Anda di halaman 1dari 20

HOMILETIKA

“BERKHOTBAH TENTANG KEBUTUHAN ORANG YANG NYATA”


PREACHING ABOUT THE NEED OF REAL PEOPLE

A. Memberitakan Firman dan Menanggapi Kebutuhan


(Preaching the Word and Responding to Needs)
Seorang pengkhotbah, harus menjadi orang yang sensitif. Kita yang telah menerima
panggilan ini sadar akan perlunya memupuk semangat tanggap terhadap orang lain.
Pemberian diri kepada Allah dan sesama kita ini merupakan inti dari Injil, dan setiap orang
yang mengaku sebagai orang Kristen dipanggil untuk menanggapi Allah, yang dinyatakan
dalam kepekaan yang sempurna dari Anak Allah. Seorang pengkhotbah yang tidak peka
adalah sebuah kontradiksi. Pengkhotbah bertanggung jawab kepada Tuhan dan orang-orang
di sekitar.
Pengkhotbah sepenuhnya diidentifikasikan dengan jemaatnya, berbagi tempat tinggal yang
sama, makan jatah yang sama, dan tunduk pada harapan dan ketakutan yang sama.
Hubungan intim khotbah dan panggilan pastoral. Semua orang tahu bahwa panggilan untuk
pelayanan membangkitkan atau meneguhkan dalam diri kita penggunaan suatu karunia roh
yang istimewa. Seperti yang ditunjukkan Paulus (1 Korintus 12), ada "keanekaragaman
karunia," dan tidak seorang pun dari kita akan berbagi di dalamnya kecuali karunia kasih
yang menyeluruh, yang terpenting bagi seluruh pelayanan gereja. Sebagian besar dari kita
menemukan seiring berjalannya waktu di mana kekuatan kita berada. Tetapi ada dua karunia
yang tidak dapat dipisahkan-pengkhotbah dan pendeta. Seorang pendeta bisa menjadi pelayan
kasih karunia yang luar biasa jika sebagai seorang pengkhotbah benar-benar terhalang oleh
beberapa cacat fisik atau kegugupan semata, tidak mungkin khotbah yang sebenarnya
dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hati nurani dan kepekaan pastoral. 1
Pendeta pengkhotbah akan sering mengalami salah satu mujizat kecil dari kasih
karunia dimana pengunjung atau panggilan telepon yang tidak terduga dapat menyentuh tepat
pada tema khotbah yang sedang dibicarakan. Kadang-kadang sebuah pernyataan yang dibuat
selama kontak pastoral yang tidak terduga seperti itu dapat langsung masuk ke dalam
khotbah. Sejauh mana diperbolehkan untuk menceritakan kisah-kisah pastoral dalam sebuah
khotbah, untuk benar-benar mengutip apa yang dikatakan orang-orang dalam percakapan

1
David Haxton Carswell Read, Preaching about the needs of real people, (USA: The Westminster Press, 1988),
12-13
pribadi? jawabannya ialah, dengan mengikuti aturan untuk tidak pernah merujuk secara
terbuka pada apa pun yang dikatakan dalam percakapan pribadi dan tidak pernah
menghubungkan pengalaman pastoral apa pun sebagai ilustrasi dari poin yang dibuat. Ini
tentu akan lebih baik daripada jatuh ke dalam kebiasaan terus-menerus mengacu pada insiden
dan percakapan dalam hubungan pastoral kita dengan anggota gereja - atau orang lain. Tidak
ada pertanyaan tentang efek pada jemaat yang terus-menerus mendengar dari mimbar cerita,
insiden, dan percakapan dari pengalaman pastoral pengkhotbah. Kemudian ada godaan halus
untuk merekayasa cerita agar pengkhotbah muncul sebagai orang yang selalu memiliki
jawaban yang benar. Lalu, bagaimana seharusnya seorang pengkhotbah menyampaikan
kehangatan dan perhatian pribadi tanpa melampaui batas dan tidak tergelincir ke dalam gaya
yang murni anekdot (yang mungkin diterima dengan sangat baik) atau mengkhianati
kepercayaan tetapi mampu menanggapi kebuthan?
1) Hindari mengisi khotbah dengan cerita "kehidupan nyata" yang tidak muncul secara
alami dalam pikiran selama penulisan, terutama yang dirancang untuk membuat
tertawa. (Humor di mimbar pasti ada tempatnya; perumpamaan Yesus sering kali
merupakan cerita lucu, humor yang kita lewatkan dalam pencarian kita untuk
penerapan yang khusyuk. Tetapi humor harus muncul secara spontan selama khotbah
dan bersifat alami dan tanpa hambatan.)
2) Bersikaplah sejujur mungkin dalam menceritakan insiden dan percakapan, tidak
mengklaim pengalaman orang lain sebagai milik Anda .
3) Jangan pernah menceritakan apa yang terjadi antara Anda dan seorang umat, kecuali
(a) itu sudah lama sekali dan ratusan mil dari tempat Anda sekarang, atau (b) Anda
memiliki izin dari yang bersangkutan. Jika seseorang mengatakan sesuatu yang sangat
tepat sehingga Anda ingin mengutipnya, tanyakan apakah Anda boleh, dan beri tahu
jemaat bahwa Anda telah melakukannya. Godaan besar bagi beberapa pengkhotbah
adalah untuk menceritakan bagaimana seseorang berubah dari keraguan menjadi
iman, atau mengalami pengalaman kasih karunia Allah yang menyentuh di saat
penderitaan, atau tiba-tiba masuk ke dalam "sukacita dan damai dalam percaya".
Meminta izin untuk menceritakan kisah seperti itu (tanpa nama, atau petunjuk yang
memungkinkan beberapa orang untuk mengenali orang yang bersangkutan) dan telah
merasakan efeknya pada sebuah jemaat.
Adalah mungkin untuk berkhotbah dengan otoritas Firman tanpa mengasingkan diri
dari kehidupan dan masalah yang kita bagikan dengan mereka yang mendengarkan. Menjadi
pendeta yang baik, bergaul dengan dunia di luar lingkaran gereja, mengikuti berita,
mendengarkan apa yang dikatakan seni, musik, literatur zaman kita-semua ini adalah bagian
dari panggilan pengkhotbah. Kesempatan-kesempatan di mana ada diskusi bebas tentang
sebuah khotbah.
Seorang yang memberitakan firman tidak harus, bahkan tidak boleh menarik orang
dengan hikmat manusia dan keelokan pidatonya, melainkan ia semata-mata menjadi
pemberita, menyiarkan perkataan raja dan mencoba menanggapi kebutuhan yang ada, bukan
hanya semata-mata untuk menarik minat orang kepada diri sendiri, melainkan hanya untuk
Raja diatas segala Raja.2

B. Teologi Dibalik Khotbah Pastoral


(The Theology Behind Pastoral Preaching)
Pengkhotbah atau konselor yang bijaksana semakin menyadari bahwa gambaran
populer tentang Kekristenan dan psikologi sebagai agama saingan adalah salah dan bahwa
pendeta/pengkhotbah dan psikiater/psikolog dapat menjadi sekutu dalam pelayanan
penyembuhan.
Teologi berarti "ilmu tentang Tuhan" atau, secara harfiah, Firman Tuhan. Khotbah
adalah peristiwa di mana kita dibawa bersama ke hadirat Allah, dan melaluinya Allah dapat
menyampaikan Firman-Nya kepada penyembah individu. Karena itu, pengkhotbah yang setia
harus memiliki doktrin "tinggi" tentang sifat khotbah. Menurut Yohanes, “Pada mulanya
adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah.” Di
sinilah kita mulai dengan Allah yang hidup. Tuhan adalah yang paling pribadi, bukan esensi
yang tidak dapat berpikir, atau merencanakan, atau menginginkan, atau mencintai, Tuhan
mampu berkomunikasi; dia keluar Oleh karena itu ada apa yang kita sebut ciptaan. "Segala
sesuatu dijadikan oleh-Nya." Komunikasi keluar inilah, yang kita sebut Sabda-Nya.
Kegiatan kasih ini selamanya berlabuh di dalam Ketuhanan, sebuah pemikiran yang
dilambangkan untuk kita dalam doktrin Trinitas. Dalam pengertian ini, orang dapat
mengatakan bahwa di sinilah pemikiran kita tentang khotbah harus dimulai dengan Satu
Tuhan yang hidup dari segala kekekalan sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus. "Di dalam dia
ada hidup; dan hidup itu adalah terang manusia." Di dalam misteri penciptaan yang luas,
Sabda-penyerahan diri dari Tuhan-bersinar pada manusia dan membawa kehidupan ilahi yang
jauh lebih berarti daripada sekedar keberadaan fisik. "Terang bersinar dalam kegelapan, dan
kegelapan tidak menguasainya". Tidak ada petunjuk yang diberikan tentang dari mana
kegelapan itu berasal. Kita semua tahu itu ada di sana. Apa yang penulis nyatakan adalah
2
H. Rothlisberger. Homiletika Ilmu Berkhotbah. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 19
kehadiran cahaya yang berkelanjutan dan tak terkalahkan. “Demikianlah firman-Ku yang
keluar dari mulutku: itu tidak akan kembali kepadaku dengan sia-sia, tetapi itu akan
memenuhi apa yang aku kehendaki.” Pengkhotbah yang menangani masalah pribadi, tidak
ada di sana sebagai ahli agama atau psikiater amatir, membangun reputasi sebagai
pengkhotbah yang brilian atau penghibur karismatik, tetapi sebagai saluran untuk Firman.
Inilah yang harus diberitakan oleh gereja: Sabda menjadi daging, komunikasi Allah,
seolah-olah, tidak lagi berada di tangan kedua tetapi tepat di antara kita. Itu terjadi, sekali
untuk selamanya, dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Tetapi melalui rasul-
rasulnya, mereka yang "diutus ke seluruh dunia dengan berita", kapan pun dan di mana pun
kita tinggal, kita dapat bertemu dengan Firman Allah yang hidup yang diterjemahkan ke
dalam bahasa kehidupan kita sehari-hari. Jika kebutuhan pribadi orang-orang harus dipenuhi,
itu karena Injil ini datang dengan kekuatan, dan bukan karena keterampilan terapi khusus dari
pengkhotbah.3 Keilahian dan manusia dengan demikian keduanya jelas hadir dalam tindakan
khotbah Kristen sejati - yang ilahi dan manusiawi, dan bukan campuran campuran. Sebuah
teologi khotbah yang tinggi menemukan dalam hal ini refleksi dari Sabda yang menjadi
manusia, Kristus yang benar-benar ilahi dan benar-benar manusia. Inilah paradoks yang tak
terhindarkan yang terletak di jantung iman Kristen.
Menurut Edward Thurneysen, teologi pengembalaan yang mesti dipraktikan adalah
teologi yang memelihara wewenang firman Allah. Faktor eksklusif pemeliharaan pastoral
adalah firman Allah yang dimana mneurutnya, "Firman Allah harus sifatnya yang serba
lengkap dan manusia tidak boleh berhenti mempelajarinya".4 Jadi inti teologi pastoral ialah
mengomunikasikan firman Allah yang terutama dilakukan melalui khotbah Pemeliharaan
pastoral berbeda karena pemeliharaan itu menyangkut hal mengomunikasikan firman Allah,
pada tingkat individual daripada tingkat orang banyak dan dimaksudkan untuk mengurangi
jarak antara pengkhotbah dan pendengar.5

C. Tema Mendesak dan Batasan Liturgi

3
David Read, Preaching about the needs of real people, 38-39
4
Edward Thurneysen, Theology of Pastoral Care, (Inggris: 1962), 31
5
Derek Todball, Teologi Pengembalaan, (England: Inter-Varsity Press, 1983), 233-234
(The Urgent Theme and the Constraints of the Liturgy)
Pengkhotbah harus selalu menyadari apa yang menyatukan jemaat. Orang-orang ini
dipertemukan untuk mencari hadirat Tuhan, mendengar Firman Tuhan, dan merespon dengan
ucapan syukur, syafaat, dan dedikasi. "Mari kita menyembah Tuhan." Kata-kata pembuka ini
memberikan nada yang sangat berbeda dari kesan yang disampaikan oleh ucapan "Selamat
pagi!". Disampaikan dengan senyum profesional.
Maksud tentang liturgi adalah membantu orang-orang dengan kebutuhan mereka lebih
banyak dengan memperkenalkan mereka ke berbagai doktrin Kristen. Khotbah yang
berhubungan dengan pertanyaan spesifik yang muncul, tentu saja, ada kebutuhan dan ruang
untuk khotbah yang dengan berani menangani masalah etis atau teologis tertentu seperti yang
Roh dapat tuntun, tetapi kita paling membantu kawanan ketika kita menjaga mereka terus-
menerus berhubungan dengan kerajaan yang Kristus nyatakan melalui kata-kata-Nya,
tindakan-Nya, penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya.

Keputusan untuk mengatasi masalah yang cukup spesifik dalam khotbah tentang
kecemasan, kehilangan, perdamaian, kekuatan kejahatan, penderitaan orang yang tidak
bersalah, sukacita Kristen, ketidakadilan hidup, kasih sayang sejati, revolusi seksual,
permisif-tidak boleh sepenuhnya dikendalikan. Kita harus terus-menerus mengingat berbagai
macam kebutuhan, beberapa sangat intens, yang diwakili oleh kebutuhan yang khas. Seorang
pengkhotbah mungkin tergerak untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang ketidakadilan
publik atau korupsi, tetapi pasti akan ada beberapa yang hadir yang terbebani oleh tragedi
pribadi atau gembira dengan kelahiran, pernikahan, atau pekerjaan baru. Ketika tidak ada,
atau ketika liturgi sepenuhnya bergantung pada masalah saat ini, sebuah kebaktian hampir
tidak dapat dibedakan dari rapat umum politik. Keprihatinan, dan bukan hanya perlawanan
keras kepala oleh kaum awam terhadap "politik di mimbar," yang telah menyebabkan
keluhan tentang "kurangnya spiritualitas" dalam pelayanan ibadah dan perpecahan malang
yang telah muncul antara "aktivis" dan "pietis" di gereja-gereja kita.

Banyak masalah pribadi berkaitan dengan rasa tidak aman, tidak tahu siapa
sebenarnya, atau siapa yang peduli. Martin Luther mengakui bahwa di saat-saat dia hampir
putus asa, dia menemukan penghiburan terbesar dalam dua kata Baptizatus sum- "Saya
dibaptis." Pentingnya pastoral sakramen tidak boleh diremehkan. Ini membawa pendeta ke
dalam hubungan yang luar biasa dekat dengan keluarga yang bersangkutan, memberikan
kesempatan untuk menjelaskan makna sakramen, dan juga dapat menjadi sarana penginjilan
ketika "pembaptisan" dianggap sebagai peristiwa yang diinginkan secara sosial. Tanggapan
terhadap Firman adalah penerimaan yang spesifik dan rendah hati atas kasih karunia-Nya. 6

D. Jujur dengan Alkitab


(Being Honest with the Bible)
Setiap bagian dari gereja di bumi mengakui otoritas Alkitab, betapapun berbedanya
otoritas ini dapat didefinisikan yaitu, satu-satunya wahyu Allah yang cukup adalah Yesus
Kristus, Sabda Allah yang berinkarnasi, yang kepadanya Roh Kudus memberikan kesaksian
otoritatif yang unik melalui Kitab Suci, yang diterima dan dipatuhi sebagai firman Allah yang
tertulis. Kitab Suci bukanlah saksi di antara yang lain, melainkan saksi tanpa tandingan.
Gereja telah menerima kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai kesaksian
kenabian dan apostolik di mana ia mendengar sabda Allah dan dengannya iman dan
ketaatannya dipelihara dan diatur.

Dalam bagian ini, sifat unik dari Alkitab dijaga tanpa jatuh ke dalam kesalahan
bibliolatri, "Alkitab harus ditafsirkan dalam terang kesaksiannya tentang pekerjaan
pendamaian Allah di dalam Kristus," dan bagian itu diakhiri dengan kata-kata: Dengan
pandangan seperti itu tentang Alkitab, pengkhotbah diberi tugas untuk membawa pesannya
kepada jemaat.

Kesulitan awal menghadang pengkhotbah dalam tugas ini. Ini telah disebut "buta
huruf alkitabiah" dari kebanyakan jemaat. Istilah ini merupakan cara yang agak kasar untuk
merujuk pada fakta nyata bahwa generasi pengunjung gereja ini belum dilatih dalam
mempelajari Alkitab—bahkan sebagai bagian dari warisan sastra. Perlunya melengkapi
pendengaran kitab suci dalam ibadah dengan ceramah dan kelompok belajar dan saran untuk
bacaan pribadi. Jujur dengan Alkitab menunjukkan bahwa kita mencoba untuk melatih
mereka yang khawatir tentang kurangnya pengetahuan alkitabiah mereka untuk membiarkan
Anggota gereja sering kali tidak begitu yakin dengan otoritas seperti apa yang diberikan
pendeta pada Alkitab dan mungkin sering menahan pertanyaan mereka karena takut terlihat
tidak sopan. Sebagian besar pengkhotbah telah melalui pengalaman yang kadang-kadang
menyakitkan untuk menemukan bagaimana seseorang dapat mendengar Firman Tuhan dalam
Alkitab.

6
David Read, 56-59
Kita akan sangat membantu perjuangan anggota kita dalam pemahaman iman mereka
jika kita mendorong dalam segala hal penelaahan Alkitab yang jujur tanpa memaksakan
doktrin tertentu tentang inspirasinya kepada mereka. Kita dapat bersama-sama mencari untuk
mendengar Sabda Tuhan dan menyadari betapa menakjubkannya kisah umat Tuhan yang
berpuncak pada kedatangan Kristus Juruselamat . Kita harus memupuk gaya khotbah yang
alkitabiah, bukan dalam arti diisi dengan teks-teks yang sudah dikenal tetapi untuk
mengilhami pendengar kita untuk mengenal Alkitab sendiri. Kita akan melakukannya hanya
jika kita memelihara kebiasaan belajar Alkitab dalam kehidupan renungan kita sendiri. Dan
itu, seperti yang diakui sebagian besar pengkhotbah, sulit dilakukan. Yang paling penting,
tentu saja bukanlah keterampilan dalam bahasa aslinya melainkan tekad untuk terus belajar
Alkitab secara mandiri demi pertumbuhan seseorang.

Kesulitan bagi para pengkhotbah adalah bahwa seseorang harus terus-menerus


melakukan pembacaan dan penafsiran Alkitab yang berat untuk tujuan khotbah. Sulit bukan
hanya untuk mendapatkan cukup waktu untuk belajar pribadi tetapi juga untuk
menghilangkan kebiasaan mencari bahan khotbah setiap kali kitab suci dibuka. Namun hanya
pengkhotbah yang telah terbiasa dengan dampak keseluruhan dari Alkitab, dan telah hidup
dengan karakternya, yang mampu membawakan firman yang akan memenuhi kebutuhan para
penyembah. Ini adalah tugas seumur hidup, dan semakin lama seseorang melakukannya,
semakin seseorang menyadari betapa banyak yang harus dilakukan.7

Berkhotbah untuk kebutuhan pribadi bukanlah masalah menyimpang dari kebiasaan


eksposisi kitab suci untuk menghasilkan khotbah sesekali yang secara khusus membahas
pertanyaan-pertanyaan seperti perceraian, stres, kecemasan, kesedihan, atau penyakit
terminal. Nilai-nilai akar dan emosi yang dapat ditemukan dalam semua situasi seperti itu
sudah dapat ditemukan di dalam Alkitab. Karena Alkitab adalah buku yang sangat
manusiawi. Meskipun ada faktor-faktor dalam kehidupan modern yang tidak diketahui oleh
orang-orang seperti Abraham, Musa, Petrus, atau Paulus, seperti perkembangan kedokteran
dan psikologi modern dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

Tema-tema besar Alkitab yang secara teologis diungkapkan dengan kata-kata


Penciptaan, Kejatuhan, dan Penebusan, sama relevannya (menggunakan kata yang terlalu
banyak bekerja) hari ini bagi orang percaya seperti halnya di zaman kuno. Karena mereka
mengacu pada kondisi manusia dan mendasari setiap khotbah yang mencoba membawa
perspektif alkitabiah kepada kebingungan dan kecemasan orang-orang yang datang untuk
7
David Read, 59-60
beribadah hari ini. Penting bagi pengkhotbah untuk menyerap dan menyampaikan sudut
pandang alkitabiah, tidak hanya menggunakan bagian-bagian tertentu yang tampaknya
dirancang untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. "Pada mulanya Allah" kata buku
pertama dari Alkitab; Di antaranya, kehadiran Tuhan yang menciptakan dan memelihara
tidak pernah jauh. Alkitab dipenuhi dengan pemikiran tentang kedaulatan Allah yang
menciptakan kita.

Kita yang berkhotbah dan melakukan ibadah memiliki kewajiban untuk memberi
petunjuk. Sayangnya, terlalu mudah untuk membiarkan pelaksanaan ibadah menjadi sesuatu
yang begitu akrab, hampir otomatis, sehingga kita lupa bahwa kita terlibat dalam tindakan
persekutuan yang unik dengan Tuhan yang menciptakan kita. Ini bukan berarti cara beribadah
yang kaku, tanpa ruang untuk sentuhan manusia, tetapi itu berarti kita beribadah bersama
jemaat kita.

Namun tanpa perasaan berada di hadirat Allah Pencipta, pencipta langit dan bumi,
orang-orang yang bermasalah tidak akan menemukan kekuatan dan kenyamanan dalam
kebaktian gereja yang tidak lebih dari sekadar kelompok pendukung sekuler. Adalah baik
bagi mereka untuk mengetahui bahwa mereka berada di hadirat Tuhan yang mulia,
khususnya ketika dijelaskan bahwa otoritas tertinggi ini adalah Tuhan yang dengan alam
semesta untuk memerintah, sangat memperhatikan setiap anggota keluarga Tuhan. Hanya
ketika kita mengingat kebesaran Tuhan, pengetahuan tentang kasih Tuhan yang tak terbatas
menemukan tempat tinggal di dalam jiwa.8

Selanjutnya, kita harus mempertimbangkan pandangan Alkitab tentang sifat kita


sebagai manusia. Kisah simbolis tentang Kejatuhan dalam kitab Kejadian pasal tiga jarang
dirujuk baik dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, tetapi apa yang diwakilinya adalah
penilaian yang sangat realistis bahwa ada sesuatu yang salah dengan umat manusia, beberapa
putaran kejahatan yang telah menghancurkan keselarasan di mana pria dan wanita diciptakan
untuk hidup dengan Allah dan dengan satu sama lain. Kadang-kadang dikatakan bahwa
gagasan tentang dosa diimpikan oleh seseorang seperti Paulus untuk tujuan teologis, dan
bahwa Yesus hanya berbicara tentang kita sebagai anak-anak Allah. Itu datang dari
pembacaan Injil yang sangat selektif. Kita membaca dalam Injil Yohanes, "Ia mengenal
manusia dengan baik, semuanya, sehingga ia tidak memerlukan bukti dari orang lain tentang
seorang pria, karena ia sendiri dapat mengetahui apa yang ada dalam diri seseorang."19 Ini
mengacu pada sekelompok orang-orang yang tampaknya ingin mengikutinya setelah
8
David Read, 69-70
keajaiban; dia tidak mempercayai mereka. Yang lebih mencerahkan adalah bagian samping
dalam Injil Lukas. Yesus sedang mengajar tentang doa dan berkata, "Jika kamu, sebagai
orang jahat, tahu bagaimana memberikan pemberian yang baik kepada anak-anakmu; apalagi
Bapa surgawimu akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-
Nya?"20 Baik Perjanjian Lama maupun Yesus dan rasul-rasul-Nya terus menggebrak
beberapa doktrin tentang dosa asal, tetapi apa yang dimaksud dengan doktrin itu diungkapkan
dalam pendekatan realistis mereka terhadap kehidupan manusia seperti yang mereka ketahui.

Ada kalanya kejahatan dalam diri manusia dianggap sebagai noda belaka pada ciptaan
Tuhan, sesuatu yang pada akhirnya akan dihilangkan oleh pendidikan dan niat baik.
Tampaknya tidak mungkin bahwa siapa pun yang pernah mengalami atau merenungkan
perang dunia di zaman kita, atau peristiwa seperti Holocaust, bisa puas dengan teori apa pun
yang menganggap enteng fakta kasar tentang dosa manusia. Di zaman kita, kita pasti dipaksa
untuk menerima kenyataan bahwa manusia, sementara dalam banyak hal mahkota ciptaan di
bumi ini dan mampu melambung di atas dunia binatang, juga mampu melakukan kerusakan
yang lebih dalam.

Ada aliran pemikiran yang muncul sekarang yang mengklaim bahwa kita harus
mencoba mengabaikan kejahatan dan berkonsentrasi pada potensi manusia untuk kebaikan.
Memang benar bahwa sering di masa lalu, dan kadang-kadang hari ini, seseorang dengan
sakit hati dan depresi semangat pergi ke gereja dan, di bawah cambukan seorang
pengkhotbah yang mencela dosa, keluar dengan perasaan lebih buruk dari sebelumnya.
Beban rasa bersalah ditambahkan ke dalam penderitaan. Beban rasa bersalah inilah yang coba
dihilangkan oleh para pengkhotbah tentang harga diri. Tentu saja, mudah untuk mengenali
dosa pada orang lain, seperti yang ditunjukkan oleh para pemimpin agama yang terhormat
kepada wanita yang berzina. "Biarlah dia yang tidak berdosa di antara kamu melemparkan
batu pertama." Yesus terus mencoret-coret di tanah, dan ketika dia melihat ke atas, tempat itu
kosong. Alkitab adalah perkataan Allah yang ditulis. Artinya pernyataan Allah tentang diri-
Nya dan kehadiran-Nya melalui Yesus Kristus.9

E. Sumber Daya untuk Khotbah Pastoral


(Resources for Pastoral Preaching)

9
Jhon Stort & Greg Scharf, Tantangan Dalam Berkhotbah, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013), 36
Jika seorang pengkhotbah ingin memastikan bahwa khotbah yang disampaikan selalu
memiliki kontak sensitif dengan masalah nyata jemaat, apa pun temanya, bagaimana hal itu
dapat dicapai?

Ini tentu bukan masalah menyusun daftar topik abstrak dan mengerjakannya satu atau
lain dari mereka ke dalam setiap khotbah yang datang. Yang masih kurang bermanfaat adalah
saran agar kita berupaya menghasilkan serangkaian "jawaban" atas pertanyaan-pertanyaan
yang seharusnya berulang-ulang dalam pengalaman pastoral seseorang. Seorang pendeta juga
akan belajar bahwa cukup sering pertanyaan teologis standar hanyalah kedok untuk
mengetahui apakah pendeta benar-benar mendengarkan manusia lain atau hanya mencari
jawaban profesional untuk pertanyaan abstrak.

Hal yang perlu diingat tentang mengabarkan masalah pribadi adalah bahwa masalah
itu bersifat pribadi. Oleh karena itu, mereka tidak akan benar-benar ditangani oleh jawaban-
jawaban stok yang berasal dari buku-buku teologi pot atau manual konseling pastoral. Maka,
sumber utama untuk khotbah pastoral yang baik adalah mengenal orang-orang yang akan
diajak bicara. Kedengarannya jelas dan mudah. Semakin besar dan semakin efisien sebuah
paroki terorganisir, semakin sulit untuk menemukan waktu untuk hubungan santai dengan
umat paroki. Banyak gereja saat ini bergerak menjauh dari masyarakat tradisional, dengan
program, presiden, notulen, dan "pembicara" mereka, dan mendorong pertumbuhan
kelompok-kelompok kecil di mana anggota dan pendeta dapat saling terbuka dan berbagi
masalah dan pengalaman nyata mereka dalam kehidupan rohani.

Tetapi pengkhotbah juga harus waspada terhadap lingkaran teman-teman gereja yang
terlalu eksklusif. Jika kita ingin menjangkau dengan Injil di dunia saat ini, kita harus
menerobos hambatan persahabatan profesional dan mempelajari apa yang dipikirkan orang
lain dan apa masalah khusus mereka. Melakukan hal itu berarti mendengarkan banyak kritik
terhadap gereja, beberapa dibenarkan, beberapa tidak, dan juga banyak kesalahpahaman kasar
tentang pertanyaan-pertanyaan agama dan etika.

Beberapa pengkhotbah telah menemukan pengalaman sebelumnya dalam perjalanan


hidup lain yang sangat berharga dalam belajar untuk mengatasi masalah nyata dalam bahasa
awam. Yang lain telah memiliki pengalaman sebagai pendeta militer, yang dapat berarti
pengungkapan pemikiran dan bahasa dari berbagai manusia yang tak terbatas. Ada sumber
literatur yang bagus dari mana kita dapat menarik "hal-hal lama dan baru". Kita belajar
tentang keragaman tak terbatas dari semangat manusia, penderitaan dan ekstasi, nafsu yang
menggerakkan pria dan wanita di setiap generasi, dari klasik Yunani, Romawi, Abad
Pertengahan, Elizabethan, drama, puisi, dan novel, semua membantu untuk membentuk
pendeta pengkhotbah dan memperkenalkan kita kepada orang-orang yang sangat nyata yang
cobaan bergema dalam kehidupan banyak orang duduk di bangku hari ini. 10
Ada kalanya pengkhotbah merasa bingung dan frustasi dalam menghadapi masalah
pribadi. Kita mungkin kehilangan kepercayaan pada kemampuan kita untuk menangani
situasi tertentu dalam konseling pastoral, atau topik kontroversial dari mimbar. Kita mungkin
merasa bahwa kita membagikan nasihat yang sama dari tahun ke tahun tanpa hasil yang
nyata. Mungkin ada hari-hari ketika kita merasa kita harus menerima khotbah yang ditujukan
untuk masalah pribadi.
Ketika ditanya tentang menghadapi masalah yang termasuk dalam kategori gangguan
psikologis yang parah, tidak ada pengkhotbah yang merasa bahwa Injil sedang diremehkan
dengan merujuk ke psikolog atau psikiater profesional. Tetapi tentu bijaksana untuk
mengakui bahwa, sebagaimana kita biasanya tidak mengklaim bahwa kita harus dapat
menyembuhkan radang usus buntu atau patah kaki hanya dengan doa, jadi ada penyakit
mental yang apa pun konsekuensi spiritualnya, menuntut perawatan profesional. Adalah
berguna bagi seorang pengkhotbah untuk memiliki pengetahuan pribadi tentang para
profesional yang berbagi dengan kita tentang pengakuan validitas pendekatan spiritual untuk
semua jenis gangguan mental dan fisik.
Namun, ada jenis sumber daya pribadi lain yang karena berbagai alasan, anehnya
diabaikan di gereja-gereja kita saat ini. Jika kita bijaksana untuk merujuk pada "ahli" ketika
kita berada di luar kedalaman kita dalam menangani gangguan mental, bukankah lebih
bijaksana untuk berkonsultasi dengan ahli lain ketika kita berada di luar kedalaman spiritual
kita? Sebagian besar dari kita yang telah beberapa tahun dalam pelayanan dapat melihat
kembali kesalahan yang telah kita buat yang dapat dihindari jika kita memiliki nasihat.
Kita membutuhkan lebih banyak keterbukaan satu sama lain di tingkat spiritual.
Pendeta berkumpul untuk melakukan urusan gereja, untuk diskusi teologis - tetapi jarang
untuk membagikan secara jujur kegagalan atau kesulitan kita dalam tugas pastoral. Kita
semua bisa menjadi pendeta dan pengkhotbah yang jauh lebih baik jika kita menggabungkan
pengalaman kita dan belajar berdoa bersama secara alami saat kita bertukar pikiran dengan
rekan kita.
Surat-surat pastoral dalam Perjanjian Baru tidak hanya berisi nasihat apostolik kepada
jemaat-jemaat tertentu dari gereja mula-mula, tetapi juga bukti yang jelas bahwa Paulus,
10
David Read, 71-75
Petrus, dan yang lainnya peduli untuk membangun satu sama lain dalam iman sebagai
pengkhotbah dan pendeta. Surat-surat kepada Timotius penuh dengan nasihat dan nasihat
yang sangat praktis untuk pendeta muda itu. Mereka adalah tambang teks yang tak habis-
habisnya untuk digunakan dalam suatu jemaat, tetapi terutama nasihat bagi semua yang
dipanggil ke jabatan pengkhotbah dan pendeta. "Jangan mengabaikan karunia yang Anda
miliki, yang diberikan kepada Anda melalui ucapan nubuatan ketika para penatua meletakkan
tangan mereka atas Anda" (1 Tim. 4:14, RSV). "Semua orang yang bersama saya mengirim
salam. Sapa mereka yang mencintai kita dalam iman. Kasih karunia menyertai kamu semua"
(Titus 3:15, RSV). Tidak ada pendeta pada masa itu yang dapat merasakan bahwa dia
ditinggalkan untuk berjuang sendirian dengan kebingungan, masalah pastoral, pertentangan,
atau kesepian. Mereka adalah sebuah tim, mendorong satu sama lain dalam iman,
menunjukkan kasih Allah, ditopang oleh kasih karunia Tuhan kita Yesus dan sangat sadar
akan koinonia dari Roh.
Pada titik ini untuk memperkenalkan topik doa dan penyembahan mungkin terlihat
seperti menyarankan, seperti yang sering kita lakukan, bahwa sumber ini adalah pilihan
terakhir dari seorang pengkhotbah pendeta yang bingung.
Namun jika Perjanjian Baru harus dipercaya, doa dalam segala keadaan adalah pilihan
pertama, bukan yang terakhir. "Berdoalah tanpa henti," kata Paulus - sebuah peringatan yang
cenderung kita abaikan sebagai apostolik yang dilebih-lebihkan. Tetapi ini mengacu pada
kebenaran dasar bahwa sebagai orang Kristen seluruh hidup kita harus dihayati dalam
suasana doa yang merupakan persekutuan dengan Allah. Kita semua tahu apa artinya berdoa,
saat kita terus melayani mereka. Kita mungkin menggunakan buku doa pribadi yang memiliki
ruang untuk menulis nama dan mungkin menghadapi dilema mengingat apa masalahnya.
(Kapan mereka meninggal? Mengapa?) Kita mungkin tahu apa artinya memberi nama orang-
orang tertentu selama doa dalam ibadah umum (dan menghadapi keberatan dari mereka yang
lebih suka kelemahan mereka tidak dipublikasikan).
Tetapi apakah kita menyadari kehadiran penyembuhan Kristus yang konstan siang
dan malam saat kita berusaha untuk hidup setiap hari dengan kasih karunia? Karena setiap
khotbah yang benar-benar berusaha untuk menguraikan Sabda, sampai taraf tertentu, lahir
dalam doa, maka khotbah itu pasti terkait dalam Roh dengan anggota-anggota kita yang kita
tahu berada dalam kebutuhan khusus. Efektivitas kita sebagai pengkhotbah pastoral dengan
demikian akan bergantung pada kita menjadi pengkhotbah yang berdoa. Ini adalah sumber
daya besar yang mudah diabaikan jika kita terlalu mengandalkan upaya sadar untuk
memenuhi kebutuhan spesifik orang-orang yang bermasalah. Sama seperti beberapa pendeta,
dalam doa pastoral mereka kadang-kadang membayangkan jemaat mereka dan membuat doa
khusus untuk mereka jemaat. Gereja-gereja Reformasi, dalam upaya mereka untuk
mengembalikan rasa jemaat yang benar-benar berbagi dalam ibadah, dan untuk memastikan
rasa kesopanan dan ketertiban dalam ibadah.11

F. Apa Tujuan Khotbah


(What's the Point of Preaching?)
Mungkin setiap pengkhotbah yang sensitif pernah merasakan beratnya pertanyaan ini.
Kita mulai bertanya-tanya apakah akan ada perbedaan yang nyata jika seni berkhotbah,
seperti seni atap pondok jerami, mati dan tidak ada lagi khotbah. Jika kita berada dalam
suasana hati yang murung, kita bahkan mungkin merenungkan fakta bahwa tidak peduli
berapa ribu kata yang telah kita ucapkan untuk menjelaskan isi Injil. Dalam suasana hati kita
yang lebih sinis, kita mungkin merenungkan bahwa ketika kita menyampaikan kabar baik,
para pendengar mungkin bertepuk tangan karena kita menegaskan keyakinan mereka sendiri,
tetapi ketika kita menegur mereka puas karena mereka menerapkan teguran itu kepada orang
lain.
Injil Markus memberi tahu kita bahwa "rakyat biasa mendengarnya dengan senang
hati" (Markus 12:37). Sebuah khotbah harus disesuaikan dengan jenis audiens yang sangat
berbeda. Paulus berbicara dengan sangat berbeda kepada pelaut dan tentara yang kasar,
kepada audiensi pejabat negara, dan kepada para intelektual Athena, tetapi dia tahu, bahwa
kebutuhan dasar mereka sebagai manusia adalah sama.
Gagasan bahwa gereja telah baik di masa lalu dan kadang-kadang hari ini. Kita akan
menemukan bahwa ketika gereja berkembang dan menunjukkan tanda-tanda vitalitas
kerasulan seperti yang tercatat dalam kitab Kisah Para Rasul 16:5, di mana kita membaca
bahwa khotbah berlimpah-khotbah untuk memenangkan petobat, khotbah untuk membangun
orang percaya di iman, khotbah untuk menasihati dan menasehati. Luther, Calvin, Knox,
Melanchthon, dan para pemimpin lainnya adalah pengkhotbah Firman dan guru yang kuat
dari generasi baru para pendeta dan pemberita. Pernyataan-pernyataan iman yang muncul
pada saat ini memperjelas tempat berkhotbah di gereja-gereja.
Kita harus membuat penilaian yang realistis tidak hanya tentang fakta bahwa gereja
yang terorganisir memainkan peran yang jauh lebih tidak terlihat di panggung sosial daripada
yang dilakukannya seratus, atau bahkan lima puluh, tahun yang lalu. Untuk mengenang
sebagian yang masih hidup, gereja menjadi pusat kehidupan sosial suatu komunitas, dan apa
11
David Read, 78-83
yang disampaikan dari mimbar adalah berita. Khotbah, dalam beberapa kasus, adalah satu-
satunya makanan intelektual atau spiritual yang ditawarkan kepada orang-orang yang tidak
memiliki surat kabar atau komentar mingguan untuk dibaca, tidak ada radio atau televisi
untuk didengarkan, dan tidak ada kolumnis sindikasi yang menawarkan nasihat tentang
semua jenis pertanyaan intim.
Ada banyak pembicaraan tentang kehadiran orang Kristen di dunia sekuler,
penghilangan bau apa pun dari hal-hal supernatural atau sarana pendukung lainnya yang tidak
terlihat, dan tentang ketidakabsahan total (" tidak relevan " adalah kata) dari komunikasi
verbal dari mimbar. Tentu saja gereja lambat dalam mengenali perubahan sosial dari
kebiasaan dan sarana komunikasi, dan pengkhotbah tidak selalu selaras dengan suasana hati
atau respons emosional dari generasi tertentu, tetapi kebanyakan orang saat ini lebih
cenderung menemukan sumber yang memuaskan di gereja-gereja di mana Alkitab berada.
secara teratur diuraikan daripada mereka yang telah menyerah pada kata-kata yang diucapkan
demi hiruk pikuk musik pop, eksperimen liturgi yang tak ada habisnya, dan alat bantu visual.
Anehnya, yang mempertanyakan khotbah sebagai sarana komunikasi Kristen justru seringkali
para pendeta ketimbang kaum awam.12
Tetapi sejak awal gereja sadar akan pesan unik untuk dideklarasikan kepada dunia
yang tidak percaya dan akan kekuatan tulisan suci yang menjadi dasar pesan itu—kekuatan
yang tidak hanya untuk mengubah, untuk mengubah seluruh arah kehidupan individu. dan
komunitas, tetapi juga untuk memelihara orang percaya sebagai anggota Tubuh Kristus.
Ketika gereja muncul pada hari Pentakosta, urutan pertama bisnis adalah khotbah, yang
kedua sakramen Pembaptisan, dan yang ketiga menunjukkan solidaritas baru dalam cinta,
komunitas yang peduli.
Khotbah Petrus menimbulkan pertanyaan "Apa yang harus kita lakukan?" - sebuah
tanda pasti bahwa para pendengar telah mengerti maksudnya. Ini adalah pertanyaan yang
ingin dihindari oleh banyak pengkhotbah. Khotbah bukanlah latihan dalam teologi populer,
wacana yang merangsang untuk menghibur pikiran, atau komentar tentang adegan yang
lewat. Ini bukan untuk mengatakan bahwa inti dari setiap khotbah haruslah bahwa setiap
orang yang hadir harus berpaling kepada Kristus dan memulai hidup baru. Tetapi inti dari
khotbah harus tetap merupakan penyebaran berita tentang Kristus. Para sarjana suka
menyebut fungsi khotbah ini "kerygma," yang merupakan kata Yunani untuk proklamasi,
pemberitaan beberapa berita penting. Dalam bahasa Inggris, kerygma telah digunakan hampir
secara eksklusif untuk pemberitaan Injil. Ketika Paulus mengumumkan kepada orang-orang
12
David Read, 84-88
Roma bahwa dia "tidak malu akan Injil Kristus," dia melanjutkan dengan mengatakan bukan
bahwa itu adalah pernyataan yang benar tentang Allah, agama yang memuaskan, tetapi
bahwa itu adalah "kekuatan Allah yang menyelamatkan". atau, dalam terjemahan baru (Rm.
1:16, NEB), "kuasa Allah yang menyelamatkan bagi setiap orang yang memiliki iman."
Inilah yang benar-benar dicari oleh ribuan orang yang putus asa, bingung, dan
khawatir saat ini—bukan seperangkat proposisi agama untuk menjawab masalah intelektual,
melainkan "kekuatan yang menyelamatkan". Dan inilah komitmen gereja untuk ditawarkan.
Ini adalah penginjilan dalam arti kata yang sebenarnya: persembahan kabar baik. Pada
akhirnya, ini adalah cara untuk mengulangi undangan sederhana Yesus: "Datanglah kepada-
Ku." Gereja melakukan ini dengan berbagai cara melalui kehadiran dan aktivitasnya di semua
bagian dunia. Tetapi pesannya, kabar baiknya, juga harus diproklamasikan secara lisan—dan
itulah inti dari khotbah.
Pengkhotbah tidak dipanggil hanya untuk mengulangi rumusan tertentu di mana
kerygma telah diungkapkan pada generasi yang lalu. Dengan kuasa Roh Kudus, Kontemporer
yang agung, pengkhotbah harus menjadi kendaraan yang melaluinya kabar baik menjadi
hidup dan. Kita harus menjadi pemberita, penyiar, penunjuk Terang yang bersinar di wajah
Yesus Kristus. Kita harus memiliki keyakinan dalam Firman dan pekerjaan Roh Kudus dalam
membuka hati dan pikiran kepada kuasa penyelamatan Kristus. Kita tidak tahu jumlah orang
percaya, setengah percaya, dan tidak percaya yang mendengarkan Injil. Kita mungkin tidak
pernah tahu bagaimana seseorang benar-benar telah diubahkan oleh kuasa Firman.
Pengkhotbah harus dilihat baik sebagai guru maupun sebagai sesama pembelajar. Dia
harus menjadi guru yang menjelaskan kebenaran yang ada di balik kerygma, terus-menerus
menyarankan cara-cara baru di mana Injil dapat dipahami dan diterapkan di dunia saat ini.
Pada saat yang sama, pengkhotbah yang terus-menerus mencari pemahaman yang lebih luas.
Peran berkhotbah dalam membangun komunitas Kristen sejati yang diajar dalam
iman, hidup secara rohani, dan menawarkan makanan, penghiburan, dan tantangan dapat
menjadi sangat penting. Tidak ada salahnya bagi seorang pengkhotbah, bahkan pengkhotbah
yang paling berwibawa, untuk mengakui kesulitan pribadi dengan suatu doktrin atau untuk
mengakui ketidaktahuan atau bahkan (secara bijaksana) godaan dan dosanya sendiri. Mereka
yang lapar secara rohani, dan bingung secara mental, dan terkuras secara emosional lebih
mungkin untuk mendengar Injil melalui seorang pengkhotbah yang benar-benar dan jelas
manusiawi daripada melalui seseorang yang jelas-jelas merupakan saluran pipa untuk
menyampaikan doktrin yang diterima atau (lebih buruk) orang yang datang sebagai teladan
kebajikan dan kebijaksanaan yang tak terbantahkan. Rohlah yang menafsirkan khotbah, dan
Roh bekerja dengan cara yang misterius.
Tetapi setiap pengkhotbah sejati bukan hanya seorang pemimpin tetapi seorang
pengikut. Seorang pendeta harus menjadi seorang pendeta dan seorang pengkhotbah, seorang
pengkhotbah tanpa permintaan maaf dan tanpa berusaha menjadi sesuatu yang lain. Pada saat
yang sama, seseorang harus waspada terhadap jenis profesionalisme yang menempatkan
pendeta di atas tumpuan sebagai semacam perwakilan Kristen, memenuhi citra orang tentang
apa dan apa seorang Kristen, tetapi citra yang mereka sendiri tidak cita-citakan. Khotbah
yang akan membantu mereka yang terlibat dalam perjuangan pemuridan adalah yang datang
dari orang yang juga begitu terlibat. 13 Khotbah adalah keterampilan komunikasi dari suatu
konsep atau gagasan Alkitabiah yang dapat diambil melalui penafsiran yang benar dari gaya-
gaya Alkitab dan diterapkan melalui kuasa Roh Kudus sehingga pemimpin ibadah
dimampukan untuk berkhotbah.14 Khotbah yang disampaikan kepada pendengar mempunyai
tujuan tertentu yaitu:
 Mengajarkan manusia mengenal Allah secara benar (Yesaya 58:2; Yeremia 24:7)

 Menerangkan Yesus Kristus dan karya keselamatan-Nya bagi dunia (Lukas 2:11)

 Mengubah kehidupan pendengar (umat Tuhan) untuk bertobat dari kehidupan yang
berdosa (2 Timotius 3:15)

 Mengubah kehidupan pendengar (umat Tuhan) untuk semakin dewasa dalam iman
(Roma 10:17; Ibrani 4:12; Matius 28:19-20; Galatia 5:22-26)

 Mengihibur orang yang menderita (Matius 4:4; 7; 10)15

Kita dapat merumuskan sebagai berikut: Tujuan khotbah ialah supaya orang percaya
(taat) dan diselamatkan. 16

G. Khotbah yang Menjawab Kebutuhan Nyata


(Sermons That Address Real Needs)
Rahmat datang ke hati yang terbuka untuk menerima kekuatan di luar diri kita, kepada
pikiran yang tidak terjebak dalam penjara kesombongan dan kemandirian, dan kepada
masyarakat yang dibebaskan dari kesombongan percaya bahwa manusia dengan
kepandaiannya. dan "banyak penemuan" dapat menyelamatkan diri. Dan kasih karunia datang
13
David Read, Preaching about the needs of real people, 90-96
14
Greg Scharf, Khotbah Yang Transformatif, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,1997), 90-91
15
Kresbinol Lanonar, Ilmu Berkhotbah, (Yogyakarta: ANDI, 2018), 7-8
16
H. Rothlisberger. Homiletika Ilmu Berkhotbah, 27
kepada orang Kristen yang percaya, bukan sebagai pengaruh samar yang tidak terlihat, atau
cairan ajaib yang mengalir dari keran rohani yang dikendalikan oleh pendeta, tetapi dalam
pribadi yang hidup dan hadirat Yesus Kristus. Rahmat bersifat pribadi. Itu adalah Tuhan yang
datang untuk menemui kita, menerima kita, mengilhami kita, memberdayakan kita. Ini adalah
pesan utama dari seluruh Alkitab. Bagi banyak orang, agama tampaknya merupakan masalah
mengakui Tuhan dan hidup sesuai dengan aturan Tuhan.
Tentu, ada aturan untuk dijalani kita membutuhkan Sepuluh Perintah. Jadi, di dalam
Perjanjian Lama, melalui gemuruh Hukum Taurat terdengar suara lembut Tuhan yang
memimpin kawanan domba-Nya di tepi padang rumput yang hijau dan air yang tenang, dan
Firman yang mengatakan, "Jangan takut, karena Aku telah menebus engkau. , Aku telah
memanggil engkau dengan namamu; engkau adalah milikku.”36 Dan ketika Firman itu
menjadi manusia dan berdiam di antara kita, kasih karunia Tuhan Yesus Kristus datang
bersinar ke dalam kegelapan dengan terang yang tidak pernah padam. Maka rasul itu
melanjutkan dengan menulis, "Hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan
kebenaran datang oleh Yesus Kristus."
Kristus adalah anugrah yang berinkarnasi—kasih penyelamatan Allah yang
diterjemahkan ke dalam istilah manusia. Jika kita menginginkan pengampunan, kita tidak
memiliki klaim kecuali pada kasih yang memanggil kita di dalam Kristus, kerendahan hati
yang berkata, "Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini." Hidup
oleh kasih karunia adalah hidup dengan sukacita dalam pengetahuan bahwa kita telah, seperti
yang dikatakan Paulus dengan indah, "diterima di dalam orang-orang yang dikasihi."
Apakah ini kedengarannya terlalu pasif, terlalu kurang harga diri yang dipuji kepada
kita hari ini? Sebaliknya, ini adalah pesan paling membebaskan yang pernah didengar dunia.
Kita semua adalah anak-anak anugerah-Nya, dan siapa yang tahu apa yang harus dihadapi
orang lain yang kita kritik karena faktor keturunan atau lingkungan? Itu membebaskan kita
dari memberi selamat kepada diri kita sendiri ketika kita membantu tetangga atau
mengangkat janji kita ke gereja. Dan itu membebaskan kita dari menjaga agama kita dalam
kompartemen khusus di mana kita telah mengerjakan apa yang kita anggap sebagai
kewajiban dan kewajiban kita.
Sebagai kepercayaan yang bekerja, kasih karunia mengajarkan kepada kita bahwa
tidak ada momen kegembiraan atau penderitaan tanpa kehadiran Tuhan yang bekerja dalam
segala hal untuk kebaikan bersama orang-orang yang mengasihi-Nya. 17

17
David Read, 110-113
KESIMPULAN
Dengan melihat berbagai pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa khotbah
merupakan cara dalam mengkomunikasikan gagasan Alkitabiah yang dapat diambil melalui
penafsiran yang benar dari ayat-ayat Alkitab dan diterapkan melalui kuasa Roh Kudus pada
kehidupan pengkhotbah dan juga pendengar khotbah. Dengan memperhatikan beberapa
pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa khotbah adalah menyampaikan atau
memberitakan firman Allah kepada orang lain yang dilakukan oleh seseorang dalam
membawa orang lain untuk mengalami pembaharuan hidup serta memperoleh kebenaran dan
keselamatan di dalam dan melalui Yesus Kritus. Firman yang dikomunikasikan benar-benar
berasal dari Tuhan melalui hasil perenungan Alkitab. Seorang pengkhotbah tidak dapat
mengandalkan kekuatannya sendiri misalnya pengetahuan dan keterampilan lainnya. Tetapi
seorang pengkhotbah harus menunjukkan suatu karya rohani yang dialami sendiri serta
nampak dalam kehidupannya. Seorang pengkhotbah dapat mengkomunikasikan firman Allah
dengan Alkitabiah apabila ia membina spiritualitas yang baik dengan Tuhan. Prinsip ini
sangat penting karena Alkitab adalah standart yang mutlak bagi pengkhotbah.

Banyak para pengkhotbah mengalami kegagalan karena bergantung pada pengalaman


dan pengetahuan pribadi dan tidak mengandalkan kuasa Tuhan dan peranan Roh Kudus.
Seorang pengkhotbah harus hidup di dalam firman Tuhan terlebih dahulu, sehingga khotbah
yang disampaikan tidak dimanipulasi oleh keinginan sendiri, melainkan tertuju kepada karya
keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu hal-hal seperti kepribadian,
panggilan dan kerohanian pengkhotbah justru lebih menentukan keberhasilan sebuah
khotbah dari pada teknik membuat dan menyampaikan khotbah. Seorang pengkhotbah sangat
perlu memperhatikan kepribadian, panggilan dan kerohaniannya, karena khotbah
sesungguhnya bukan sekedar sebuah karya yang dibuat berdasarkan tafsiran, tetapi ada unsur
lain yang melebihi teknik penafsiran yakni kasih terhadap Tuhan dan sesama. Jadi dalam
mempersiapkan sebuah khotbah,setiap perasaan pengaruh psikologis dari seorang
pengkhotbah harus dikuduskan terlebih dahulu oleh kuasa Roh Kudus, sehingga firman
Tuhan yang disampaikan berkuasa dan Alkitabiah.
Daftar Pustaka

Edward Thurneysen. (1962) Theolpgy of Pastoral Care. Inggris

Kresbinol Lanonar. (2018) Ilmu Berkhotbah. Yogyakarta, ANDI

Read. H C David. (1988) Preaching about the needs of real people. USA, The Westminster
Press

Rothlisberger. H. 2012. Homiletika Ilmu Berkhotbah. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Scharf Greg. (1997) Khotbah Yang Transformatif. Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih

Stort Jhon & Scharf Greg. (2013) Tantangan Dalam Berkhotbah. Jakarta, Yayasan
Komunikasi Bina Kasih

Todball Derek. 1983) Teologi Pengembalaan. England, Inter-Varsity Press

Anda mungkin juga menyukai