Anda di halaman 1dari 12

Hukum dan Keadilan

BY DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI MAY 2, 2015

Hukum dan moral merupakan dua entitas yang memiliki tujuan yang sama untuk
mencapai keadilan. Tetapi persoalannya adalah baik hukum, moral maupun
keadilan

adalah

sesuatu

yang abstrak.[1] Hanya kaum positivistik

dapat

mengkonkretkan hukum, moral dan keadilan melalui sekumpulan peraturan


perundang-undangan.
Sementara kaum Sofis, terutama mazhab hukum alam klasik hanya sampai pada
pemahaman bahwa hukum dan moral memiliki nilai, yaitu nilai kebaikan, nilai
kemanfaatan, dan nilai kebahagian demi pencapaian keadilan.
Hal itu memang terbukti dengan telaah histori aliran pemikiran dalam ilmu.
Hukum pada fase pertamanya semata-mata selalu dinarasikan sebagai keadilan.
Pemahaman hukum yakni sesuatu yang abstrak. Titik tautnya hanya mampu
diketemukan melalui penggalian pada hakikat dan makna segala dimensi
kebaikan dan keburukan yang terpatri dalam rasio, baru kemudian diwujudkan
dalam tindakan, perbuatan, hingga pada pergaualan sosial.
Kendatipun hukum sudah dianggap konkret dengan peraturan peundanganundangan. Utang budi yang belum terbayar oleh penganut hukum positivistik;
seperti Hans Kelsen, John Austin dan HLA Hart terhadap mazhab hukum alam
yang selalu membincangkan keadilan. Bahwa sekuat apapun hukum positif
membersihkan segala anasir nonhukum[2] terhadap kepastian hukum, terutama
anasir hukum moral. Hukum sebagai peraturan perundang-undangan tidak akan
terbentuk tanpa penalaran awal teori hukum yang digali dari seperangkat moral
keabadian dan keadilan yang terdapat di alam rasio manusia.
Pertautan

hukum

dan

keadilan

berdasarkan maxim, principat, postulat, principle sehingga

dibangun
hukum

lahir

secara concreto. Segala penyebutan medium tersebut sebagaimana apa yang


disebut asas-asas hukum merupakan beginsel. Beginsel sendiri diartikan awal
untuk memulai sesuatu. Sedangkan sesuatu di sini yang dicakup adalah hukum.
Sehingga asas hukum yang mengikat daya keberlakukan hukum itulah wujudnya
dalam norm in concreto pada tujuannya untuk mencapai keadilan.
Hubungan hukum dan keadilan walaupun sifat dasarnya abstrak, seolah-olah
hanya menjadi ruang lingkup telaah filsafat. Tetapi kelesatarian sebagai relafansi
antara hukum dan keadilan selalu terjaga. Lintasan sejarah dari seluruh aliran
pemikiran dalam ilmu hukum senantiasa memperjuangkan keadilan, entah dari

sudut pandang manapun caranya memandang hukum, baik hukum dipdang


sebagai objek, maupun hukum dipandang sebagai bagian dari subjek yang
melekat dalam diri personal. Harus diakui segala analisis, pembongkaran,
dekonstruksi, hingga kritik terhadap hukum dalam tataran implementatif
semuanya terikat dengan kehendak untuk mewujudkan hukum dalam tujuannya
untuk mencapai keadilan.
Itulah

sebabnya

pembagian

keadilan

yang

pernah

dikemukakan

oleh

Aristoteles[3]hingga sekarang tetap relevan untuk menyentuh terhadap segala


tindakan untuk mempertahankan hukum dalam segala sisinya. Yakni, hukum
dalam sisi menbentuk undang-undang merupakan pengikatan resmi terhadap
keadilan distributif (mutlak; principa prima). Sedangkan pekerjaan hakim yang
berfungsi untuk mempertahankan basis keadilan dalam perundang-undangan
dituntut untuk menjadi pengadil yang menegakan hukum dalam wujudnya
sebagai keadilan kumutatif (relatif; principa secundaria).
Baik hukum maupun moral dan keadilan merupakan sesuatu yang abstrak. Oleh
karena itu wajar kiranya jika terjadi multipersepsi terhadap hukum dalam
pendefenisiannnya.
Bahkan ahli hukum sekaliber van Apeldoorn sampai pada kesimpulan tidak
memberikan satupun tentang defenisi hukum itu. Apeldoorn hanya menyatakan
bahwa defenisi hukum itu sangatlah sulit untuk dibuat karena tidak mungkin
untuk mengadakannya sesuai dengan kenyataan.[4]
Dalam pendapat yang hampir serupa, Immanuel Kant mengemukakan Noch
suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht - tidak ada
seorang Yurispun yang dapat mendefenisikan hukum dengan tepat.
Meskipun demikian, dalam hemat Penulis tetap penting untuk dikemukakan
pengertian hukum. Paling tidak sebagai dasar untuk memberi pemhaman awal
agar dapat diidentifikasi sifat pembedaannya dengan ilmu sosial lainnya. Seperti
ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Atas dasar penelitian yang pernah dilakukan Soerjono Soekanto mengidentifikasi
paling sedikit sepuluh arti hukum sebagai berikut:[5]
1.

Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun


secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;

2.

Hukum sebagai disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atas
gejala-gejala yang dihadapi;

3.

Hukum sebagai kaidah, yakni sebagai pedoman atau patokan perilaku


yang pantas dan diharapkan;

4.

Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur proses perangkat kaidahkaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta
berbentuk tertulis;

5.

Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan


yang berhubungan erat dengan penegak hukum;

6.

Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi;

7.

Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik


antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;

8.

Hukum sebagai perilaku yang ajeg atau teratur;

9.

Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi abstrak


tentang apa yang dianggap baik dan buruk;

10.

Hukum sebagai seni (legal art).

Dalam menguraikan pengertian hukum di makalah ini, penting juga dikemukakan


defenisi hukum yang pernah diuraikan oleh Muchtar Kusumatmadja.
Dasar falsafatinya sehingga penting untuk diuraikan pendapat tersebut. Sebab
Kusumaatmadja berhasil menggabungkan atau dengan kata lain mendamaikan
semua aliran pemikiran dalam ilmu hukum sehingga teori hukum yang pernah
dipertahankan oleh masing-masing mazhabnya bertemu dalam satu kesatuan
pengertian sebagaimana Kusumaatmadja menyebutnya sistem hukum.
Lengkapnya, bahwa hukum didefenisikan sebagai mazhab hukum Unpad Law
and Developmet adalah seperangkat kaidah, asas-asas, lembaga hukum dan
setiap proses-proses yang mengikat daya keberlakuannya.[6]
Atas cakupan dari kaidah, asas-asas dan lembaga dalam pendefenisian hukum
tersebut merupakan saluran pendefenisian yang merangkum mazhab hukum
alam sekaligus mazhab hukum positivistik. Sedangkan proses-proses yang
mengikat daya keberlakuannya tidak lain dari faktor nonhukum yang menjadi
pusat kajian dari aliran sejarah hukum dan aliran realisme hukum.
Selain dikemukakan pengertian hukum menurut Kusumaatmadja, penting pula
diuraikan

pengertian

hukum

menurut

Achmad

Ali,

sebagaimana

yang

dikemukakan dalam bukunya Menguak Tabir Hukum setelah beliau mengutip


beberapa pendapat para ahli tentang pendefenisian hukum.
Achmad Ali bisa dkatakan cukup lengkap dalam merangkum pengertian hukum
dari berbagai pakar, beliau merangkum semua pandangan para pemikir barat,

pemikir timur hingga pemikir Islam lalu pada akhirnya beliau tiba pada
kesimpulan defenisi yang dapat mengartikulasikan hukum itu.
Achmad Ali memandang bahwa apa yang dimaksud sebagai hukum adalah yang
dimanifestasikan dalam wujud yaitu:
1.

Hukum sebagai kaidah (hukum sebagai sollen);

2.

Hukum sebagai kenyataan (hukum sebagai sein).

Bahwa hukum sebagai kenyataan merupakan hal yang paling utama tetapi tidak
berarti bahwa hukum sebagai kaidah dapat diabaikan, sebab hukum sebagai
kenyataan tetap bersumber dari hukum sebagai kaidah. Hanya saja lebih
konkretnya hukum sebagi kaidah tidak saja yang termuat dalam hukum positif
belaka, tetapi keseluruhan kaidah sosial yang diakui keberlakuannya oleh
otoritas tertinggi yang ada dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, Achmad Ali
mengemukakan bahwa hukum adalah:[7]
Seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam suatu sistem yang
menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh
manusia seebagi warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang
bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui
keberlakuannya oleh otorias tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benarbenar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam
kehidupannya,

dan

jika

kaidah

tersebut

dilanggar

akan

memberikan

kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya


eksternal.
Pada dasarnya terdapat kesamaan pandangan antara Kusumaatmadja melihat
hukum dalam dua susut pandang, yakni hukum dipandang sebagai kaidah atau
norma dan hukum dipandang keberlakuannya dalam kenyataan. Das sein yang
dimaksudkan

oleh

Achmad

Ali

sebenarnya

itulah

yang

dipahami

oleh

Kusumaatmadja sebagai segala proses yang mengikat daya keberlakuan


hukum itu. Hukum dalam kenyataan sama halnya dengan segala proses
eksternal

yang

mempengaruhi

hukum

yang

dijalankan

bedasarkan

ketentuannya.
Tentunya baik hukum dalam kenyataan (law in action) maupun hukum dalam
wujud

sebagai

kaidah

sebagaimana

yang

terdapat

dalam

perundang-

undangan (law in book), sisi ideal yang hendak dicapai sebagai pencapaian
paling tertinggi sebagai hukum yang dicita-citakan (ius conctituendum) sudah
pasti tujuan hukum untuk mencapai keadilan.

Pertanyaan selanjutnya, kalau demikan lantas dimana letaknya hukum untuk


mencapai kepastian dan kemafaatan? Jawabannya sudah pasti terdapat dalam
hukum sebagai kaidah dan hukum sebagai kenyataan.
Oleh karena itu dalam hemat Penulis baik tujuan hukum sebagai kepastian
maupun tujuan hukum dalam sisi manfaat hal demikian lebih cocok dikatakan
sebagai proses atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai keadilan dari hukum
itu sendiri.
Hanya saja pekerjaan mereka yang berkecimpung di bidang filsafat kendati
selalu berusaha mencari pendefenisian tentang makna keadilan itu sendiri,
tindakan

mereka

semata-mata

untuk

memberikan

gambaran

justice

in

concreto.
Dalam berbagai literatur terdapat berbagai pandangan para ahli yang mencoba
memberikan defenisi tentang keadilan. Diantaranya Soerjono Koesoemo Sisworo,
Suhrawardi K. Lubis, Thomas Aquinas, Aristoteles, Achmad Ali, dan NE. Algra.
Menurut Soejono Koesoemo Sisworo[8] keadilan adalah keseimbangan batiniah
dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran
dan perkembangan

kebenaran, yang beriklim toleransi dan kebebasan.

Sedangkan menurut Suhrawardi K. Lubis[9] dalam bukunya Etika Profesi


Hukum, mengemukakan bahwa Adil atau Keadilan adalah pengakuan dan
perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila
kita mengakui hak hidup, maka sebaiknya kita harus mempertahankan hak hidup
tersebut dengan jalan bekerja keras, dan kerja keras yang kita lakukan tidak pula
menimbulkan keugian terhadap orang-orang, sebab orang lain itu juga memiliki
hak yang sama. Dengan pengakuan hidup orang lain, otomatis kita wajib
memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan
hak individunya.
Selanjutnya,

Thomas

Aquinas[10] seorang

tokoh

filsuf

hukum

alam,

mengelompokkan keadilan menjadi dua, yaitu:


1.

Keadilan umum, yaitu keadilan menurut kehendak Undang-Undang yang


harus ditunaikan demi kepentingan umum.

2.

Keadilan khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada asas kesamaan


atau proposionalitas.

Jauh hari sebelumnya Aristoteles[11] juga pernah mengemukakan keadilan.


Aristoteles menguraikan justice is political virtue, by the rules of the state is
regulated and these rules the eterion of what is righ.
Aristoteles pulalah sebenarnya yang pertama kali meletakkan dua pembagian
keadilan secara proporsional yang terbagi menjadi keadilan distributif, keadilan
kumutatif dan keadilan vendikatif. [12]
Pertama, keadilan distributif (justitia distributive) adalah keadilan yang secara
proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Kedua,
keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan
kontraprestasi. Ketiga,

keadilan

vendikatif

adalah

keadilan

dalam

hal

menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang


dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai besarnya hukuman
yang telah ditentukan atas tindakan pidana yang dilakukannya.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[13] kata adil mempunyai arti;
tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, dan
berpegang teguh pada kebenaran. Sedangkan

keadilan

merupakan sifat

(perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.


Achmad Ali lebih melihat keadilan dalam tujuan hukum semata, bahwa keadilan
tidaklah dapat dijadikan satu-satunya tujuan hukum. Sebab bagaimanapun nilai
keadilan selalu subjektif dan abstrak. Achmad Ali lebih setuju jika keadilan
bersama-sama dengan kepastian dan kemanfataan dijadikan tujuan hukum
secara prioritas, sesuai dengan kasus in concreto. Tampaknya, pandangan
Achmad Ali demikian dalam memotret tujuan hukum lebih dominan pada ajaran
dari tujuan hukum secara kasuistis.
Dengan sifat keadilan yang abstrak tersebut, NE. Algra[14] pun akhirnya
mengemukakan bahwa apakah sesuatu itu adil (rechtvaarding), lebih banyak
tergantung pada rechmatigheid (kesesuaian dengan hukum), pandangan pribadi
seorang penilai. Kiranya lebih baik mengatakan itu tidak adil, tetapi itu
mengatakan hal itu saya anggap adil. Memandang sesuatu itu adil, terutama
merupakan suatu pendapat mengenai nilai secara pribadi.
Antara Hukum dan Keadlian memang saling terkait seperti dua sisi mata uang,
hukum tanpa keadilan ibarat badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan tanpa hukum
akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di dalam
mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup diskresi yang luas serta tidak
ada keterkaitanya dengan perangkat aturan.

Hubungan Hukum dan Keadilan


Summum Ius Summa Injuria/ Summa Lex Summa Crux. Keadilan tertinggi dapat
berarti ketidakadilan tertinggi. Demikianlah hukum yang selalu mencita-citakan
keadilan maka selama itu pula pasti dalam perwujudannya akan terhenti untuk
mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.
Hal ini benar adanya, in qasu putusan pengadilan selalu saja menyisakan ada
ketidakadilan di sana. Masih terdapat bebarapa orang yang merasakan bahwa
putusan hakim yang diwajibkan untuk memutus demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa oleh komunitas tertentu, ada kalanya menganggap
putusan hakim tidaklah memenuhi rasa keadilan bagi dirinya.
Tetapi tidak berarti bahwa timbulnya respon atau reaksi dari partisipan hukum
yang dikenai pemberlakuan hukum. Kita dengan serta merta mengambil
kesimpulan bahwa antara hukum dan keadilan tidak ada gunanya, bahkan tidak
ada hubungannya. Oleh karena keadilan memang hanya sesuatu yang dicitacitakan.[15] Ibarat

penilaian

baik

dan

benar

tidak

ada

yang

bisa

menggambarkan sejelas-jelas mungkin. Sebab apa? Karena lagi-lagi keadilan


sudah dikatakan dari awal adalah sifatnya abtrak dan memang keadilan
hanyalah tujuan akhir. Niscaya manusia terbatas untuk menggapainya.
Pun kalau ada yang mengatakan dapat dicapai keadilan dengan hati nurani. Itu
juga hanya dalam wilayah tingakatan rasa sekaligus naluri yang diusahakan
sepadan dengan naluri orang lainnya.
Kalau demikian, bukankah hukum yang didentikan sebagai perundang-undangan
tidak lain dari rasa kebaikan, rasa kebenaran, kejahatan, dan keburukan yang
kemudian diberlakukan secara imperatif. Maka terdapatlah bangunan rasa dan
naluri sepadan, universal melalui konsensus moral sejawat kesepahaman.
Maka bersandar, berdasarkan seluruh analogi tersebut, dari situlah hukum dan
keadilan terjadi keterakaitan yang tidak dapat dipsahkan satu dengan lainnya.
Bagi penganut mazhab hukum positivistik ketika memandang hukum hanya
seperangkat

perundang-undangan

semata,

maka

pertanyaan

yang

harus

dijawab oleh kaum ini: Lantas berasal dari manakah hukum itu sehingga lahir
menjadi sekumpulan kaidah, norma, ketentuan, hingga menjadi sekumpulan
perundang-undangan? Apakah cukup lahir dari rasionya saja? Apakah lahir dari
rasio Tuhan yang diturunkan melalui rasio manusia (lex humana)[16] ataukah
lahir dari alam kebatinan yang dipahami sebagai pengalaman kebatinan berkat
kemampuannya memilah kebaikan dan keburukan?
Semua pertanyaan tersebut terjawab dengan mengatakan bahwa itu moral
dan apa yang dikehendaki oleh moral sudah pasti kebaikan. Kebaikan otomotasi
satu haluan dengan keadilan. Segala pekerjaan untuk mengkonkretisasi hukum
identik dengan moral, hukum identik dengan keadilan akan terejawantakan
dalam prinsip-prinsip hukum.
Dalam konteks ini, dalil ketiga hukum dalam pengembanan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Mewissen[17] akan menjadi satu kesatuan terhadap seluruh
abstraksi teoritikal atas gejala hukum tersebut. Baik ilmu hukum, teori hukum
dan filsafat hukum merupakan sentral untuk melahirkan banyaknya jumlah
keadilan melalui banyaknya jumlah asas-asas hukum dalam setiap lapangan ilmu
hukum.
Antara filsafat hukum yang terpusat pada keadilan kemudian melahirkan
sekumpulan teori hukum, maka dalam tataran itulah teori hukum dan keadilan

akan menurunkan asas hukum, lalu menciptakan sejumlah ketentuan yang


dipahami sebagai kaidah hukum.
Asas hukum dalam pemainan moral dan keadilan ini dapat dikatakan wadah
yang berada di tengah-tengah untuk mencari konsesensus publik sehingga
hukum benar-benar imparsial, integral, hingga tercapai sisi keadilannya.
Hubungan hukum dan keadilan pula dapat diamati pada setiap tujuan hukum.
Mulai dari tujuan hukum ajaran etis, ajaran prioritas baku hingga ajaran
kasusistis. Satupun dari ajaran tersebut tidak ada yang dapat melepaskan diri
dari tujuan hukum pada sisi keadilannya. Hanya saja dilengkapi dengan tujuan
hukum lain seperi kepastian, kemanfaatan, dan predictibility.
Termasuk pula bagi pembentuk perundang-undangan sekalipun konsisten untuk
melepaskan diri dari sisi keadilan sebagai salah satu tujuan hukum, pada
hakikatnya masih dituntut untuk merumuskan teori hukum berdimensi keadilan
yang dapat mendukung pentingnya undang-undang tertentu dilembagakan
dalam lembaga negara. Bahwa dalam setiap perundang-undangan selalu
dilengkapi dengan konsideran menimbang, mengatur, menetapkan.

Perlu

diketahui di dalam konsideran menimbang tersebut, terdapat pertimbangan


filsufis yang mencatat tujuan hukum sebagai keadilan atas pembentukan
Undang-Undang itu.[18]
Hingga sampai pada hakim pengadilan maupun hakim konstistusi yang berfungsi
sebagai aparatur penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan
hukum,

menjaga

mengutamakan

sisi

keadilan

hukum.

Hakim

keadilan dalam melahirkan

diwajibkan

pula

untuk

putusan-putusannya.[19] Hakim

diwajibkan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar


hukum tetap konsisten untuk selalu memperjuangkan keadilan.
Upaya hakim untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya tat kala
perkara-perkara hukum hendak dikonstatir dalam perundang-undangan, lalu
perundang-undangan ternyata tidak cukup memberinya pengaturan. Hakim
dalam posisi demikian dapat melakukan penafsiran dan konstruksi hukum. Ingat!
pekerjaaan hakim di sini untuk melakukan penafsiran atas ketentuan hukum
yang kabur, pada dasarnya menjadi pekerjaan untuk mengakomodasi kaidahkaidah tidak tertulis yang diakui keberadaannya dalam masyarakat, agar
pencapaian

keadilan

mewujudkannya.

untuk

masyarakat,

diharapakan

hakim

dapat

Atas

dasar

itu

kemudian

menjadi

pembenaran

saat

Roland

Dworkin[20]mempopulerkan teori hukumnya sebagai moral reading. Moral


reading yang dimaksud oleh Dworkin, gugatan terhadap perundang-undangan
yang tidak lengkap. Perundang-undangan yang belum mampu mengakomodasi
segala kepentingan hukum primer yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena
itu menjadi pekerjaan hakim kosnstitusi dalam kasus ini, untuk kembali
menciptakan

hukum

dari

hukum

yang

terpencar

di

luar,

dengan

menyesuaikannya dalam ground norm sekaligus dengan constitutional norm.


REFERENSI
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Toko Gunung Agung.
_________. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana.
Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Aristoteles. 2007. La Politica. (Penerjemah: Syamsyur Irawan Kharie). Jakarta: Visi
Media.
Curzon. 1979. Jurisprudence. M & E Handbook
Damang. 2009. TinjauanPsikologi Hukum terhadap Putusan Hak Asuh Anak.
Skripsi. Makassar: Unhas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.
Faturrochman. 2002. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hans Kelsen. 1978. Pure Theory of Law. Calivornia: Berkley University.
Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi. 2002. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: Mandar
Maju.
Mewissen. 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum. Terj. Bernard Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama.
Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan.
Bandung: Alumni.
Nursidik. 2011. Kebenaran dan Keadilan dalam Putusan Hakim, Dalam Jurnal
Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi 74, Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum
Islam Dan Masyarakat Madani (Pphimm).
Purnadi

Purbacakara

dan

Ridwan

Halim.

1986. Hak

Milik

Keadilan

Kemakmuran, Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.


Soedikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty.
Suhrawardi K. Lubis. 1994. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

dan

Wawan Tunggul Alam. 2004. Memahami Profesi Hukum. Jakarta: Minia Populer.
Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya. 2014. Moralitas Hukum. Yogyakarta:
Genta Publishing.
[1] Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya. 2014. Moralitas Hukum. Yogyakarta:
Genta Publishing. Hlm. 11 s/d 16.
[2] Hans Kelsen. 1978. Pure Theory of Law. Calivornia: Berkley University. Page
67.
[3] Aristoteles. 2007. La Politica. (penerjemah: Syamsyur Irawan Kharie). Jakarta:
Visi Media. Hlm. 256
[4] Damang. 2009. Tinjauan Psikologi Hukum terhadap Putusan Hak Asuh Anak.
Skripsi. Makassar: Unhas. Hlm. 19
[5] Wawan Tunggul Alam. 2004. Memahami Profesi Hukum. Jakarta: Minia
Populer. Hlm. 9 s/d 11.
[6] Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan.
Bandung: Alumni. Hlm. 1 s/d. 15.
[7] Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Toko Gunung Agung. Hlm.
35.
[8] Nursidik. Kebenaran dan Keadilan dalam Putusan Hakim, Dalam Jurnal
Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi 74, Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum
Islam dan Masyarakat Madani (Pphimm). 2011. Hlm. 139.
[9] Suhrawardi K. Lubis. 1994. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 49
[10] Nursidik. OP.Cit. Hlm. 139
[11] Curzon. 1979. Jurisprudence. M & E Handbook. Hlm 37 sd 38
[12] Bandingkan pula dengan jenis keadilan (diantaranya: Keadilan prosedural,
keadilan distributive dan keadilan interaksional) sebagaimana yang dikemukakan
oleh Faturrochman. 2002. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hlm. 22 s/d 49.
[13] Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 130
[14] Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta:
Kencana. Hlm. 222.
[15] Purnadi Purbacakara dan Ridwan Halim. 1986. Hak Milik Keadilan dan
kemakmuran, Tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 24 sd 26.
[16] Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi. 2002. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung:
Mandar Maju. Hlm. 93.

[17] Mewissen. 2008. Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum. Terj. Bernard Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 5.
[18] Soedikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty. Hlm.
78.
[19] Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya. Bandung:
Citra Aditya Bakti. Hlm. 51 s/d 54.
[20] Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya. Op.Cit. Hlm. 48

Anda mungkin juga menyukai