemikiran
dalam ilmu hukum senantiasa memperjuangkan keadilan, entah dari sudut pandang
manapun caranya memandang hukum, baik hukum dipdang sebagai objek, maupun
hukum dipandang sebagai bagian dari subjek yang melekat dalam diri personal.
Harus diakui segala analisis, pembongkaran, dekonstruksi, hingga kritik terhadap
hukum dalam tataran implementatif semuanya terikat dengan kehendak untuk
mewujudkan hukum dalam tujuannya untuk mencapai keadilan.

Itulah sebabnya pembagian keadilan yang pernah dikemukakan oleh


Aristoteles[3] hingga sekarang tetap relevan untuk menyentuh terhadap segala
tindakan untuk mempertahankan hukum dalam segala sisinya. Yakni, hukum dalam
sisi menbentuk undang-undang merupakan pengikatan resmi terhadap keadilan
distributif (mutlak; principa prima). Sedangkan pekerjaan hakim yang berfungsi
untuk mempertahankan basis keadilan dalam perundang-undangan dituntut untuk
menjadi pengadil yang menegakan hukum dalam wujudnya sebagai keadilan
kumutatif (relatif; principa secundaria).
Baik hukum maupun moral dan keadilan merupakan sesuatu yang abstrak. Oleh
karena itu wajar kiranya jika terjadi multipersepsi terhadap hukum dalam
pendefenisiannnya.
Bahkan ahli hukum sekaliber van Apeldoorn sampai pada kesimpulan tidak
memberikan satupun tentang defenisi hukum itu. Apeldoorn hanya menyatakan
bahwa defenisi hukum itu sangatlah sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk
mengadakannya sesuai dengan kenyataan.[4]
Dalam pendapat yang hampir serupa, Immanuel Kant mengemukakan Noch suchen
die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht - tidak ada seorang
Yurispun yang dapat mendefenisikan hukum dengan tepat.
Meskipun demikian, dalam hemat Penulis tetap penting untuk dikemukakan
pengertian hukum. Paling tidak sebagai dasar untuk memberi pemhaman awal agar
dapat diidentifikasi sifat pembedaannya dengan ilmu sosial lainnya. Seperti ilmu
sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Atas dasar penelitian yang pernah dilakukan Soerjono Soekanto mengidentifikasi
paling sedikit sepuluh arti hukum sebagai berikut:[5]
Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara
sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;
Hukum sebagai disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atas gejalagejala yang dihadapi;
Hukum sebagai kaidah, yakni sebagai pedoman atau patokan perilaku yang pantas
dan diharapkan;
Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur proses perangkat kaidah-kaidah hukum
yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta berbentuk tertulis;
Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang
berhubungan erat dengan penegak hukum;
Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi;

Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik antara
unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;
Hukum sebagai perilaku yang ajeg atau teratur;
Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi abstrak tentang apa
yang dianggap baik dan buruk;
Hukum sebagai seni (legal art).
Dalam menguraikan pengertian hukum di makalah ini, penting juga dikemukakan
defenisi hukum yang pernah diuraikan oleh Muchtar Kusumatmadja.
Dasar falsafatinya sehingga penting untuk diuraikan pendapat tersebut. Sebab
Kusumaatmadja berhasil menggabungkan atau dengan kata lain mendamaikan
semua aliran pemikiran dalam ilmu hukum sehingga teori hukum yang pernah
dipertahankan oleh masing-masing mazhabnya bertemu dalam satu kesatuan
pengertian sebagaimana Kusumaatmadja menyebutnya sistem hukum.
Lengkapnya, bahwa hukum didefenisikan sebagai mazhab hukum Unpad Law and
Developmet adalah seperangkat kaidah, asas-asas, lembaga hukum dan setiap
proses-proses yang mengikat daya keberlakuannya.[6]
Atas cakupan dari kaidah, asas-asas dan lembaga dalam pendefenisian hukum
tersebut merupakan saluran pendefenisian yang merangkum mazhab hukum alam
sekaligus mazhab hukum positivistik. Sedangkan proses-proses yang mengikat
daya keberlakuannya tidak lain dari faktor nonhukum yang menjadi pusat kajian
dari aliran sejarah hukum dan aliran realisme hukum.
Selain dikemukakan pengertian hukum menurut Kusumaatmadja, penting pula
diuraikan pengertian hukum menurut Achmad Ali, sebagaimana yang dikemukakan
dalam bukunya Menguak Tabir Hukum setelah beliau mengutip beberapa
pendapat para ahli tentang pendefenisian hukum.
Achmad Ali bisa dkatakan cukup lengkap dalam merangkum pengertian hukum dari
berbagai pakar, beliau merangkum semua pandangan para pemikir barat, pemikir
timur hingga pemikir Islam lalu pada akhirnya beliau tiba pada kesimpulan defenisi
yang dapat mengartikulasikan hukum itu.
Achmad Ali memandang bahwa apa yang dimaksud sebagai hukum adalah yang
dimanifestasikan dalam wujud yaitu:
Hukum sebagai kaidah (hukum sebagai sollen);
Hukum sebagai kenyataan (hukum sebagai sein).
Bahwa hukum sebagai kenyataan merupakan hal yang paling utama tetapi tidak
berarti bahwa hukum sebagai kaidah dapat diabaikan, sebab hukum sebagai

kenyataan tetap bersumber dari hukum sebagai kaidah. Hanya saja lebih
konkretnya hukum sebagi kaidah tidak saja yang termuat dalam hukum positif
belaka, tetapi keseluruhan kaidah sosial yang diakui keberlakuannya oleh otoritas
tertinggi yang ada dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, Achmad Ali mengemukakan
bahwa hukum adalah:[7]
Seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam suatu sistem yang
menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh
manusia seebagi warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang
bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui
keberlakuannya oleh otorias tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benarbenar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam
kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan
bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.
Pada dasarnya terdapat kesamaan pandangan antara Kusumaatmadja melihat
hukum dalam dua susut pandang, yakni hukum dipandang sebagai kaidah atau
norma dan hukum dipandang keberlakuannya dalam kenyataan. Das sein yang
dimaksudkan oleh Achmad Ali sebenarnya itulah yang dipahami oleh
Kusumaatmadja sebagai segala proses yang mengikat daya keberlakuan hukum
itu. Hukum dalam kenyataan sama halnya dengan segala proses eksternal yang
mempengaruhi hukum yang dijalankan bedasarkan ketentuannya.
Tentunya baik hukum dalam kenyataan (law in action) maupun hukum dalam wujud
sebagai kaidah sebagaimana yang terdapat dalam perundang-undangan (law in
book), sisi ideal yang hendak dicapai sebagai pencapaian paling tertinggi sebagai
hukum yang dicita-citakan (ius conctituendum) sudah pasti tujuan hukum untuk
mencapai keadilan.
Pertanyaan selanjutnya, kalau demikan lantas dimana letaknya hukum untuk
mencapai kepastian dan kemafaatan? Jawabannya sudah pasti terdapat dalam
hukum sebagai kaidah dan hukum sebagai kenyataan.
Oleh karena itu dalam hemat Penulis baik tujuan hukum sebagai kepastian maupun
tujuan hukum dalam sisi manfaat hal demikian lebih cocok dikatakan sebagai
proses atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai keadilan dari hukum itu sendiri.
Hanya saja pekerjaan mereka yang berkecimpung di bidang filsafat kendati selalu
berusaha mencari pendefenisian tentang makna keadilan itu sendiri, tindakan
mereka semata-mata untuk memberikan gambaran justice in concreto.
Dalam berbagai literatur terdapat berbagai pandangan para ahli yang mencoba
memberikan defenisi tentang keadilan. Diantaranya Soerjono Koesoemo Sisworo,
Suhrawardi K. Lubis, Thomas Aquinas, Aristoteles, Achmad Ali, dan NE. Algra.

Menurut Soejono Koesoemo Sisworo[8] keadilan adalah keseimbangan batiniah


dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan
perkembangan kebenaran, yang beriklim toleransi dan kebebasan. Sedangkan
menurut Suhrawardi K. Lubis[9] dalam bukunya Etika Profesi Hukum,
mengemukakan bahwa Adil atau Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan
seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang
seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui hak
hidup, maka sebaiknya kita harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan
jalan bekerja keras, dan kerja keras yang kita lakukan tidak pula menimbulkan
keugian terhadap orang-orang, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama.
Dengan pengakuan hidup orang lain, otomatis kita wajib memberikan kesempatan
kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak individunya.
Selanjutnya, Thomas Aquinas[10] seorang tokoh filsuf hukum alam,
mengelompokkan keadilan menjadi dua, yaitu:
Keadilan umum, yaitu keadilan menurut kehendak Undang-Undang yang harus
ditunaikan demi kepentingan umum.
Keadilan khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada asas kesamaan atau
proposionalitas.
Jauh hari sebelumnya Aristoteles[11] juga pernah mengemukakan keadilan.
Aristoteles menguraikan justice is political virtue, by the rules of the state is
regulated and these rules the eterion of what is righ.
Aristoteles pulalah sebenarnya yang pertama kali meletakkan dua pembagian
keadilan secara proporsional yang terbagi menjadi keadilan distributif, keadilan
kumutatif dan keadilan vendikatif. [12]
Pertama, keadilan distributif (justitia distributive) adalah keadilan yang secara
proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Kedua,
keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan
kontraprestasi. Ketiga, keadilan vendikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan
hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia
dipidana badan atau denda sesuai besarnya hukuman yang telah ditentukan atas
tindakan pidana yang dilakukannya.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[13] kata adil mempunyai arti;
tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, dan berpegang
teguh pada kebenaran. Sedangkan keadilan merupakan sifat (perbuatan, perlakuan,
dan sebagainya) yang adil.
Achmad Ali lebih melihat keadilan dalam tujuan hukum semata, bahwa keadilan
tidaklah dapat dijadikan satu-satunya tujuan hukum. Sebab bagaimanapun nilai
keadilan selalu subjektif dan abstrak. Achmad Ali lebih setuju jika keadilan bersama-

sama dengan kepastian dan kemanfataan dijadikan tujuan hukum secara prioritas,
sesuai dengan kasus in concreto. Tampaknya, pandangan Achmad Ali demikian
dalam memotret tujuan hukum lebih dominan pada ajaran dari tujuan hukum
secara kasuistis.
Dengan sifat keadilan yang abstrak tersebut, NE. Algra[14] pun akhirnya
mengemukakan bahwa apakah sesuatu itu adil (rechtvaarding), lebih banyak
tergantung pada rechmatigheid (kesesuaian dengan hukum), pandangan pribadi
seorang penilai. Kiranya lebih baik mengatakan itu tidak adil, tetapi itu mengatakan
hal itu saya anggap adil. Memandang sesuatu itu adil, terutama merupakan suatu
pendapat mengenai nilai secara pribadi.
Antara Hukum dan Keadlian memang saling terkait seperti dua sisi mata uang,
hukum tanpa keadilan ibarat badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan tanpa hukum
akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di dalam mengambil
keputusan mempunyai ruang lingkup diskresi yang luas serta tidak ada
keterkaitanya dengan perangkat aturan.

Hubungan Hukum dan Keadilan


Summum Ius Summa Injuria/ Summa Lex Summa Crux. Keadilan tertinggi dapat
berarti ketidakadilan tertinggi. Demikianlah hukum yang selalu mencita-citakan
keadilan maka selama itu pula pasti dalam perwujudannya akan terhenti untuk
mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.
Hal ini benar adanya, in qasu putusan pengadilan selalu saja menyisakan ada
ketidakadilan di sana. Masih terdapat bebarapa orang yang merasakan bahwa
putusan hakim yang diwajibkan untuk memutus demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa oleh komunitas tertentu, ada kalanya menganggap
putusan hakim tidaklah memenuhi rasa keadilan bagi dirinya.
Tetapi tidak berarti bahwa timbulnya respon atau reaksi dari partisipan hukum yang
dikenai pemberlakuan hukum. Kita dengan serta merta mengambil kesimpulan
bahwa antara hukum dan keadilan tidak ada gunanya, bahkan tidak ada
hubungannya. Oleh karena keadilan memang hanya sesuatu yang dicita-citakan.
[15] Ibarat penilaian baik dan benar tidak ada yang bisa menggambarkan sejelasjelas mungkin. Sebab apa? Karena lagi-lagi keadilan sudah dikatakan dari awal
adalah sifatnya abtrak dan memang keadilan hanyalah tujuan akhir. Niscaya
manusia terbatas untuk menggapainya.
Pun kalau ada yang mengatakan dapat dicapai keadilan dengan hati nurani. Itu juga
hanya dalam wilayah tingakatan rasa sekaligus naluri yang diusahakan sepadan
dengan naluri orang lainnya.
Kalau demikian, bukankah hukum yang didentikan sebagai perundang-undangan
tidak lain dari rasa kebaikan, rasa kebenaran, kejahatan, dan keburukan yang
kemudian diberlakukan secara imperatif. Maka terdapatlah bangunan rasa dan
naluri sepadan, universal melalui konsensus moral sejawat kesepahaman.
Maka bersandar, berdasarkan seluruh analogi tersebut, dari situlah hukum dan
keadilan terjadi keterakaitan yang tidak dapat dipsahkan satu dengan lainnya. Bagi
penganut mazhab hukum positivistik ketika memandang hukum hanya seperangkat
perundang-undangan semata, maka pertanyaan yang harus dijawab oleh kaum ini:
Lantas berasal dari manakah hukum itu sehingga lahir menjadi sekumpulan kaidah,
norma, ketentuan, hingga menjadi sekumpulan perundang-undangan? Apakah
cukup lahir dari rasionya saja? Apakah lahir dari rasio Tuhan yang diturunkan
melalui rasio manusia (lex humana)[16] ataukah lahir dari alam kebatinan yang
dipahami sebagai pengalaman kebatinan berkat kemampuannya memilah kebaikan
dan keburukan?
Semua pertanyaan tersebut terjawab dengan mengatakan bahwa itu moral dan
apa yang dikehendaki oleh moral sudah pasti kebaikan. Kebaikan otomotasi satu
haluan dengan keadilan. Segala pekerjaan untuk mengkonkretisasi hukum identik

dengan moral, hukum identik dengan keadilan akan terejawantakan dalam prinsipprinsip hukum.
Dalam konteks ini, dalil ketiga hukum dalam pengembanan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Mewissen[17] akan menjadi satu kesatuan terhadap seluruh
abstraksi teoritikal atas gejala hukum tersebut. Baik ilmu hukum, teori hukum dan
filsafat hukum merupakan sentral untuk melahirkan banyaknya jumlah keadilan
melalui banyaknya jumlah asas-asas hukum dalam setiap lapangan ilmu hukum.
Antara filsafat hukum yang terpusat pada keadilan kemudian melahirkan
sekumpulan teori hukum, maka dalam tataran itulah teori hukum dan keadilan akan
menurunkan asas hukum, lalu menciptakan sejumlah ketentuan yang dipahami
sebagai kaidah hukum.
Asas hukum dalam pemainan moral dan keadilan ini dapat dikatakan wadah yang
berada di tengah-tengah untuk mencari konsesensus publik sehingga hukum benarbenar imparsial, integral, hingga tercapai sisi keadilannya.
Hubungan hukum dan keadilan pula dapat diamati pada setiap tujuan hukum. Mulai
dari tujuan hukum ajaran etis, ajaran prioritas baku hingga ajaran kasusistis.
Satupun dari ajaran tersebut tidak ada yang dapat melepaskan diri dari tujuan
hukum pada sisi keadilannya. Hanya saja dilengkapi dengan tujuan hukum lain
seperi kepastian, kemanfaatan, dan predictibility.
Termasuk pula bagi pembentuk perundang-undangan sekalipun konsisten untuk
melepaskan diri dari sisi keadilan sebagai salah satu tujuan hukum, pada
hakikatnya masih dituntut untuk merumuskan teori hukum berdimensi keadilan
yang dapat mendukung pentingnya undang-undang tertentu dilembagakan dalam
lembaga negara. Bahwa dalam setiap perundang-undangan selalu dilengkapi
dengan konsideran menimbang, mengatur, menetapkan. Perlu diketahui di dalam
konsideran menimbang tersebut, terdapat pertimbangan filsufis yang mencatat
tujuan hukum sebagai keadilan atas pembentukan Undang-Undang itu.[18]
Hingga sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstistusi yang berfungsi
sebagai aparatur penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan
hukum, menjaga sisi keadilan hukum. Hakim diwajibkan pula untuk mengutamakan
keadilan dalam melahirkan putusan-putusannya.[19] Hakim diwajibkan menggali
nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar hukum tetap konsisten
untuk selalu memperjuangkan keadilan.
Upaya hakim untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya tat kala
perkara-perkara hukum hendak dikonstatir dalam perundang-undangan, lalu
perundang-undangan ternyata tidak cukup memberinya pengaturan. Hakim dalam
posisi demikian dapat melakukan penafsiran dan konstruksi hukum. Ingat!
pekerjaaan hakim di sini untuk melakukan penafsiran atas ketentuan hukum yang
kabur, pada dasarnya menjadi pekerjaan untuk mengakomodasi kaidah-kaidah tidak

tertulis yang diakui keberadaannya dalam masyarakat, agar pencapaian keadilan


untuk masyarakat, diharapakan hakim dapat mewujudkannya.
Atas dasar itu kemudian menjadi pembenaran saat Roland
Dworkin[20] mempopulerkan teori hukumnya sebagai moral reading. Moral
reading yang dimaksud oleh Dworkin, gugatan terhadap perundang-undangan yang
tidak lengkap. Perundang-undangan yang belum mampu mengakomodasi segala
kepentingan hukum primer yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena itu
menjadi pekerjaan hakim kosnstitusi dalam kasus ini, untuk kembali menciptakan
hukum dari hukum yang terpencar di luar, dengan menyesuaikannya dalam ground
norm sekaligus dengan constitutional norm.

REFERENSI
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Toko Gunung Agung.
_________. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana.
Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Aristoteles. 2007. La Politica. (Penerjemah: Syamsyur Irawan Kharie). Jakarta: Visi
Media.
Curzon. 1979. Jurisprudence. M & E Handbook
Damang. 2009. TinjauanPsikologi Hukum terhadap Putusan Hak Asuh Anak. Skripsi.
Makassar: Unhas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.
Faturrochman. 2002. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hans Kelsen. 1978. Pure Theory of Law. Calivornia: Berkley University.
Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi. 2002. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: Mandar
Maju.
Mewissen. 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum. Terj. Bernard Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama.
Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan.
Bandung: Alumni.

Nursidik. 2011. Kebenaran dan Keadilan dalam Putusan Hakim, Dalam Jurnal
Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi 74, Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Islam
Dan Masyarakat Madani (Pphimm).
Purnadi Purbacakara dan Ridwan Halim. 1986. Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran,
Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soedikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty.
Suhrawardi K. Lubis. 1994. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Wawan Tunggul Alam. 2004. Memahami Profesi Hukum. Jakarta: Minia Populer.
Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya. 2014. Moralitas Hukum. Yogyakarta: Genta
Publishing.
[1] Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya. 2014. Moralitas Hukum. Yogyakarta:
Genta Publishing. Hlm. 11 s/d 16.
[2] Hans Kelsen. 1978. Pure Theory of Law. Calivornia: Berkley University. Page 67.
[3] Aristoteles. 2007. La Politica. (penerjemah: Syamsyur Irawan Kharie). Jakarta:
Visi Media. Hlm. 256
[4] Damang. 2009. Tinjauan Psikologi Hukum terhadap Putusan Hak Asuh Anak.
Skripsi. Makassar: Unhas. Hlm. 19
[5] Wawan Tunggul Alam. 2004. Memahami Profesi Hukum. Jakarta: Minia Populer.
Hlm. 9 s/d 11.
[6] Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan.
Bandung: Alumni. Hlm. 1 s/d. 15.
[7] Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Toko Gunung Agung. Hlm. 35.
[8] Nursidik. Kebenaran dan Keadilan dalam Putusan Hakim, Dalam Jurnal Mimbar
Hukum dan Peradilan, Edisi 74, Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Islam dan
Masyarakat Madani (Pphimm). 2011. Hlm. 139.
[9] Suhrawardi K. Lubis. 1994. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 49
[10] Nursidik. OP.Cit. Hlm. 139
[11] Curzon. 1979. Jurisprudence. M & E Handbook. Hlm 37 sd 38
[12] Bandingkan pula dengan jenis keadilan (diantaranya: Keadilan prosedural,
keadilan distributive dan keadilan interaksional) sebagaimana yang dikemukakan
oleh Faturrochman. 2002. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hlm. 22 s/d 49.

[13] Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 130
[14] Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana.
Hlm. 222.
[15] Purnadi Purbacakara dan Ridwan Halim. 1986. Hak Milik Keadilan dan
kemakmuran, Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 24 sd 26.
[16] Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi. 2002. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung:
Mandar Maju. Hlm. 93.
[17] Mewissen. 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum. Terj. Bernard Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 5.
[18] Soedikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 78.
[19] Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung: Citra
Aditya Bakti. Hlm. 51 s/d 54.
[20] Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya. Op.Cit. Hlm. 48

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya
yaitu;
1. Apakah hukum itu ?
2. Apakah etika itu ?
3. Bagaimanakah hubungan antara hukum dan etika ? s

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum
Untuk memperoleh gambaran mengenai defenisi hukum sangatlah sulit, tetapi
bukan berarti tidak perlu membuat suatu defenisi hukum. Menurut Achmad Ali (2002:910) bahwa hukum merupakan sesuatu yang luas dan abstrak, hukum terlalu luas

aspeknya, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Penggunaan defenisi


hukum lebih banyak tergantung pada aspek mana hukum itu dipandang. Sehubungan
dengan hal tersebut, Rusli Effendy dkk (1991:6) mengutip pendapat Immanuel Kant
menyatakan bahwa noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht
artinya, tidak ada seorang jurispun yang dapat memberikan defenisi hukum secara
tepat. Kedua pernyataan pakar tersebut, memberikan isyarat bahwa betapa hukum itu
sulit untuk diberikan defenisi. Akan tetapi, sebagai suatu pegangan untuk kelengkapan
berbagai defenisi hukum, maka dapat diambil pendapat beberapa pakar.
Hans Kelsen mendefenisikan hukum sebagi suatu perintah memaksa terhadap
tingkah laku manusia, jadi hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksisanksi.Pandangan ini sangat mencerminkan ciri positivisnya, Kelsen melihat hukum
positif sebagai satu-satunya hukum, karena memisahkan dari segala pengaruh anasiranasir non hukum seperti moral, politis, ekonomis, sosiologis, dan sebagainya.
Pandangan semacam ini tidak relevan lagi dalam masa modern ini. (Achmad
Ali,2002:29)
Emmanuel Kant mendefenisikan hukum sebagai suatu keseluruhan kondisikondisi di mana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan
keinginan-keinginan pribadi orang lain sesuai dengan hukum umum mengenai
kemerdekaan. Defenisi Kant tidak memisahan antara hukum dan kaidah sosial lainnya.
Jika hanya sekedar kondisi yang menciptakan kombinasi keinginan pribadi seseorang
dengan pribadi lainnya maka kondisi seperti itu juga mampu diciptakan oleh kaedah
sosial lainnya seperti moral, kesopanan dan agama. (Ibid:27) Jadi defenisi tersebut,
lebih ditekankan pada aspek kepatuhan dan pembatasan terhadap kehendak bebas
dengan berdasar pada seperangkat peraturan. Dengan kata lain, penekanannya
terletak pada aspek ketaatan.
E. Utrecht memberikan pula defenisi hukum yaitu himpunan petunjuk hidup
perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, yang
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan akibat
pelanggaran dari petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah
atau penguasa masyarakat itu. Dari defenisi ini Utrecht memandang hukum tidak
sekedar kaedah, melainkan juga sebagai gejala sosial dan sebagai kebudayaan.
(Ibid:32) Defenisi ini penekanannya terletak pada aspek kemanfaatan berupa jaminan
ketertiban pada warga masyarakat sebagai suatu komunitas.
Leon Duguit mendefenisikan hukum yang merupakan tingkah laku masyarakat,
sebagai aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh warga
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang
melakukan pelanggaran. (Ibid:22) Sedang Grotius mendefenisikan law is a rule of

moral action obliging to that wich is right(Ibid:27) (Hukum adalah peraturan tentang
tindakan moral yang menjamin keadilan). Kedua defenisi tersebut, menunjukkan
terhadap penekanan berupa jaminan keadilan.
Curzon (1979:140) mendefenisikan hukum yakni, Law is the sum of the
conditions of social life in the widest sense of the term, as secured by the power of the
states through the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah kondisi
kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara
paksaan yang bersifat eksternal). Sejalan dengan hal tersebut, Achmad Ali (2002:35)
cenderung melihat hukum sebagai seperangkat kaedah atau aturan yang tersusun
dalam suatu sistem, yang berisikan petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain,
yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benarbenar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam
kehidupannya, dan jika kaedah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi
otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.
Bagi kalangan Muslim, yang dimaksudkan sebagai hukum adalah hukum Islam,
yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber dari Al-Quran, dan dalam kurun waktu
tertentu lebih dikonkritkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam tingkah laku beliau,
yang biasa disebut Sunnah Rasul. Kaedah-kaedah yang bersumber dari Allah SWT
kemudian lebih dikonkritkan dan diselaraskan dengan kebututhan zamannya melalui
ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan pakar pada bidangnya masingmasing. Seperti Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazzali berpendapat bahwa; Fiqhi itu
bermakna faham dan ilmu. Namun pada uruf ulama telah menjadi sesuatu ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara yang tertentu bagi perbuatan-perbuatan para
mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunnat, makruh, shahih, fasid, bathil, qadla, ada
dan sepertinya. (Ibid:33-34)
Begitu pula oleh Ahmad Zaki Yamani memberikan pengertian syariat Islam
secara luas dan sempit. Syariat Islam secara luas yaitu meliputi semua hukum yang
telah disusun dengan teratur oleh para ahli fiqhi dalam pendapat-pendapatnya tentang
persoalan di masa mereka, atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian,
dengan mengambil dali-dalil langsung dari Al-Quran dan Al-Hadits, atau sumber
pengambilan hukum seperti ijma, qiyas, istihsan, isitish-shab dan mashalih mursalah.
Sedang syariat Islam secara sempit adalah terbatas pada hukum-hukum yang berdalil
pasti dan tegas, yang tertera dala Al-Quran dan Hadits shaheh atau ditetapkan dengan
Ijma.(Ibid:34)

Berdasarkan dengan beberapa pendefenisian hukum tersebut, maka dapat


dikatakan bahwa hukum merupakan persoalan suruhan dan larangan, baik secara
lahiriyah maupun bathiniyah, sehingga kalau suruhan itu dilaksanakan tentu mendapat
hadiah/pahala, dan jika larangan dilakukan tentu mendapat sanksi/ganjaran. Dasarnya
Al-Quran Surah An-Nisa ayat (59) yang maksudnya: Hai orang-orang yang beriman
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu,
jika di antaramu ada perbedaan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah dan Rasulnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.
Dengan demikian itu, bahwa terjadinya perbedaan di antara para pakar tentang
pendefenisian hukum disebabkan oleh perbedaan sudut pandang. Betapa luas aspek
hukum sehingga menimbulkan beragam defenisi yang luas cakupannya. Hukum
terkadang dipandang dari sudut sosiologi, hukum biasanya ditinjau dari aspek
kesejarahan, serta hukum adakalanya dilihat dari segi filsafat, dan dari segi agama
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim.
Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Abdul Wahid, 1997, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di
Indonesia, Tarsito, Bandung.
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan
Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta.
A.Gunawan Satiardja, 1990, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia, Kanisius-BPK Gunung Mulia, Yogya-Jakarta.
Ahmad Amin, 1995, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta.
Al-Gazaly, tt., Ihya Ulumuddin, tp., Mesir.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta.
. E.Sumaryono,1995, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Hamzah Yakub, 1983, Etika Islam, Al-Ikhlas, Surabaya.

Inu Kencana Syafiie, 1994, Etika Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta.


L.B.Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald and evans Ltd. Estover.
Moekijat, 1995, Asas-Asas Etika, Mandar Maju, Bandung.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum,
PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rusli Effendy dkk, 1991, Teori Hukum, Hasanuddin University Press,
Ujungpandang.
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sudarsono, 1993, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.
W.J.S.Poerwadarminta,
Pustaka, Jakarta.

1999, Kamus

Umum

Bahasa

Indonesia,

Balai

Apakah Hukum itu ?


A. Memahami Permainan Bahasa.
Perlu cara untuk memandu sesorang agar memperoleh gambaran yang jelas tentang apa hukum
itu. Banyak literatur yang mencoba memecahkan persoalan ini, demikian halnya dengan teori
dan filsafat hukum. Keragamanan tidak harus membingungkan, paling tidak menurut tulisan
dalam buku ini akrena pada dasarnya argumentasi tertentu bertolak dari cara berpikir yang tidak
seragam yang dilator belakangi oleh pendidikan serta kehidupan seharai-hari yang berbeda pula.
Dilihat dari perkembangan aliran pemikiran (hukum) satu aliran pemikiran akan bergantung pada
aliran pemikiran lainnya sebagai sandaran kritik untuk membengun kerangka teoritik berikutnya.
Munculnya aliran pemikiran baru tidak otomatis bahwa aliran atau pemikran lama ditinggalkan.
Sulitnya untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena dua alasan yaitu :

Hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum

konstrukvitis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistic atau menggunakan bahasa

kaum hermeniam ditafsirkan sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang
hukum akan ditentukan oleh bagimana orang tersebut mengonstruksi, menciptakan atau
menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.

Satu pemikiran (aliran tertentu) akan memiliki latar belakang atau sudut pandang yang

berbeda dengan aliran (pemikiran) lain, ini merupakan ragam kelemahan dan keunggulan
masing-masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasaan karena hukum akan menjadi
wilayah terbuka yang mungkin saja hailnya lebih positif.
Kata hukum digunakan banyak orang dalam cara yang sangat umum sehingga mencakup
seluruh pengalaman hukum, betapapun bervariasinya atau dalam konteksnya yang sederhana.
Namun dalam sudut pandang yang paling umum sekalipun, hukum mancakup banyak aktivitas
dan ragam aspek kehidupan manusia.

Anda mungkin juga menyukai