Anda di halaman 1dari 15

PERTEMUAN 21

KONSEP KEADILAN DALAM BERPILSAFAT HUKUM

A. TUJUAN PERKULIAHAN

Setelah menyelesaikan pertemuan ke-21 Mahasiswa mampu mendeskripsikan

dan mengiplementasikan serta mencari keadilan dalam kehidupan sehari – sehari

sesui dengan kajian filsafat hukum .

B. URAIAN MATERI

1. Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum.

Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan

dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hukum

alam primer yang bersifat umum menyatakan: Berikanlah kepada setiap orang apa

yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang

(neminem laedere). Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak

ditentukan oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.

Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya

saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini sering

mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian hukum.

Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex,

summa crux. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras

akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.

Dalam paradigma hukum Utilitarianisme, keadilan dilihat secara luas. Ukuran

satu-satunya untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa besar

dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang


dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi

Perspektif tentang keadilan sebagaimana dirumuskan di atas, menurut Satjipto

Rahardjo bahwa keadilan mencerminkan bagaimana seseorang melihat tentang

hakikat manusia dan bagaimana seseorang memperlakukan manusia. Lebih lanjut

Angkasa mengatakan bahwa karena keadilan adalah ukuran yang dipakai

seseorang dalam memberikan terhadap objek yang berada di luar diri orang

tersebut. Mengingat objek yang dinilai adalah manusia maka ukuran-ukuran yang

diberikan oleh seseorang terhadap orang lain tidak dapat dilepaskan dengan

bagaimana seseorang tersebut memberikan konsep atau makna tentang manusia.

Apabila seseorang melihat orang lain sebagai makhluk yang mulia maka

perlakuan seseorang tersebut pun akan mengikuti anggapan yang dipakai sebagai

ancangan dan sekaligus. akan menentukan ukuran yang dipakai dalam

menghadapi orang lain.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masalah keadilan tidak dapat

dilepaskan dengan filsafat tentang manusia. Terlepas dari berbagai pandangan

konsep keadilan tersebut di atas, dalam hal ini penulis ingin berbagi pendapat

tentang bagaimana konsep keadilan yang sesungguhnya terlepas dari latar

belakang penulis. Keadilan pada dasarnya sifatnya adalah abstrak, dan hanya bisa

dirasakan dengan akal dan pikiran serta rasionalitas dari setiap individu/

masyarakat.

Keadilan tidak berbentuk dan tidak dapat dilihat namun pelaksanaannya dapat kita

lihat dalam perspektif pencarian keadilan yang kita lihat sehari-hari. Keadilan juga

tidak memiliki ukuran serta takaran yang pasti tentang bagaimana halnya suatu
keadaan yang “Adil”. Secara sederhana kapan keadilan itu dibicarakan dan

mengapa?

Pada dasarnya seseorang atau individu/masyarakat mencari keadilan ketika

dirasakan adanya suatu ketidakadilan atau dengan kata lain keadilan muncul

ketika adanya ketidakadilan yang dirasakan. Namun sebelumnya perlu diketahui

bahwa setiap manusia pada dasarnya terlahir dalam kehendak bebas (dalam arti

luas) masingmasing, oleh karena adanya kehendak bebas dari setiap individu

tersebut akhirnya membentur kehendak bebas dari individu lain, sehingga secara

tidak langsung dan tidak disadari bahwa kehendak bebas dari setiap individu

tersebut ternyata dibatasi oleh kehendak bebas dari individu lain dan sebaliknya.

Dengan berbagai faktor dan alasan timbul konflik dalam masyarakat baik oleh

masing-masing individu yang berusaha mengambil kebebasan dari individu lain

dengan tujuan dan maksud tertentu.

Oleh karena adanya pengambilan kehendak bebas dari seseorang oleh orang lain

tersebut, maka timbul usaha untuk mencari keadilan. Seseorang/individu tidak

akan mencari serta mengetahui keadilan itu seperti apa ketika memang tidak ada

kepentingan serta kebebasannya yang dicurangi atau dilukai. Ketika tidak ada hal-

hal yang mengganggu kepentingan kita/manusia baik itu kebebasan (dalam arti

luas atau kebebasan terbatas) maka menurut saya tidak akan muncul kata tentang

“Keadilan”. Dengan demikian di sini saya berkesimpulan bahwa keadilan itu

merupakan suatu keadaan di mana adanya suatu keseimbangan antara pelaksanaan

kehendak bebas dan kepentingan setiap individu. / masyarakat dalam pelaksanaan


kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pendapat ini lebih condong pada konsep

keadilan menurut Herbet Spenser (baca di atas).

2. Hukum dan Keadilan dalam Filsafat Hukum

Hubungan hukum dan keadilan walaupun sifat dasarnya abstrak, seolaholah hanya

menjadi ruang lingkup telaah filsafat. Tetapi kelestarian sebagai relevansi antara

hukum dan keadilan selalu terjaga. Lintasan sejarah dari seluruh aliran pemikiran

dalam ilmu hukum senantiasa memperjuangkan keadilan, entah dari sudut

pandang manapun caranya memandang hukum, baik hukum dipandang sebagai

objek, maupun hukum dipandang sebagai bagian dari subjek yang melekat dalam

diri personal. Harus diakui segala analisis, pembongkaran, dekonstruksi, hingga

kritik terhadap hukum dalam tataran implementatif semuanya terikat dengan

kehendak untuk mewujudkan hukum dalam tujuannya untuk mencapai keadilan.

Itulah sebabnya pembagian keadilan yang pernah dikemukakan oleh Aristoteles

hingga sekarang tetap relevan untuk menyentuh terhadap segala tindakan untuk

mempertahankan hukum dalam segala sisinya. Yakni, hukum dalam sisi

membentuk undang-undang merupakan pengikatan resmi terhadap keadilan

distributif (mutlak; principa prima). Sedangkan pekerjaan hakim yang berfungsi

untuk mempertahankan basis keadilan dalam perundang-undangan dituntut untuk

menjadi pengadil yang menegakkan hukum dalam wujudnya sebagai keadilan

kumutatif (relatif; principa secundaria). Baik hukum maupun moral dan keadilan

merupakan sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu wajar kiranya jika terjadi

multipersepsi terhadap hukum dalam pendefinisiannnya.


Bahkan ahli hukum sekaliber van Apeldoorn sampai pada kesimpulan tidak

memberikan satupun tentang definisi hukum itu. Apeldoorn hanya menyatakan

bahwa definisi hukum itu sangatlah sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk

mengadakannya sesuai dengan kenyataan. Dalam pendapat yang hampir serupa,

Immanuel Kant mengemukakan ‘Noch suchen die juristen eine definition zu

ihrem begriffe von recht”, tidak ada seorang Yuris pun yang dapat mendefinisikan

hukum dengan tepat

Meskipun demikian, tetap penting untuk dikemukakan pengertian hukum. Paling

tidak sebagai dasar untuk memberi pemahaman awal agar dapat diidentifikasi sifat

pembedaannya dengan ilmu sosial lainnya. Seperti ilmu sosiologi, antropologi,

psikologi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Atas dasar penelitian yang pernah

dilakukan Soerjono Soekanto mengidentifikasi paling sedikit sepuluh arti hukum

sebagai berikut:

1) Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun

secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;

2) Hukum sebagai disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atas

gejala-gejala yang dihadapi;

3) Hukum sebagai kaidah, yakni sebagai pedoman atau patokan perilaku

yang pantas dan diharapkan;

4) Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur proses perangkat kaidah-kaidah

hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta berbentuk

tertulis;
5) Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan

yang berhubungan erat dengan penegak hukum;

6) Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi;

7) Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik

antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan;

8) Hukum sebagai perilaku yang ajeg atau teratur;

9) Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi abstrak

tentang apa yang dianggap baik dan buruk;

10) Hukum sebagai seni (legal art);

11) Dalam menguraikan pengertian hukum di makalah ini, penting juga

dikemukakan definisi hukum yang pernah diuraikan oleh Muchtar

Kusumatmadja;

12) Dasar falsafatinya sehingga penting untuk diuraikan pendapat tersebut.

Sebab Kusumaatmadja berhasil menggabungkan atau dengan kata lain

mendamaikan semua aliran pemikiran dalam ilmu hukum sehingga teori

hukum yang pernah dipertahankan oleh masing-masing mazhabnya

bertemu dalam satu kesatuan pengertian sebagaimana Kusumaatmadja

menyebutnya “sistem hukum”.

13) Lengkapnya, bahwa hukum didefinisikan sebagai mazhab hukum Unpad

“Law and Developmet” adalah seperangkat kaidah, asasasas lembaga

hukum, dan setiap proses-proses yang mengikat daya keberlakuannya.

Atas cakupan dari “kaidah, asas-asas, dan lembaga” dalam pendefinisian

hukum tersebut merupakan saluran pendefinisian yang merangkum mazhab


hukum alam sekaligus mazhab hukum positivistik. Sedangkan “proses-proses

yang mengikat daya keberlakuannya” tidak lain dari faktor nonhukum yang

menjadi pusat kajian dari aliran sejarah hukum dan aliran realisme hukum.

Selain dikemukakan pengertian hukum menurut Kusumaatmadja, penting

pula diuraikan pengertian hukum menurut Achmad Ali, sebagaimana yang

dikemukakan dalam bukunya “Menguak Tabir Hukum” setelah beliau mengutip

beberapa pendapat para ahli tentang pendefinisian hukum. Achmad Ali bisa

dikatakan cukup lengkap dalam merangkum pengertian hukum dari berbagai

pakar, beliau merangkum semua pandangan para pemikir barat, pemikir timur

hingga pemikir Islam lalu pada akhirnya beliau tiba pada kesimpulan “definisi

yang dapat mengartikulasikan hukum itu”

Menurut Soejono Koesoemo Sisworo “keadilan adalah keseimbangan

batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas

kehadiran dan perkembangan kebenaran, yang beriklim toleransi dan kebebasan.”

Sedangkan menurut Suhrawardi K. Lubis dalam bukunya “Etika Profesi Hukum”,

mengemukakan “bahwa Adil atau Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan

seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang

seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui hak

hidup, maka sebaiknya kita harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan

jalan bekerja keras, dan kerja keras yang kita lakukan tidak pula menimbulkan

kerugian terhadap orang-orang, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama.

Dengan pengakuan hidup orang lain, otomatis kita wajib memberikan kesempatan

kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak individunya”.


Selanjutnya, Thomas Aquinas seorang tokoh filsuf hukum alam,

mengelompokkan keadilan menjadi dua, yaitu:

1) Keadilan umum, yaitu keadilan menurut kehendak Undang-Undang

yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.

2) Keadilan khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada asas

kesamaan atau proporsionalitas.

Jauh hari sebelumnya Aristoteles juga pernah mengemukakan keadilan.

Aristoteles menguraikan “justice is political virtue, by the rules of the state is

regulated and these rules the eterion of what is right.” Aristoteles pulalah

sebenarnya yang pertama kali meletakkan dua pembagian keadilan secara

proporsional yang terbagi menjadi keadilan distributif, keadilan komutatif, dan

keadilan vendikatif.

Pertama, keadilan distributif (justitia distributive) adalah keadilan yang secara

proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Kedua,

keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan

kontraprestasi. Ketiga, keadilan vendikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan

hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila

ia dipidana badan atau denda sesuai besarnya hukuman yang telah ditentukan atas

tindakan pidana yang dilakukannya Sementara dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia kata adil mempunyai arti; tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak

kepada yang benar, dan berpegang teguh pada kebenaran.

Sedangkan keadilan merupakan sifat (perbuatan, perlakuan, dan

sebagainya) yang adil. Achmad Ali lebih melihat keadilan dalam tujuan hukum
semata, bahwa keadilan tidaklah dapat dijadikan satu-satunya tujuan hukum.

Sebab bagaimanapun nilai keadilan selalu subjektif dan abstrak. Achmad Ali lebih

setuju jika keadilan bersama-sama dengan kepastian dan kemanfaatan dijadikan

tujuan hukum secara prioritas, sesuai dengan kasus in concreto. Tampaknya,

pandangan Achmad Ali demikian dalam memotret tujuan hukum lebih dominan

pada ajaran dari tujuan hukum secara kasuistis.

Dengan sifat keadilan yang abstrak tersebut, NE. Algra pun akhirnya

mengemukakan “bahwa apakah sesuatu itu adil (rechtvaarding), lebih banyak

tergantung pada rechmatigheid (kesesuaian dengan hukum), pandangan pribadi

seorang penilai. Kiranya lebih baik mengatakan itu tidak adil, tetapi itu

mengatakan hal itu saya anggap adil. Memandang sesuatu itu adil, terutama

merupakan suatu pendapat mengenai nilai secara pribadi”. Antara Hukum dan

Keadilan memang saling terkait seperti dua sisi mata uang, hukum tanpa keadilan

ibarat badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan tanpa hukum akan dilaksanakan

sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di dalam mengambil keputusan

mempunyai ruang lingkup diskresi yang luas serta tidak ada keterkaitannya

dengan perangkat aturan.

3. Hubungan Hukum dan Keadilan

Summum Ius Summa Injuria/Summa Lex Summa Crux. Keadilan tertinggi dapat

berarti ketidakadilan tertinggi. Demikianlah hukum yang selalu mencitacitakan

keadilan maka selama itu pula pasti dalam perwujudannya akan terhenti untuk

mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.


Hal ini benar adanya, in qasu putusan pengadilan selalu saja menyisakan

ada ketidakadilan di sana. Masih terdapat beberapa orang yang merasakan bahwa

putusan hakim yang diwajibkan untuk memutus demi keadilan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa oleh komunitas tertentu, ada kalanya menganggap

putusan hakim tidaklah memenuhi rasa keadilan bagi dirinya

Tetapi tidak berarti bahwa timbulnya respons atau reaksi dari partisipan

hukum yang dikenai pemberlakuan hukum. Kita dengan serta merta mengambil

kesimpulan bahwa antara hukum dan keadilan tidak ada gunanya, bahkan tidak

ada hubungannya. Oleh karena keadilan memang hanya sesuatu yang dicita-

citakan. Ibarat penilaian baik dan benar tidak ada yang bisa menggambarkan

sejelas-jelas mungkin. Sebab apa?

Karena lagi-lagi keadilan sudah dikatakan dari awal adalah sifatnya

abstrak dan memang keadilan hanyalah tujuan akhir. Niscaya manusia terbatas

untuk menggapainya. Pun kalau ada yang mengatakan dapat dicapai keadilan

dengan hati nurani. Itu juga hanya dalam wilayah tingkatan rasa sekaligus naluri

yang diusahakan sepadan dengan naluri orang lainnya. Kalau demikian, bukankah

hukum yang diidentikkan sebagai perundang-undangan tidak lain dari rasa

kebaikan, rasa kebenaran, kejahatan, dan keburukan yang kemudian diberlakukan

secara imperatif. Maka terdapatlah bangunan rasa dan naluri sepadan, universal

melalui konsensus moral sejawat kesepahaman. Maka bersandar, berdasarkan

seluruh analogi tersebut, dari situlah hukum dan keadilan terjadi keterkaitan yang

tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.


Bagi penganut mazhab hukum positivistik ketika memandang hukum

hanya seperangkat perundang-undangan semata, maka pertanyaan yang harus

dijawab oleh kaum ini: Lantas berasal dari manakah hukum itu sehingga lahir

menjadi sekumpulan kaidah, norma, ketentuan, hingga menjadi sekumpulan

perundang-undangan? Apakah cukup lahir dari rasionya saja? Apakah lahir dari

rasio Tuhan yang diturunkan melalui rasio manusia (lex humana) ataukah lahir

dari alam kebatinan yang dipahami sebagai pengalaman kebatinan berkat

kemampuannya memilah kebaikan dan keburukan?

Semua pertanyaan tersebut terjawab dengan mengatakan bahwa “itu

moral” dan apa yang dikehendaki oleh moral sudah pasti kebaikan. Kebaikan

otomotasi satu haluan dengan keadilan. Segala pekerjaan untuk mengkonkretisasi

hukum identik dengan moral, hukum identik dengan keadilan akan

terejawantahkan dalam prinsip-prinsip hukum. Dalam konteks ini, dalil ketiga

hukum dalam pengembanan sebagaimana yang dikemukakan oleh Mewissen akan

menjadi satu kesatuan terhadap seluruh abstraksi teoretikal atas gejala hukum

tersebut. Baik ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum merupakan

“sentral” untuk melahirkan banyaknya jumlah keadilan melalui banyaknya jumlah

asas-asas hukum dalam setiap lapangan ilmu hukum. Antara filsafat hukum yang

terpusat pada keadilan kemudian melahirkan sekumpulan teori hukum, maka

dalam tataran itulah teori hukum dan keadilan akan menurunkan asas hukum, lalu

menciptakan sejumlah ketentuan yang dipahami sebagai kaidah hukum. Asas

hukum dalam “permainan” moral dan keadilan ini dapat dikatakan wadah yang

berada di tengah-tengah untuk mencari konsensus publik sehingga hukum benar-


benar imparsial, integral, hingga tercapai sisi keadilannya. Hubungan hukum dan

keadilan pula dapat diamati pada setiap tujuan hukum. Mulai dari tujuan hukum

ajaran etis, ajaran prioritas baku, hingga ajaran kasusistis.

Satupun dari ajaran tersebut tidak ada yang dapat melepaskan diri dari

tujuan hukum pada sisi keadilannya. Hanya saja dilengkapi dengan tujuan hukum

lain seperti kepastian, kemanfaatan, dan predictibility. Termasuk pula bagi

pembentuk perundang-undangan sekalipun konsisten untuk melepaskan diri dari

sisi keadilan sebagai salah satu tujuan hukum, pada hakikatnya masih dituntut

untuk merumuskan teori hukum berdimensi keadilan yang dapat mendukung

pentingnya undang-undang tertentu dilembagakan dalam lembaga negara. Bahwa

dalam setiap perundang-undangan selalu dilengkapi dengan konsideran

menimbang, mengatur, menetapkan. Perlu diketahui di dalam konsideran

menimbang tersebut, terdapat pertimbangan filsufis yang mencatat tujuan hukum

sebagai keadilan atas pembentukan UndangUndang itu. Hingga sampai pada

hakim pengadilan maupun hakim konstitusi yang berfungsi sebagai aparatur

penegak hukum, dalam upayanya untuk melakukan penegakan hukum, menjaga

sisi keadilan hukum. Hakim diwajibkan pula untuk mengutamakan keadilan

dalam melahirkan putusan-putusannya.

Hakim diwajibkan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam

masyarakat, agar hukum tetap konsisten untuk selalu memperjuangkan keadilan.

Upaya hakim untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya tatkala

perkara-perkara hukum hendak dikonstatir dalam perundang- undangan, lalu

perundang-undangan ternyata tidak cukup memberinya pengaturan. Hakim dalam


posisi demikian dapat melakukan penafsiran dan konstruksi hukum. Ingat!

pekerjaaan hakim di sini untuk melakukan penafsiran atas ketentuan hukum yang

kabur, pada dasarnya menjadi pekerjaan untuk mengakomodasi kaidah-kaidah

tidak tertulis yang diakui keberadaannya dalam masyarakat, agar pencapaian

keadilan untuk masyarakat, diharapkan hakim dapat mewujudkannya.

Atas dasar itu kemudian menjadi pembenaran saat Roland Dworkin

mempopulerkan teori hukumnya sebagai “moral reading”. Moral reading yang

dimaksud oleh Dworkin, gugatan terhadap perundang-undangan yang tidak

lengkap. Perundang-undangan yang belum mampu mengakomodasi segala

kepentingan hukum primer yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena itu

menjadi pekerjaan hakim konstitusi dalam kasus ini, untuk kembali menciptakan

hukum dari hukum yang terpencar di luar, dengan menyesuaikannya dalam

ground norm sekaligus dengan constitutional norm.

Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang

hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam

hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.

Upaya ini sering kali juga didominasi oleh kekuatankekuatan yang bertarung

dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Keadilan

dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti

ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus

berlanjut makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya

rasa dan daya pikir yang dua-duanya merupakan daya rohani, di mana rasa dapat

berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas


nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena yang dapat menentukan

baik dan buruk adalah rasa.

Tidak dapat dipungkiri dalam banyak hal negara seperti Indonesia

menerapkan filsafat politik Hegel kendati tidak mendapat dukungan sepenuhnya

dari individu-individu. Hak-hak individu dikesampingkan tentu saja dapat

dipahami sebagai hasil dari sebuah perjuangan mayoritas warga atau atas dasar

kepentingan umum. Akhirnya kepentingan individu dikesampingkan. Terdapat

permasalahan apakah mengedepankan kepentingan umum atau kepentingan

individu? Keseimbangan keadilan antara individu dengan masyarakat tidak dapat

dipisahkan satu sama. lain. Menilai suatu keadilan dalam suatu masyarakat tidak

pernah mungkin apabila tanpa ikatan antara individu satu dengan individu yang

lainnya. Antara keduanya terdapat relasi timbal balik. Dasar seorang hakim dalam

mengambil putusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhahan Yang Maha

Esa”.

Dengan demikian, dalam menetapkan putusannya, pertama-tama seorang

hakim bermunajat kepada Allah Swt. atas nama-Nya suatu putusan diucapkan. Ia

bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itulah hatinya bergetar.

Ini merupakan peringatan bagi siapa saja. Pesan Rasululloh Muhammad Saw.

kepada seorang sahabatnya sebagai berikut: “Wahai Abu Hurairah, keadilan satu

jam lebih utama dari ibadahmu puluhan tahun, salat, zakat, dan puasa. Wahai Abu

Hurairah, penyelewengan hukum satu jam lebih pedih dan lebih besar dalam

pandangan Allah daripada melakukan maksiat enam puluh tahun”. Sebuah pesan

yang indah, yang wajib dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh para hakim.
Dengan ditemukan nilai ideal keadilan dapat mengatur keseimbangan kepentingan

umat manusia baik kepastian hukum, kesejahteraan, kebahagiaan, pendidikan, dan

lain-lain. Oleh karena itu, untuk menegaskan sarana untuk mencapai keadilan,

sebuah Negara harus mampu merumuskan konsep keadilan yang ingin dicapai

baik keadilan individual maupun kolektif.

C. UJI PEMAHAMAN MATERI


1. Sejauh manakah hubungan hukum dengan keadilan ?

2. Apakah benar hukum ialah mewujudkan keadilan ?

DAFTAR PUSTAKA

Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas


Aquinas, (Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Ekodanto, Bagus. Pemaknaan Tribata. Jayapura: Ratra Samara, 2009.
Erwin, Muhammad. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum
Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi), Edisi Revisi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016.
Faturrochman. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum: Perspektif Historis. Bandung:
Nuansa dan Busamedis, 2004.
Fuady, Munir. Dinamika Teori Hukum. Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia,
2010.
Fulthoni, dkk. Memahami Diskriminasi: Buku Saku Kebebasan Beragama,
Jakarta: ILRC, 2009.
Garvey, James. 20 Karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2010.
Gazhalba, Sidi. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1981. Hakim,
MF Rahman. Etika dan Pergulatan Manusia. Surabaya: Visipers, 2010

Anda mungkin juga menyukai