Anda di halaman 1dari 120

Bab Tujuh

PELAYANAN FIRMAN MELALUI KHOTBAH DAN PENGAJARAN

rinsip-prinsip yang digunakan sebagai dasar khotbah oleh seorang

pengkhotbah-akan mengarahkan persepsi dan penafsirannya

mengenai kegiatan berkhotbah. Apakah khotbah yang ada di dalam pikiran

dan hati si pengkhotbah itu dipandang hanya sebagai suatu penjelasan

mengenai ide-ide ataukah suatu tindakan pelayanan kepada Allah?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah dan pengaruh pesan

yang ingin disampaikan. Setiap pengkhotbah mempunyai sejumlah asumsi

tertentu mengenai khotbah. Asumsi-asumsi teologis mengenai khotbah atau

berkhotbah ini sangat berpengaruh terhadap khotbah itu sendiri. Maksud

bab ini ialah untuk menguraikan beberapa perspektif alkitabiah mengenai

berkhotbah.

Peristiwa Firman

Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak

percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika

mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar

tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana

mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada

tertulis: "Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar

baik!" (Roma 10:14, 15).

Berkhotbah adalah suatu peristiwa yang di dalamnya Firman dikirim

melalui seorang pengkhotbah. Istilah "pengkhotbah" di dalam teks di uji

atas adalah terjemahan dari istilah Yunani "kerussontos." Di dalam

konteksnya kata itu berarti "seseorang yang terus-menerus memberi-


takan.” Pada zaman kuno, fungsi orang itu hanyalah memberitakan

pesan-pesan resmi. Pemberitaannya adalah suatu peristiwa di mana suatu

pesan disampaikan kepada sekelompok orang. Pesannya sudah ada lebih

dahulu, dan orang yang memberitakannya diberi wewenang untuk

memberitakan pesan itu.

diberi tugas untuk memberit

Gembala jemaat tidak diberi tugas untuk memberitakan pesannya

sendiri. Tanggung jawabnya ialah memberitakan pesan yang sudah

disediakan Kristus. Kepercayaan di dalam hati manusia tidak diawali

dengan pesan yang berasal dari manusia, sekalipun pesan itu mungkin

melibatkan kesaksian dan partisipasi saluran manusia untuk memberitakan

Firman. Seorang pengkhotbah pada dasarnya dipanggil untuk

memberitakan suatu pesan yang berasal dari Kristus sendiri.

15/9pusm

Fokus dari Roma 10:14,15 diawali dengan asal-usul dan penugasan

pesan itu. Paulus bertanya, "Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-

Nya, jika mereka tidak diutus?" Pengkhotbah itu diutus. Ini artinya bahwa

pesan itu diawali dengan Tuhan dan bahwa si pengkhotbah diutus untuk

memberitakan pesan yang telah diberikan Tuhan.

Implikasinya ialah bahwa pertanyaan pertama yang harus ditanyakan

si pengkhotbah bukanlah "Apakah yang dapat saya katakan kepada jemaat

ini?", melainkan "Apakah yang Allah katakan melalui Firman-Nya kepada

jemaat ini?". Si pengkhotbah harus sangat sadar mengenai pengaruh dan

kuasa Tuhan di dalam persiapan dan penyampaian khotbah. Berhubung

pesannya berasal dari Tuhan, kesadaran ini adalah prioritas pertama


seorang pengkhotbah. Ini adalah peristiwa untuk menyadari dan

mengalami kuasa dan kehadiran Allah. Khotbah bukanlah sekadar

tsinst isprisbrom Nabi esim

penyajian pikiran dari seorang manusia.

Takut akan Tuhan dan Khotbah

Sikap gentar terhadap kehadiran, pengarahan, dan kuasa yang

dikirimkan Allah disuburkan oleh hal yang disebut Alkitab sebagai "takut

akan Tuhan." Takut akan Tuhan menjadikan si pengkhotbah dapat

berhubungan dengan tindakan Allah yang berdaulat di tengah-tengah umat-

Nya. Selain itu, takut akan Tuhan mendatangkan kesadaran akan Allah,

suatu hal yang bertentangan dengan penolakan yang mungkin muncul di

tengah-tengah pemberitaan Firman.

Di Yehezkiel 2:1-3:11, Allah memerintahkan Yehezkiel untuk bertekun

dalam memberitakan Firman Tuhan. Firman Tuhan harus menjadi dasar

dari pesannya. Yehezkiel tidak boleh menekankan perkataannya sendiri

maupun perkataan orang lain. Ia harus menyampaikan pesan sedemikian

rupa sehingga pesan itu akan dikenali sebagai Firman Tuhan. Hal ini

harus dilaksanakan benar-benar karena penolakan sebagaimana

dijelaskan di perikop ini sangat besar. Perikop ini secara hidup

menggambarkan penampilan, reaksi, dan tanggapan bangsa Israel

terhadap pesan itu. Mereka tidak bersikap positif atau menerima. Namun

demikian, Yehezkiel tetap harus berkhotbah sebab ia memberitakan pesan

yang berasal dari Allah.

Allah menjelaskan tentang penolakan yang akan dihadapi Yehezkiel.

Bangsa itu akan bersikap memberontak, durhaka, keras kepala, dan tegar
hati (2:3,4). Allah mengingatkan Yehezkiel bahwa mereka seharusnya

menanggapi secara positif, tetapi ternyata tidak (3:5-7).

Allah mengatakan kepada Yehezkiel bahwa kunci untuk menghadapi

bangsa itu adalah kuasa Allah di dalam dirinya. Allah berjanji kepada

Yehezkiel bahwa Ia akan bekerja melalui dirinya dan menasihati Yehezkiel

untuk tidak takut atau gentar (ay. 9). Allah akan menguatkan Yehezkiel

supaya ia cukup kuat untuk menghadapi bangsa Israel (ay. 8).

Allah menasihati Yehezkiel secara khusus agar ia menjaga hatinya

sendiri dan tidak memberontak. Realitas tragik ialah jika seorang

gembala jemaat gagal mengatasi penolakan jemaatnya dengan bersandar

kepada karya Allah di dalam dirinya, ia sendiri akan menjadi sama

dengan orang yang menolaknya. Jika seorang gembala jemaat bergantung pada perlengkapan manusia
dan bukan pada kuasa Allah

untuk mengalahkan pemberontakan dan penolakan terhadap Injil, ia

sendiri akan bersikap memberontak dan menjauh dari Allah (lihat 2:8:

3:10).

Perihal percaya kepada karya dan kehadiran Tuhan diajarkan Yesus

di Lukas 11:39-12:12. Di dalam perikop itu, Yesus dan murid-murid

diancam oleh orang Farisi dan orang banyak. Di tengah-tengah para

penentang-Nya, Yesus mengajarkan murid-murid-Nya perihal takut

akan Tuhan. Pada dasarnya, Ia mengajarkan mereka bahwa mereka

tidak boleh takut kepada orang banyak tetapi kepada Tuhan: "Aku

berkata kepadamu, hai sahabat-sahabat-Ku, janganlah kamu takut

terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak

dapat berbuat apa-apa lagi. Aku akan menunjukkan kepada kamu

siapakah yang harus kamu takuti. Takutilah Dia, yang setelah


membunuh, mempunyai kuasa untuk melemparkan orang ke dalam

neraka. Sesungguhnya aku berkata kepadamu, takutilah Dia!" (12:4,5).

Yesus mempersiapkan murid-murid untuk masa ketika mereka akan

menghadapi penentangan terhadap khotbah mereka. Roh Kudus akan

memberikan mereka kata-kata untuk diucapkan apabila mereka hidup

dalam takut akan Tuhan (12:11,12). Ini bukan berarti bahwa persiapan

tidak dibutuhkan dalam berkhotbah. Khotbah harus disiapkan secara

memadai dan tepat. Perikop ini juga tidak melarang penggunaan catatan

atau berkhotbah dengan cara membaca naskah khotbah. Perikop ini

mengajarkan kepada pengkhotbah bahwa sumber pesannya bukan berasal

dari dirinya sendiri. Pesannya juga tidak disampaikan dengan perasaan

takut terhadap bagaimana orang akan menanggapi atau menolak pesan

itu. Yesus mengajarkan bahwa di dalam menyiapkan pelayanan kita harus

lebih takut kepada Tuhan daripada takut kepada manusia.

ubir

Pemberitaan Firman Itu untuk Manusia

dabil asb hibase

Pemberitaan Firman bukan untuk menjelaskan ide-ide abstrak atau

ideologi. Pemberitaan Firman adalah penyingkapan dari kuasa dan

kehadiran Allah sendiri kepada dan untuk manusia. Allah tidak berkarya untuk kepentingan ideologi.
Kristus tidak mati untuk ide-ide abstrak.

Demikian juga khotbah bukanlah untuk menyebarkan ide-ide. Firman Al-

lah ditujukan kepada manusia; oleh karena itu, khotbah harus ditujukan

kepada manusia. Khotbah bukan sekadar penyaluran informasi. Khotbah

adalah Allah yang sedang berbicara kepada manusia melalui Firman.

Firman Itu Berkuasa atas Jemaat


Pengkhotbah harus yakin bahwa Firman itu di dalam dan dari dirinya

sendiri mempunyai kuasa terhadap jemaat. Si pengkhotbah hanyalah ikut

serta di dalam proses ini. Firman itu di dalam dan dari dirinya sendiri

mempunyai kuasa yang berasal dari kuasa dan kehadiran Allah. Bahkan

sebelum si pengkhotbah membaca teksnya, Firman itu hidup dengan kuasa

Allah. Adalah salah bila kita berpikir bahwa Firman itu membutuhkan si

pengkhotbah. Yang benar adalah sebaliknya: si pengkhotbah yang

membutuhkan Firman itu.

Kuasa Firman selalu ada. Kuasa Firman tidak berasal dari kemampuan

manusia. Manusia dapat menjauhkan orang lain dari kuasa Firman itu

dan menyebabkan mereka tidak dapat menerapkan kuasa Firman itu. Si

pengkhotbah harus menyampaikan Firman dengan keyakinan bahwa

kuasa Firman selalu aktif, dan ia harus berhati-hati agar tidak melakukan

hal yang dapat menjauhkan orang lain dari kuasa itu.

Khotbah Adalah Proklamasi Firman Allah

latte

Khotbah harus selalu menunjuk kepada Firman dan tindakan Allah di

dalam Firman. Allah aktif di tengah-tengah jemaat melalui Firman dan

pemberitaan Firman. Inilah yang seharusnya menjadi pusat dan proklamasi

si pengkhotbah. Khotbah seharusnya datang dari, dan menuju ke arah,

Firman. Teks dari khotbah dan tindakan Allah seharusnya membentuk

susunan khotbah.

Pemusatan dan pemroklamasian Firman ditekankan pada saat jemaat

diundang dan didorong untuk mencari Firman Allah bagi diri mereka sendiri

selama pesan disampaikan. Jemaat harus didorong untuk mendengarkan si pengkhotbah dan membuka
Alkitab mereka untuk menerima Firman. Si
pengkhotbah harus sering mengacu kepada teks Alkitab dalam rangka

memusatkan perhatian pada Firman.

Pengkhotbah tidak boleh melakukan hal apa pun yang dapat

mengalihkan perhatian jemaat dari tindakan Allah melalui Firman.

Gerakan-gerakan dan ilustrasi hanya cocok selama dipusatkan pada

Firman. Jika gerakan dan ilustrasi hanya bersifat subjektif atau menarik

perhatian kepada diri si pengkhotbah sendiri dan bukan pada Firman,

semua itu sebaiknya tidak digunakan. Allah harus selalu dipandang sebagai

hal lebih besar dibanding khotbah. Firman dan kuasa-Nya harus

lebih besar dibanding si pengkhotbah.

yang

Pemberitaan Firman dan Ibadah Gereja

Aneka Bagian Dalam Ibadah Gereja

Di sini kita akan membahas aspek-aspek dari ibadah gereja dan

peranan pemberitaan Firman di dalam kebaktian.

Di Efesus 5:18-20 ibadah adalah aspek pertama dari kehidupan yang

dipenuhi Roh sebagaimana ditekankan Paulus. Paulus mengungkapkan

tiga aspek utama dari ibadah: berkata-kata satu sama lain di dalam ibadah

publik, menyanyi di dalam hati di dalam ibadah pribadi, dan mengucap

syukur kepada Allah: "Dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam

mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan

bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa

atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah

dan Bapa kita" (ay.19, 20).

"Berkata-kata" mengacu kepada tindakan deklarasi kepada satu sama


lain di dalam ibadah publik. Ibadah adalah sesuatu yang dilakukan untuk

menghormati Allah. Namun demikian, Paulus selanjutnya juga

menyarankan agar orang percaya di dalam ibadah dapat saling menasihati.

Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan "mazmur, kidung puji-pujian

dan nyanyian rohani" (ay. 19). "Mazmur" adalah nyanyian yang dilengkapi

dengan alat-alat musik. "Kidung puji-pujian" menekankan pujian dan keindahan yang kudus yang dapat
dipersembahkan suatu nyanyian ibadah

kepada Allah. “Nyanyian rohani” adalah nyanyian yang dikenal karena

lirik dan keindahan puitisnya.

Aspek kedua dari ibadah ialah "bernyanyi" di dalam hati untuk ibadah

pribadi. "Bernyanyi di dalam hati” (ay. 19, terjemahan LAI: dengan segenap

hati) adalah referensi kepada ibadah pribadi. Paulus mengajarkan bahwa

selain ibadah bersama orang lain, ibadah juga dapat menjadi ibadah yang

sangat pribadi, baik ketika bersama-sama maupun ketika sendirian.

Aspek ibadah yang ketiga ialah "mengucap syukur" kepada Allah. Tata

bahasa dari teks Yunaninya menunjukkan bahwa ucapan syukur ini adalah

bagian dari kehidupan orang percaya yang dilakukan terus-menerus, suatu

sikap yang mempengaruhi tingkat rasa terima kasih orang percaya.

Fungsi Khotbah

Fungsi khotbah di dalam ibadah gereja sebagian besar adalah untuk

memberi perspektif dan ruang bagi pelayanan Firman Allah. Berbagai

aspek ibadah yang telah dijelaskan di atas mempunyai berbagai tekanan.

Pujian dan penyembahan ditekankan oleh nyanyian dan teriakan hati

kepada Allah. Berkata-kata satu sama lain membawa pujian kepada

Tuhan saat jemaat bersama-sama beribadah kepada Allah. Dan tindakan

ucapan syukur melalui pengumpulan persembahan, perpuluhan, dan


tema-tema lain yang ditekankan di dalam ibadah membawa puji-pujian

kepada Allah.

Di tengah-tengah semua hal itu, khotbah memusatkan perhatian

jemaat kepada Firman Tuhan. Khotbah dapat memusatkan perhatian

jemaat kepada Firman Allah dengan cara yang tidak dapat dilakukan

aspek-aspek lain dari ibadah. Inilah sumbangan khas dari khotbah.

Di dalam ibadah, khotbah menjadi komunikasi Allah kepada manusia

melalui Firman-Nya yang kudus. Firman yang dikhotbahkan dapat

menerangi aspek-aspek ibadah lainnya sehingga semua aspek itu menjadi

lebih jelas dan dapat diarahkan kepada Allah dengan cara yang lebih baik.

Khotbah membawa Firman ke dalam kehidupan dan ibadah gereja.

Melampaui Batas-batas Manusia

Firman yang dikhotbahkan adalah hal yang lebih besar dibanding

instrumen manusiawi apa pun. Ibadah jemaat dan bahkan si pengkhotbah

sendiri tidak boleh menggantikan kehadiran dan kuasa Firman Allah.

Tanpa Firman Allah, segala hal dapat dipandang sebagai sekadar kegiatan

manusia atau pertunjukan dari bakat-bakat manusia. Ini bukan berarti

dalam setiap ibadah. Melainkan, Firman

bahwa khotbah harus selalu ada

harus digunakan di dalam setiap ibadah untuk memberi ilham, penerangan,

dan penafsiran. Lebih lanjut, kuasa Firman harus ditampilkan baik di dalam

ibadah maupun di dalam pesan secara demikian rupa sehingga kuasa

Firman tampak jelas.

irisel heb nsipsd

Wewenang dari Firman yang dikhotbahkan adalah wewenang Allah,


tak peduli bagaimana penolakan manusia. Kadang-kadang penolakan ini

muncul ketika ibadah berlangsung atau bahkan ketika khotbah

disampaikan. Sekalipun demikian, pengkhotbah harus mengutamakan

wewenang Firman daripada wewenangnya sendiri.

Flan

Orang sering tergoda untuk bersandar pada instrumentalitas manusiawi

dalam beribadah dan berkhotbah. Pelayanan Kristus, pada saat Kristus

berkhotbah dan pada saat gereja menjalankan Firman Tuhan saat ini,

bukanlah dari manusia baik dalam hal wewenangnya maupun dalam hal

asal-usulnya. Inilah hal yang ditegaskan Yesus ketika la ditentang orang

Farisi (Mat. 21:23-46). Mereka menanyakan wewenang dari pelayanan-

Nya. Yesus menanggapi dengan menegaskan bahwa Allah bekerja melalui

manusia dan inisiatif proses itu bukan berasal dari dunia, tetapi dari surga.

Yesus menggunakan pelayanan Yohanes Pembaptis sebagai contoh (ay.

23-27). Ia mengacu kepada pelayanan-Nya sendiri sebagai "dari pihak

Tuhan" (ay. 42). Pelayanan Firman di dalam konteks ibadah bukanlah

usaha manusia melainkan tindakan Allah di tengah-tengah umat-Nya.

Pelayanan Pengajaran dari Gembala dan Gereja

Tujuan Pelayanan Pengajaran dari Gereja

Setiap wujud pelayanan mempunyai potensi pengajaran. Di ruang

pertemuan, di ruang kelas, di ruang persekutuan, di ruang kebaktian, atau

di kantor, selalu ada kesempatan untuk mengajar. Prinsip-prinsip Kristus

menembus semua bidang kehidupan. Seseorang tidak hanya hidup di ruang

kelas. Yesus menginginkan agar ruang kelas dari ajaran-ajaran-Nya meliputi

semua bidang kehidupan. Ia mengajar para murid di mana pun la berada.


la mengajar mereka di tepi jalan, di rumah, di luar kota, di taman, di

perjamuan makan, di Bait Allah, dan di pasar. Sikap ini seharusnya ditiru

oleh gembala jemaat dan mereka yang terlibat di dalam pelayanan

pengajaran gereja.

Pelayanan pengajaran gereja harus mengintegrasikan kegiatan belajar

ke dalam kehidupan sehari-hari. Kurikulumnya harus praktis dan selalu

dapat diterapkan ke dalam kehidupan. Prinsip-prinsip "menara gading,"

yang hanya baik untuk pemikiran filosofis, harus diubah agar dapat

diterapkan ke dalam kehidupan. Injil Kristus bukanlah maha karya

ideologis. Injil Kristus adalah kunci mengenai bagaimana seharusnya

kita hidup di hadapan Allah.

Tujuan lain dari pelayanan pengajaran gereja seharusnya meliputi

pemahaman terhadap aspek "perintah" dari ajaran-ajaran Alkitab. Prinsip

ini dapat dilihat di dalam Amanat Agung (Mat. 28:20). Kristus mengatakan

"lakukanlah segala sesuatu yang telah "Kuperintahkan." Kristus ingin agar

ajaran-ajarannya ditaati, bukan hanya dipelajari. Ajaran-ajaran Yesus

bukan sekadar membentuk intelektual seseorang. Ajaran-ajaran-Nya

menuntut untuk ditaati.

Istilah "perintah" di dalam perikop ini diterjemahkan dari istilah Yunani

"entellomai," yang artinya "memerintahkan, mewajibkan." Ini adalah

istilah hukum yang menuntut seseorang untuk mematuhi kewajiban

tertentu. Istilah ini bukan sekadar untuk direnungkan atau dipikirkan.

Dengan cara serupa itu, ajaran gereja harus dirancang untuk mengubah

kehidupan jemaat, bukan hanya pikiran mereka.

Mengembangkan Jaringan-kerja Pelayanan Pengajaran


Kepemimpinan pengajaran dari gereja setempat harus mempunyai

jaringan-kerja dengan gereja-gereja lain. Jaringan-kerja adalah cerminan

dari kesatuan tubuh jemaat. Ia juga memperlihatkan ketergantungan gereja

terhadap Firman Allah, kehadiran-Nya, dan kuasa-Nya. Saling

ketergantungan di dalam pengajaran ini dapat mencegah munculnya

dominasi ajaran dari individu tertentu. Para guru dapat menjadi sangat

berpengaruh. Pengaruh mereka seharusnya digunakan untuk memuliakan

Allah dan bukan untuk menonjolkan kemampuan mereka masing-masing.

Jaringan-kerja pelayanan pengajaran yang paling kritis ialah keluarga.

Keluarga adalah bagian dari pelayanan pengajaran gereja. Di dalam

keluargalah, prinsip-prinsip yang diajarkan dalam kehidupan gereja dapat

diterapkan dan diteguhkan. Keluarga dapat dibangun di atas landasan

yang sudah ditetapkan di dalam pelayanan pengajaran gereja. Demikian

pula, gereja dapat dibangun di atas pelayanan pengajaran keluarga.

Konteks yang paling berpengaruh dan penting dari semua konteks

pengajaran adalah keluarga. Hubungan yang paling bermakna bagi

manusia adalah hubungan antara suami-istri dan hubungan antara or-

ang tua dan anak-anaknya. Hal ini menuntut gereja untuk memberi

perhatian serius pada hubungan suami-istri dan orang tua-anak. Di

dalam konteks yang paling penting dan bermakna ini ajaran gereja harus

diintegrasikan. Sebelum doktrin dan ajaran diterapkan ke konteks atau

permasalahan hidup lainnya, doktrin dan ajaran itu harus diterapkan ke

konteks keluarga lebih dahulu. Pada saat-saat kritis, Paulus menerapkan

ajaran yang sudah lebih dahulu diterapkannya ke konteks hubungan

keluarga (Ef. 5:22-6:4; Kol. 3:18-21; 2 Tim. 1:5; 3:15). Gereja saat ini
seharusnya meneladani hal yang sudah dilakukan Paulus tersebut.

Konsep jaringan-kerja lainnya ialah jaringan-kerja dari para individu

yang belajar. Kurikulum dan semua konsep yang disampaikan di dalam

pelayanan pengajaran dari gereja setempat atau gembala jemaatnya tidak

mempunyai pengaruh bila kurikulum dan konsep-konsep itu tidak

diarahkan untuk memperlengkapi setiap orang percaya. Lingkungan

pengajaran dari gereja setempat harus dirancang supaya setiap orang

percaya tertantang untuk mempelajari Firman secara pribadi. Inilah semangat Gereja di Berea, dan hal
ini menghasilkan tuaian besar (Kis.

17:10-12).

Pelayanan Pengajaran dari Ibadah

Konteks ibadah dari gereja juga dapat dikembangkan sebagai konteks

pengajaran. Pada saat ajaran-ajaran Firman diterapkan di dalam konteks

ibadah, ajaran-ajaran itu dapat diterapkan di dalam iman bukan hanya

akal. Orang percaya akan terdorong untuk menerima apa yang telah

dipelajarinya dan menerapkannya dengan sikap memuliakan dan memuji

Tuhan. Ibadah dapat digunakan untuk memberi makna dan nilai abadi

kepada apa yang telah dipelajari jemaat.

Khotbah juga dapat menjadi alat pengajaran. Gembala jemaat dapat

memberi contoh dalam pengajaran dan pembelajaran pada saat ia

berkhotbah. Contoh-contoh dari prinsip-prinsip yang diajarkan gereja dapat

ditekankan di dalam khotbah. Orang percaya dapat ditantang untuk

menjadi seorang pendengar dan pelajar pada saat khotbah disampaikan.

Melibatkan pendengar secara aktif untuk mencari dan membaca ayat-

ayat Alkitab dapat mendorong mereka untuk belajar. Fungsi pembelajaran

dari khotbah dapat membantu orang percaya untuk menerapkan isi


khotbah kepada inteleknya sebagaimana juga kepada rohnya.

Peristiwa-peristiwa istimewa di dalam kehidupan dan ibadah gereja

dapat menjadi kesempatan untuk mengajar dan belajar. Perjamuan Ku-

dus dapat digunakan sebagai kesempatan untuk mengingat dan menghayati

karya Kristus. Upacara Pembaptisan dapat digunakan untuk menekankan

prinsip-prinsip mengenai komitmen dan kesetiaan kepada Kristus.

Pembasuhan Kaki Orang Kudus dapat digunakan untuk menekankan

persekutuan dan pelayanan rendah hati kepada satu sama lain.

Pernikahan, dedikasi, hari-hari raya khusus, dan peristiwa-peristiwa lainnya

juga memberi kesempatan pengajaran.

PO

Cara pelaksanaan ibadah adalah alat pengajaran. Waktu yang

dialokasikan untuk berbagai bagian di dalam ibadah, ucapan-ucapan

selama dan di dalam waktu antara satu bagian dan bagian lainnya, dan

hal yang mungkin ditiadakan di dalam ibadah, semua ini mengajarkan jemaat akan suatu hal. Dalam arti
ini, konteks ibadah adalah waktu

ketika kelas terbesar hadir untuk belajar. Pelayanan ibadah menyediakan

potensi terbesar untuk mengajar dan belajar.

Penggunaan Doktrin dalam Mengajar

Gembala jemaat adalah guru. Bagian utama dari pelayanan Yesus

adalah ajaran-ajaran-Nya. Pada saat la menggembalakan murid-murid

dan orang-orang di sekeliling-Nya, Ia mengajar. Ajaran-ajaran Yesus

membentuk suatu pedoman bagi para pengikut-Nya. Yesus mengajar

mereka melalui contoh, melalui tindakan, dan melalui instruksi. Semua ini

membentuk ajaran-ajaran-Nya, yang kemudian berkembang menjadi

doktrin-demikian gereja menamakannya. Gembala jemaat terlibat di


dalam proses yang sama dengan mengajar terus menerus dan

mengimplementasikan doktrin ke dalam kehidupan jemaatnya.

Doktrin-doktrin gereja adalah bagian dari proses pengajaran. Doktrin

digunakan untuk menjadi pedoman bagi gereja, Tubuh Kristus. Gereja

Awal mengembangkan doktrin para rasul dalam rangka menetapkan

standar dan pedoman. Konsep dari suatu doktrin mempunyai akar di dalam

ajaran. Istilah Yunani untuk "doktrin" yaitu "didakhe", yang juga

diterjemahkan "ajaran," mengimplikasikan bahwa proses dari doktrin

adalah proses pengajaran.

Doktrin bukanlah abstraksi atau ideologi, melainkan suatu ajaran yang

dikomunikasikan kepada orang-orang lain. Sasaran yang ingin diraih

doktrin bukanlah untuk menjadi mahakarya filosofis, yang dipelihara untuk

kepentingan dirinya sendiri. Sasaran sejati dari doktrin ialah untuk menjadi

suatu ajaran dan pedoman bagi orang percaya. Doktrin berguna untuk

memperkaya dan memperlengkapi orang percaya.

Doktrin-doktrin gereja yang mendasar adalah ajaran-ajaran Tuhan dan

para rasul. Gereja melanjutkan doktrin-doktrin ini, yaitu menggunakannya

dengan cara yang sama sebagaimana doktrin-doktrin ini digunakan di

dalam Perjanjian Baru. Doktrin-doktrin ini berguna untuk membangun

jemaat, bukan sekadar untuk mengidentifikasi suatu jemaat. Gereja Awal 103

sangat memperhatikan pelaksanaan praktik dan iman yang sama

sebagaimana yang diikuti oleh orang-orang yang mengikut Tuhan sebelum

mereka. Untuk memastikan hal ini, mereka menggunakan proses ajaran/

doktrin.

grosobnam auter insmet sindrop heb


nonovels

Sejumlah contoh yang baik dan yang buruk mengenai proses doktrin

dan ajaran ini dapat ditemukan di Perjanjian Baru. Yesus menggunakan

proses ini (Mat. 7:28). Paulus dan orang-orang lain menggunakan proses

ini di dalam melanjutkan iman Kristen mereka (Rm. 6:17). Proses

pengajaran para rasul diidentifikasi sebagai doktrin untuk diikuti (Kis. 2:42).

Guru-guru sesat mengajarkan doktrin-doktrin yang tidak benar melalui

proses ini. Mereka itu termasuk Bileam (Why. 2:14), Nikolaus (ay.15), dan

Izebel (ay.20, 24). malah ib lule della s

sudmsm Auiny now

Imam Jutnu odecuisdeureart

Implikasi Perubahan Dalam Perilaku dan Kepercayaan

Pelayanan pengajaran gereja adalah hal penting karena pelayanan ini

mempengaruhi perilaku orang percaya. Jika gembala jemaat dan gereja

gagal di dalam mengajar, pasti akan ada kegagalan di dalam

pengembangan prinsip-prinsip iman dan kematangan rohani di dalam diri

jemaatnya. Perilaku orang percaya diubah melalui proses pengajaran dan

pemuridan. Jika gembala jemaat dan gereja gagal di dalam pelayanan

pengajaran gereja, hal ini akan tercermin di dalam perilaku jemaatnya.

Kondisi hati seseorang akan mempengaruhi perilakunya. Dalam

penelitian terhadap 121 mahasiswa di Universitas California tahun 1982,

Speckart dan Bentler membuktikan bahwa sikap mereka pada saat itu

lebih berpengaruh dibanding perilaku mereka di masa lalu. Perilaku religius

dipandang sebagai variabel utama. Para mahasiswa itu mengambil suatu

tindakan lebih didasarkan atas sikap-sikap tertentu ketimbang atas perilaku


sebelumnya (Speckart dan Bentler). Fishbein dan Ajzen menciptakan suatu

model yang dapat memperlihatkan bahwa "perilaku dapat diramalkan

berdasarkan maksud, maksud dapat diramalkan berdasarkan sikap, dan

sikap dapat diramalkan berdasarkan kepercayaan" (Ewald dan Roberts).

Artinya, seseorang bertindak oleh karena perkembangan kepercayaan di

dalam dirinya. Salah satu bidang primer dari tanggung jawab gereja untuk mengembangkan kematangan
hati ialah pelayanan pengajaran gereja.

Pengaruh pelayanan pengajaran terhadap perilaku adalah sebanyak atau

lebih banyak dibanding pengaruh pelayanan lainnya.com.t

Pelayanan pengajaran dari gembala jemaat harus mendukung

pertumbuhan di dalam Kristus di dalam diri setiap dan seluruh jemaatnya.

Pengajaran gembala jemaat harus membimbing umat di dalam

transformasi karakter dan kehidupan rohani mereka (Rm. 12:1,2).

Gembala jemaat harus peka terhadap dinamika hubungan-hubungan

umatnya. Moralitas dibentuk di dalam konteks komunitas. Tugas

instruksional meliputi pengembangan bahasa iman dan penggunaan

bahasa Alkitab. Pengajaran harus dipusatkan di sekitar Allah dan karya-

Nya di tengah-tengah umat-Nya. Allah aktif di dalam gereja, dan la tetap

menggunakan pengajaran untuk membuat umat-Nya sadar akan

kehadiran-Nya. Gembala jemaat harus berusaha untuk membuat

pelayanan pengajarannya menjadi bagian dari proses pengajaran Allah.

Bab Delapan

PELAYANAN EVANGELISTIK
DARI GEMBALA JEMAAT

DAN GEREJA

egiatan, kehidupan, dan pelayanan dari gereja setempat dipandang

dan dialami secara berbeda oleh anggotanya dibanding oleh orang

tak percaya. Orang tak percaya tidak memandang gereja di dalam iman.

Mereka melihat gereja sebagai suatu organisasi religius, suatu fenomena

sosiologis. Sekalipun orang tak percaya mungkin menempatkan moral

agung atau nilai sentimental kepada gereja, ia tidak mengalami kuasa

Roh yang dinamis sebagaimana yang dialami oleh anggota-anggota Tubuh

Kristus.

Orang tak percaya bukanlah peserta di dalam gereja. Ia hanyalah

pengamat, sekalipun ia mungkin hadir di dalam gereja, bahkan ikut serta

di dalam kegiatan gereja. Bagaimana pun juga, bila orang tak percaya

belum mengalami perubahan hati-suatu pengalaman keselamatan-ia

tidak akan mengalami kehidupan gereja dengan cara yang sama

sebagaimana yang dialami seorang Kristen. Keselamatan membuat

perbedaan besar di dalam cara pandang dan pengalaman seseorang

terhadap gereja.

Pelayanan Evangelistik dari Gereja

Kegiatan gereja yang bersifat evangelistik-penginjilan-harus

memperjelas perbedaan antara gereja dan organisasi lainnya di dunia ini.

Gereja berbeda oleh karena Kristus. Roh Tuhan berkarya di dalam gereja

dan pada para anggota gereja. Gereja mempunyai komitmen pada

pemberitaan Firman Allah. Prioritas gereja ditentukan oleh kehendak dan

tindakan Allah yang berdaulat. Jika perbedaan-perbedaan ini tidak dibuat


jelas oleh seluruh jemaat, tidak akan ada pesan efektif yang dapat

Kristus. Namun demikian, Kristus menggunakan gereja dan anggota-

disampaikan kepada dunia ini. Pesan itu bukanlah gereja, melainkan

anggota Tubuh Kristus untuk mewujudkan dan memancarkan injil. Jika

gereja kehilangan identitasnya, gereja akan kehilangan pesannya kepada

orang-orang tersesat.

Allah berkarya di bumi untuk mewujudkan kehendak-Nya. Pelayanan

gereja harus memperlengkapi anggotanya untuk dapat menggenapi tujuan-

tujuan Allah di bumi. Tubuh Kristus didedikasikan bagi kemuliaan Allah

dan penggenapan kehendak Allah. Jika anggota jemaat tidak diperlengkapi

untuk memahami dan melaksanakan kehendak Bapa, mereka akan

kehilangan ladang tuaian evangelistik. Kegiatan-kegiatan gereja mempunyai

banyak tujuan. Namun semua kegiatan itu harus diarahkan kepada

perwujudan kehendak Bapa surgawi, yaitu dengan menyampaikan pesan-

Nya kepada orang-orang tersesat.

DAUGH

Kehendak Allah di bumi ialah agar kita memenangkan orang yang

tersesat. Entah Allah Bapa membentuk orang percaya, mencurahkan berkat

kepada gereja, memperlengkapi jemaat untuk menyembah Dia, atau

berkarya di tengah-tengah sejumlah pelayanan di gereja, tujuan-Nya tetap

sama. Tujuan akhir Allah ialah agar manusia dan gereja diperdamaikan

dan direkonsiliasi dengan diri-Nya sendiri.

Kehendak Allah menjadi fokus pelayanan Yesus di dalam memenangkan

orang yang tersesat. Fokus ini secara khusus dilukiskan di Yohanes 4.

Sesudah memberitakan kabar baik kepada perempuan yang bertemu


dengan-Nya di tepi sumur, Yesus menjelaskan kepada para murid-Nya

bahwa la sedang mewujudkan kehendak Bapa surgawi-Nya: “Makanan-

Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan

pekerjaan-Nya. Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah

musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang ladang
yang sudah menguning dan matang untuk dituai " ay.34.35.

Tujuan Yesus adalah untuk membawa masuk manusia ke dalam

at perlindungan-Nya (Yoh. 10:15-17). Inilah kehendak Bapa surgawi.

Pelayanan Yesus melibatkan banyak aspek, namun semuanya diarahkan

untuk menyelamatkan manusia yang tersesat (Luk. 19:10). Tujuan dan

pelayanan gereja haruslah sama dengan tujuan dan pelayanan Yesus.

Berbagai macam pelayanan dari gereja seharusnya ditujukan untuk

penginjilan dan memenangkan mereka yang tersesat. Misi gereja ialah

untuk membawa mereka yang tersesat masuk ke dalam perlindungan-Nya.

3.

pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk

dituai" (ay. 34, 35).

member

Murid-murid yang ada bersama Yesus di Samaria telah gagal untuk

melihat kehendak Bapa dalam hal penginjilan. Mereka peduli pada

persoalan-persoalan mereka sendiri dan bukan pada kebutuhan perempuan

itu (Yoh. 4:27). Murid-murid terlalu memikirkan kebutuhan dan keinginan

mereka pribadi (ay. 31, 33). Yesus telah mengirim mereka ke kota untuk

menuai tuaian evangelistik (ay. 38). Namun mereka gagal untuk melihat
kehendak Bapa sebagaimana yang dilihat Yesus (ay. 32, 34-38). Kebutuhan

kota itu sangat besar sehingga Yesus membutuhkan waktu dua hari untuk

melayani orang di sana (ay. 40). Murid-murid gagal untuk melihat kehendak

Bapa bagi penginjilan karena fokus mereka yang berpusat pada diri sendiri,

sehingga mereka berjalan melewati kota Sikhar tanpa melihat kebutuhan

orang-orang di sana.

Gereja masa kini harus memfokuskan semua pelayanannya pada

kehendak Bapa. Ini tidak berarti bahwa setiap pelayanan dari gereja

setempat bersifat evangelistik. Ini tidak berarti bahwa penginjilan adalah

satu-satunya pelayanan gereja. Tetapi, ini berarti bahwa pelayanan-

pelayanan gereja harus peka terhadap kehendak Bapa untuk

memperdamaikan dan merekonsiliasi orang yang tersesat. Hal ini akan

membantu untuk memelihara fokus gereja pada kehendak Bapa bagi

penginjilan. Alternatif lain akan memfokuskan gereja pada dirinya sendiri.

Akibatnya akan berlanjut pada ketidakpekaan gereja terhadap kebutuhan

orang yang tersesat. Sebagaimana para murid melewati Sikhar dan tidak

melihat jiwa-jiwa yang lapar, gereja akan ada di masyarakat hanya untuk dirinya sendiri dan tidak
melihat orang-orang yang akan binasa di

sekitarnya.

Katalis Pertobatan Harus Ditemukan di Gereja Setempat

Pertobatan adalah hal penting karena pada saat itulah seseorang mulai

memasuki keluarga Allah. Ketidakpercayaan orang tak percaya diubah

menjadi kepercayaan dengan pengakuan dan pertobatan. Apa pun kondisi

orang yang tersesat itu, jika ia bertobat dan percaya, ia akan diselamatkan

(1 Yoh. 1:9).

swedmom Nutni
"Pertobatan" berasal dari istilah Yunani "metanoeo," yang artinya

"berpikir secara berbeda." Istilah ini menekankan suatu perubahan di dalam

pikiran dan maksud. Pertobatan seseorang artinya perubahan di dalam

maksud dan kehendaknya terhadap kehidupan. Perilaku orang itu berubah.

Istilah "pertobatan" dalam berbagai bentuknya muncul 64 kali di dalam

Perjanjian Baru. Itulah yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis di padang

belantara (Mat. 3:2). Pertobatan adalah pesan di dalam khotbah Yesus

(4:17). Ketiadaan pertobatan adalah alasan dari hukuman Allah (11:20,

21). Pertobatan adalah pusat khotbah para murid (Mrk. 6:12). Pertobatan

adalah hal yang ditekankan di dalam pesan Pentakosta dan terus berlanjut

menjadi pesan dari Gereja Awal (Kis. 2:38; 3:19; 8:22). Pesan mengenai

pertobatan adalah bagian utama bagi kegiatan dan misi penginjilan gereja.

Gereja atau jemaat harus dikenal sebagai suatu komunitas orang-orang

yang telah bertobat. Jika gereja sendiri tidak mengutamakan pertobatan,

dunia tidak akan melihat bukti mengenai sikap tunduk kepada Tuhan di

dalam kerendahan hati. Jika dunia hanya melihat kekerasan hati dan

kekuasaan gereja dan bukan tangis pertobatannya, maka orang-orang

berdosa tidak akan bertobat. Jika dunia hanya melihat kejayaan dan

kemegahan gereja dan bukan suatu gaya hidup pertobatan di hadapan

Allah, orang berdosa tidak akan mengetahui bagaimana caranya

memahami pengorbanan Tuhan. Jika dunia hanya melihat kesuksesan

dan berkat-berkat gereja dan bukan panggilan untuk bertobat, orang

berdosa tidak akan mengetahui kuasa dari penyerahan diri orang yang

bertobat kepada Tuhan.

Karya Penginjilan Haruslah Pengenalan Mengenai Karya Allah


Allah terus menerus menarik dunia kepada diri-Nya. Roh Kudus

bekerja untuk mengubah hati dan mendorong individu untuk bertobat.

Allah memanggil orang percaya untuk terlibat di dalam memenangkan

dan memuridkan orang-orang yang tersesat. Allah mengubah kehidupan

orang-orang supaya mereka menjadi saksi bagi-Nya. Allah mengirim para

pengikut-Nya dengan disertai kuasa-Nya supaya mereka dapat mengubah

orang lain untuk ikut menjadi pengikut-Nya.

Gereja harus mengenali karya Allah, bukan karya manusia, sebagai

stimulus bagi penginjilan. Dunia tidak dimenangkan kepada Kristus karena

usaha penginjilan dari manusia. Orang-orang tersesat menjadi bertobat

karena karya Roh Kudus. Keterlibatan manusia di dalam penginjilan harus

dipandang sebagai suatu kerja sama dengan apa yang telah dikerjakan

Allah untuk memenangkan orang yang tersesat. Karya manusia di dalam

penginjilan bukanlah hal yang menghasilkan pertobatan.

Hal itu bukan berarti bahwa orang-orang percaya tidak mengerjakan

apa pun juga sementara Allah bekerja melaksanakan penginjilan.

Melainkan, hal itu berarti bahwa karya penginjilan orang Kristen diubah.

Orang percaya tetap harus bekerja untuk memenangkan mereka yang

tersesat. Namun hal itu bukan sekadar tindakan manusia. Hal itu adalah

pelayanan yang ditentukan dan diberi kuasa oleh Allah.

Pengubahan dan pemberian kuasa kepada orang percaya untuk

memenangkan orang yang tersesat itu dapat digambarkan dengan

beberapa teks. Yang pertama ialah paradigma dari Amanat Agung. Saat

itu ada persekongkolan untuk membelokkan pesan mengenai kubur yang

kosong (Mat. 27:62-66; 28:11-15). Akibatnya, sebagian orang meragukan


kebangkitan dan kuasa Kristus (28:17). Kristus menanggapi dengan

menyatakan bahwa Ia mempunyai kuasa yang dapat mengalahkan.

Selanjutnya, Ia memerintahkan para murid untuk memenangkan dan

memuridkan bangsa-bangsa (28:18-20). Dasar dari kemampuan mereka

untuk menginjili orang yang tersesat ialah kuasa Yesus, bukan kuasa

atau kemampuan mereka sendiri. Demikian pula, pelayanan evangelistik

gereja tidak berasal dari kemampuan manusia, tetapi dari kuasa yang

mereka terima dari Kristus.

Prinsip yang sama juga tampak pada nabi-nabi. Yesaya mampu

bernubuat hanya karena Allah memberi kuasa kepada-Nya dengan bara

dari mezbah (Yes. 6:6-10). Amos mampu memberitakan Firman Tuhan

kepada para pemimpin agama dan raja Israel hanya karena Allah telah

memberinya pesan untuk disampaikan. Pesan dan kemampuan untuk

bernubuat bukan berasal dari Amos.

Prinsip-prinsip dan kesejajaran antara perikop-perikop Alkitab dan

pelayanan evangelistik gereja masa kini dapat digambarkan sebagai

berikut:

Teks

YESAYA 6:9

"Pergilah"

"Katakanlah"

"Bangsa ini"

nelud

sm einer sp190

neignsnomih Jebi sinu nslijnignoq ipad aulumie


Unsur-unsur Misi

Penugasan

Pemberitaan

Orang yang membutuhkan

AMOS 7:14,15

"Pergilah"

Penugasan

"Bernubuatlah"

Snit Pemberitaan

"Terhadap umat-Ku Israel" Orang yang membutuhkan

MATIUS 28:18-20

"Pergilah"

"Ajarlah" (dan baptislah)

"Semua bangsa"

Penugasan

Pemberitaan

Orang yang membutuhkan

sing

Di setiap teks, misi dari nabi atau gereja diawali dengan penugasan

dan karya dari Allah. Hal itu tidak diawali dengan karya dari nabi atau

orang percaya. Misi itu juga tidak diawali dengan kebutuhan orang-or-

ang. Penginjilan membutuhkan kerja keras dari orang-orang percaya.

Namun, gereja dan gembala jemaat harus menyadari bahwa karya

penginjilan diawali dengan Allah. Kebutuhan orang-orang dijawab melalui

penginjilan. Namun, orang-orang percaya harus melihat bahwa penginjilan


diawali dengan penugasan dan kuasa dari Allah.

Gembala Jemaat sebagai Penginjil

Dasar Alkitabiah Mengenai Gembala Jemaat sebagai Penginjil

Bab-bab sebelumnya telah membahas perspektif-perspektif PL dan PB

mengenai penggembalaan. Teks utama dari PL ialah Yehezkiel 34. Teks

utama dari PB ialah Yohanes 10. Keduanya memperlihatkan bahwa

penginjilan adalah bagian utama dari penggembalaan.

Di Yehezkiel 34 sang gembala dipandang sebagai orang yang melakukan

penginjilan. Acuan yang paling langsung mengenai penginjilan ada di ayat

16: "Yang hilang akan Kucari." Tema-tema mengenai rekonsiliasi dan

penyelamatan juga berkaitan dengan penginjilan. Rekonsiliasi ada di ayat

16: "Yang tersesat akan Kubawa pulang." Penyelamatan tampak di dua

tempat, ayat 12 dan 13: "Begitulah Aku akan... menyelamatkan mereka

dari segala tempat, ke mana mereka diserahkan pada hari berkabut dan

hari kegelapan. Aku akan membawa mereka keluar dari tengah bangsa-

bangsa." Perikop ini membantu kita untuk memahami bagaimana seorang

gembala terlibat di dalam penginjilan.

Tugas utama dari gembala jemaat sebagai penginjil ialah "untuk

mencari yang hilang" (ay.16). Istilah Ibrani untuk "mencari" ialah

"baqash," yang artinya "mencari dengan tekun dan dengan maksud untuk

menemukan." "Hilang" (Ibrani, abad) artinya "tersesat dan berada dalam

bahaya." Ini berarti bahwa seorang gembala dengan tekun mencari or-

ang-orang yang berada dalam bahaya. Seorang gembala mencari orang-

orang yang tersesat tanpa Kristus dan yang berada dalam bahaya rohani.

Tugas evangelistik seorang gembala mewajibkannya untuk mencari or-


ang-orang yang telah tersesat dari kandang perlindungannya.

melakukan

Juga di Yohanes 10, gembala dipandang sebagai orang yang

tugas penginjilan. Penginjilan tampak jelas di Yohanes 9, dan bagian itu

merupakan konteks bagi Yohanes 10. Penginjilan tampak jelas di dalam keterbebanan Kristus terhadap
"domba-domba lain'" (10:6). Kepercayaan

adalah hal yang sangat ditekankan di Yohanes 10. Domba-domba

mengenali sang gembala karena mereka percaya kepada-Nya.

Aspek-aspek Fungsi Pastoral test siedinsd

yang Berkaitan dengan Pelayanan Penginjilan sidstila p

Gembala jemaat harus menyatukan tindakan pastoral dengan mandat

evangelistik. Di dalam konseling, berkhotbah, mengorganisasi,

mengembangkan, menjenguk orang sakit, atau di dalam pelayanan apa

pun, tujuan untuk mencari orang yang tersesat haruslah tetap ada. Itu

adalah tujuan terpuncak atau terutama. Dengan kata lain, seorang gembala

jemaat harus melaksanakan Amanat Agung (Mat. 28:18-20).

Pelayanan Paulus dapat menjadi contoh utama mengenai bagaimana

menyatukan berbagai pelayanan ke dalam satu tujuan akhir: memenangkan

orang yang tersesat. Sebagai pengorganisir dan penanam benih gereja,

Paulus sangat memperhatikan jiwa-jiwa. Pada saat ia membina murid-

murid bagi Kristus di jemaat-jemaat, Paulus sangat memperhatikan perihal

penebusan orang-orang yang belum diselamatkan. Tujuan atau sasaran

Paulus ialah untuk memelihara mereka yang digembalakannya supaya ia

dapat mempersembahkan mereka kepada Allah sebagai orang-orang yang

telah ditebus dan disempurnakan di dalam Kristus (Ef. 5:27; Kol. 1:22,28).

Tujuan atau sasaran yang ingin dicapai adalah sasaran yang evangelistik
- yaitu agar mereka tidak tersesat atau hilang, melainkan diselamatkan.

Menjadi Contoh, Pengorganisir, dan

Pengajar Dalam Penginjilan

Gembala jemaat menjadi contoh di dalam pelayanan evangelistik dari

gereja setempat. Ia berkhotbah untuk menjangkau orang yang tersesat.

Bersaksi adalah bagian dari kehidupan seorang gembala jemaat. Ia

mempunyai keprihatinan dan keterbebanan yang meliputi orang-orang

yang tersesat. Hal-hal ini dan praktik-praktik lainnya memperlihatkan

kepada anggota jemaat apa artinya "mempunyai komitmen untuk

melaksanakan Amanat Agung."

Gembala jemaat adalah juga seorang pengorganisir di dalam pelayanan

evangelistik gereja. Di sejumlah keadaan, gembala jemaat adalah

pengorganisir utama. Di konteks lain, mungkin orang lain yang akan

menjadi pemimpin di dalam tugas evangelistik. Namun demikian, gembala

jemaat harus terlibat di dalam pengorganisasian dan pemeliharaan

pelayanan-pelayanan evangelistik gereja. Peranan dan kepemimpinannya

sebagai gembala tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Pengaruh dan

nasihatnya menghasilkan perbedaan penting di dalam upaya-upaya

evangelistik.

Yang terakhir, gembala jemaat harus terlibat di dalam aspek pengajaran

dari pelayanan evangelistik gereja setempat. Memenangkan jiwa dan

pemuridan adalah tugas-tugas yang membutuhkan pendidikan dan

pelatihan. Gembala jemaat sebagai pengajar di dalam proses ini dapat

menjadi sangat efektif. Ia bukan hanya melaksanakan panggilannya


sebagai gembala, melainkan ia juga melaksanakan aspek-aspek

evangelistik dari panggilan itu. Pada saat ia terlibat langsung di dalam

penginjilan, melalui pendidikan, usaha-usahanya akan berlipatganda

berhubung para dombanya diperlengkapi oleh gembalanya itu untuk

membawa orang lain ke dalam gereja.

Tugas Gembala Jemaat sebagai Penginjil

Sebagaimana Tampak di Kisah Para Rasul

Dalam Kisah Para Rasul, penggunaan istilah "memberitakan"

menyediakan paradigma bagi tugas penginjilan. Beberapa terjemahan

menggunakan frase yang lebih panjang "memberitakan Injil." Di saat-saat

lain, hanya istilah "memberitakan" yang digunakan. Dalam kedua kasus

itu, "memberitakan" berasal dari "euaggelizo," istilah Yunani yang menjadi

asal kata dari istilah Inggris "evangelize" (menginjil, memberitakan Injil).

Oleh karena itu, "memberitakan" sebenarnya lebih berkaitan dengan

penginjilan (evangelisasi) yang menggunakan Injil.

Berbagai konteks dari istilah dan frase yang muncul di Kisah Para Rasul

itu menawarkan paradigma yang kaya bagi tugas penginjilan. Masing-

masing menyediakan perspektif berbeda dari tugas itu. Ketika orang-orang Kristen dari Gereja Awal
menyebar karena penganiayaan, mereka

menginjil ke mana pun mereka pergi. Masa kesusahan mereka diubah

menjadi kesempatan untuk penginjilan (8:4). Jemaat menginjil bahkan di

hadapan para musuh (8:9-12). Penginjilan adalah tugas gereja yang

dilaksanakan terus-menerus (8:25, 40). Penginjilan dilakukan pribadi demi

pribadi sebagaimana juga disampaikan kepada orang banyak (8:35).

Penginjilan adalah bagian dari proklamasi ketuhanan Kristus (10:36).

Penginjilan dilakukan lintas budaya (11:19-21). Penginjilan adalah berita


dari Kebangkitan (13:32, 33).

Penginjilan adalah bagian dari pelayanan apa pun, bahkan kepada

mereka yang datang untuk disembuhkan (14:7-10). Penginjilan adalah

bagian dari upaya untuk menjangkau agama-agama kafir (14:15). Hal itu

adalah pesan yang dikumandangkan di tengah-tengah kemenangan

terhadap penganiayaan (14:21). Sebagian dari tugas mengajar adalah

penginjilan (15:35). Penginjilan ada di pusat panggilan misioner (16:10).

Akhirnya, penginjilan tidak dapat dihentikan, sekalipun ada orang-orang

skeptis yang berusaha untuk menghalang-halanginya (17:18).

Bagian-bagian dari Kisah Para Rasul itu menunjukkan pelaksanaan

efektif dari panggilan untuk menginjil. Pemberitaan Injil adalah bagian

penting dari Gereja Awal. Penginjilan adalah alat untuk memperluas gereja.

Penginjilan adalah bagian dari pelayanan orang-orang kudus, baik di dalam

kepemimpinan maupun di dalam kebaktian. Penginjilan bukanlah sekadar

tambahan kecil bagi pelayanan gereja. Sebaliknya, penginjilan ada di pusat

kuasa dan misi gereja.

Teologi Kebangunan Rohani

Kebangunan Rohani (revival) telah diartikan berbeda-beda. Sebagian

orang merasa bahwa Kebangunan Rohani adalah peristiwa spontan yang

tidak dapat diprogram atau dijadwalkan. Sebagian orang lain merasa bahwa

Kebangunan Rohani adalah pembaruan yang terjadi pada orang-orang yang

sudah percaya, sedangkan Penginjilan adalah untuk menyelamatkan orang

yang masih tersesat atau terhilang. Dari perspektif yang berbeda, sebagian

orang memahami Kebangunan Rohani sebagai serangkaian pertemuan baik untuk menyelamatkan
orang tersesat maupun untuk memperbarui orang
kudus

dua peristiwa yang berbeda dan terpisah.

Definisi mendasar yang digunakan di bab ini ialah bahwa Kebangunan

Rohani adalah kuasa Allah yang memperbarui di mana orang yang percaya

diperbarui dan orang yang sesat datang kepada Kristus. Sejumlah bagian

Alkitab mencatat peristiwa-peristiwa kebangunan rohani. Dua yang akan

digunakan sebagai contoh: (1) pengalaman pembaruan di bawah

pemerintahan Raja Hizkia (2 Taw. 29; 30) dan (2) kebangunan rohani

yang terjadi pada orang-orang percaya di Efesus di bawah pelayanan

Paulus (Kis. 19).

Pembaruan di Kerajaan Hizkia

Kitab 2 Tawarikh pasal 29 dan 30 mencatat satu dari kebangunan

rohani terbesar di Yehuda. Seluruh bangsa berubah secara rohani di bawah

pemerintahan Hizkia. Barangkali kebangunan rohani lain yang dapat

menyamakan kedahsyatannya hanyalah kebangunan rohani yang terjadi

di bawah Raja Yosia.

Tema pertama dari kebangunan rohani Hizkia ialah persiapan untuk

kebangunan rohani. Ia memperbaiki dan menguduskan Rumah Tuhan

(29:3-5). Ia mengumpulkan orang-orang yang bertanggung jawab dalam

memelihara Bait Suci dan memberi tugas kepada mereka untuk

dilaksanakan. Hizkia menantang para pemimpin untuk menguduskan diri

mereka dan mendekatkan diri kepada Allah (ay.6-11).

Persiapan adalah bagian dari kebangunan rohani. Hal ini membutuhkan

persiapan para pemimpin gereja. Sudah sering terjadi bahwa tim puji-

pujian, gembala jemaat, dan para pemimpin lain yang harus mengawali
tahap-tahap pertama kebangunan rohani melalui pembaruan pribadi

mereka masing-masing. Rumah Allah harus dikuduskan. Suasana

kehadiran Allah perlu dibangun kembali jika hal ini sudah lenyap. Inilah

langkah-langkah pertama dari kebangunan rohani Hizkia.

Tema kedua yang tampak jelas dalam kebangunan rohani Hizkia ialah

pengudusan diri dari hal-hal cemar. Kecemaran (29:5) telah masuk ke dalam Bait Suci dan kehidupan
bangsa itu. Di ayat 7 Hizkia menegaskan

beberapa hal yang telah membuat mereka membutuhkan kebangunan

rohani. Mereka telah menutup pintu (tidak mempunyai prioritas

kerohanian); mereka telah memadamkan pelita-pelita (tidak memelihara

kehadiran Allah); mereka tidak membakar korban ukupan (tidak

menghormati Tuhan); dan mereka tidak membakar korban bakaran (tidak

mengakui dosa). Inilah hal-hal yang membutuhkan kebangunan rohani

dan pengudusan.

Unsur ketiga dalam kebangunan rohani Hizkia adalah kemantapan

hati pribadi. Hizkia membuat perjanjian pribadi dengan Tuhan (29:10).

Apa pun yang dilakukan orang-orang di sekitarnya, Hizkia tetap menuntut

pembaruan rohani. Ia sudah memantapkan hati untuk setia di dalam

melaksanakan pembaruan rohani. Ia mendorong orang-orang di sekitarnya

untuk setia. Ia tidak mengabaikan mereka melainkan mendorong mereka.

Bagaimanapun halnya, kemantapan hatinya sudah bulat.

Unsur keempat di dalam pembaruan rohani Hizkia ialah pertobatan di

hadapan Tuhan (29:20-24). Hal ini diawali pertama-tama oleh Hizkia

dan para pemimpin ibadah di Bait Suci. Seluruh bangsa itu akhirnya

mengikuti mereka. Serupa dengan itu, pembaruan rohani dan pertobatan

oleh gembala jemaat dan para pemimpin di gereja membuka jalan bagi
pertobatan seluruh jemaat. Sama seperti bangsa Israel yang pada akhirnya

mengikuti Hizkia dalam hal pertobatan, dunia yang tidak percaya juga

menanti-nanti gereja yang bertobat. Pertobatan gereja dapat menjadi katalis

bagi pertobatan orang yang tersesat.

Unsur kelima di dalam kebangunan rohani Hizkia ialah ketaatan

kembali. Allah telah memerintahkan bahwa hal-hal tertentu harus

dilakukan di dalam ibadah dan pelayanan kepada-Nya. Semua ini

sudah diabaikan. Kerusakan rohani mereka bukanlah disebabkan oleh

ketiadaan informasi. Juga bukan disebabkan oleh ketiadaan

kesempatan. Pada dasarnya, hal itu adalah karena ketiadaan ketaatan.

Kini sesudah mereka bertobat, mereka dengan rela menaati Tuhan

sekali lagi (29:25-31).

Unsur keenam dalam kebangunan rohani Hizkia ialah penyebarluasan

Firman Tuhan. Mereka mengirim surat-surat (30:1), menyerukan kepada orang-orang agar bertobat dan
melayani Tuhan. Ini adalah bagian penting

dari kebangunan rohani. Jika sesuatu ingin terjadi di gereja, firman

pembaruan perlu disebar-luaskan. Inilah mandat Injil dan evangelistik masa

kini (Mat. 28:18-20). Khususnya selama masa-masa kebangunan rohani,

ketika Allah menurunkan Roh-Nya dengan melimpah, gereja perlu

menyebar-luaskan Firman Tuhan dan mengundang orang lain untuk datang

(2 Taw. 30:1-12).

Unsur ketujuh dari kebangunan rohani ialah memperluas pengaruh

kebangunan rohani ke luar batas-batas dinding Rumah Tuhan. Umat itu

membawa semangat kebangunan rohani ke dalam Yerusalem dan bangsa

itu. Mereka membersihkan dan menguduskan negeri itu dari hal-hal yang

tidak menyenangkan Tuhan (30:13-16). Hal ini dikerjakan oleh umat Al-
lah sendiri dan bukan oleh kelompok khusus apa pun. Di tengah-tengah

kebangunan rohani, orang-orang tergugah untuk memperbarui pekerjaan

mereka bagi Tuhan. Mereka harus didorong untuk memperluas pengaruh

kebangunan rohani ke luar batas-batas dinding gereja.

Tema-tema dari kebangunan rohani Hizkia ini masih relevan bagi

gereja masa kini. Tidak ada hal yang dapat menggantikan pembaruan

di dalam hati para pemimpin gereja. Pembaruan itu menjadi katalis bagi

kebangunan rohani. Tema-tema pertobatan, pengudusan, dan ketaatan

adalah hal-hal yang mendasar bagi keselamatan. Pada saat gereja

berjalan di muka di dalam hal-hal tersebut, dunia akan tergugah untuk

percaya kepada Kristus. Kebangunan rohani dapat meluas melampaui

dinding-dinding gereja pada saat gereja menyebar-luaskan beritanya dan

pengaruh kebangunan rohani itu ke dalam dunia. Kebangunan rohani

telah mengubah bangsa Yehuda di bawah kepemimpinan Hizkia, dan

kebangunan rohani dapat mengubah suatu masyarakat dan bangsa di

masa kini.

Kuasa Allah di dalam Kebangunan Rohani di Efesus

Kisah Para Rasul pasal 19 mencatat kebangunan rohani yang terjadi

di bawah pelayanan Paulus. Kebangunan rohani ini secara istimewa

ditandai oleh manifestasi kuasa Allah. Orang-orang dibaptis di dalam Roh Kudus (ay.6). Firman Allah
diberitakan dengan berani (ay.8). Meskipun

ada penentangan terhadap kebangunan rohani dan Firman itu (ay.9).

Paulus tetap berkhotbah dan memberitakan Firman. Allah memakainya

dengan penuh kuasa dan "mengadakan mujizat-mujizat yang luar biasa"

(ay. 11). Banyak jiwa dibawa kepada Tuhan, dan Firman Allah mempunyai

pengaruh besar di daerah itu (ay. 18-20). Kebangunan dan pembaruan


rohani itu berlangsung selama dua tahun.

Prinsip-prinsip dari pelayanan Paulus di Efesus itu berlaku untuk

kebangunan rohani di gereja masa kini. Orang-orang percaya masa kini,

sama seperti orang-orang percaya di Efesus, perlu mengalami

pembaptisan di dalam Roh Kudus dan kuasa Allah di tengah-tengah

pembaruan (ay.2-6). Banyak orang membutuhkan manifestasi kuasa

Allah di dalam kehidupan mereka untuk penyembuhan dan banyak

kebutuhan lainnya (ay. 12). Orang-orang yang tersesat membutuhkan

berita keselamatan yang diberitakan terus menerus (ay. 10).

Hal yang perlu ditekankan dari masa kebangunan rohani yang panjang

itu adalah kuasa Allah. Paulus adalah alat yang digunakan Allah. Melalui

pelayanannya, kuasa Roh membaptis dan mengisi diri orang-orang

percaya. Kuasa Allah menjadikan jiwa-jiwa memahami Firman yang

diberitakan dan diajarkan. Kuasa Allah melawan para penentang dan

memberi kemenangan kepada gereja. alui kuasa Allah, seluruh

masyarakat Efesus dan daerah sekitarnya menyaksikan pengaruh kuat

dari Firman Allah. Kuasa Allah melawan kuasa manusia adalah

pemahaman kunci mengenai kebangunan rohani.

Bagian Tiga

PELAYANAN KEPADA

INDIVIDU-INDIVIDU DAN

KELUARGA-KELUARGA

Bab Sembilan

PELAYANAN PASTORAL
DAN PROSES DUKACITA

Tujuan dari bab ini ialah untuk memahami hubungan antara proses

dukacita dan pelayanan penggembalaan. Kebanyakan pendampingan

pastoral dan pelayanan konseling diadakan bagi orang yang sangat

membutuhkan. Depresi, keputusasaan, kecemasan, krisis, dan banyak

kondisi lain membuat orang-orang membutuhkan pelayanan dari gembala

jemaat. Dinamika dari kondisi-kondisi ini dapat dipahami dengan

memperhatikan proses dukacita. Dukacita adalah tanggapan umum

terhadap sejumlah persoalan yang berbeda. Memahami proses dukacita

akan sangat berguna bagi gembala jemaat pada saat ia mendampingi

individu-individu dan keluarga-keluarga.

Definisi Umum Mengenai Dukacita

Dukacita (grief) dapat didefinisikan sebagai kehilangan sesuatu atau

seseorang yang berarti di dalam kehidupan kita, misalnya teman, pasangan

hidup, anak-anak, rumah, pekerjaan, kenyamanan material, kesehatan,

uang, harga diri, atau rasa aman. Orang menggunakan banyak waktu

dalam kehidupannya untuk mengejar hal-hal dan hubungan-hubungan itu

semua itu dirasa dapat membuat kehidupan berarti. Ketika salah satu

dari hal-hal itu hilang, muncullah perasaan dukacita.

Suatu kehilangan tidak harus selalu memunculkan dukacita. Namun

demikian, bila suatu arti atau makna sangat dikaitkan kepada hal yang

hilang itu, maka reaksi dukacita pasti terjadi. Ini bukan berarti bahwa

seseorang ditakdirkan untuk kecewa. Melainkan, dukacita ialah bagian

dari pengalaman manusiawi.


Dukacita tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan Alkitab

mengenai pengalaman manusiawi. Sebagian orang merasa bahwa

dukacita bertentangan dengan isi Alkitab, misalnya 1 Tesalonika 4:13,

"Jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai

pengharapan." Ayat ini tidak melarang orang untuk berdukacita. Ayat ini

mengatakan jangan berdukacita seperti orang yang tidak mempunyai

pengharapan. Orang-orang yang beriman, di tengah-tengah dukacitanya,

harus memelihara pengharapannya mengenai kehidupan kekal.

Alkitab berisi banyak ayat yang berbicara mengenai dukacita dan

kesedihan. Sedikitnya ada 29 istilah yang berbeda untuk "dukacita" di

Perjanjian Lama dan masih banyak istilah lainnya di Perjanjian Baru.

Kedua Perjanjian mempunyai banyak ayat acuan untuk "kesedihan"

(mourn).

Kata-kata untuk "Dukacita" di dalam Perjanjian Lama

1. 'adab - merana; 1 Samuel 2:33

2. chuwl - risau hati; Ester 4:4; Nahum 3:19

3. chalah-berduka; Amos 6:6

4. charah-sakit hati; 1 Samuel 15:11

5. raa -sebal hati, kesal; Kejadian 21:11, 12; Nehemia 13:8

6. kabad - sangat berat, menderita; Kejadian 12:10; 18:20; 41:31;

Keluaran 8:24

7. ka'as - kekesalan hati; Ayub 6:2, sakit hati; Ayub 5:2

8. la'ah-kesal, lelah; Ayub 4:2; Amsal 26:15

9. marah-memberontak; Ratapan 1:20

10. marats - kejam; 1 Raja-raja 2:8


11. chata - sangat berdosa; Ratapan 1:8 qism - bedges

12. chamets-hati merasa pahit; Mazmur 73:21

13. yagah - kedukaan; Yeremia 45:3; Ratapan 3:32, 33

14. ka'ab - penderitaan yang sangat berat; Ayub 2:13; 16:6;

Yehezkiel 28:24

15. ka'ah - hati mendendam; Daniel 11:30

16. kara - terharu; Daniel 7:15

17. ma'al - berdosa; Yehezkiel 14:13

18. marar - kepedihan hati; Kejadian 26:35; 49:23; Rut 1:13;

1 Samuel 30:6

19. cuwr - pendurhaka; Yeremia 6:28

20. 'agam - susah hati; Ayub 30:25

21. 'amal tidak adil; Yesaya 10:1; Habakuk 1:3

22. 'atsab - memilukan hati; Kejadian 6:6; 34:7; 45:5; 1 Samuel

20:3; 20:34; 2 Samuel 19:2; Amsal 15:1 (kata yang sering

digunakan)

23. 'athaq - hal-hal sukar; Mazmur 31:18

24. puwqah - membuat orang ragu-ragu, terjatuh, meletakkan

rintangan di jalan seseorang; 1 Samuel 25:31 gadibeng

25. quwt - jemu; Mazmur 95:10; 119:158; 139:21

26. quwts - lelah; Keluaran 1:12

27. qatsar - tidak sabar; Hakim-hakim 10:16

28. qasah-keras atau kejam; 1 Raja-raja 12:4; Yesaya 21:2

29. ra' - sangat kesal hati; Nehemia 2:10; Yunus 4:6

atlonu quifel-goda
Kata-kata untuk "Kesedihan" Dalam Perjanjian Lama

1. ebel - berkabung; Kejadian 27:41

2. 'anah - berkabung; Yesaya 19:8

3. bakah - menangisi; Kejadian 50:3

4. caphad - meratap; 1 Raja-raja 13:29

5. ruwd - mengembara; Mazmur 55:3

Kata-kata untuk "Dukacita" di dalam Perjanjian Baru

1. lupeo - sedih; Markus 10:22; Ibrani 12:11; 1 Petrus 2:19

2. stenazo - keluh kesah; Ibrani 13:17

Tons

3. sullupeo - dukacita; Markus 3:5

4. diaponeo - sangat marah; Kisah Para Rasul 4:2; 16:18

5. barus - ganas, berat; Kisah Para Rasul 20:29; 25:7; 1 Yohanes 5:3

Kata-kata untuk "Kesedihan" Dalam Perjanjian Baru

1. pentheo- meratap; Yakobus 4:9; Wahyu 18:8

2. threneo - berkabung; Matius 11:17; Lukas 7:32

3. kopto - meratap; Matius 24:30

4. odurmos - ratapan, keluhan; Matius 2:18; 2 Korintus 7:7

Alkitab tidak melarang proses dukacita. Tekanan Alkitab ialah bahwa

anak-anak Allah harus bersandar pada Allah dalam proses dukacita.

Proses dukacita sebagaimana didefinisikan di dalam bab ini akan

digambarkan di bagian berikut.

jumsl-twup 28

Tahap-tahap Dukacita

Dukacita berlangsung dalam tiga tahap: tahap awal, tahap pertengahan,


dan tahap akhir. Setiap tahap mempunyai cirinya masing-masing,

sekalipun seseorang mungkin dapat maju dan mundur di antara dua tahap.

Dukacita dapat berlangsung selama beberapa hari atau periode waktu

yang lebih panjang. Sebagian orang dapat tetap di tahap pertengahan

selama beberapa waktu. Inilah bagian yang paling dalam dan paling putus

asa dari suatu proses di tahap pertengahan. Untuk maju ke proses

pemulihan seseorang harus maju ke arah tahap akhir dukacita.

Tahap Awal Dukacita

Tahap awal dari dukacita diawali dengan peristiwa kehilangan itu

sendiri. Kehilangan dapat berasal dari berbagai sumber. Unsur terpenting

dari peristiwa awal ini ialah bahwa orang atau hal yang hilang itu

mempunyai arti penting bagi pihak yang berdukacita.

Sesudah peristiwa kehilangan terjadi, tahap awal ditandai oleh sejumlah

faktor. Mungkin tidak semuanya akan muncul. Namun demikian, secara

umum semuanya mungkin atau dapat saja muncul. Gejala-gejala ini

meliputi penyangkalan, shock, pelepasan emosional, gejala-gejala fisik,

rasa bersalah, sikap memusuhi, benci, dan kemarahan.

Indikator kuat dari bertahannya tahap awal ini ialah penyangkalan.

Rasionalisasi, penolakan emosional, dan berkhayal mungkin muncul dalam

penyangkalan ini. Penyangkalan seringkali menjadi bagian dari

pengalaman dukacita. Selama seseorang bertahan di dalam penyangkalan,

pemulihan tidak mungkin terjadi. Ia mungkin mengakui sebagian dari

kehilangan itu, tetapi menyangkal dampak pengalaman yang lebih besar.

la mungkin mengatakan bahwa peristiwa itu tidak seburuk itu atau tidak

benar-benar menyakitkan hati. Orang-orang mungkin mengatakan bahwa


mereka telah mengalami pemulihan yang cepat. Dalam kasus semacam

itu, mereka menyangkal dampak aktual dari kehilangan yang menimpa

mereka.

Pelayanan dalam Tahap Awal Dukacita

Menyadari bahwa Alkitab banyak memberi perhatian dalam hal

dukacita, gembala jemaat dapat melayani dengan cara-cara khusus kepada

orang-orang yang mengalami tahap awal dari proses ini. Banyak istilah

yang digunakan di dalam Alkitab melukiskan bahwa tahap awal dari proses

ini sangat emosional. Banyak istilah yang telah kita lihat di atas

menunjukkan adanya emosi-emosi.

Tahap Awal

Kehilangan

Shock

Penyangkalan

Reaksi Fisik

Pelepasan Emosional

Kemarahan

Perasaan Bersalah

Menyendiri/Pisah dari

Orang Lain

Kemampuan Rendah

Tidak Mampu Mengatasi

Proses Dukacita

Depresi
Bagian Terdalam dari Dukacita

Tahap Pertengahan

Tahap Akhir

Penerimaan

Kemampuan

Orang yang sedang berdukacita dapat memperlihatkan emosi-emosi

beraneka ragam. Gembala jemaat dapat memberi perhatian dan

pendampingan di dalam menghadapi emosi-emosi ini. Ia dapat

memperlihatkan sikap bahwa ia menerima orang tersebut. Penerimaan

ini jangan disamakan dengan sikap memaklumi tindakan orang tersebut.

Penerimaan tidak serta merta menandakan bahwa kita memaklumi

tindakannya.

yang

Gembala jemaat dapat memantau reaksi, ungkapan kasih, dan

kepedulian orang tersebut. Memantau adalah keterampilan yang sangat

penting pada tahap ini. Gembala jemaat tidak perlu berusaha

menghentikan reaksi emosional orang tersebut sebab emosi-emosi ini

mungkin adalah bagian dari proses dukacitanya. Seringkali Allah dapat

menggunakan emosi-emosi ini di dalam proses pelayanan.

Kepekaan gembala jemaat terhadap pelepasan atau penyangkalan

emosi-emosi selama tahap awal dapat melancarkan proses ini. Gembala

jemaat dapat melayani melalui tindakan-tindakan kasih. Sekalipun orang

itu memperlihatkan bentuk-bentuk penyangkalan, gembala jemaat dapat

meyakinkannya bahwa ia selalu siap sedia untuk melayani.


Pada saat tragedi kehilangan menimpa seseorang, kasih dari gembala

jemaat akan menjadi modal kuat untuk berhubungan dengannya. Gembala

jemaat dapat memperlihatkan kasihnya dengan memperhatikan

kebutuhan-kebutuhan fisik orang tersebut. Kehilangan dapat begitu

hebatnya sehingga orang tersebut menolak kebutuhan-kebutuhan fisik dasar

seperti makanan, kesehatan, dan istirahat yang cukup. Dengan selalu siap

sedia melayani di dalam kasih selama tahap-tahap awal ini, gembala jemaat

telah membuka pintu ke arah keterlibatan lebih lanjut di tahap-tahap

pertengahan.

Tahap Pertengahan Dukacita

Tahap pertengahan dukacita ditandai oleh semakin meningkatnya

perasaan menyendiri dan terpisah dari orang lain. Orang itu mungkin

dengan sengaja memisahkan dirinya sendiri atau situasi kondisi membuatnya berada di dalam keadaan
menyendiri. Seringkali orang itu

akan merasa terasing sekalipun ada banyak orang di sekelilingnya.

Bagaimanapun juga halnya, orang yang berduka akan tiba pada suatu

kondisi dan/atau persepsi bahwa ia terpisah dari orang lain, dan hal ini

menandakan bahwa ia telah pindah ke arah tahap pertengahan.

Di tahap pertengahan, orang yang berduka akan mengalami beberapa

gejala lain. Salah satu cirinya yang khas ialah tingkat efisiensi yang lebih

rendah. Ini bukan berarti bahwa ia tidak aktif, melainkan aktivitasnya

menjadi berkurang. Ia mungkin akan kehilangan hubungan dengan

sebagian aspek dari apa yang sebelumnya normal atau rutin baginya. la

mungkin tidak mampu berhubungan dengan orang lain atau melakukan

hal yang sama sebagaimana yang mampu dilakukannya sebelumnya.

Bagian paling kritis dari tahap pertengahan ini ialah pada saat orang
tersebut berada di bagian terdalam. Ia mungkin akan maju dan mundur

di antara tahap awal dan tahap pertengahan selama beberapa waktu.

Dan pada saat ia mencapai keadaan depresi yang mendalam dan terus

menerus, ia mungkin telah memasuki tahap pertengahan yang lebih penuh.

Bagian yang paling dalam dari tahap pertengahan ini ditandai oleh

ketidakmampuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan lain yang

lebih sederhana. Orang itu merasa kehilangan hampir semua harapannya.

Dampak kehilangan yang lebih penuh akhirnya berlangsung.

sams!

Pelayanan di Tahap Pertengahan

nensism

Pelayanan di tahap pertengahan adalah hal yang sangat penting. Inilah

saatnya ketika orang itu mempunyai potensi terbesar untuk memulai

pemulihan. Pada saat yang sama, inilah saat yang paling putus asa bagi

orang itu. Tahap pertengahan adalah saat ketika orang itu harus sangat

bergantung pada karya Allah. Tahap ini juga menjadi tahap ketika gembala

jemaat dapat merasa bahwa hanya sedikit hal yang dapat dilakukannya.

Kondisi dan emosi-emosi dukacita muncul dengan sangat kuat di tahap

ini.

Gembala jemaat perlu memperhatikan kekuatan dan sifat hubungan

orang itu dengan orang-orang lain. Tahap pertengahan diawali dengan

meningkatnya keterasingan dan pemisahan diri dari orang lain. Gembala

jemaat perlu waspada jika orang itu mempelihatkan berkurangnya tingkat

kemandirian dan interaksi dengan orang lain. Jika orang itu menjadi lebih

posesif, hal ini mungkin menandakan pemusatan pada diri sendiri yang
lebih besar. Hal ini mungkin merupakan bentuk pengasingan diri yang

merugikan diri sendiri. Secara umum gembala jemaat harus peka terhadap

setiap gerakan orang itu yang menjauh dari orang lain.

Sementara tahap pertengahan semakin nyata, gembala jemaat dapat

memantau persepsi orang itu terhadap dirinya sendiri. Orang itu mungkin

sepenuhnya memusatkan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan pribadinya

sendiri. Hal ini mungkin suatu bentuk dari pengasingan diri. Ia mungkin

bersikap apatis terhadap Allah. Hal ini juga sebuah indikator dari tahap

pertengahan. Kemarahan terhadap Allah tidak menandakan pengasingan

diri. Sikap apatislah yang menjadi tandanya. Ia mungkin akan berbicara

mengenai kehilangan dalam ungkapan-ungkapan yang lebih pribadi. Hal

ini mungkin menandakan rasa kesepian dan keterasingan. Ia mungkin

memahami kehilangan itu sebagai hal yang hanya terjadi pada dirinya

dan berbeda dari dukacita siapa pun. Hal ini adalah bentuk lain dari

pengasingan diri.

Tahap Akhir Dukacita

neq

Tahap akhir dukacita ditandai oleh penerimaan dan pemulihan. Orang

itu telah berhenti menyangkal dan mulai menerima kehilangannya itu. Ia

telah mengalami lembah kekelaman di mana semua harapannya hampir

lenyap. Harapan yang diperbarui itu disertai oleh penerimaan bahwa

segalanya tidak akan sama lagi. Ada perubahan. Dengan penerimaan atas

perubahan yang disebabkan oleh kehilangan itu, orang tersebut mampu

mengembangkan cara-cara baru dalam mengatasi dan menghadapi

kehidupan. Ada penyesuaian diri terhadap kehilangan itu. Kemampuan-


kemampuan baru terbentuk untuk menghadapi hal-hal pembuat stres yang

akan datang.

Di tahap akhir ini orang tersebut belum tentu menjadi lebih kuat, namun

ia mempunyai suatu kekuatan yang sebelumnya tidak dimilikinya. Itu

adalah kekuatan baru. Kekuatan ini seperti kehidupan baru karena

kekuatan ini muncul dari kematian dan kehilangan masa lalu. Kemampuan-

kemampuan baru yang telah dipelajari orang itu belum tentu lebih baik,

namun kemampuan-kemampuan itu baru. Semua itu mempunyai makna

mendalam, sebab semua itu yang tetap bertahan sebagai hasil dari

kehilangan. Semua itu berharga sebab orang itu membutuhkan

kemampuan-kemampuan baru ini untuk melanjutkan hidup sesudah

kehilangan.

Pelayanan di Tahap Akhir

Seseorang akan memasuki tahap akhir dari proses dukacita sesudah

ia melewati kedua tahap lain sebelumnya. Ada masa pelepasan emosional

di tahap awal. Penyangkalan di tahap awal kini berubah menjadi

penerimaan. Dia sudah berada di dasar dukacita dan tangisan hati.

Kesepian dari tahap pertengahan telah berubah menjadi sukacita dan

hubungan-hubungan baru.

Orang yang sedang berduka itu mungkin dalam kadar tertentu sudah

memasuki tahap akhir ini di saat-saat sebelumnya di dalam proses. Mereka

mampu menerima sebagian hal dari apa terjadi. Sudah terjadi tingkat

penyesuaian tertentu. Namun demikian, semua ini belum muncul secara

penuh di kedua tahap lain itu. Akibatnya, terjadi gerak maju dan mundur.

Namun, sekali kedua tahap lain itu telah dialami lebih penuh, mereka
siap untuk masuk lebih penuh ke dalam tahap akhir.

Pelayanan selama tahap akhir ditujukan untuk memperlengkapi or-

ang itu dengan cara-cara baru untuk mengatasi permasalahan. Tragedi

kehilangan telah membawa pergi sebagian hal yang telah berfungsi

bagi orang itu di masa lalu. Sejak kehilangan, hubungan-hubungan

dan kebiasaan-kebiasaannya telah berubah. Ini adalah saatnya untuk

penyesuaian. Pelayanan selama tahap ini memperlengkapi orang itu

untuk penyesuaian seperti misalnya hubungan-hubungan baru,

pekerjaan baru, atau lingkungan baru.

Orang itu juga perlu mengetahui bagaimana caranya memandang

kehilangan dan dukacita yang baru berlalu itu. Dukacita dari masa lalu itu

tidak dilupakan, namun ditransformasi, diubah. Apa yang sebelumnya

adalah tragedi mengerikan kini telah menjadi kesaksian dan bukti. Orang

itu akan mengingat bagaimana ia telah dipelihara oleh Allah dan mereka

yang ada di sekelilingnya, meskipun tetap ada rasa sakit di dalam mengingat

hal itu. Dan yang terpenting, ada kesadaran bahwa orang itu telah berada

di sisi lain dari tahap awal dan tahap pertengahan. Dan ada keyakinan

diri bahwa Allah yang telah memungkinkan pemulihan itu.

Ada tiga bidang pelayanan yang kritis selama tahap ini. Pertama,

gembala jemaat dapat mendampingi orang yang berduka itu di dalam

mengembangkan hubungan-hubungan baru dengan orang-orang yang

bersikap mendukung, yang di dalamnya orang-orang lain itu dapat

memberi dukungan doa. Kedua, gembala jemaat dapat mengajar, melatih,

memperlihatkan, dan memberi teladan dalam hal penyesuaian diri. Hal

ini meliputi keterampilan baru, kebiasaan baru, dan cara-cara baru untuk
berfungsi. Akhirnya, gembala jemaat dapat memberikan perspektif

kesaksian dan wawasan yang baru. Orang itu tidak lagi terus menerus

murung, melainkan belajar cara-cara baru untuk merasa dan

menanggapi.

Pelayanan dari Kehadiran Allah yang Menghibur

Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh

belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur

kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup

menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam

penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Al-

lah. Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah

dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami

menerima penghiburan berlimpah-limpah (2 Korintus 1:3-5).

Pelayanan penghiburan adalah hal penting selama proses dukacita

berlangsung. Di semua tahap, gembala jemaat harus berupaya untuk

menunjukkan jenis pelayanan yang dibahas di bab ini. Di tahap awal

dukacita, adalah penting untuk memperlihatkan pemeliharaan dan

dukungan bagi seseorang yang sedang mengalami penyangkalan dan trauma. Di tahap pertengahan,
pendampingan dan penghiburan

dibutuhkan oleh seseorang yang berteriak memilukan kepada Allah. Di

tahap akhir, tugasnya ialah untuk memperlihatkan kepada orang itu

bagaimana melakukan penyesuaian-penyesuaian baru kepada

kehilangannya itu. Di dalam setiap tahap itu, dasar pelayanan adalah

kehadiran Allah. Surat 2 Korintus 1:3-5 menggambarkan bagaimana

penghiburan dapat diterapkan di setiap tahap.

Istilah "penghiburan" (paraklesis) di perikop ini di dalam bahasa Yunani


berasal dari istilah yang sama dengan "menasihatkan" (parakaleo) yang

terdapat di 1 Petrus 5:1, yang merupakan gabungan dari dua kata Yunani,

"para" dan "kaleo." "Para" artinya "di sisi dari." "Kaleo" artinya

"memanggil." Arti gabungannya ialah "memanggil seseorang ke sisi kita."

Penghiburan yang diungkapkan ialah jenis penghiburan yang muncul

karena kehadiran orang lain.

Istilah-istilah lain yang tidak digunakan di 2 Korintus 1:3-5 untuk

"penghiburan" mengungkapkan jenis-jenis penghiburan yang berbeda. Ada

tiga istilah lain di Perjanjian Baru yang diterjemahkan "penghiburan."

Yang pertama "paregoria." Istilah ini, yang digunakan di Kolose 4:11,

menekankan penghiburan yang "menyejukkan atau mematikan rasa sakit.'

Istilah lain yang diterjemahkan "penghiburan" ialah "paramutheomai." Ini

berarti "penghiburan yang menguatkan" dan digunakan di Injil Yohanes,

1 Korintus, Filipi, dan 1 Tesalonika. Jenis penghiburan ini bertujuan untuk

memotivasi dan menguatkan. Istilah terakhir yang diterjemahkan

"penghiburan" ialah "tharseo." Ini digunakan di Injil-injil dan Kisah Para

Rasul, dan mengindikasi "penghiburan yang berusaha untuk

menyenangkan perasaan."

Penggunaan "parakaleo" berarti bahwa jenis penghiburan yang khas

sedang disampaikan kepada orang yang berduka. Penghiburan jenis ini

adalah jenis penghiburan yang paling mendalam dan paling bermakna.

Istilah-istilah lain menekankan berbagai aspek penghiburan. Bebas dari

rasa sakit dan kelegaan bagi bagian fisik seseorang adalah ciri khas

paregoria. Inspirasi hati dan emosi-emosi adalah fokus dari paramutheomai

dan tharseo. Parakaleo meliputi semua ini dan lebih dari semuanya.
Kehadiran seseorang mendatangkan penghiburan yang berlaku bagi aspek

fisikal, emosional, dan aspek-aspek lain dari dukacita seseorang. Hal ini

meliputi pengalaman dukacita sepenuhnya dari seseorang.

"Kehadiran" meyakinkan orang yang berduka itu di tingkat emosional,

fisikal, dan spiritual. Kehadiran pihak lain, khususnya Tuhan, meyakinkan

orang itu bahwa ia tidak sendirian. Penghiburan jenis ini menyembuhkan

luka-luka emosional yang muncul karena kesepian yang disebabkan oleh

kehilangan. Kehadiran juga mendatangkan keyakinan fisikal di dalam

menanggapi bahaya dan ancaman penolakan. Pada saat seseorang berada

dalam bagian terdalam dari tahap pertengahan, hanya sedikit hal yang

dapat dijelaskan secara emosional atau fisikal. Ia mungkin telah

memberikan semua hal yang dapat dipikirkannya terhadap kehilangan

itu. Dalam keadaan itulah, kehadiran Tuhan dan orang-orang lain dapat

memberikan penghiburan Roh yang melampaui akal.

Di 2 Korintus 1:3-5 Paulus menegaskan bahwa Allah mempunyai segala

penghiburan yang dibutuhkan untuk persoalan apa pun. “Allah sumber

segala penghiburan" adalah penegasan inklusif yang artinya bahwa

penghiburan apa pun yang dibutuhkan, kehadiran Allah pasti dapat

menjawab kebutuhan itu. Frase "dalam segala penderitaan kami" juga

inklusif. Artinya bahwa penghiburan Allah menjawab kebutuhan yang

terdalam. Penegasan yang mendalam dan inklusif ini dibuat Paulus sebab

kehadiran Allah benar-benar menghibur untuk kehilangan apa pun.

Kehadiran-Nya ialah kunci untuk semua tahap dukacita.

Pelayanan dari gembala jemaat dan orang-orang percaya lainnya

diterapkan di ayat 4. Paulus mengatakan bahwa tujuan dari penghiburan


Allah kepada kita ialah agar kita dimampukan untuk menghibur orang

lain. Allah memperlengkapi gembala jemaat untuk menghibur orang-or-

ang lain tak peduli dukacita apa pun yang sedang menimpanya. Allah

menggunakan proses penghiburan yang terjadi di dalam kehidupan

gembala jemaat itu sendiri.

Gembala jemaat harus terbuka bagi penghiburan Allah di dalam

kehidupannya sendiri dan harus bersedia untuk menggunakan hal ini

sebagai sumber untuk konseling dan mendampingi orang lain. Hal ini tidak

sama dengan mengatakan, "Saya juga pernah mengalami hal ini."

Pernyataan semacam ini berfokus pada isi dari kehilangan. Setiap orang

mengalami jenis-jenis kehilangan yang berbeda. Fokus 2 Korintus 1 itu

ialah pada penghiburan dan kehadiran Tuhan. Hal ini universal.

Pengalaman kehadiran Tuhan untuk menghibur seseorang dapat

diterapkan secara universal.

Kekuatan Allah di Tengah-tengah Dukacita

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu,

sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna."

Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya

kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela

di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam

penganiayaan, dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku

lemah, maka aku kuat (2 Korintus 12:9, 10).

Pemulihan dan pembaruan kekuatan sulit dibayangkan di tengah-tengah

dukacita. Berhubung begitu dalamnya kehilangan itu, kita sulit memahami

bagaimana orang itu dapat kembali ke tingkat fungsi. Persepsi ini akan
menjadi semakin kritis di dalam proses dukacita. Orang itu akan merasakan

dampak kehilangan, munculnya kelemahan, keputusasaan, dan frustrasi.

Di tengah-tengah keadaan ini, kita sangat sulit memahami bagaimana

pemulihan mungkin terjadi. Persepsi semacam ini bukan hanya ada dalam

diri orang yang sedang menjalani proses dukacita, tetapi juga ada dalam

diri orang-orang di sekitarnya.

Pemulihan di dalam Tuhan selalu mungkin terjadi, dan hal ini

berlangsung di saat seseorang dalam keadaan terlemah. Inilah kekuatan

dari 2 Korintus 12:9, 10. Paulus tidak menyangkal kelemahannya. Ia baru

saja mengungkapkan ketidakmampuannya dalam melepaskan diri dari

"duri" yang selalu mengganggunya (ay. 6-8). Paulus mengakui kelemah-

annya, namun ia juga mengenali kekuatan yang ada di dalam kelemahan

itu. Kekuatan dari Tuhan tidak datang sesudah masalah berlangsung;

kekuatan itu datang di tengah-tengah masalah. Kekuatan Tuhan tidak

datang sesudah Paulus memperoleh kekuatannya kembali. Kekuatan Tuhan

sudah ada di saat ia berada dalam keadaan terlemah.

Melihat bahwa kuasa Tuhan tersedia untuk menguatkan seseorang di

tengah-tengah kelemahannya adalah hal yang sangat penting. Jika gembala

jemaat tidak melihat hal ini, ia mungkin akan mencari kekuatan tanpa

melihat luka-luka orang itu. Gereja akan memusatkan perhatian pada

upaya pelenyapan dukacita itu dan bukan pada pengalaman itu sendiri.

Pemulihan memang riil, tetapi tahap pertengahan dari kelemahan juga

riil. Paulus berguna sebagai contoh bagi pelayanan pastoral. Bersukacita

adalah hal mungkin di tengah-tengah rasa sakit. Hal ini bukan untuk

mengabaikan rasa sakit, namun untuk memahami cara-cara yang


digunakan Tuhan dalam memberikan kekuatan.

Teologi Dukacita dan Pendampingan (Mazmur 107)

Kebaikan dan Kemurahan Allah yang Tiada Berakhir

Mazmur 107 adalah contoh untuk menganalisis karya Allah di tengah-

tengah dukacita dan krisis. Mazmur ini memberikan pemahaman mengenai

proses dukacita dengan membahas lima tema yang mencerminkan

berbagai tahap di dalam proses dukacita. Mazmur ini menggambarkan

karya Allah dengan memperlihatkan bahwa melalui berbagai gejala dan

pengalaman kehilangan, Allah aktif di dalam kehidupan orang-orang yang

menderita itu. Di dalam mazmur ini bukan hanya rasa kehilangan yang

riil, perayaan kemenangan juga riil.

Mazmur ini diawali dengan pernyataan mengenai tanggapan Allah

kepada manusia di tengah-tengah tragedi (ay. 1). Tanggapan Allah yang

diharapkan itu diafirmasi dalam seluruh tahap dukacita (ay. 2, 8, 15, 21,

30-32, 42, 43). Pernyataan itu mengafirmasi tiga aspek dari karakter dan

pendampingan Allah. Semua ini memberi jalan untuk memahami karya

Allah di dalam saat-saat krisis.

Aspek pertama adalah kebaikan Allah. Istilah "baik" di dalam bahasa

Ibraninya "towb," menekankan ketepatan dan kesempurnaan. Kebaikan

Allah adalah jaminan bahwa Allah bekerja di dalam semua hal untuk

tujuan-tujuan ketepatan dan kesempurnaan-Nya. Namun hal ini bukan

jaminan bahwa konflik tidak ada. Tetapi, jaminan bahwa Allah bekerja

untuk pemulihan sempurna dan pembaruan menyeluruh terhadap orang

tersebut.

D3
Aspek kedua yang ditekankan di ayat 1 ialah kemurahan Allah. Istilah

yang dalam bahasa Ibraninya "checed" ini diterjemahkan LAI dengan

"kasih setia." Namun istilah ini biasanya diterjemahkan "kemurahan,"

sebagaimana diterjemahkan di ayat 43. Kasih dan kemurahan menekankan

hubungan yang setia, bukan emosi-emosi. Ini adalah kasih yang

diperlihatkan oleh kesetiaan. Pernyataan ini berarti bahwa di tengah-tengah

kehilangan, Allah tidak akan meninggalkan atau melupakan orang tersebut.

la akan setia di dalam kasih dan kehadiran-Nya.

Aspek terakhir yang ditekankan ialah bahwa tindakan Allah adalah

selama-lamanya (tiada berakhir). Istilah ini berasal dari istilah Ibrani

"olam," yang secara harfiah berarti "menyembunyikan." Ide "sembunyi"

yang ada di sini berkaitan dengan aspek waktu. Waktu itu tersembunyi

dan tidak diketahui oleh manusia. Jadi, pernyataan ini mengatakan bahwa

Allah adalah Allah di masa depan yang tersembunyi. Istilah ini menekankan

bahwa Allah adalah Allah dari semua tempat-tempat tersembunyi. Ini

meliputi masa lalu dan masa sekarang yang tersembunyi dan tempat-tempat

hati dan pengalaman manusia yang tersembunyi.

Melalui pelayanan di dalam proses krisis dan dukacita, afirmasi-

afirmasi ini dapat dilakukan. Sang pemazmur dengan sengaja mengulangi

pernyataan-pernyataan yang mengafirmasi hal-hal mengenai Allah ini.

Hal ini penting bagi pelayanan di dalam dukacita dan krisis. Sekalipun

kita mungkin sulit melihat aspek-aspek dari pendampingan Allah ini di

tengah-tengah kelemahan dan tragedi, hal ini mungkin tekanan yang

paling penting dari mazmur ini.

Berbagai Tahap Dukacita Yang Diungkapkan


Mazmur 107 mempunyai lima bagian utama. Setiap bagian mempunyai

sebuah tema (misalnya, "musuh-musuh") yang berkaitan dengan tempat

tertentu di dalam keseluruhan proses dukacita ("musuh-musuh" mewakili

tahap awal) dan proses dukacita dalam bentuk-bentuk kecil di dalam

bagian-bagiannya (misalnya, ketiga tahap dukacita-awal, pertengahan,

dan akhir-ada di setiap bagian).

Diagram pada halaman berikut ini menggambarkan tema dari tiap-

tiap bagian dan di mana tema itu di tempatkan di keseluruhan diagram

mengenai proses dukacita ini. Berbagai sub-bagian dicantumkan dengan

alamat-alamat ayatnya. Di dalam diagram juga ada pernyataan pokok

mengenai kebaikan, kemurahan, dan karya Allah yang tiada berakhir.

Tambahan untuk diagram ini ialah ungkapan dari 2 Korintus 12:9. Ini

ditempatkan di posisi terbawah dari pengalaman. Hal ini memperlihatkan

bahwa di tengah-tengah kelemahan lah kekuatan Allah diberikan kepada

tersebut. Akhirnya, 2 Korintus 1:3-5 ditampilkan karena pelayanan

kehadiran (the ministry of presence) diterapkan di sepanjang proses

orang

dukacita.

1. Kehilangan sebagai Musuh

seperti musuh

Bagian ini meliputi ayat 2-9 dan mempunyai tema Musuh. Hal ini

menandakan pengalaman awal dari kehilangan, karena kehilangan muncul

tak diinginkan dan tak diundang. Kehilangan adalah

penyelinap yang meminta korban dan merusak kehidupan dan hubungan


seseorang dengan orang lain. Tema ini diambil dari frase "tangan musuh”

(ay.2, LAI: kuasa yang menyesakkan).

Tahap awal dari dukacita diungkapkan dengan kata-kata

“mengembara” dan “padang belantara” (ay. 4). Transisi ke dalam penga-

singan diri dan tahap pertengahan tampak di dalam pernyataan "jalan ke

kota tempat kediaman orang tidak mereka temukan" (ay. 4). Tahap

pertengahan diungkapkan lebih jelas di dalam pernyataan “mereka lapar

dan haus, jiwa mereka lemah lesu di dalam diri mereka" (ay. 5). Pernyataan

ini menggambarkan betapa dalamnya kesepian dan kebutuhan orang itu.

Ayat 6 berbicara mengenai seruan sepenuh hati yang dinaikkan kepada

Tuhan di dalam bagian dukacita yang terdalam. Seruan sepenuh hati ini

adalah titik kritis di mana pemulihan dimulai. Transisi dari kedalaman

dukacita ke arah pemulihan dimulai dengan seruan sepenuh hati ini. Ini

adalah salah satu aspek yang paling konsisten di dalam mazmur. Tiap-

tiap dari keempat sub-bagian pertama melukiskan bagian pertengahan

dari proses krisis (ay. 6, 13, 19, 28). Di setiap bagian, seruan sepenuh hati

dilukiskan.

Seruan sepenuh hati adalah kunci untuk kesalehan dan pemulihan

penuh. Hal ini dijelaskan di dalam teks sebagai hal yang muncul di tengah-

tengah-dan bukan sesudah- bagian terdalam dari pengalaman duka

itu. Teks mengatakan, "Maka berseru-serulah mereka kepada TUHAN

dalam kesesakan mereka." Seruan sepenuh hati bukanlah momen

pelepasan emosional atau katarsis. Itu adalah momen iman. Anugerah

dan kemurahan Allah dialami. Orang itu berseru-seru, tanpa halangan


rasionalisasi atau usaha-usaha egois untuk mendapat pemulihan. Ini

adalah momen ketergantungan mutlak kepada Allah. Bagi sebagian orang,

mungkin ini adalah keselamatan. Bagi sebagian lainnya, mungkin kembali

kepada Allah. Bagi sebagian lainnya lagi, ini mungkin suatu pengalaman pertumbuhan Kristen. Seruan
hati ini tidak dapat dihasilkan ulang melalui

metodologi manusia. Ini adalah suatu momen yang hanya dimungkinkan

oleh Roh Allah dan tanggapan ketaatan dari orang yang sedang berada di

dalam krisis itu.

duzum thaqsa

Sesudah seruan sepenuh hati, teks menjelaskan tahap akhir,

Deskripsinya mengenai pemulihan dan penyesuaian-penyesuaian baru.

Ungkapan-ungkapan berikut ini menjelaskan dinamika dari tahap akhir:

"dan dilepaskan-Nya mereka dari kecemasan mereka" (ay. 6); "Dibawa-

Nya mereka menempuh jalan yang lurus, sehingga sampai ke kota tempat

kediaman orang" (ay. 7); "sebab dipuaskan-Nya jiwa yang dahaga, dan

jiwa yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan" (ay. 9). qmst slo

Mazmur ini mengajak pembaca untuk mengingat karya Allah di tengah-

tengah dukacita (ay. 8). Ajakan ini diulangi di akhir dari tiap-tiap sub-

bagian (ay. 8-9, 15-16, 21-22, 31-32, 42-43). Pujian mengafirmasi

tindakan Allah di tengah-tengah duka dan krisis. Pujian ini dapat melihat

tiga sifat Allah yang telah disebutkan di ayat 1. Pengenalan dan pujian

kepada Allah dimungkinkan di setiap bagian mana pun dari krisis itu.

Pujian ini tidak menyangkal adanya dukacita; melainkan, pujian ini

mengenali karya Allah di dalam pengalaman dukacita.

2. Belenggu Pengasingan Diri

ne Bagian kedua membahas tema Pengasingan diri dan Belenggu. Tema


ini ada di tahap awal, khususnya ketika berpindah ke arah kesepian dan

tahap pertengahan. Sub-bagian ini didapatkan di ayat 10-16. Ide mengenai

belenggu dinyatakan di ayat 10-"terkurung dalam sengsara dan besi."

Berbagai tahap dari proses dukacita diungkapkan di bagian ini. Tahap

awal dukacita diungkapkan di dalam frase "duduk di dalam gelap," "di

dalam bayang-bayang maut" (LAI: "di dalam kelam"), dan "terkurung

dalam sengsara dan besi" (ay. 10). Tahap pertengahan diungkapkan

dengan kata-kata ini: "ditundukkan-Nya hati mereka ke dalam kesusahan,"

"mereka tergelincir," dan "tidak ada yang menolong" (ay. 12). Tahap akhir

dukacita ditemukan di ayat 13, 14, dan 16 di dalam frase berikut:

AN PROSES DUKACITA/141

"diselamatkan-Nya lah mereka dari kecemasan mereka," "keluar dari

dalam gelap dan bayang-bayang maut" (LAI: kelam), dan "dihancurkan-

Nya palang-palang pintu besi." Seruan sepenuh hati ada di ayat 13.

Nasihat agar kita memuji pekerjaan Allah di tengah-tengah dukacita ada

di ayat 15.

Hal kritis yang muncul di seluruh lima sub-bagian adalah pemberontakan

dan hal tak bersalah. Kadangkala dukacita adalah hasil dari pemberontakan

dan pelanggaran. Inilah kasusnya di dalam bagian-bagian mengenai

belenggu dan ketiadaan harapan. Di saat-saat lain, dukacita terjadi pada

musuh-musuh dan orang yang tak bersalah. Bagian terakhir, mengenai

orang yang tak bersalah. Inilah kasusnya di dalam bagian-bagian mengenai

pendampingan dan dukungan Allah yang tidak terbatas, menekankan

tindakan kedaulatan Allah di dalam menanggapi keterbatasan manusia.

3. Tiada Harapan di dalam Keputusasaan


Bagian ketiga membahas tema Ketiadaan harapan dan Keputusasaan.

Tema ini menandakan kedalaman dari tahap pertengahan. Ada rasa

frustrasi dan tragedi yang lebih kuat di sini. Sub-bagian ini terdapat di

ayat 17-22. Ide mengenai ketiadaan harapan diungkapkan di ayat 18-

"mereka sudah sampai pada pintu gerbang maut."

Berbagai tahap dari proses dukacita diungkapkan di bagian ini. Tahap

awal dukacita diungkapkan di dalam kata-kata ini: "sakit" (ay. 17), dan

"mereka muak terhadap segala makanan" (ay. 18). Tahap pertengahan

diungkapkan di dalam kata-kata ini: "mereka sudah sampai pada pintu

gerbang maut" (ay. 18). Tahap akhir terdapat di ayat 19 dan 20:

"diselamatkan-Nya mereka dari kecemasan mereka, disampaikan-Nya

firman-Nya dan disembuhkan-Nya mereka, diluputkan-Nya mereka dari

liang kubur." Seruan sepenuh hati ada di ayat 19. Nasihat agar kita memuji

pekerjaan Allah di tengah-tengah dukacita ada di ayat 21.

4. Penyelamatan Orang yang Tak Bersalah

Bagian keempat membahas tema penyelamatan orang yang tak

bersalah. Tema ini menandakan peralihan dari tahap pertengahan ke

tahap akhir. Sub-bagian ini ada di ayat 23-32. Ide mengenai

ketidakbersalahan diungkapkan di ayat 3. Mereka yang berduka

perdagangan" di sana. Mereka tidak ingin ada di sana. Mereka mau

merasa diri mereka berada di "lautan luas" karena mereka "melakukan

tak mau harus ada di sana. Ini adalah pekerjaan mereka. Mereka bersih

dari pemberontakan atau pelanggaran. Hal ini dapat diterapkan kepada

hubungan perkawinan, hubungan anak-orang tua, pekerjaan, dan

banyak situasi lainnya.


Berbagai tahap dari proses dukacita diungkapkan di bagian ini. Tahap

dan keadaan awal yang mendatangkan dukacita diungkapkan di ayat 23-

26a. Ayat-ayat ini menjelaskan lautan berbahaya dan badai yang muncul.

Tahap pertengahan diungkapkan di ayat 26b dan 27.

sq

Deskripsi mengenai bagian pertengahan mengandung tiga aspek.

Pertama, pergumulan batin diungkapkan dengan "jiwa mereka hancur."

Kedua, penderitaan fisik diungkapkan dengan "mereka pusing dan

terhuyung-huyung seperti orang mabuk". Ketiga, penderitaan mental

diungkapkan dengan "kehilangan akal."

Deskripsi mengenai tahap akhir ada di ayat 28-30. Dijelaskan di sana

bahwa Allah membawa mereka dengan aman ke pelabuhan yang mereka

inginkan. Seruan sepenuh hati ada di ayat 28. Nasihat agar kita memuji

pekerjaan Allah di tengah-tengah dukacita ada di ayat 31 dan 32.

Hal kritis di sini adalah yang berkaitan dengan karya Allah di dalam

menciptakan badai (ay. 25). Tidak ada penjelasan. Allah tidak dibela.

Bagian ini menjelaskan bahwa Allah mengendalikan dan berkuasa atas

badai. Kadangkala suatu peristiwa yang mengawali suatu krisis atau proses

dukacita diawali oleh Allah. Hal itu mungkin berkaitan atau tidak berkaitan

dengan pemberontakan manusia. Bagaimanapun halnya, Allah tetap

berkuasa. Ini adalah tekanan utama dari bagian akhir, kekuasaan Allah

yang penuh kasih.

5. Pemeliharaan dan Dukungan Allah yang Tiada Berakhir

Bagian terakhir adalah pandangan umum atas karya Allah di dalam


dukacita dan krisis. Karya Allah di tengah-tengah berkat atau tragedi

dijelaskan di sini. Tahap awal, pertengahan, dan akhir dari tahapan

dukacita dipandang melalui sungai dan pancaran air yang berubah menjadi

padang gurun dan kemudian subur kembali. Tanah dan ternak menjadi

kurus dan kemudian dibuat subur kembali. Entah Allah bekerja untuk

menambah (ay. 38) atau mengurangi (ay. 39), la tetap Allah yang sama

yang penuh kasih sebagaimana diberitakan di sepanjang mazmur ini.

Melihat Karya Allah di Tengah-tengah Dukacita

Tema penutup mazmur ini ialah perlunya dan ganjarannya melihat karya

Allah di tengah-tengah dukacita dan krisis. Allah terus menerus dimuliakan

di sepanjang mazmur atas karya-karya-Nya (ay. 8-9, 15-16, 21-22, 31-

32, dan 42-43). Ayat 42 dan 43 menasihati pembaca untuk terus menerus

melihat pemeliharaan Allah yang penuh kasih di dalam karya-karya-Nya.

Kondisi-kondisi dukacita telah dijelaskan secara grafikal di sepanjang

mazmur ini. Namun pembaca terus menerus diajak untuk melihat

pemeliharaan Allah di tengah-tengah tragedi sebagaimana juga di tengah-

tengah kejayaan. Jika seseorang dapat melihat hal ini, ada berkat besar

baginya. Berkatnya ialah bahwa "segala kecurangan tutup mulut" (ay.

42) dan "segala kemurahan TUHAN" akan dipahami (ay. 43).

Ganjarannya ialah bahwa antagonisme dukacita akan dihentikan dan

kasih Allah akan dipahami, apa pun pengalaman dukacita itu.

Bab Sepuluh
PEMELIHARAAN PASTORAL

BAGI ORANG SAKIT DAN

ORANG YANG AKAN MENINGGAL

i orang kaya berada di dekat Lazarus setiap hari dan tidak memberi

Speranta

perhatian pada keadaannya (Luk. 16:19-31). Lazarus menderita sakit

dengan borok dan luka-luka di tubuhnya (ay. 20). Catatan ini mempunyai

arti medis tertentu, dan Lukas adalah satu-satunya penulis Injil yang

mencatat hal ini. Orang kaya itu mengabaikan Lazarus, ini berarti bahwa

satu-satunya penghiburan yang diterima Lazarus datang dari anjing-

anjing yang menjilati luka-lukanya (ay. 21). Tragedi orang kaya ini bukan

hanya ia mengabaikan Allah, tapi ia juga mengabaikan Lazarus. Semua

ini menggambarkan pentingnya perihal memperhatikan, mempedulikan,

dan memelihara orang-orang yang sakit.

Penyakit dapat membuat orang sangat putus asa dan kalah. Penyakit

adalah penyelusup, sesuatu yang tidak diharapkan oleh orang yang

mengalaminya. Orang itu harus melakukan hal-hal yang terhadapnya ia

tidak mempunyai pilihan. Ini meliputi cara makannya, perilaku

penyesuaian, minum obat sesuai jadwal, menyetujui prosedur-prosedur

kesehatan, dipisahkan dari orang-orang yang dikasihi, dan setumpuk hal

issmej sisdimsy slid,numsil

lain yang perlu dilakukan si sakit.

Pelayan gereja harus berupaya untuk memahami dunia si sakit.

Kecenderungannya ialah kita terlalu memperhatikan prioritas-priorits kita

sendiri sehingga, sama seperti si orang kaya itu, kita mengabaikan


kebutuhan-kebutuhan si sakit. Perhatian si kaya yang hanya terpusat pada

dirinya telah menghalang-halangi dirinya untuk mempedulikan Lazarus.

Pemusatan pada diri sendiri semacam ini adalah juga akar dari hampir

semua pengabaian terhadap orang sakit. Gembala jemaat harus berusaha

secara khusus untuk menggapai si sakit.

Melayani Orang Yang Sakit (Matius 25:36)

13MAY

Yesus memberi prioritas tinggi bagi pelayanan orang sakit. Di Matius

25:21-46 ada uraian mengenai penghakiman akhir zaman. Uraian ini

meliputi pemeliharaan bagi orang sakit. Yesus mengatakan bahwa

pelayanan kepada orang sakit sebenarnya adalah pelayanan kepada diri-

Nya.

Istilah "melawat" (ay. 36) diterjemahkan dari istilah Yunani

"episkeptomai," yang dibentuk dari dua istilah Yunani, "epi" (di atas) dan

"skepas" (penutup). Dalam bentuk kombinasi keduanya berarti

"memelihara." Sama seperti seseorang dilindungi dan dipelihara dengan

cara ditutup, "melawat" artinya menanggapi kebutuhan-kebutuhan

seseorang. Luka-luka Lazarus membutuhkan perhatian, namun si orang

kaya tidak memperhatikan atau memelihara dia.

TESTE

Pelayanan penggembalaan kepada orang sakit ialah memimpin jalan

ke arah pemeliharaan si sakit. Ke dalam dunia si sakit, gembala jemaat

dapat membawakan pelayanan Kristus. Pemeliharaan gembala jemaat

adalah contoh bagi orang-orang percaya, yang dapat menyebabkan si


sakit bukan hanya mendapatkan penghiburan dari gembala jemaat, tetapi

juga dari anggota jemaat.

Pengalaman sakit mempunyai lima tahap umum. Di setiap tahap,

tindakan pastoral adalah hal penting. Tahap pertama ialah gerakan dari

sehat ke sakit. Biasanya gembala jemaat tidak mengetahui transisi ini.

Namun, bila gembala jemaat mengetahui perubahan ini, pelayanan awal

akan sangat menolong. Tahap kedua ialah penerimaan penyakit itu.

Gembala jemaat yang efektif akan melihat manfaat dari pelayanan di tahap

ini. Si sakit sedang menghadapi kenyataan sulit mengenai kondisinya.

Tahap ketiga ialah pada saat penyakit itu semakin berat dan perawatan

medis khusus dibutuhkan. Si gembala jemaat secara khas terlibat di tahap

ini, namun kadang-kadang ia harus menanggapi pokok-pokok persoalan

yang sementara waktu dihadapi si sakit.

Tahap keempat adalah masa penyembuhan. Ini dapat menjadi masa

kesepian karena banyak orang akan beranggapan bahwa si sakit sudah

sepenuhnya sembuh. Padahal kesehatan penuh belum dicapai. Si sakit

masih lemah, baik secara fisikal maupun emosional, karena baru

mengalami sakit. Ini dapat menjadi waktu yang paling efektif untuk

pelayanan. Dukungan dari ahli-ahli medis dan teman-teman mungkin

sudah tidak ada saat ini. Namun gembala jemaat dapat tetap memberikan

empati dan pendampingan.

Tahap terakhir adalah sehat dan sembuh. Jika pelayanan pastoral yang

efektif sudah diberikan selama masa sakit, si sakit akan mampu

mengintegrasikan penyakitnya sebagai suatu kesaksian. Kenangan mengenai

pemeliharaan pastoral di tengah-tengah kebutuhan akan menjadi kenangan


penting di dalam pengalaman hidupnya.

Memahami Peranan dan Motivasi Gembala Jemaat

Gembala jemaat harus berhati-hati agar menghindari motivasi egois.

Si sakit dapat dengan mudah mendeteksi jika gembala jemaat melawatnya

karena merasa terpaksa. Jika gembala jemaat tidak mempunyai kepedulian

terhadap si sakit sebagaimana ia tidak peduli terhadap hal-hal lain, hal

ini dapat dengan mudah dideteksi. Jika ada sikap merendahkan, si sakit

akan merasa diremehkan dan direndahkan. Gembala jemaat tidak boleh

tampak sedang tergesa-gesa. Waktu harus diberikan untuk memberi

perhatian penuh kepada dunia si sakit dan kepada pemeliharaan istimewa

yang dibutuhkannya.

Memahami Peranan Orang yang Berprofesi Pertolongan

Gembala jemaat dapat meningkatkan efektivitas pastoral dengan

mengembangkan hubungan kerja yang positif dengan para profesional

perawatan kesehatan. Berhati-hatilah untuk tidak menilai rumah sakit atau

klinik itu hanya berdasarkan apa yang dikatakan si pasien. Bersikaplah

ramah dan tanggap terhadap personil perawatan kesehatan. Hormati

peraturan-peraturan dari lembaga itu. Bersikaplah ramah pada saat

berkomunikasi dengan staf medis. Berhati-hatilah dalam mengidentifikasi

struktur wewenang dan rantai komando di dalam lembaga tersebut. Ini

berarti Anda mengetahui kepada siapa pertanyaan tertentu harus

ditanyakan. Jika Anda mendapat penolakan dari personil, biasanya ini

hanya kekecualian. Personil medis dapat sangat menolong dan hubungan

positif dapat membentuk dasar-dasar untuk pelayanan di masa datang.

Pedoman untuk Pelayanan di Rumah Sakit


Rumah sakit dapat menjadi tempat efektif untuk pelayanan. Pedoman

tertentu akan berguna untuk pelayanan di lingkungan rumah sakit. Usulan-

usulan berikut ini memberi perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan pasien

dan juga lembaga itu:

1.

Cari tahu di mana pasien dirawat dan waktu terbaik untuk menjenguk.

2. Berpakaian sewajarnya, jangan yang aneh-aneh.

3. Kumpulkan informasi mengenai penyakit dan kondisi si pasien sebelum

menjenguknya.

4. Perhatikan nuansa dan suasana yang ada di ruangan itu (kartu-kartu

ucapan, bunga-bunga, benda-benda pribadi, dst.).

5. Ketahuilah di mana harus duduk dan berdiri. Biasanya, sebaiknya

tidak duduk di ranjang.

6. Undurkan diri Anda jika dokter datang. Hormati kebutuhannya untuk

bertemu dengan si sakit.

7.

Undurkan diri Anda jika makanan dihidangkan. Hal ini akan membuat

pasien merasa lebih nyaman.

8.

Undurkan diri Anda jika orang lain datang untuk menjenguk dan

mungkin tamu yang menjenguk sudah terlalu banyak sehingga

mengganggu kenyamanan si pasien.

9. Jangan penuhi jika si pasien meminta air, makanan, dst. Tanyakan

dulu kepada perawat.

10. Jangan memberi pendapat atau nasihat medis. Itu bukan bidang
keahlian Anda.

11. Jangan berbicara dengan seseorang mengenai si sakit pada saat Anda

ada di dekatnya. Hal ini tetap berlaku walau si pasien dalam keadaan

koma.

12. Jangan terlalu banyak bicara. Pusatkan perhatian Anda pada diri si

pasien.

Ketakutan dan Pengalaman Orang yang Akan Meninggal

Orang yang akan meninggal biasanya menghadapi sejumlah ketakutan.

Ketakutan-ketakutan ini berkaitan dengan persoalan-persoalan pribadi dan

hubungan. Mungkin hal ini sangat mendalam sehingga tidak akan

diceritakan kepada siapa pun. Ketakutan-ketakutan ini bersarang dan

menjadi sumber konflik mental. Pelayanan pastoral dapat menekankan

bahwa gembala jemaat selalu siap mendampingi dan mengasihi si sakit

dalam menghadapi ketakutan-ketakutan ini.

Salah satu ketakutan yang dihadapi orang yang akan meninggal ialah

mengenai hal-hal yang akan terjadi sesudah kematian. Si sakit mungkin

akan memikirkan nasib tubuhnya. Ia mungkin bertanya-tanya di mana

tubuhnya akan berada dan orang seperti apa yang akan mempedulikan

kondisi tubuhnya. Pokok persoalan lain ialah mengenai penghakiman

sesudah kematian. Ia mungkin bertanya-tanya apakah hubungannya

dengan Tuhan sudah baik atau belum. Ciri yang penting ialah ketakutan

umum terhadap hal-hal yang belum diketahui. Masa depan dirasakan

sangat mengancam karena orang tersebut tidak mempunyai kendali atas

dirinya maupun atas peristiwa-peristiwa sesudah kematian.

Ketakutan lain yang mungkin dihadapi si sakit ialah proses menuju


kematian. Ini mungkin meliputi ketakutan terhadap rasa sakit. Hal ini dapat

menjadi suatu lingkaran dimana ketakutan terhadap rasa sakit

menghasilkan rasa sakit yang pada gilirannya menghasilkan kekhawatiran

terhadap rasa sakit dan lingkaran ini semakin diperkuat. Aspek lain dari

proses kematian berkaitan dengan persoalan martabat. Orang tersebut mungkin berpikir betapa buruk
penampilannya dan bagaimana orang lain

harus dibantu dalam berpakaian, makan, dan bahkan mandi. Ia merasa

akan melihatnya di dalam kondisi tersebut? Orang yang akan meninggal

kehilangan martabat pribadinya. Juga, orang yang akan meninggal akan

semakin peduli bahwa di dalam proses kematiannya ia semakin menjadi

beban bagi orang lain.

Rangkaian ketakutan terakhir berkaitan dengan hilangnya kehidupan.

Orang yang akan meninggal itu semakin lama semakin kehilangan

penguasaan dan kendali atas kehidupannya. Ia mulai merasa sangat tidak

berdaya dan tidak berguna. Ia menghadapi perasaan tidak sempurna dan

gagal. Ia berharap bahwa ia dapat melakukan lebih banyak hal. Ia merasa

bahwa ia seharusnya dapat berbuat lebih banyak. Ia sangat kuatir

mengenai perpisahan yang tak terhindarkan dari orang-orang yang

dikasihinya. “Menjelang ajal” menjadi suatu pengalaman kesepian yang

sangat mendalam.

Pelayanan di tengah-tengah ketakutan-ketakutan ini harus sangat peka

terhadap kondisi ketakutan-ketakutan. Gembala jemaat seharusnya

mengetahui banyak hal mengenai permasalahan kematian. Namun,

pengetahuan mengenai apa yang dialami seseorang (tertentu) hanya dapat

datang dari orang tersebut. Ini berarti gembala jemaat harus banyak

mendengar dan berusaha memahami pengalaman individual dari orang


yang akan meninggal itu. Jika gembala jemaat tidak berupaya untuk

memahami pengalaman duka yang unik dari orang yang akan meninggal

itu, ia hanya akan meningkatkan kesepian orang tersebut. Pemahaman

khas yang diberikan gembala jemaat itu akan menjadi landasan untuk

memberikan kasih dan pendampingan selanjutnya. Lebih lanjut, model

mengenai pelayanan dukacita yang diajukan di bab terdahulu dapat

diterapkan dari landasan pemahaman ini.

Pendampingan Pastoral Bagi Orang yang Berdukacita

Pelayanan kepada Orang yang Berdukacita

Salah satu peristiwa yang sangat penting di dalam pelayanan kepada

orang yang berdukacita (bereaved) adalah konfrontasi awal dengan

kematian. Momen pertama ketika menerima berita kematian adalah

momen kritis. Momen itu terekam di dalam ingatan orang tersebut. Hal

ini mempunyai dampak mendalam terhadap orang itu selanjutnya dan

di masa depan. Kadang-kadang momen itu menjadi trauma kuat. Emosi-

emosi bergolak kuat. Orang itu akan mengalami shock pada tingkat

tertentu. Pelayanan pada momen ini menjadi sangat penting. Pelayanan

dapat menjadi bagian dari ingatan orang tersebut mengenai pengalaman

ini.

Sebagian dari konfrontasi awal dengan kematian meliputi: melihat or-

ang yang meninggal untuk pertama kali. Hal ini terjadi pada diri orang

yang berdukacita segera sesudah kematian terjadi. Bahkan orang yang

berdukacita itu mungkin hadir di sisi orang yang meninggal pada saat

kematiannya. Atau perihal melihat pertama kali ini mungkin tertunda

sampai jenazah sudah disemayamkan di rumah duka. Apa pun halnya,


dampak dari melihat seseorang sesudah kematian adalah langkah penting.

Pengalaman trauma ini adalah identifikasi fisikal dengan kematian.

Kematian seseorang itu menjadi suatu kenyataan.

Beragam reaksi dialami selama peristiwa-peristiwa awal ini. Ada or-

ang yang menjadi sangat emosional. Orang yang lain mungkin sangat

tenang dan menjaga jarak. Sebagian orang mengalami shock temporer,

mengalami semacam keterpisahan dari realitas. Orang yang lain mungkin

merasionalisasi atau memperlihatkan bentuk-bentuk lain dari

penyangkalan. Reaksi umum ialah segera mempersalahkan seseorang atau

sesuatu atas terjadinya kematian itu. Denominator yang paling umum dari

pengalaman-pengalaman ini ialah intensitas. Pengalaman itu, apa pun

keadaannya, mungkin akan menjadi pengalaman yang sangat kuat.

Pelayanan harus difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan segera dari

orang yang berdukacita itu. Ia biasanya membutuhkan empati dan

pendampingan segera. Ini bukan saatnya untuk menghadapi dukacitanya

dengan banyak pertanyaan. Fokusnya ialah agar lepas dari trauma awal.

Orang itu tidak akan memusatkan perhatian pada isi kata-kata. Empati

emosional dari gembala jemaat adalah hal yang akan paling diingat.

Pendampingan dan Konseling Pastoral bagi Orang yang

Berdukacita

Pelayanan pastoral bagi orang yang berdukacita harus memungkin-

kannya mengalami kehilangan itu. Sekalipun orang yang berduka itu tidak

dapat menghindari realitas kematian, salah satu godaan terbesar ialah

menyangkal pengaruh dari kematian itu. Biasanya kematian mempengaruhi

orang itu lebih daripada yang disadarinya. Gembala jemaat harus


memperhitungkan berapa beratnya kematian itu bagi si orang yang

berduka. Pastilah ia tidak dapat mengatasi trauma kematian hanya dalam

beberapa jam saja atau beberapa hari saja.

Gembala jemaat dapat memanfaatkan jaminan keselamatan orang yang

meninggal itu untuk mengurangi dampak kematiannya pada orang-orang

yang berdukacita. Namun, sekalipun orang yang meninggal itu telah

diselamatkan dan dijamin masuk ke rumah surgawinya, orang yang

ditinggalkan akan tetap merasa kehilangan. Memfokuskan perhatian pada

pokok-pokok kekekalan (eternal) tidak boleh menyebabkan penyangkalan

terhadap pokok-pokok kesementaraan (temporal). Orang-orang yang

ditinggalkan akan tetap merasakan kesepian, kekecewaan, dan banyak

kebutuhan-kebutuhan lain untuk menghadapi ketidakhadiran orang yang

dikasihinya.

Tak seorang pun mengetahui dengan tepat kapan kematian akan terjadi.

Oleh karena itu, kematian seringkali tidak diduga-duga. Orang yang

ditinggalkan dalam tingkat tertentu pasti belum siap, tak peduli persiapan

apa yang sudah dilakukannya. Bahkan jika ia sudah melakukan pengaturan

keuangan yang rapi, persoalan-persoalan lain seperti persiapan emosional,

pengaturan hidup sehari-hari, menarik uang asuransi, dan banyak

kebutuhan lain akan tetap ada. Fakta bahwa persiapan-persiapan sudah

dilakukan tidak berarti bahwa orang yang ditinggalkan itu sudah siap untuk

menanganinya.

Tak ada kata-kata, doa, atau pembacaan Alkitab yang dapat mengubah

realitas kematian ataupun situasi kondisinya. Fungsi pelayanan dan Firman bagi orang yang berduka
ialah untuk memperlengkapi mereka di tengah-

tengah realitas ini. Kondisi-kondisi dasar dari kematian dan dukacita itu
tidak dapat diubah. Orang yang meninggal tidak akan hidup kembali di

dalam kehidupan ini, dan orang yang ditinggalkan akan menjalani hidup

sendirian. Gembala jemaat dapat berjalan bersama orang-orang yang

berdukacita itu, tetapi ia tidak dapat mengeluarkan mereka dari jalan

dukacita itu.

Gembala jemaat tidak boleh menyamaratakan pengalaman dukacita

setiap orang. Setiap orang, bahkan di dalam satu keluarga yang sama,

akan berdukacita secara berbeda. Setiap orang menghayati dukacita

secara berbeda dan hal ini harus disadari gembala jemaat. Perhatian

pribadi dibutuhkan untuk mengkomunikasikan besarnya kepedulian

dan belasungkawa. Gembala jemaat mungkin saja tidak tahu apa yang

harus diperbuat atau bagaimana menanggapi kasus setiap orang.

Namun, persepsi dan perhatian pribadi adalah suatu pelayanan dan

pendampingan.

Kadang-kadang, orang yang meninggal itu akan diidolakan atau

dipandang lebih hebat daripada ketika ia masih hidup. Orang yang

ditingggalkan mungkin merasa bahwa mereka seharusnya dapat berbuat

lebih banyak bagi orang yang meninggal itu dan mereka merasa bersalah

atas apa yang tidak dilakukannya itu. Orang yang berduka itu mungkin

akan mengingat-ingat kembali peristiwa-peristiwa atau kesalahan-

kesalahan yang telah dilakukannya terhadap orang yang meninggal itu.

Dalam hal-hal ini, orang yang berdukacita itu mungkin akan dikendalikan

oleh orang lain, sekalipun orang yang lain itu sekarang sudah meninggal,

dan ingatan menjadi selektif dan bias.

Kebanyakan idolisasi terhadap orang yang meninggal adalah hal yang


alamiah. Sungguh traumatik untuk menyadari bahwa Anda tidak akan

dapat lagi melakukan hal yang Anda ingin lakukan atau yang Anda rasa

seharusnya Anda lakukan sebelum orang itu meninggal dunia. Usaha-

usaha untuk mengidolisir orang yang meninggal itu muncul dari tekanan

ekstrem yang

dihasilkan oleh perasaan bersalah atau marah.Idolisasi terhadap orang yang meninggal adalah suatu
bentuk

penyangkalan. Orang yang berduka mungkin tidak dapat menerima

kenyataan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu tidak dapat diulangi.

Mereka cenderung ingin memuaskan perasaan bersalah atau marah

mereka ke arah orang yang meninggal itu. Orang yang berduka tidak

mau menghadapi realitas dan finalitas kematian.com

Pelayanan kepada orang yang berusaha mengidolisir atau

"menghidupkan kembali" orang yang telah meninggal itu meliputi

pemahaman akan rasa sakitnya dan jaminan bahwa hal ini tidak perlu

menjadi kondisi permanen. Gembala jemaat harus mewujudkan

belasungkawa Kristus di dalam memahami rasa bersalah dan sakit hati

yang menjadi sumber idolisasi.

Godaannya ialah kita terlalu cepat menyimpulkan hal itu sebagai

kondisi permanen. Bila seseorang memperlihatkan penyangkalan

semacam itu, bukan berarti ia akan selalu melakukannya. Tugas

gembala jemaat adalah untuk mencermati indikasi bahwa orang itu

mulai meninggalkan penyangkalannya. Pada saat-saat kritis ini, kata-

kata belasungkawa dapat meyakinkan orang itu bahwa gembala jemaat,

sama seperti Gembala yang Baik, akan berada bersama orang yang

berduka itu "dalam lembah kekelaman."


Pelayanan di Kebaktian Penguburan

Kebaktian penguburan adalah bagian penting dari pelayanan gembala

jemaat bagi orang yang berdukacita. Fokus kebaktian bukan hanya

pengakuan atas kehidupan orang yang meninggal itu. Fokusnya ialah

penafsiran atas kehidupan orang itu di bawah cahaya dukacita dari or-

ang-orang yang ditinggalkan. Orang yang berdukacita akan sangat

dipengaruhi oleh kebaktian ini. Kebaktian penguburan adalah pengakuan

formal atas proses dukacita mereka. Oleh karena itu, adalah penting bahwa

gembala jemaat menyampaikan kata-kata penghiburan dan kata-kata yang

meyakinkan kepada mereka yang berdukacita, sambil memberi pujian

mengenai orang yang sudah meninggal itu.

Penguburan dapat menjadi kesempatan untuk pendampingan dan

konseling pastoral. Memberi warna pribadi pada kebaktian itu akan dapat

mengkomunikasikan kepedulian besar. Ketimbang berbicara mengenai ide-

ide atau konsep-konsep teologis, lebih baik fokus ditujukan pada kematian

"ini" dan pengalaman tertentu, termasuk kondisi rohani dari orang-

orang yang ditinggalkan. Menciptakan rasa kebersamaan dengan mereka

yang berduka dapat memberi efek kepedulian dan kasih. Ketimbang

menjauhi mereka yang berdukacita itu dan memperlama penyangkalan

mereka, lebih baik mengundang mereka untuk membantu merencanakan

isi kebaktian. Selama penguburan, ajak bicara dan sapalah mereka yang

berduka secara retorik seolah-olah mengundang mereka untuk bergabung

dengan Anda dalam merenungkan kematian orang yang telah meninggal

tersebut.

Gunakan doa secara efektif selama perlawatan awal ke orang yang


meninggal, kunjungan ke rumah duka, dan di saat penguburan. Hal ini

dapat menjadi kesempatan terbaik untuk pelayanan. Ini termasuk doa pada

saat melihat jenazah pertama kali. Doa pada saat-saat seperti itu adalah

sebagian afirmasi terhadap realitas kematian. Referensi kepada realitas

ini di dalam doa akan membantu orang-orang yang berduka untuk

menentang penyangkalan mereka. Doa juga menyediakan konteks ilahi

dan abadi bagi apa yang telah terjadi. Ini menyebabkan orang-orang

menyadari bahwa finalitas kematian di bumi tidak mengindikasikan bahwa

kehidupan kita hanya di sini dan sekarang ini. Ada keabadian setelah

kematian. Doa berguna untuk meyakinkan orang yang berdukacita bahwa

Allah hadir di tengah-tengah penderitaan mereka.

Penguburan dapat menjadi saat yang efektif bagi Tubuh Kristus (seluruh

jemaat) untuk melayani mereka yang berdukacita. Tindakan kasih dan

dukungan selama masa ini akan mempunyai nilai yang tidak akan hilang.

Jemaat dapat mengkomunikasikan cinta kasih dan keprihatinannya bagi

orang yang berdukacita melalui pemberian makanan dan bunga-bunga.

Namun, pemberian jemaat yang utama kepada orang yang berduka ialah

kehadirannya. Pemberian-pemberian lain tidak boleh dimaksudkan sebagai

pengganti kehadiran di rumah duka atau di pekuburan. Masa-masa ini merupakan kesempatan berharga
pada saat kehadiran nyata anggota-

anggota jemaat akan melayani orang yang sedang berdukacita.

Khotbah pastoral pada saat penguburan harus mengafirmasi realitas

kematian maupun realitas kehidupan sesudah kematian. Alkitab sendiri

melakukan keduanya. Hal ini secara khusus ditunjukkan di dalam kematian

dan kebangkitan Sang Juruselamat. Kematian-Nya digambarkan secara

grafis di dalam Injil-injil. Persiapan penguburan tubuh-Nya, adegan


penguburan, dan peristiwa-peristiwa di sekitar penguburan-Nya semuanya

dilukiskan secara terperinci. Tidak ada usaha untuk menyembunyikan realitas

kematian-Nya. Namun demikian, kemuliaan dan kebenaran mengenai

kehidupan sesudah kematian juga menjadi bagian yang tak terlupakan

kisah itu. Realitas Kebangkitan diberi perhatian penuh.

Realitas kematian dapat disampaikan melalui khotbah dalam banyak

cara. Kenangan-kenangan khusus dari kehidupan orang yang meninggal

itu dapat menekankan realitas dari kematiannya. Referensi kepada

keadaan tertentu di sekitar kematiannya dapat mengafirmasi realitas

kematian ini. Penggunaan nama-nama dan tempat-tempat menjadikan

realitas kematian semakin nyata. Inilah hal-hal yang dilakukan para penulis

Injil dalam merekam kematian Kristus.

Realitas kehidupan sesudah kematian juga dapat dikomunikasikan di

dalam khotbah. Kesaksian mengenai iman Kristen dari orang yang

meninggal itu dapat diceritakan. Hal ini meyakinkan orang-orang yang

hadir di sana bahwa orang yang meninggal itu pasti mengalami kehidupan

kekal. Jika kondisi rohani orang yang meninggal itu meragukan, referensi

mengenai kehidupan sesudah kematian tetap dapat diberikan. Tidak ada

seorang pun yang dapat menganggap dirinya tahu secara sempurna

apakah orang itu telah meninggal tanpa pengharapan keselamatan.

Penilaian semacam itu hanya dapat dilakukan oleh Allah. Namun demikian,

pokok mengenai kekekalan dan kehidupan sesudah kematian harus

disampaikan. Ini adalah bagian dari realitas yang dihadapi di dalam

mencatat kematian dan kebangkitan Yesus.

Gembala jemaat harus menyadari adanya kebutuhan tindak-lanjut dan


pendampingan selanjutnya bagi orang yang berdukacita itu. Pelayanan

kepada orang yang berdukacita sampai pada saat penguburan memang

hanya berlangsung beberapa hari. Namun sesudah penguburan selesai,

pelayanan tidak berhenti. Dinamika kedukaan adalah sangat riil. Pelayanan

selanjutnya kepada orang yang berdukacita itu sama pentingnya dengan

perlawatan pertama dan kebaktian penguburan.

Bab Sebelas

PRINSIP-PRINSIP UTAMA

KONSELING PASTORAL

ujuan bab ini adalah mendefinisikan konseling yang

prioritas

Allah. Inilah esensi dari tugas penggembalaan. Di Yehezkiel 34 dan Yohanes

10, inti beritanya ialah agar manusia dapat mengenal Allah. Inilah tujuan

dari gembala umat Allah. Konseling yang diusulkan di dalam buku ini

mengikuti pendekatan konseling yang berpusatkan Allah (God-centered

approach).

Konseling Teosentrik:

Konseling yang Berpusat Pada Allah

Istilah "teosentrik" berarti "berpusat pada Allah." Jadi, konseling

teosentrik didefinisikan sebagai "konseling yang berpusat pada Allah.”

Konseling teosentrik berusaha menempatkan Allah di pusat dari kehidupan

dan konseling konselor. Konseling ini juga berusaha menempatkan Allah

di pusat kehidupan klien. Hubungan antara konselor dan klien dipusatkan

pada Allah, artinya fokus dan arah konseling datang dari Allah. Sepanjang
proses konseling, kehadiran dan kuasa Allah diafirmasi.

Tanggung jawab gembala jemaat untuk memberi konseling adalah

penting. Orang-orang bergumul dengan banyak kebutuhan. Seringkali orang

yang pertama dan yang satu-satunya mereka cari untuk konseling ialah gembala jemaat. Pada saat
kesempatan konseling muncul, gembala jemaat

harus siap untuk segera menanggapi, karena kesempatan tidak selalu ada.

Mungkin kemudian orang itu berubah dan tidak berniat konseling, atau

situasi kondisi berubah.

Tanggapan gembala jemaat harus difokuskan pada Allah. Di masyarakat

kita, ada banyak lembaga dan kaum profesional yang berdedikasi untuk

mendampingi orang-orang yang mempunyai kebutuhan dan permasalahan.

Setiap orang berkomitmen pada tujuan dan asumsi tertentu. Namun

demikian, tidak ada seorang pun yang begitu berdedikasi pada kehendak

dan tindakan Allah di dunia ini seperti gembala jemaat. Tujuan eksplisit

dari lembaga pastoral ialah untuk menggembalakan individu-individu agar

mengenal kehadiran dan kuasa Allah.

Pada dasarnya ada empat pusat atau titik fokus yang dapat diasumsikan

di dalam konseling pastoral. Pertama adalah sang klien. Konselor dapat

mengasumsikan bahwa kebutuhan dan kemampuan klien adalah lebih

penting dibanding apa pun atau siapa pun di dalam proses konseling.

Titik fokus kedua ialah sang konselor. Di dalam konseling yang berpusatkan

konselor (counselor-centered counseling), konselor dan klien berasumsi

bahwa kunci kesembuhan atau pemulihan terletak pada keahlian konselor

dan pada pengaruh konselor terhadap kliennya. Titik fokus ketiga ialah

hubungan antara gembala jemaat dan klien, dengan mengasumsikan

bahwa keduanya bersedia untuk bekerja sama.


Titik fokus keempat ialah asumsi bahwa Allah hadir, bahwa la berada

di pusat proses konseling, dan bahwa la mengarahkan konseling tersebut.

Aspek terpenting dari proses konseling bukanlah tindakan atau kebutuhan

klien, kemampuan konselor, atau hubungan antara gembala jemaat dan

klien. Melainkan, pemulihan dihasilkan oleh, dijadikan mungkin oleh, dan

dibimbing oleh tindakan Allah. Allah tidak serta merta membenarkan semua

tindakan, emosi, atau nasihat dari konselor dan klien. Namun demikian,

Allah aktif di tengah-tengah proses. Konselor dan klien bukannya tidak

penting. Sebaliknya, tanggapan mereka sangat penting. Namun, pusat dan

sumber pemeliharaan adalah Allah.

Di dalam konseling yang berpusat pada klien, pertanyaan pertama yang

diajukan di dalam hubungan konseling ialah "Apakah kebutuhan,

kemampuan, dan potensi dari klien?" Di dalam konseling yang berpusat

pada konselor, pertanyaan pertama yang diajukan ialah "Apa yang dapat

saya lakukan untuk menolong orang ini?" Di dalam konseling yang berpusat

pada hubungan, pertanyaan pertamanya ialah "Apa yang dapat kita lakukan

bersama?" Di dalam konseling teosentrik, yang berpusat pada Allah,

pertanyaan pertama yang diajukan di dalam konseling ialah "Apa yang

dilakukan Allah di tengah-tengah kehidupan orang ini?"

Metode Teosentrik

Bagian ini akan membahas unsur-unsur esensial dari metode konseling

yang berpusat pada Allah. Aneka bagian dari metode ini akan dijelaskan

lebih terperinci sesudah garis-besar ini.

Model Konseling Berpusatkan Allah

1. Konselor beranggapan bahwa kehadiran, kuasa, dan tindakan Allah


adalah pusat dan sumber.

2. Identifikasi berbagai bidang:

Kerohanian dan asumsi-asumsi primer

● Emosi-emosi

● Berpikir

● Perilaku

• Konteks orang, benda-benda, dan situasi kondisi

3. Identifikasi tingkat-tingkat intervensi:

● Pencegahan dan pembinaan

● Memenuhi kebutuhan dan meluruskan permasalahan

● Intervensi krisis

4. Mengafirmasi semua bidang yang didaftar di butir 2.

5. Memantau perubahan pada tingkat-tingkat intervensi seperti yang

didaftar di butir 3.

6. Menggunakan bahasa Firman Allah.

7. Pengakuan dan kesaksian pada momen-momen penutup.

8. Perenungan di tengah-tengah konseling.

9. Mengafirmasi "misteri" dan kuasa dari tindakan Allah.

Aneka hal dari metode teosentrik itu tidak harus dikerjakan secara berurut,

kecuali butir: 1. Persepsi konselor sangat penting. Pertanyaan-pertanyaan yang

pertama diajukan dan asumsi-asumsi awal yang dibuat akan membimbing

keseluruhan proses. Asumsi-asumsi dan persepsi-persepsi pertama ini perlu

dipusatkan pada Allah.

Langkah pertama ini tidak harus selalu secara verbal di dalam


mengungkapkan iman atau perspektif berpusatkan Allah. Namun, sekalipun

tidak ada verbalisasi, perspektif konselor harus ditujukan kepada Allah.

Butir-butir lain yang didaftar di atas dapat bervariasi di dalam urutan

dan prioritas. Penting untuk dicatat bahwa butir-butir 1 sampai 5 semuanya

harus dikerjakan. Jika tidak dikerjakan semuanya, maka karya Allah di

tengah-tengah proses konseling akan luput. Tidak semua hal dari butir-

butir 6 sampai 9 perlu dikerjakan, namun setidak-tidaknya sebagian harus

dikerjakan. Jika semuanya diabaikan, maka kita akan sulit memusatkan

konseling pada Allah. Semakin segera salah satu butir-butir itu dikerjakan,

semakin pasti proses teosentrik akan terjadi.

Konselor tidak harus mengerjakan butir-butir 6 sampai 9 dengan segera.

Mungkin sekali terjadi butir-butir itu digunakan hanya untuk jangka waktu

tertentu karena kondisi rohani klien atau konteks konseling itu. Namun

demikian, sebagian atau semua butir-butir ini pada

dikerjakan.

ya harus

Persepsi Konselor (Langkah 1)

Langkah pertama ini penting karena perspektif konselor adalah hal

penting. Sangat sulit bagi klien untuk melihat Allah bekerja di tengah-tengah

persoalan-persoalannya kecuali ia mempunyai empati dan kepemimpinan

dari konselornya. Berhubung konselor mempengaruhi orang yang sedang

dibimbing olehnya, maka persepsi-persepsi dan asumsi-asumsi konselor

a mempunyai pengaruh terbesar terhadap orang yang sedang

tampaknya

dikonsel itu,
Gembala jemaat dapat mengembangkan persepsi ini dengan terus

menerus mengingatkan dirinya mengenai kebutuhan akan perspektif ini.

Persepsi ini harus menjadi bagian dari setiap sesi konseling. Persepsi ini

harus menjadi bagian dari persiapan gembala jemaat. Dan gembala jemaat

s melatih disiplin ini sebagai bagian dari langkah-langkahnya setiap

hari bersama Tuhan bagi kehidupannya sendiri.

harus

Bidang Roh dan Asumsi-asumsi Primer (Langkah 2 dan 4)

Bidang yang paling berpengaruh terhadap diri seseorang ialah bidang

kerohanian dan asumsi-asumsi primer. Semua ini didaftar di butir 2 dan

4 di atas. Ini adalah cara yang paling dasar dimana seseorang memandang

dunia. Hal ini adalah tingkatan karakter dan pemahaman intuitif. Yang

terpenting, ini adalah tingkatan kerohanian dimana seseorang bersekutu

dengan Tuhan.

Bagi orang percaya, bidang ini dikembangkan melalui berbagai cara.

Antara lain: doa, berdiam diri, berpuasa, mengundang karya Roh Allah,

manifestasi karunia-karunia roh, kata-kata nasihat, dan penumpangan

tangan. Hal ini dapat dilakukan satu per satu atau di tengah-tengah

konseling. Semuanya berguna untuk mengembangkan bidang rohani dari

kehidupan seseorang.

Tujuan primer dari bidang ini ialah untuk melihat dan mengalami karya

Allah sebagai pusat dan sumber. Tujuan konseling dari masing-masing bidang

akan ditampilkan pada bagan di halaman berikut.

Melihat karya Allah sebagai pusat berarti bahwa sepanjang proses

konseling dan aneka perubahan yang akan terjadi, alat ukur dan faktor
bahwa Allah, sejak awal sampai akhir proses, memberi kuasa dan daya

pembimbingnya ialah Allah. Melihat karya Allah sebagai sumber berarti

lahan di dalam proses.

Bidang

Sasaran

Bidang

Sasaran

Bidang

Sasaran

Bidang

Sasaran

Bidang

Sasaran

Roh dan Asumsi-asumsi Primer

: Melihat Karya Allah sebagai Pusat dan

Sumber

: Emosi-emosi

: Mengakui bahwa Allah menciptakan

emosi-emosi dan menanggapi

kebutuhan-kebutuhan emosi ini

: Pikiran

: Tujuan dari bidang ini ialah menundukkan

pikiran seseorang kepada kehendak

Allah di dalam ketaatannya.

: Perilaku
: Belajar sebagai murid dari Tuhan

: Konteks Masyarakat, Benda-benda,

dan/atau Keadaan

: Menyadari bahwa Allah aktif di dalam

diri orang-orang dan konteks yang ada

di sekitar klien

TEOSENTRIK

BIDANG-BIDANG DAN SASARAN-SASARAN

Bagi orang tak percaya, tiadanya Keselamatan bukan berarti bahwa

tidak ada yang dapat dikerjakan atau tidak ada yang dapat dicapai.

Sebaliknya, Allah tetap bergerak di tengah-tengah kehidupan orang itu

dan proses konseling. Bahkan jika orang itu tidak menjadi orang yang

diselamatkan selama konseling berlangsung, Allah tetap bekerja di tengah-

tengah kebutuhannya. Ini tidak harus berarti bahwa Allah atau konselor

membenarkan tindakan-tindakan orang itu.

Tugas konselor ialah untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan dari

perspektif kepedulian dan belas kasihan Allah. Orang yang tak percaya

akan merasakan pengaruh pelayanan itu dan akan mengalami beberapa perubahan. Ini didasarkan pada
kuasa dari karya Allah. Namun,

berhubung orang itu belum mengenal Kristus sebagai Juruselamat, derajat

perubahan yang lengkap dan potensi pemulihan tertinggi tidak akan dapat

dicapai.

Bidang Emosi-emosi (Langkah 2 dan 4)

Emosi-emosi adalah bagian yang sangat penting dari proses konseling.

Orang akan merasakan dengan kuat persoalan-persoalan yang sedang

mereka hadapi, misalnya luka hati mendalam dari masa lalu dan hasilnya
adalah kepahitan hati. Mungkin orang itu akan sulit membagi-rasakan

beberapa emosi atau sulit menanganinya. Gembala jemaat harus berusaha

untuk secara efektif menanggapi emosi-emosi ini sebagai bagian dari

konseling.

Tujuan konseling di bidang emosi-emosi ialah untuk mengakui bahwa

Allah menciptakan emosi-emosi dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan

emosi ini. Gembala jemaat dapat memberikan pelayanan yang

menanggapi kondisi emosional orang itu. Ini bukan berarti bahwa

gembala jemaat membenarkan setiap tindakan orang itu. Namun

pengenalan atau pengakuan terhadap rasa sakit dan tanggapan belas

kasih adalah hal yang perlu. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk

yang dapat merasa; dan belas kasih terhadap individu-individu adalah

pengakuan terhadap penciptaan Allah.

Bidang Pikiran (Langkah 2 dan 4)

Kemampuan berpikir adalah sumber daya yang sangat penting bagi

orang yang sedang dikonsel. Peristiwa-peristiwa dan permasalahan-

permasalahan harus ditanggapi menurut urutan prioritas. Semua itu perlu

disusun rapi. Orang itu perlu memahami hal-hal yang berkaitan dengan

persoalan-persoalannya. Logika perlu diterapkan pada susunan dan

pengaturan hal-hal yang telah terjadi. Pemahaman dan pemikiran dapat

diterapkan pada peristiwa-peristiwa masa lalu, masa sekarang, dan masa

depan. Persoalan-persoalan dapat didekati dengan akal dan penalaran.

Berpikir dapat menjadi sumber daya untuk berpindah dari perasaan

ke tindakan. Perasaan-perasaan seseorang dapat ditafsirkan dan dipahami oleh pikiran. Ketetapan hati
dapat dirumuskan. Maksud hati dapat diduga.

Analisis dapat diterapkan. Kelakuan-kelakuan yang tepat dapat diseleksi.


Pada akhirnya, sesudah memproses emosi-emosi melalui pikiran,

kelakuan-kelakuan yang terbaik dan kudus dapat diwujudkan.

Tujuan dari bidang ini ialah untuk menundukkan pikiran seseorang

kepada kehendak Allah di dalam ketaatannya. Kemampuan berpikir

manusia ditekankan di dalam Alkitab melalui konsep-konsep seperti

misalnya “pikiran" dan "kehendak." Alkitab menekankan penggunaan

pikiran (Yes. 10:7; 1 Kor. 14:14-19). Penggunaan kehendak juga ditekankan

(Mal. 1:10; Luk. 23:25; Yoh. 8:44; Rm. 7:21; 2 Kor. 8:11; Ef. 2:3). Tekanan

dari tema-tema ini ialah bahwa orang percaya menundukkan pikirannya

kepada kehendak Tuhan (Rm. 12:1, 2; Flp. 2:1-8).

Bidang Perilaku (Langkah 2 dan 4)

Jika perilaku seseorang tidak berubah, sangat sedikit perubahan nyata

yang pasti terjadi. Perasaan dan pikiran yang baik tetap tidak lengkap

tanpa perilaku yang sejalan. Tindakan seseorang mengungkapkan kondisi

hatinya (Mat. 12:34). Maksud-maksud hati perlu digerakkan lebih jauh

agar menjadi tindakan.

Tujuan dari bidang ini adalah untuk belajar dari Tuhan. Konsep

"murid" menekankan ajaran Yesus kepada mereka yang percaya

kepada-Nya. Ajaran-Nya tidak dipusatkan pada isi intelektual. Kristus

mengajar supaya buah-buah perilaku akan dihasilkan di dalam

kehidupan seseorang (Yoh. 4:34-38; 15:14-16).

Bidang Konteks Masyarakat, Benda, Keadaan (Langkah 2 dan 4)

Bidang ini meliputi orang-orang dan hal-hal yang ada di sekitar orang

yang sedang dikonseling. Orang dipengaruhi oleh sekitarnya. Tidak ada

seorang pun yang membuat masalah di dalam isolasi, atau menemukan


jawabannya di dalam isolasi. Konteks seseorang selalu mempunyai

pengaruh terhadap dirinya.

Tujuan dari bidang ini adalah untuk menyadari bahwa Allah aktif di

dalam diri orang-orang dan konteks yang ada di sekitar orang yang sedang

dikonseling itu. Ia berbicara ke hati orang-orang dan menggerakkan situasi

dan keadaan di sekitar mereka. Ini merupakan afirmasi atas kehadiran

inkarnatif Kristus ketika la hidup di bumi. Ia memperlihatkan kuasa-Nya

atas angin dan ombak. Ini memperlihatkan kendali-Nya atas hal-hal yang

mempengaruhi kehidupan kita. Ini juga suatu afirmasi atas karya Roh

Kudus yang menggerakkan kehidupan-kehidupan saat ini. Akhirnya, ini

merupakan afirmasi atas tindakan kedaulatan dan kendali Allah atas dunia

ini.

Tingkat-tingkat Intervensi dan Konseling (Langkah 3 dan 5)

Di bidang proses konseling ini, gembala jemaat menyadari betapa

parahnya kebutuhan seseorang. Jika tidak ada kebutuhan mendesak dan

menekan, orang itu mungkin membutuhkan konseling di tingkat edukasi

dan informasi. Ini merupakan upaya untuk mencegah agar suatu hal tidak

menjadi semakin kritis. Jika ada kebutuhan mendesak yang disebabkan

oleh satu atau lebih persoalan, orang itu membutuhkan konseling di tingkat

yang lebih dalam. Ini membutuhkan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan

tertentu dan koreksi atas persoalan-persoalan. Akhirnya, jika ada krisis

aktual di mana orang tersebut terancam serius oleh persoalannya, intervensi

secepatnya dibutuhkan. Konselingnya harus berupa tindakan yang sangat

menentukan untuk menolongnya mengatasi persoalan yang mengancamnya

secara serius.
Bahasa Firman Allah di dalam Konseling (Langkah 6)

Gembala jemaat harus berhati-hati dalam menggunakan istilah-istilah

dan definisi-definisi di dalam konseling. Istilah-istilah tertentu yang

mendiagnosis kondisi seseorang, seperti misalnya "fungsionalitas," "sistem

keluarga," atau "depresi," tidak serta merta mengungkapkan sesuatu yang

bertentangan dengan pendekatan konseling yang berpusatkan Allah (God-

centered approach). Namun demikian, setiap istilah atau penggunaannya yang tidak mengarah kepada
tindakan dan sentralitas Allah akan

mengancam proses konseling.

Salah satu jaminan untuk memfokuskan proses konseling pada Allah

ialah dengan menggunakan terminologi Alkitab pada momen-momen

yang sangat menentukan. Sebuah keluarga mungkin "disfungsi," tetapi

akar permasalahan mungkin saja "pelanggaran hukum Tuhan." Istilah

yang pertama digunakan di dalam beberapa jenis konseling perkawinan,

sedangkan istilah yang kedua adalah ungkapan dari Alkitab. Salah satu

alasan yang paling penting dalam menggunakan istilah-istilah alkitabiah

adalah bahwa istilah-istilah itu mengingatkan seseorang tentang prioritas

Allah dalam kehidupannya. Istilah-istilah alkitabiah itu menempatkan

fokus pada Allah dan bukan pada kemampuan atau pemahaman

manusia.

Peranan Firman Allah di bidang roh, emosi, pikiran, perilaku, dan

konteks dapat digambarkan di 2 Timotius 3:16, 17. Firman Allah

diungkapkan sebagai dasar bagi perubahan dalam kehidupan seseorang.

Dalam perikop itu, "ilham" dan "ajaran" berkaitan dengan arah dan

prioritas rohani. "Pernyataan kesalahan" mengacu pada konfrontasi yang

mempengaruhi emosi dan sentimen-sentimen hati. "Perbaikan kelakuan"


menunjuk pada perubahan logika yang akan mengubah dan membentuk

kembali kehendak seseorang. "Pendidikan" berbicara mengenai kebutuhan

untuk mempelajari kelakukan-kelakuan baru yang konsisten dengan

Firman. Akhirnya, "diperlengkapi" mengacu pada penggunaan semua

perubahan itu secara praktis dan efektif di dalam berbagai situasi dan

kondisi kehidupan.

Pengakuan dan Kesaksian pada Momen-momen Penutup

(Langkah 7)

Pada saat munculnya suatu kesadaran atau keberhasilan baru di dalam

proses konseling, adalah penting untuk menggunakan hal ini sebagai suatu

kesempatan untuk mengacu kepada karya Allah. "Pengakuan" adalah

pengakuan akan ketergantungan seseorang kepada Allah. Hal ini dapat

terjadi pada saat seseorang datang kepada Tuhan di dalam pertobatan.

Atau, mungkin itu adalah saat untuk mengakui kepercayaan dan kebutuhan

akan Allah. "Kesaksian" adalah deklarasi bahwa Allah adalah alasan utama

untuk hal yang sudah dicapai. Gembala jemaat dan orang yang sedang

dikonsel memang terlibat. Namun, Allahlah yang memungkinkan terjadinya

perubahan yang aktual.

Perenungan di Tengah-tengah Konseling (Langkah 8)

Momen-momen perenungan di tengah-tengah konseling memberi

kesempatan bagi pengembangan kesadaran rohani dan prioritas rohani.

Momen-momen doa menekankan bahwa Allah hadir di saat ini dan di

masa depan, bekerja di dalam kehidupan si klien. Saat-saat pujian dan

ibadah mengakui kuasa Allah dan kemuliaan yang menjadi hak-Nya di


tengah-tengah proses konseling. Tanpa saat-saat perenungan semacam

ini masa konseling hanya dapat berfokus pada keberhasilan-keberhasilan

gembala jemaat atau kliennya.

Mengafirmasi Misteri dan Kuasa dari Tindakan Allah (Langkah 9)

Tindakan Allah tidak dapat sepenuhnya dikenal atau dipahami. Kapan

pun Allah bekerja di tengah-tengah kehidupan, pasti akan ada perasaan

misteri. "Misteri" artinya bahwa sesuatu tersembunyi dan tidak sepenuhnya

terungkap. Sebagian dari karya Allah dikenal melalui Alkitab, Roh Kudus,

dan karya Allah di dalam penciptaan. Namun, tidak semua hal mengenai

Allah atau cara-cara la bekerja dapat diketahui. Contoh-contoh di dalam

konseling pastoral misalnya momen ketika orang yang melarikan diri dari

rumah akhirnya pulang kembali atau pasangan yang tidak setia akhirnya

memutuskan untuk setia. Momen-momen ini, ketika perubahan-perubahan

yang paling penting terjadi, tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh bidang-

bidang seperti misalnya intelek atau emosi-emosi. Semua ini tetap menjadi

bagian dari tindakan Allah yang misterius sekaligus mengagumkan.

Ketergantungan pada karya Allah akan diperlihatkan dengan ketaatan

pada semua bidang: rohani, emosi, pikiran, perilaku, dan konteks. Jika

seseorang mengklaim bahwa ia setia di dalam mempercayai Allah untuk bertindak dalam suatu situasi
namun ia tidak taat di dalam semua bidang

yang sudah disebutkan, tingkat imannya harus dipertanyakan. Inilah prinsip

dari iman dan tindakan yang dibicarakan Yakobus (2:14-18). Ini berarti

bahwa gembala jemaat di dalam konseling harus berusaha membantu

kliennya untuk berkembang di semua bidang kehidupan: rohani, emosi,

pikiran, perilaku, dan konteks hubungan dan situasi kondisi. Misalnya,

seseorang mungkin mengklaim bahwa ia mempunyai kematangan rohani,


namun bila kasih dan hubungannya dengan orang lain tidak berkembang,

kematangan rohaninya harus dipertanyakan (Yoh 13:34, 35).

Metode teosentrik dimaksudkan untuk mengingatkan gembala jemaat

dan kliennya bahwa Allah aktif di tengah-tengah proses konseling.

Berbagai bidang yang diuraikan di dalam Langkah 2 dapat dikembangkan

secara perorangan dengan pendampingan dari metode-metode khusus

yang menekankan bidang tertentu. Misalnya, teknik-teknik tertentu dari

metode konseling keluarga dapat memajukan bidang konteks. Metode

teosentrik menekankan bahwa bimbingan dan arah dari penggunaan

metode-metode lain berasal dari Allah. Allah dipertahankan sebagai la

yang ada di tengah-tengah proses konseling dan la yang memberikan arah

di sepanjang proses itu.

Bab Dua Belas

PELAYANAN PASTORAL

BAGI KELUARGA

DAN SUAMI-ISTRI

dengan keluarga. Tema-tema ini dapat digunakan sebagai landasan

teologis untuk mendekati permasalahan-permasalahan keluarga di dalam

konseling. Tema-tema ini juga dapat digunakan sebagai dasar untuk

memperkaya dan mendidik gereja setempat mengenai keluarga. Tema-

tema ini secara khusus mengintegrasikan kehidupan dan iman Kristen

dengan kehidupan keluarga.

Hubungan antara Komitmen Pribadi dan Komitmen Keluarga

(Yosua 24)
Komitmen sering diartikan sebagai permasalahan individualistik.

Asumsinya ialah bahwa manusia berada sebagai individu-individu tanpa

keterikatan satu sama lain. Keputusan dan pilihan diasumsikan dapat

dilakukan tanpa mempedulikan kepentingan kerabat, keluarga, atau

tanggung jawab kepada orang lain. Secara khusus, pilihan-pilihan indi-

vidual dianggap sebagai hal yang tidak berkaitan dengan urusan keluarga.

Bertentangan dengan hal itu, komitmen yang diminta di Yosua 24:15

adalah komitmen pribadi sekaligus komitmen keluarga. Keduanya tidak

dapat dipisahkan. Individu-individu tidak hidup sepenuhnya untuk dirinya

sendiri. Pilihan-pilihan individual selalu mempengaruhi orang lain, khususnya anggota-anggota keluarga.
Demikian pula, komitmen keluarga

mempengaruhi tiap-tiap anggota keluarga atau individu-individu. Yosua

mengungkapkan komitmennya sebagai pilihan pribadi sekaligus pilihan

keluarga ketika ia mengatakan, "Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan

beribadah kepada TUHAN!"

Diperlihatkan Secara Rohani di dalam Keluarga (Efesus 5:18.

6:4)

Di dalam perikop ini spiritualitas (kerohanian) digambarkan dengan

dua cara. Ayat 19 dan 20 menjelaskan spiritualitas yang diperlihatkan di

dalam ibadah. "Berkata-kata kepada yang lain" dan "mengucap syukur

kepada Allah" adalah tanda-tanda dari hal dasar yang dikatakan di ayat

18, yaitu "dipenuhi dengan Roh." Bagian terbesar dari uraian Paulus (5:21-

6:4) menjelaskan penerapan dari spiritualitas melalui hubungan saling

merendahkan diri satu sama lain di dalam keluarga.

Istilah "merendahkan diri" (ay. 21) juga merupakan tanda dari

"dipenuhi dengan Roh." Merendahkan diri berlaku bagi kedua pihak di


dalam suatu hubungan

"rendahkanlah dirimu seorang kepada yang

lain." Keluarga digunakan untuk menggambarkan bagaimana individu-

individu saling merendahkan diri di dalam kasih, hormat, dan ketaatan

(5:33; 6:1).

Ukuran dan urutan dari ilustrasi Paulus mengenai keluarga di dalam

teks ini mengimplikasikan langsung bahwa spiritualitas secara khusus

diungkapkan melalui hubungan kesalehan di dalam keluarga. Pokok

pembicaraannya ialah spiritualitas. Secara singkat ia menyebutkan perihal

ibadah, namun ia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan

menggunakan ketaatan di dalam keluarga untuk mengilustrasikan

kehidupan yang dipenuhi Roh. Jika seseorang benar-benar spiritual

(rohani), hal ini akan diperlihatkannya di dalam hubungan-hubungan

keluarga. Jika seseorang tidak memperlihatkan hubungan keluarga yang

layak, maka kondisi spiritualnya patut dipertanyakan. Komitmen pada Karya Allah Dalam Keluarga (Kitab
Rut)

Kitab Rut adalah kitab keluarga, bukan hanya kisah mengenai komitmen

seorang perempuan. Kisah diawali dengan deskripsi mengenai sebuah

keluarga dan tragedi yang dialaminya (1:1-5). Kisah berfokus pada

hubungan mantu perempuan dan ibu mertuanya, Rut dan Naomi.

Kemudian kisah berfokus pada anggota keluarga lainnya, Boaz. Jawaban

atas musibah keluarga itu bukanlah kekayaan Boaz melainkan kelahiran

anak (4:13-22). Berkat yang turun atas keluarga itu ialah bahwa nama

keluarga itu tidak akan tersingkir (4:10).

Godaannya ialah melihat Rut sebagai individu dan menafsirkan

peristiwa-peristiwa itu hanya sebagai hasil-hasil perenungan Rut. Padahal


kitab ini berbicara mengenai perjuangan dan keluarga yang hampir punah.

Dimensi profetik dari kitab ini ialah bahwa dari kesetiaan keluarga ini

Rut, Boaz, dan Naomi, bukan hanya Rut- berlanjutlah garis keturunan

Daud dan akhirnya Sang Mesias. Kesetiaan atau iman keluarga, bukan

iman individualistik, yang menjadi kisah dari kitab ini.

Tetap Setia Pada Saat Anggota Keluarga Tidak Diselamatkan

(1 Korintus 7:10-24)

Di perikop ini, Paulus menasihati pasangan suami-istri agar setia satu

sama lain. Sekalipun salah satu pihak dari pasangan itu tidak beriman,

Paulus meminta agar pasangannya tetap setia. Ayat 16 secara khusus

menantang orang beriman untuk tidak menarik kesimpulan pengandaian

mengenai kondisi masa depan dari pasangannya yang tidak beriman.

Tema kesetiaan dapat diterapkan pada anggota keluarga secara

keseluruhan. Anggota keluarga yang tidak beriman itu mungkin anak laki-

lakinya, anak perempuannya, orang tua, saudara sepupu, atau kakek-

nenek. Nasihatnya ialah agar mereka tetap setia pada anggota keluarga

dan keluarga secara keseluruhan.

Nasihat-nasihat ini ditempatkan di dalam konteks penatalayanan di

ayat 17-24. Inilah puncak dari nasihat Paulus. Kesetiaan adalah tindakan

penatalayanan yang didasarkan pada hubungan orang beriman dengan Allah (ay. 17, 22), bukan
tindakan atau perintah manusia. Hasil-hasil

penatalayanan didasarkan di dalam Tuhan. Hasil-hasil itu tidak bergantung

pada hubungan dengan anggota keluarga yang tidak beriman.

Ikatan Orang Tua-Anak

Ikatan orang tua-anak diakarkan di dalam tindakan Allah yang kreatif


di dalam membentuk keluarga. Penciptaan manusia tidak bergantung

pada tindakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan

memang terlibat di dalam reproduksi manusia, namun momen

pembuahan (conception) tetap suatu mujizat yang dilakukan Allah.

Pembuahan bukanlah hasil perubahan aktifitas sel, atau semata-mata

bergantung pada pilihan-pilihan yang dibuat individu-individu.

Anak-anak ada sebagai keturunan dari Tuhan (Mzm. 127:3). Keturunan

ini tidak bergantung pada tindakan atau jasa si penerimanya. Ia ada melalui

kemurahan hati sang donor. Donor yang memberikan anak-anak ialah

Allah. Dialah sang pemberi keturunan.

Ikatan orang tua-anak berkaitan dengan persepsi mengenai anak-anak

sebagai pemberian Allah. Jika anak-anak memandang dirinya sendiri

hanya sebagai produk dari tindakan manusia, maka segitiga Allah-orang

tua-anak secara signifikan diubah. Kebergantungan primer tidak lagi pada

Allah. Sebaliknya, anak-anak diubah untuk bergantung pertama-tama pada

orang tuanya. Baik anak maupun orang tua merasa bahwa masa depan

mereka ada di tangan mereka sendiri dan bukan di tangan Allah. Allah

tidak dipandang sebagai asal-usul hubungan orang tua-anak. Dia menjadi

sekunder.

Kehidupan Berpusatkan Kristus Diperlihatkan Melalui

Kehidupan Keluarga (Kolose 3:16-21)

Paulus menekankan kehidupan di dalam Kristus di dalam perikop Kolose

ini. Puncak uraiannya ada di ayat 16. Ia menasihati orang percaya.

"Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara

kamu." la menekankan pentingnya mempunyai Kristus di pusat kehidupan kita. Ilustrasi mengenai
kehidupan berpusatkan Kristus itu adalah konteks
dari keluarga. Di ayat 18-21, ia mengaplikasikan Kristus pada kehidupan

keluarga.

Jika seseorang memperbolehkan Kristus untuk tinggal di dalam dirinya

dengan kepenuhannya, ia akan memperlihatkan Kristus di keluarganya.

Hubungan suami-istri, hubungan orang tua-anak, dan hubungan anak-

orang tua mencerminkan langsung langkah mereka bersama Kristus.

Meningkatkan Iman Kita Melalui Keluarga (Ibrani 11)

Ibrani 11 mencatat banyak contoh mengenai orang-orang yang

mempunyai iman. Daftar itu menyingkapkan bahwa dalam kebanyakan

kasus, iman dibangun di dalam konteks keluarga. Iman menjadi bertambah

kuat melalui pemurnian hubungan iman. Ini menandakan bahwa bila Al-

lah akan membangun iman, dan bila iman sedang diuji, hal ini lebih mungkin

terjadi di dalam keluarga. Ada 20 contoh mengenai iman yang didaftar di

pasal ini. Dari semua itu, 15 (75%) melibatkan kisah mengenai hubungan

keluarga. Daftar berikut menyingkapkan hal ini:

Ayat Nama

Orang Kristen

Habil

Henokh

Nuh

8-12 Abraham
Sara

17-19 Abraham,

Ishak

Keluarga

Tidak eksplisit

Kakak-adik (1)

Tidak eksplisit

Keluarga (2)

Suami, Istri (3)

Ayah, Anak (4)

Bidang Iman

Iman untuk

menerima Allah

sebagai Pencipta

Iman sekalipun

orang lain gagal

Berkenan kepada

Allah dan

diangkat ke surga

Menyelamatkan

seluruh keluarga

Iman untuk menaati

Allah dan mengandung

anak

Iman untuk
menyerahkan anak

kepada Allah

20

21

22

23

Ishak

Yakub

30

31

Yusuf

Amram,

Yokhebed

24-26 Musa

27 Musa

Keluarga Asal (9) Iman untuk mengikuti

iman keluarga

Anak Firaun

Iman sekalipun

Firaun murka

Orang-orang Tidak eksplisit

Iman untuk menaklukkan

Israel

Yerikho

Rahab
Keluarga (10)

Iman bagi

keselamatan keluarga

Tidak eksplisit

Iman untuk

32 Gideon

32 Barak

32 Simson

32 Yefta

Ayah,

Dua anak (5)

32 Daud

32 Samuel

Kakek,

Cucu (6)

Anak, Ayah,

Kakek (7)

Orang tua

Musa (8)

Tidak eksplisit

Delila,

Orang tua (11)

Anak Gilead,

saudara-saudara

laki-laki (12)
Keluarga (13)

Anak, Ibu (14)

Iman untuk

memberkati anak-anak

Iman untuk

memberkati cucu

Iman bagi

keturunan saleh

Iman bagi

keselamatan anak

Pelayanan Pastoral Bagi Keluarga

Empat Kesulitan Umum Keluarga

mengikuti petunjuk

Allah dan mengalahkan

Midian

Iman untuk menanggapi

panggilan Allah melalui

nabiah Debora

Iman untuk

menggenapi panggilan

Iman pada saat

ditolak oleh keluarga

Iman sekalipun

kegagalan pribadi

Iman bagi
pengabdian penuh

Keluarga menghadapi beberapa permasalahan umum. Satu di

antaranya ialah komunikasi. Keluarga merupakan suatu jaringan-kerja atau sistem hubungan. Sistem ini
membutuhkan komunikasi efektif. Gangguan

atau distorsi di dalam komunikasi mempengaruhi hubungan.

Permasalahan umum lainnya ialah keuangan. Keuangan merupakan

kemampuan keluarga untuk mendapatkan, mengelola, dan mendistri-

busikan sumber-sumber. Disfungsi pada satu atau seluruh anggota

keluarga di bidang ini akan mempengaruhi barang-barang dan jasa yang

mampu diterima dan dikelola keluarga.

Emosi-emosi juga memberi andil pada permasalahan keluarga. Orang-

orang berbicara dengan kata-kata, namun emosi-emosi mereka mengkomu-

nikasikan lebih banyak hal. Emosi-emosi menjadi perekat untuk hal baik

atau buruk di dalam hubungan keluarga. Kadang-kadang ikatan itu begitu

buruk sehingga tidak ada fleksibilitas, hanya ada dominansi dan

manipulasi.

Bidang permasalahan terakhir ialah hubungan antara orang tua dan

anak-anak. Permasalahan ini sangat luas, dari persoalan ketiadaan

tanggung jawab sampai dengan persoalan kekerasan di keluarga. Hubungan

yang dimaksudkan Allah agar menjadi hubungan yang saling

menumbuhkan kadang-kadang berubah menjadi pertempuran yang egois

dan tidak dapat didamaikan di antara anggota-anggota keluarga itu.

Bidang-bidang permasalahan keluarga lain seringkali berkaitan

dengan keempat bidang dasar tersebut. Bidang-bidang lainnya ini dapat

meliputi kesulitan-kesulitan antara mantu-mertua, penyesuaian pada tahap-

tahap perkembangan hidup, pindah ke bidang lain, hubungan di luar


perkawinan, kebebasan remaja, kesulitan-kesulitan di sekolah, dan disiplin

anak-anak.

Tujuan Utama Keluarga dan Kehendak Allah

Keluarga sebagai satu kesatuan harus mencari kehendak Allah. Tuhan

mempunyai arah bagi setiap orang di dalam keluarga. Dan Allah terlibat

dalam setiap hubungan di dalam sistem keluarga. Namun demikian,

keluarga sebagai satu kesatuan harus mencari Allah, mencari kehendak-

Nya bagi mereka sebagai satu kesatuan keluarga. Allah mempunyai berita yang ingin dikomunikasikan-
Nya melalui keluarga sebagai satu kesatuan.

Hal ini secara khusus dicatat dalam Perjanjian Lama. Khususnya, Kitab

Rut melukiskan prinsip ini. Keluarga Rut, Naomi, dan Boas menerima

berita mengenai kemurahan dan kepedulian Allah. Allah memberkati

keluarga itu dan mereka mendapatkan keturunan. Berita mereka tidak

punah. Dengan cara yang sama, Allah ingin berbicara melalui unit-unit

keluarga di masa kini.

Mengumpulkan Informasi Sejarah Keluarga

Sejarah keluarga adalah bagian penting dari hubungan konseling,

Banyak asumsi dapat dibuat mengenai keluarga secara umum, Gembala

jemaat perlu menemukan asumsi-asumsi yang secara masuk akal dapat

dibuat mengenai sebuah keluarga yang sedang dikonsel olehnya. Cara

terbaik untuk mengumpulkan informasi mengenai sebuah keluarga ialah

dengan melacak sejarah keluarga itu. Cara terefektif adalah dengan

menjadikan pengumpulan data sebagai bagian dari sesi konseling,

Gembala jemaat kemudian dapat mengamat-amati dan menanggapi cara-

cara yang digunakan keluarga itu untuk menafsirkan sejarahnya.

Gembala jemaat dapat menanyakan bagian-bagian penting dari sejarah


keluarga itu. Hubungan anak-orang tua di masa kanak-kanak adalah hal

penting. Hubungan-hubungan ini membentuk pola-pola perilaku yang

penting. Perilaku yang diamati di dalam sesi konseling sangat dipengaruhi

oleh hubungan-hubungan orang tua-anak yang sudah terjadi. Hal ini

meliputi hubungan-hubungan yang terjadi di dalam keluarga saat itu.

Juga meliputi hubungan antara sang ayah dan orang tuanya dan

hubungan sang ibu dengan orang tuanya.

Ketika memperhatikan hubungan orang tua-anak dan hubungan-

hubungan mereka dengan keluarga-keluarga lain di dalam keluarga yang

diperluas (kakek-nenek dari kedua orang tua), akan bermanfaat bila kita

mengamati bagaimana hubungan-hubungan ini mempengaruhi identitas

dan kesejahteraan dari keluarga yang sedang dikonsel. Hubungan-

hubungan lain itu mungkin telah diadopsi sebagai model-model untuk berhubungan. Disadari atau tidak
disadari, perilaku dan pendirian tertentu

mungkin telah diadopsi ke dalam keluarga ini. Pengetahuan mengenai

pengaruh keluarga-keluarga lain ini terhadap keluarga yang sedang dikonsel

akan sangat bermanfaat.

Sejarah mengenai keterlibatan keluarga itu dengan gereja adalah

penting. Keluarga mengembangkan suatu hubungan dengan gereja yang

dihadirinya selama jangka waktu tertentu. Hubungan ini biasanya berkaitan

dengan peristiwa-peristiwa penting. Identifikasi atas peristiwa-peristiwa

penting ini, entah positif atau negatif, akan berguna. Hal yang penting

untuk diperhatikan ialah bagaimana peristiwa-peristiwa itu dipandang.

Pemahaman mengenai bagaimana peristiwa-peristiwa itu mempengaruhi

keluarga tersebut bukan hanya akan memberi informasi historis melainkan

juga wawasan spiritual.


Dalam memahami kerohanian di dalam keluarga itu, akan sangat

berguna bila kita memahami persepsi yang dimiliki anak-anak terhadap

kematangan spiritual orang tuanya. Hal ini meliputi persepsi anak-anak

di dalam keluarga yang saat itu sedang dikonsel. Ini juga meliputi persepsi

ibu dan ayah terhadap spiritualitas ibu dan ayah mereka masing-masing.

Persepsi-persepsi ini pada umumnya mempunyai pengaruh penting

terhadap anak-anak. Entah positif atau negatif, anak-anak harus memberi

tanggapan. Tanggapan mereka didasarkan atas persepsi mereka terhadap

spiritualitas orang tua mereka. Hal yang penting ialah bukan kondisi spiri-

tual orang tua yang aktual; melainkan persepsi si anak terhadap spiritualitas

orang tuanya.

Banyak hal dari informasi ini yang dapat dikumpulkan hanya dengan

mencatat garis-waktu dari sejarah keluarga itu. Ambillah selembar kertas

kosong, buatlah garis dari atas ke tengah halaman, dan tanyakanlah kepada

keluarga itu mengenai tanggal dan peristiwa yang penting bagi keluarga

itu. Sementara mereka membicarakan hal ini, tempatkanlah tanggal dan

peristiwa di garis-waktu itu secara berurutan. Catatan-catatannya singkat

saja. Tidak perlu panjang-lebar. Pentingnya garis-waktu itu bukanlah

pencatatan peristiwa secara aktual. Melainkan, garis-waktu itu penting

karena memberi gembala jemaat suatu gambaran akurat mengenai sejarah

unik dari keluarga ini dan cara keluarga ini memandang sejarahnya.

Pemahaman ini memampukan gembala jemaat untuk menanggapi keluarga

tersebut secara lebih spesifik.

Membeda-bedakan Fungsi dalam Sistem Dasar Keluarga

Keluarga adalah sistem hubungan. Individu-individu di dalam keluarga


tidak berada secara terpisah dari satu sama lain. Oleh karena asal-usul

biologis atau adopsi, mereka saling berhubungan satu sama lain. Tak peduli

betapa baik atau buruknya hubungan ini, anggota-anggota keluarga berada

di dalam hubungan satu sama lain.

Di dalam hubungan yang lebih besar di dalam keluarga terdapat

sejumlah hubungan-hubungan yang lebih kecil. Ini meliputi hubungan

antara ibu dan ayah, hubungan antara saudara laki-laki dan saudara

perempuan, dan hubungan antara orang tua dan anak-anak. Dalam batas

tertentu, hal ini juga meliputi hubungan dengan anggota keluarga yang

diperluas (extended members), seperti misalnya kakek-nenek, paman, bibi,

dan keponakan.

Semua hubungan itu dapat tidak berfungsi dengan baik. Hubungan

mungkin distorsi, bahkan dipenuhi kekerasan. Tak peduli tingkatan,

intensitas, atau kesehatan hubungan-hubungan ini, semuanya tetap

berfungsi bersamaan. Hubungan-hubungan itu mempengaruhi satu sama

lain dan mempunyai sejumlah kekuatan penentu terhadap satu sama lain.

Di dalam proses konseling, gembala jemaat harus dapat membeda-

bedakan sifat dan tingkatan fungsi di antara hubungan-hubungan itu.

Pengamatan mengenai cara orang tua saling berhubungan satu sama lain,

anak-anak saling berhubungan satu sama lain, dan orang tua dan anak-

anak saling berhubungan satu sama lain adalah hal penting. Pemahaman

atas hubungan-hubungan ini pada saat mengkonsel keluarga adalah sama

pentingnya dengan, jika bukan lebih penting daripada, melihat perbedaan-

perbedaan di antara individu-individu. Permasalahan keluarga yang berasal

dari kesulitan-kesulitan berhubungan sama banyaknya dengan, jika bukan


lebih banyak daripada, yang berasal dari persoalan-persoalan pribadi.

Cara efektif untuk mencatat fungsi keluarga adalah dengan menyusun

pohon keluarga (genogram) di selembar kertas kosong. Genogram dapat

digambar pada saat bercakap-cakap dengan keluarga itu. Tiap-tiap

anggota keluarga dapat disimbolkan dengan garis-garis yang

mempertalikan mereka. Anggota keluarga yang lain seperti misalnya kakek

dan nenek dapat diidentifikasi. Tanggal lahir, tanggal kematian, dan

informasi-informasi penting lainnya dapat ditulis di samping nama-nama

yang bersangkutan. Pokok-pokok persoalan dapat diidentifikasi dan

perspektif dapat diperoleh pada saat mencatat genogram, dan genogram

ini dapat menjadi peralatan konseling.

Menetapkan Apakah Masalahnya Bersifat Individual atau

Kelompok

Masalah-masalah dapat dipusatkan pada diri individu atau masalah-

masalah itu dapat mempengaruhi seluruh keluarga. Seorang suami

mungkin sedang menghadapi masalah pribadi, dan efeknya terhadap istri

dan anak-anaknya mungkin kecil. Persoalannya mungkin persoalan

teologis. Di saat-saat lain, seseorang mungkin mempunyai suatu masalah

yang sangat mempengaruhinya. Misalnya ia mempunyai konflik di

pekerjaan. Si suami membawa pulang konflik itu melalui sikap dan

emosinya. la mungkin mengira bahwa hal itu tidak mempengaruhi

keluarganya, namun kenyataannya mempengaruhi.

Gembala jemaat harus membedakan apakah masalahnya lebih bersifat

individual ataukah keluarga. Sikap konseling terhadap individu beraneka


ragam. Jika hal itu adalah persoalan individual, konseling individual

mungkin lebih cocok. Jika hal itu adalah persoalan keluarga, konseling

keluarga adalah pendekatan yang paling efektif. Dalam konseling indi-

vidual, persoalan-persoalan keluarga dapat saja dikaitkan, dan persoalan-

persoalan itu dapat dihadapi dalam konteks konseling individual. Namun

demikian, bila masalahnya benar-benar persoalan keluarga, menanggap-

inya sebagai persoalan individual dapat tidak efektif. Seluruh keluarga

perlu dilibatkan di dalam proses konseling dan pendampingan.

Memantau Keterampilan Komunikasi Keluarga

Dalam mengamat-amati keluarga itu, gembala jemaat dapat memperha-

tikan dengan seksama cara keluarga itu berkomunikasi satu sama lain. Isi

pembicaraan dan komunikasi emosional adalah hal penting. Komunikasi

emosional secara khusus sangat membuka pemahaman. Individu-individu

bukan hanya mengucapkan kata-kata, namun mereka merasakan kata-

kata mereka. Emosi-emosi di dalam komunikasi ini dapat diamati melalui

indikator-indikator verbal dan nonverbal. Indikator verbal meliputi kata-

kata, perubahan nada suara, dan tinggi suara. Indikator nonverbal meliputi

gerak tubuh, posisi tubuh, dan jarak. Pengamatan atas indikator-indikator

ini menolong gembala jemaat untuk mendapat pemahaman mengenai

kebiasaan dan tingkat komunikasi di antara anggota-anggota keluarga.

Seringkali, di dalam berkomunikasi dan berhubungan satu sama lain,

anggota-anggota keluarga dapat menjadikan anggota lain kambing

hitamnya. Kambing hitam menanggung dosa-dosa masyarakat di dalam

Perjanjian Lama. Dalam cara serupa, anggota-anggota keluarga mungkin


meletakkan kesalahan, emosi-emosi negatif, atau tekanan yang mereka

rasakan ke atas anggota lain. Seringkali, setiap orang dalam keluarga itu

memilih kambing hitam yang sama. Misalnya, ibu dan ayah mungkin saling

merasa tidak enak terhadap satu sama lain mengenai persoalan keuangan.

Pada saat yang sama, mereka mungkin merasa takut untuk memperlihatkan

emosi-emosi negatif mereka mengenai satu sama lain. Lalu keduanya akan

meletakkan beban emosi negatif ini pada anak mereka pada saat berbicara

dengannya mengenai masalah-masalah sekolahnya. Transfer emosi ini

dinamakan "mengkambing-hitamkan" (scapegoating). Mereka akan

merasa lebih baik karena mereka tidak lagi memikul beban emosi mereka.

Namun sang kambing hitam merasakan beban yang diletakkan setiap orang

di pundaknya.

Memahami Cara-cara Keluarga dalam Menghadapi Persoalan

Keluarga mengembangkan cara-cara untuk menghadapi stres. Ketika

suatu krisis atau masalah terjadi di keluarga, keluarga itu menanggapinya

dengan cara-cara tertentu. Mekanisme dalam mengatasi krisis ini

dikembangkan dalam jangka waktu yang panjang. Cara-cara ini

diturunalihkan dari keluarga ke keluarga. Atau cara-cara ini mungkin hasil

dari sejumlah pengaruh baru atas keluarga itu. Sebuah keluarga dapat

mengembangkan cara baru dalam rangka mengatasi persoalan baru.

Keluarga belajar mengatasi masalah dalam beraneka cara. Cara-cara

ini mungkin positif atau negatif, kudus atau dosa. Kecenderungan umumnya

ialah bahwa keluarga menggunakan cara-cara ini untuk menyesuaikan

diri dengan persoalan dan krisis yang sedang dihadapi.

Sejumlah cara-cara mengatasi yang positif dan kudus meliputi saat-


saat ketika keluarga menanggapinya dengan lebih mendekatkan diri kepada

Tuhan. Mereka dapat saja mencari bantuan dari teman atau gembala

jemaat. Keluarga itu dapat berlibur atau mengadakan perjalanan. Mereka

dapat belajar untuk duduk bersama dan memecahkan persoalannya

bersama-sama. Semuanya dapat meningkatkan renungan, doa, dan studi

Alkitab.

Di saat-saat lain, keluarga mungkin mengatasi persoalan dengan cara-

cara yang negatif atau tidak kudus. Anggota-anggota keluarga dapat saling

mengasingkan diri satu sama lain. Ada keluarga yang merasa bahwa cara

terbaik mereka dalam mengatasi masalah ialah dengan saling memaki

dan berteriak. Keluarga lain mungkin akan mengasingkan atau

mengkambing-hitamkan salah satu anggota keluarga. Kadangkala

kekerasan digunakan sebagai metode untuk mengatasi masalah.

Identifikasi atas gaya keluarga mengatasi masalah akan membantu

gembala jemaat di dalam proses konseling. Gembala jemaat kemudian

dapat memusatkan perhatiannya pada usaha mengganti praktik-praktik

negatif itu dengan metode-metode yang baru dan lebih baik dalam

mengatasi suatu persoalan. Metode-metode baik yang telah dimiliki

keluarga itu perlu diperkuat. Ketiadaan metode untuk mengatasi suatu

masalah akan menciptakan situasi krisis, dan identifikasi mengenai

kekurangan ini dapat digunakan gembala jemaat dalam konselingnya.

Gembala jemaat mungkin dapat sekadar memberikan pemahaman

mengenai cara-cara mengatasi masalah yang dimiliki dan tidak dimiliki

keluarga itu. Kesadaran baru ini mungkin hal baru bagi keluarga itu. Hal

ini dapat memberikan pemahaman baru kepada mereka mengenai


perubahan-perubahan yang perlu mereka lakukan.

Metode-metode untuk Memunculkan dan Membimbing

Perubahan Dalam Keluarga

SIDE

Hal mendesak yang perlu segera dicapai gembala jemaat di dalam

konseling keluarga ialah agar seluruh keluarga terlibat di dalam konseling.

Jika masalahnya memang masalah yang mempengaruhi seluruh keluarga

secara sangat signifikan, seluruh keluarga perlu datang untuk konseling.

Sebagian anak-anak mungkin sudah lebih dewasa dan sudah hidup di

luar rumah orang tuanya. Jika permasalahannya tidak melibatkan

mereka, mereka tidak perlu datang ke pertemuan konseling. Namun

demikian, anggota keluarga yang dipengaruhi oleh permasalahan itu perlu

datang. Jika sejumlah hal terletak pada hubungan dari satu atau dua

anggota keluarga, maka sejumlah anggota keluarga perlu datang. Namun

demikian, jika seluruh keluarga dipengaruhi, mereka semua perlu datang.

Ini merupakan langkah metodologis yang pertama.

Metode-metode dalam konseling keluarga perlu diarahkan pada sasaran-

sasaran spesifik. Permasalahan keluarga sangat kompleks, namun ini

bukan berarti bahwa sasaran-sasaran spesifik tidak dapat ditentukan.

Sasaran atau gol-gol ini mungkin tidak dialamatkan pada semua

permasalahan. Namun, sasaran-sasaran ini akan dapat mendekati banyak

dari persoalan-persoalan kritis itu. Menuliskan sasaran-sasaran ini

merupakan metode yang penting. Cara ini menjamin bahwa sasaran-

sasaran itu cukup spesifik untuk diingat. Sasaran-sasaran itu menjadi hal

yang umum bagi seluruh keluarga. Tuliskan sasaran-sasaran dan bicarakan


dengan keluarga itu.

Latihan-latihan menulis sebelum, selama, dan sesudah konseling dapat

sangat berguna. Salah satu latihan ialah menuliskan sasaran-sasaran

pribadi bagi keluarga. Keluarga itu juga dapat melukis gambar-gambar

dan citra-citra mengenai keluarga mereka. Melukis diagram mengenai

keluarga mereka saat bekerja atau bermain akan dapat membantu

pemahaman. Sebelum dan sesudah konseling, anggota-anggota keluarga

dapat diberi ayat-ayat Alkitab untuk dipelajari. Mungkin akan berguna

untuk meminta keluarga itu untuk menuliskan pikiran-pikiran dan persoalan-

persoalan yang muncul selama minggu itu. Semua itu dapat disampaikan

kepada gembala jemaat untuk didoakan dan dikonsel. Menuliskan dan

berkomitmen kepada suatu perjanjian dapat menjadi suatu alat yang sangat

kuat.

Keluarga Gembala Jemaat

Gembala jemaat pertama-tama harus menangani keluarganya sendiri.

Keluarga gembala jemaat, sama seperti keluarga lain, tidak sempurna.

Tidak setiap orang di dalam keluarga gembala jemaat akan diselamatkan.

Sasaran gembala jemaat bukanlah untuk mempunyai keluarga sempurna.

Gembala jemaat tidak dapat membuat setiap orang di dalam keluarganya

menjadi orang Kristen. Namun demikian, ia dapat mengendalikan caranya

berhubungan dengan keluarganya. Ini adalah prioritas pertama dari

pelayanan gembala jemaat untuk keluarga-keluarga di gereja.

Cara gembala jemaat berhubungan dengan pasangannya dan

keluarganya menentukan tempo dan paradigma bagi pelayanannya. Gaya

hubungan gembala jemaat secara sangat kritis diuji di rumahnya sendiri,


la dapat saja tampil dengan suatu cara di jemaat, namun bertindak dengan

cara lain di rumahnya. Caranya bertindak di rumah adalah barometer

yang lebih signifikan bagi karakternya dibanding caranya bertindak di muka

umum.

Seringkali, keluarga gembala jemaat berada di bawah tekanan kuat.

Keluarga itu diharapkan menjadi keluarga sempurna, tanpa cacat. Anak-

anak gembala jemaat mendapatkan kutukan keras pada saat mereka tidak

bertindak sesuai dengan persepsi dan harapan anggota-anggota jemaat.

Jenis tekanan seperti ini adalah hal yang salah, tidak menguntungkan,

dan tidak realistik.

Namun, sekalipun ada kritik yang tak layak terhadap keluarga gembala

jemaat yang dilakukan oleh orang-orang percaya yang belum matang,

keluarga gembala jemaat memang berfungsi sebagai saksi bagi orang lain.

Sekalipun keluarga gembala jemaat tidak sempurna, keluarga ini dapat

tetap berada dalam proses pertumbuhan di dalam Kristus. Sekalipun tidak

setiap anggota keluarga akan diselamatkan, keluarga itu dapat tetap

memikul beban bagi keselamatan orang-orang yang tersesat. Keluarga

gembala jemaat mungkin saja tidak sempurna, namun mereka dapat

mengkomunikasikan kepedulian, kasih, dan beban mereka bagi satu sama

lain. Hal ini dapat menjadi suatu kesaksian kuat mengenai kasih dan

kepedulian Allah yang bekerja di dalam keluarga.

Pendampingan Pastoral bagi Pasangan Suami-Istri

Konseling dan Pendampingan Pranikah

Konseling pranikah adalah kesempatan baik bagi pendampingan dan

konseling pastoral. Bahkan jika terdapat keadaan tragis seperti misalnya


kehamilan sebelum perkawinan atau kebebasan hubungan seks, fakta

bahwa pasangan itu kini sepakat untuk menikah menandakan adanya

sejumlah derajat komitmen yang masuk akal. Komitmen itu adalah

kesempatan bagi gembala jemaat. Pasangan itu sangat antusias mengenai

masa depan mereka dan mereka bersedia untuk membuat perubahan-

perubahan penting di dalam kehidupan mereka. Konseling dan

pendampingan pastoral dapat membimbing dan kadang-kadang

mengkonfrontasi mereka mengenai hakikat dan seberapa jauh komitmen-

komitmen mereka di dalam perkawinan.

Bagian berikut ini akan membahas model empat sesi bagi konseling

pranikah, sekalipun pada kenyataannya jumlah sesinya dapat lebih atau

kurang dari empat. Pokok-pokok dasar yang dikemukakan di sini dapat

disesuaikan pada kerangka waktu yang lain. Sesi pertama meliputi

beberapa permasalahan: kondisi spiritual, persoalan-persoalan dari

perspektif pasangan itu, dan sikap-sikap yang dapat menghasilkan

perkawinan yang kudus. Sesi kedua menekankan ciri dan pengaruh dari

latarbelakang keluarga mereka masing-masing. Sesi ketiga membicarakan

peranan perkawinan dan peranan keluarga sebagaimana dirumuskan

dalam Alkitab. Sesi terakhir membahas upacara perkawinan, bulan madu

dan malam pengantin, dan dasar alkitabiah mengenai kebersamaan intim

secara fisik.

Aneka tekanan perlu dibuat selama sesi-sesi. Tema-tema alkitabiah yang

dibahas sebelumnya di bab ini dapat digunakan untuk menyampaikan

peranan-peranan yang kudus di dalam perkawinan. Perspektif pasangan


itu penting sebab mereka mempunyai kebutuhan mereka masing-masing.

Permasalahan-permasalahan keluarga yang dibawa masing-masing pihak

ke dalam perkawinan mereka mewakili dekade-dekade perkembangan

mereka masing-masing. Seseorang menjadi dirinya saat ini tidak

berlangsung hanya dalam satu malam. Melacak sejarah keluarga mereka

masing-masing dan mengintegrasikan kehidupan baru mereka adalah tugas

penting. Keintiman secara fisik harus dibahas dari perspektif alkitabiah.

Pasangan itu harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menanyakan

hal-hal yang mungkin sulit ditanyakan di masa depan karena

kesempatannya terbatas. Mereka harus diyakinkan bahwa hal ini adalah

hal yang kudus dan baik untuk kehidupan mereka bersama.

Pertemuan Pertama dalam Konseling Pasangan Suami-Istri

Pertemuan pertama dengan pasangan suami-istri adalah sangat penting.

Sering terjadi bahwa pasangan itu tidak kembali lagi untuk yang kedua

kali. Jadi, gembala jemaat mungkin hanya mempunyai satu kali pertemuan

untuk membicarakan persoalan mereka. Pasangan itu mungkin mengalami

kegelisahan dalam menghadapi satu pertemuan tersebut. Mereka mungkin

merasa kuatir mengenai pertemuan berikutnya. Persoalan-persoalan lain

mungkin muncul. Seringkali mereka merasa puas sesudah satu pertemuan

itu saja dan tidak pernah merencanakan pertemuan berikutnya. Sekalipun

gembala jemaat mungkin merasa bahwa pasangan itu membutuhkan

konseling lanjutan, pasangan itu mungkin tidak ingin bertemu lagi.

Selama pertemuan pertama ada beberapa sasaran yang patut

diperhatikan benar-benar. Salah satu sasaran adalah mendengarkan

perspektif masing-masing dari pasangan itu. Salah satu pihak tidak boleh
mendominasi keseluruhan perspektif. Komitmen di antara mereka perlu

ditingkatkan. Salah satu sasaran penting ialah menolong mereka

merasakan peningkatan dalam tingkatan komitmen mereka pada saat

mereka selesai bertemu dengan gembala jemaatnya, bahkan jika hanya

sekali saja. Sasaran lain ialah mendampingi pasangan itu untuk

memperoleh pemahaman mengenai inti persoalan yang sedang mereka

hadapi. Sasaran lain berikutnya ialah memberikan kepada pasangan

itu arah spesifik mengenai masalah yang sedang mereka hadapi. Sasaran

terakhir ialah menempatkan persoalan yang sedang mereka hadapi itu

di dalam konteks iman, memperlengkapi mereka untuk membawa

persoalan-persoalan mereka kepada Tuhan agar la ikut berperan.

Sindrom Harapan Perkawinan

Persoalan-persoalan yang dihadapi pasangan suami-istri dapat

dianalogikan dengan proses dukacita dan krisis yang telah dibahas di Bab

9. Di dalam kesulitan-kesulitan perkawinan biasanya ada perasaan

kehilangan. Kemesraan, keuangan, perasaan-perasaan, stabilitas, dan

kepercayaan mungkin telah hilang di dalam hubungan mereka. Konseling

pernikahan mungkin serupa dengan konseling di tengah-tengah proses

dukacita. Pasangan itu dapat dibimbing di dalam kesulitan-kesulitan

emosional dari tahap awal. Mereka dapat dibimbing di dalam tangisan

pilu dari tahap pertengahan. Mereka juga dapat dibimbing kepada

pemulihan di tahap akhir.

Sindrom harapan perkawinan terjadi pada saat salah satu atau kedua

pihak dari pasangan itu tidak menghadapi kenyataan dari persoalan dan

kehilangan yang menimpanya. Mereka berharap segala sesuatu berjalan


sebagaimana biasanya. Mereka berharap persoalan-persoalan mereka

akan lenyap begitu saja. Mereka berharap hal tertentu itu tidak pernah

terjadi. Sindrom harapan ini dapat sangat merusak karena sangat sedikit

perubahan dapat dihasilkan selama sindrom ini bertahan.

Pasangan itu harus mempunyai pengakuan dan kesepakatan dasar

mengenai persoalan-persoalan yang sedang mereka hadapi. Ini

merupakan tugas utama di dalam konseling suami-istri. Ini berarti

perubahan di dalam asumsi dan sikap. Ini berarti perubahan di dalam

harapan-harapan mereka mengenai perkawinan. Bila pasangan itu tidak

dapat bersepakat mengenai apa yang menjadi persoalan mereka dan

bila mereka tidak mengakui bahwa persoalan-persoalan itu memang ada,

maka penyelesaian sulit dicapai. Yang terbaik ialah mereka menemukan

sejumlah cara untuk mengatasi masalah mereka. Persoalannya, mereka

seringkali menggunakan cara-cara penyelesaian yang tidak sesuai dengan

Alkitab.

Pokok-pokok permasalahan yang Perlu Diidentifikasi

dalam Konseling dan Pendampingan Perkawinan

Banyak pokok permasalahan keluarga yang telah dibahas di muka dapat

diterapkan pada pasangan suami-istri. Garis-waktu dan genogram adalah

dua hal yang dibutuhkan dan efektif. Pokok-pokok permasalahan mengenai

sistem hubungan keluarga, mengenai komunikasi, dan mengenai hubungan

pasangan dengan keluarganya, semuanya penting. Dinamika konseling

keluarga dapat diterapkan pada konseling suami-istri.

Pokok-pokok tambahan perlu diberikan dalam konseling dengan

pasangan. Pasangan itu harus belajar untuk berkomunikasi satu sama


lain dengan cara-cara yang lebih efektif. Mereka juga harus mendapatkan

pemahaman yang lebih baik mengenai perspektif dan pengalaman

pasangannya. Mendapatkan perasaan kesatuan yang lebih mendalam

juga penting. Mendapatkan kemampuan dan pemahaman mengenai

kebutuhan emosional pasangannya juga sangat berguna. Pokok-pokok

lainnya meliputi fleksibilitas, kepekaan, kemampuan untuk meluruskan

harapan-harapan, dan mendapatkan kemampuan untuk bersama-sama

menyelesaikan konflik. Pokok-pokok permasalahan yang paling penting

bagi pasangan itu berkaitan dengan prioritas spiritual.

Dua pokok dasar mengenai komunikasi ialah kemampuan untuk

mendengarkan kata-kata dan perasaan dari pasangannya dan kemudian

mengkomunikasikan kata-kata dan perasaannya secara efektif. Persoalan

muncul pada saat individu mulai memandang pasangannya hanya dari

perspektifnya sendiri yang bias. Juga, pasangan kadangkala

mengkomunikasikan kepedulian hanya untuk meringankan beban

perasaannya sendiri tanpa kepekaan terhadap perasaan pasangannya.

Gembala jemaat dapat menjadi model mengenai kepedulian dan

mendengarkan. Dalam pertemuan-pertemuannya dengan pasangan, la

dapat mendengarkan dengan penuh perhatian dan kemudian mendorong

pasangan itu untuk melakukan hal yang sama, khususnya terhadap satu

sama lain. Gembala jemaat dapat menghargai apa yang dikatakan

pasangan itu. Pada gilirannya, ia dapat mendorong pasangan itu untuk

menghargai apa yang ingin dikomunikasikan pasangan itu satu sama lain.

Jika pasangan itu tidak belajar untuk berkomunikasi secara efektif, pastilah

sulit untuk membicarakan persoalan-persoalan lain.


Pemahaman dan sikap hormat pasangan itu terhadap satu sama lain

adalah pokok permasalahan yang sangat penting. Seringkali suami dan

istri menyamakan antara "tiruan" (clone) dan "pasangan" (couple).

Seringkali suami atau istri bertindak seakan-akan ia ingin hidup dengan

seseorang yang adalah tiruan dirinya sendiri (a clone of himself/herself).

la berharap bahwa hanya ada satu cara untuk melihat segala sesuatu,

satu cara untuk bertindak, dan satu cara untuk menanggapi, yaitu caranya

sendiri. Ini adalah penghinaan langsung terhadap keunikan individual

yang adalah ciptaan Allah. Ini adalah cerminan dari pemusatan diri

sendiri yang ekstrem.

Perspektif yang berpusatkan Allah (God-centered) akan memahami

dan menghormati keunikan orang lain, khususnya pasangannya sendiri.

Ini bukan persoalan benar atau salah. Namun demikian, kebenaran atau

kesalahan mengenai suatu hal seharusnya dipandang dari perspektif

Allah. Mendapatkan perspektif ini akan menghasilkan saling memahami

di hadapan Allah, Lain daripada ini hanyalah saling salah paham yang

berpusatkan diri sendiri, yang berusaha untuk menjadikan pasangannya

sebagai tiruan dirinya sendiri.

Kesatuan dalam berpasangan adalah pokok penting. Jika pasangan

itu mempunyai anak, mereka harus memperlihatkan kesatuan di hadapan

anaknya itu. Mereka juga harus memperlihatkan kesatuan di hadapan

mertua dan saudara-saudara dari pasangannya. Bukan berarti mereka

harus berpura-pura. Ini bukanlah dorongan untuk berpura-pura bersatu

padahal kesatuan itu tidak ada. Namun, pasangan itu harus menyelesaikan

ketidaksepakatan apa pun secara berdua, bukan di depan mata orang


lain. Pasangan itu harus berusaha keras untuk mendapatkan kesatuan.

Kemampuan untuk saling berbagi (share) sakit hati dan saling hadir

untuk mendengarkan ungkapan emosi adalah hal penting. Banyak kali

individu merasa bahwa pasangannya tidak peduli atau tidak merasakan

secara tulus beban sakit hatinya. Akibatnya, individu itu tidak

menceritakan beban sakit hatinya itu kepada pasangannya atau ia

menceritakannya kepada orang lain. Bila hal ini terjadi, ia secara

emosional tidak mempunyai afeksi terhadap pasangannya, dan

tumbuhlah afeksinya terhadap orang lain, Gembala jemaat dapat

membantu agar afeksi-afeksi itu saling diberikan kepada satu sama lain.

la dapat mendorong pasangan itu untuk saling terbuka dan saling

mendengarkan sakit hati pasangannya.

Permasalahan penting di dalam kesulitan perkawinan ialah kondisi

spiritual dari pasangan itu. Bidang ini tidak dapat diabaikan. Allah adalah

kunci untuk perubahan yang paling efektif bagi pasangan itu. Jika hubungan

pasangan itu dengan Allah tidak diperjelas, kita akan sulit untuk menentukan

seberapa jauh mereka akan terbuka terhadap karya Allah di dalam

kehidupan mereka. Keselamatan adalah persyaratan dasar bagi kedua

orang itu. Sementara pasangan itu bertumbuh matang dalam kerohanian

yang sejati, kemampuan mereka untuk berkembang dan mengatasi

persoalan-persoalan semakin bertambah.

sasaran bagi Konseling dan Pendampingan.

Sejumlah sasaran umum harus dipertahankan pada saat konseling

dan pendampingan bagi pasangan suami-istri. Banyak hal penting dari

sasaran-sasaran ini berkaitan dengan prioritas spiritual. Sasaran utama


ialah menempatkan prioritas pertama dalam menemukan dan

memelihara kesadaran mengenai kehadiran dan kuasa Allah di dalam

kehidupan pasangan itu. Dalam kaitannya dengan hal ini, sasaran lainnya

ialah bersikap taat terhadap pengarahan dan perintah-perintah Allah

kepada pasangan itu. Sasaran lainnya ialah memahami bahwa komitmen

mereka kepada satu sama lain adalah barometer dari komitmen mereka

kepada Tuhan.

Sasaran lainnya ialah menerapkan komitmen mereka kepada Tuhan

dan kepada satu sama lain itu ke dalam perilaku dan perubahan spesifik

di dalam hubungan mereka. Sasaran lainnya ialah mengembangkan

keterampilan dan kemampuan-kemampuan baru yang berguna untuk

menghasilkan perkawinan yang efektif. Dan sasaran terakhir ialah belajar

untuk merendahkan hati terhadap satu sama lain di dalam takut akan

Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai