Anda di halaman 1dari 16

MATA KULIAH

ETIKA TERAPAN

Materi

ETIKA LINGKUNGAN HIDUP

Dosen :

Pdt. Dr. Albert O. Supit, STM

Disusun oleh

KELOMPOK 6 :

Alfrets Rumagit
Cahya Mengko
Omega Tampi
Reygen Porayow

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON


YAYASAN DS. A.Z.R. WENAS

ETIKA LINGKUNGAN HIDUP

1. ETIKA

 Etika

Menurut Verkuyl Etika berasal dari beberapa kata Yunani yaitu Ethos dan Ethikos,
dimana Ethos di artikan sebagai Kebiasaan atau adat istiadat. Ethikos di artikan sebagai
kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melaksanakan
sesuatu perbuatan.1 Etika juga merupakan ilmu atau studi yang mempelajari mengenai norma-
norma yang mengatur tingkah laku dari manusia. Etika sendiri berbicara mengenai tindakan
manusia tentang hal yang benar, baik dan tepat. Bukan hanya itu saja, Etika juga menganalisa
dan membahas serta merumuskan hal yang objek studinya secara rasional dan masuk akal.2

2. LINGKUNGAN HIDUP

 Lingkungan Hidup

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya yang
mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Pengertian lingkungan hidup secara umum adalah manusia dan makhluk hidup yang ada di
sekitarnya mampu untuk hidup bersama dan saling berkontribusi seperti lingkungan hidup
berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia serta manusia juga harus mampu
berkontribusi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Lingkungan hidup mempunyai
arti yang luas, bukan sekedar di artikan sebagai lingkungan fisik, biologis dan sosial atau biasa di
kenal sebagai hidrosfer, atmosfer, litosfer, biosfer dan sosiosfer. Ada baiknya pengertian
lingkungan hidup juga di artikan sebagai ekologi, kerena di anggap penting untuk memahami
hubungan manusia dengan lingkungan, baik itu fisik maupun biologis.

1
J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum (Jakarta: BPK, Gunung Mulia 2012), 1.
2
Eka Darmaputera. Etika sederhana untuk semua perkenalan pertama (Jakarta: BPK. Gunung Mulia
2020 ), 4-5.
Istilah Ekologi sendiri pertama kali muncul di tahun1866 oleh Ernest Haeckel, yang
dimana ekologi ini menunjuk pada keseluruhan organisme atau pola hubungan antar organisme
dan lingkungannya. Kata Ekologi berasal dari kata Yunani: oikos dan logos, yang secara harafiah
berarti, ‘rumah’ dan’pengetahuan’. Ekologi sebagai ilmu berarti pengetahuan tentang lingkungan
hidup dan planet bumi ini di anggap sebagai rumah tempat bagi manusia dan seluruh makhluk
hidup serta benda fisik lainnya. Jadi lingkungan hidup dapat diartikan sebagai oikos, dimana
bumi mempunyai 2 fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai tempat kediaman (Oikoumene) dan
sebagai sumber kehidupan (Oikonomia). Dapat di katakan bahwa lingkungan hidup sangat
berkaitan erat dalam kehidupan manusia. Namun, manusia belum menyadari bahwa kehidupan
mereka bergantung pada lingkungan di sekitar mereka, sehingga banyak terjadi pengrusakan
dalam ekosistem atau lingkungan hidup.

3. Etika Lingkungan Hidup

Etika lingkungan hidup adalah sebagai refleksi kritis tentang norma dan nilai atau


prinsip moral yang dikenal umum selama ini dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan
refleksi kritis tentang cara pandang manusia tentang manusia, alam, dan hubungan antara
manusia dan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini. Dari refleksi kritis ini
lalu ditawarkan cara pandang dan perilaku baru  yang dianggap lebih tepat dalam kerangka
menyelamatkan krisis lingkungan hidup dari perspektif folkloristik, yakni meng gali dan
mengeksplorasi etika lingkungan hidup yang secara potensial termuat dalam folklor masyarakat.
Etika lingkungan dalam suatu masyarakat tertentu sangat berpengaruh pada kepribadian
masyarakat tersebut.

Etika memiliki hubungan langsung dengan perilaku manusia yang dapat dicapai melalui
Pendidikan. Materi etika lingkungan dapat diajarkan melalui pembelajaran dengan menggunakan
budaya masyarakat adat sebagai sumber belajarnya. Pemahaman nilai-nilai kearifan lokal dapat
menanamkan kepedulian pelajar/mahasiswa terhadap lingkungan adalah segala sesuatu yang ada
di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan
makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung.Jadi, etika lingkungan
merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya. Etika
lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan
secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

Etika lingkungan hidup merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam


mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan, kita  tidak saja
mengimbangi hak dan kewajiban terhadap lingkungan, tetapi etika lingkungan hidup juga
membatasi perilaku, tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap
berada dalam batas kewajaran lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup juga berbicara
mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia
yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk lain atau dengan alam
secara keseluruhan termasuk di dalamnya berbagai kebijakan yang mempunyai dampak langsung
atau tidak langsung terhadap alam. Untuk menuju kepada etika lingkungan hidup tersebut,
diperlukan pemahaman tentang perubahan  pandangan terhadap lingkungan hidup itu sendiri.
Jadi, etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan
lingkungannya.etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan
dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.

Di samping itu, etika Lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia
terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu
antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan
makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Etika dalam konsep lingkungan hidup
sangat penting karena berkaitan dengan perilaku manusia agar dengan etika orang dapat
mengenal dan memahami nilai dan norma-norma yang membimbing perilaku proses individual
dan sosial terhadap alam dan lingkungan hidupnya. Artinya dasar etika ini adalah tindakan yang
ditujukan kepada alam atau lingkungan hidup. Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi.

Prinsip-prinsip

Unsur pokok dalam prinsip etika lingkungan hidup ada dua, yang pertama komunitas
moral tidak hanya dibatasi pada komunitas sosial, melainkan mencakup komunitas ekologis
seluruhnya. Kedua, hakikat manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial, melainkan juga
makhluk ekologis.Prinsip-prinsip ini dimaksudkan sebagai pedoman untuk melakukan perubahan
kebijakan sosial, politik, dan ekonomi untuk lebih berpihak pada lingkungan hidup dan dapat
mengatasi permasalahan yang terjadi pada lingkungan sekarang ini. Semua teori etika
lingkungan hidup mengakui bahwa alam semesta perlu dihormati. Pada
teori antroposentrisme menghormati alam karena kepentingan manusia bergantung pada
kelestarian dan integritas alam. Sedangkan pada teori biosentrisme dan ekosentrisme
beranggapan bahwa. Manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam semesta
dengan segala isinya karena manusia adalah bagian dari alam dan karena alam mempunyai nilai
pada dirinya sendiri.

Secara khusus, sebagai pelaku moral, manusia mempunyai kewajiban moral untuk


menghormati kehidupan, baik pada manusia maupun pada makhluk lain dalam komunitas
ekologis seluruhnya. Menurut teori DE dalam buku A. Sonny Keraf, manusia dituntut untuk
menghargai dan menghormati benda-benda nonhayati karena semua benda di alam semesta
mempunyai hak yang sama untuk berada, hidup, dan berkembang. Alam mempunyai hak untuk
dihormati, bukan hanya karena kehidupan manusia bergantung pada alam, tetapi karena
kenyataan ontologis bahwa manusia adalah bagian integral alam dan sebagai anggota komunitas
ekologis. Sikap hormat terhadap alam lahir dari relasi kontekstual manusia dengan alam dalam
komunitas ekologis. Manusia berkewajiban menghargai hak semua makhluk hidup untuk berada,
hidup, tumbuh, dan berkembang secara alamiah. Sebagai perwujudan nyata, manusia perlu
memelihara, merawat, menjaga, melindungi, dan melestarikan alam beserta seluruh isinya.
Manusia tidak boleh merusak dan menghancurkan alam beserta seluruh isinya tanpa alasan yang
benar. Alam dan seluruh isinya juga berhak untuk dicintai, disayangi, dan mendapat kepedulian
dari manusia. Kasih sayang dan kepedulian muncul dari kenyataan bahwa semua makhluk hidup
mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat.

Terkait dengan prinsip hormat kepada alam merupakan tanggungjawab moral terhadap
alam. Setiap bagian dan benda di alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan dengan tujuannya
masing-masing terlepas dari untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh sebab itu, manusia
sebagai bagian dari alam semesta bertanggungjawab pula untuk menjaga alam. Tanggung jawab
ini bukan saja bersifat individual melainkan kolektif. Tanggung jawab moral menuntut manusia
untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga
alam semesta dengan segala isinya. Hal ini berarti, kelestarian dan kerusakan alam merupakan
tanggungjawab bersama seluruh umat manusia. Tanggungjawab ini juga terwujud dalam bentuk
mengingatkan, melarang dan menghukum yang merusak dan membahayakan alam.
Unsur Etika Atau Moral Lingkungan

Beberapa unsur etika atau moral lingkungan yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1. Etika lingkungan hidup sebaiknya etika keutamaan atau kewajiban? Etika keutamaan itu perlu
karena yang kita butuhkan adalah manusia-manusia yang punya keunggulan perilaku.
Sementara itu etika kewajiban, dalam arti pelaksanaan kewajiban moral, tidak bisa diabaikan
begitu saja. Idealnya ialah, bahwa pelaksanaan keutamaan manusia Indonesia, bukan hanya
demi kewajiban semata-mata, apalagi sesuai kewajiban. Rumusan-rumusan moral itu di satu
pihak memang penting, namun di lain pihak yang lebih penting lagi ialah bahwa orang
mengikutinya karena keunggulan perilaku.
2. Bila etika lingkungan hidup adalah etika normatif plus etika terapan, maka ada faktor lain
yang mesti ikut dipertimbangkan, yaitu sikap awal orang terhadap lingkungan hidup,
informasi, termasuk kerja sama multidisipliner dan norma-norma moral lingkungan hidup
yang sudah diterima masyaraakat (ingat akan berbagai) kearifan lingkungan hidup dalam
masyarakat kita, yang dapat dikatakan sebagai “moral lingkungan hidup”.
3. Etika lingkungan hidup tidak bertujuan menciptakan apa yang disebut sebagai eco-fascism.
Artinya, dengan dan atas nama etika seolah-olah lingkungan hidup adalah demi lingkungan
hidup itu sendiri. Dengan risiko apapun lingkungan hidup perlu dilindungi. Dari segi etika
yang bertujuan melindungi lingkungan dari semua malapetaka bikinan manusia, hal itu tentu
saja baik. Namun buruk secara etis, bila akibatnya membuat manusia tidak dapat
menggunakan lingkungan hidup itu lagi karena serba dilarang. Etika lingkungan tidak hanya
mengijinkan suatu perbuatan yang secara moral baik, melainkan juga melarang setiap akibat
buruknya terhadap manusia.
4. Ciri-ciri etika lingkungan hidup yang perlu diperhatikan adalah sikap dasar menguasai secara
berpartisipasi, menggunakan sambil memlihara, belajar menghormati lingkungan hidup dan
kehidupan, kebebasan dan tanggung jawab berdasarkan hati nurani yang bersih, baik untuk
generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Yang juga penting adalah soal
oreintasi dalam pembangunan, yakni tidak hanya bersifat homosentri, yang sering tidak
memperhitungkan ecological externalities, melainkan juga ekosentris. Pembangunan tidak
hanya mementingkan manusia, melainkan kesatuan antara
manusia dengan keseluruhan ekosistem atau kosmos.
Jenis-jenis Etika Lingkungan

Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan dan
menjadi dua  yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan
juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah
etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia,
sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan
untuk kepentingan semua makhluk.

1. Ekologi dangkal (Shallaw ecology) merupakan paradigma yang menekankan pada aspek


pemenuhan kebutuhan manusia. Konsep ini mendudukkan lingkungan sebagai sarana yang
dimanfaatkan demi kebutuhan manusia. Dengan demikian, ekologi dangkal bersifat
antroposentris dalam artian mendudukkan manusia sebagai makhluk superior yang punya
wewenang bebas dalam melakukan eksploitasi dan pemanfaatan lingkungan demi
kebutuhannya.
2. Ekologi dalam (Deep ecology) merupakan etika yang memandang bahwa manusia merupakan
bagian integral dari lingkungannya. Konsep ini menempatkan sistem etika baru dan memiliki
implikasi positif dalam kelestarian alam. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa
semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut
penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya
adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan
komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas
yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.

 Dasar Teologis Etika Lingkungan

Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh
alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan
lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan
menurut gambar Allah (" Imago Dei ") dan yang diberikan kewenangan untuk mengelola dan
menjaga bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan
(lingkungan), akan tetapi pada lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan
memelihara bumi. Maka, hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari
mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.

a. Kesatuan Manusia dengan Alam

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan
manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej. 2:7), seperti Ia juga
"membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej. 2:19). Dalam
bahasa Ibrani, manusia disebut " adam ". Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata
untuk tanah, " adamah ", yang berarti warna merah kecokelatan yang mengungkapkan warna
kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin, manusia disebut " hom ", yang juga
mempunyai makna yang berkaitan dengan "humus", yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang
biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia:
manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej.
3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3). Di sini nyata bahwa
manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung -- sesuai dengan hukum
ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga
merusak dirinya sendiri.

b. Kepemimpinan Manusia Atas Alam

Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas
adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan
segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi
dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara
lingkungan hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada
makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat
(Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-
makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk
menjadi mitra Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah
kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang
harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak
boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia
adalah kekuasaan " care-taker". Maka, sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang,
artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha
pemeliharaan atau pelestarian alam.

Kata "mengelola" dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani "abudah", yang sama
maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka, manusia sebagai citra Allah seharusnya
memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata
lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan
sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan
kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola (" abudah ") dan memelihara ("
samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.

c. Kegagalan Manusia Memelihara Alam

Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi
sama seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej. 3:5-6). Tindakan
melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan
Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi
dalam konteks "sesama ciptaan", tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya".
Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan
dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan (utilistik-materialistik). Manusia
hanya memerhatikan tugas menguasai, tetapi tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan
demikian, manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.

Akar perlakuan buruk manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah
yang terkutuk", "susah payah kerja", dan "semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan
bumi" (Kej. 3:17-19). Manusia selalu dibayangi oleh rasa kuatir akan hari esok yang
mendorongnya cenderung rakus dan materialistik (baca Mat. 6:19-25 par.). Secara teologis,
dapat dikatakan bahwa akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus
manusia yang dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental loss".
Manusia berdosa menghadapi alam tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi
sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain, manusia berdosa adalah manusia
yang hakikatnya berubah dari "a needy being" menjadi "a greedy being". Kegagalan dalam
melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam
mengendalikan dirinya, khususnya keinginan-keinginannya.

d. Hubungan Baru Manusia-Alam

Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi
dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, yaitu
Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos) penciptaan
(Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil bentuk materi dengan menjelma
menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta
kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta
panta) atau dunia (kosmos) ini (Kol. 1:19-20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan
hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan
manusia dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah
dipulihkan.

Apa yang dibayangkan dalam Perjanjian Lama sebagai nubuat tentang kedamaian seluruh
bumi dan di antara seluruh makhluk (Yes. 11:6-9; 65:17; 66:22; Hos. 2:18-23) telah dipenuhi
dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Maka, dalam iman Kristen, hubungan baru manusia dengan
alam bukan saja hubungan " dominio " (menguasai), tetapi juga hubungan " comunio "
(persekutuan). Itu sebabnya Tuhan Yesus yang telah berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-
unsur alam, yaitu "air, angggur, dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai
hubungan baru manusia dengan Allah. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Allah yang
baik harus tercermin dalam hubungan yang baik antara manusia dengan alam. Persekutuan
dengan Allah harus tercermin dalam persekutuan dengan alam. Hubungan yang baik dengan
alam, sekaligus mengarahkan kita pada penyempurnaan ciptaan dalam "langit dan bumi yang
baru" (Why. 21:1-5) yang menjadi tujuan akhir dari karya penebusan Allah melalui Tuhan Yesus
Kristus. Dalam langit dan bumi yang baru itulah Firdaus yang hilang akan dipulihkan.

 Norma Etika Lingkungan

Etika lingkungan biasanya dibagi atas dua atau tiga bagian yang antroposentris,
ekosentris, dan biosentris. Pandangan pertama, yaitu antroposentris, adalah pandangan yang telah
lama dianut oleh umat manusia yang beranggapan bahwa alam atau lingkungan hanya
mempunyai nilai alat ( instrumental value ) bagi kepentingan manusia. Pandangan antroposentris
ini sering dihubungkan dengan pandangan Barat yang melihat lingkungan hidup sebatas
maknanya bagi kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Manusia Barat menganut pandangan
mengenai hubungan diskontinuitas antara manusia dengan alam. Hanya manusia yang subjek,
sedangkan alam atau lingkungan adalah objek. Maka, alam diteliti, dieksplorasi, lalu
dieksploitasi. Maka, etika antroposentris ini tidak sejalan dengan etika Kristen yang menekankan
adanya kontinuitas antara manusia dengan alam.

Pandangan yang kedua adalah biosentris. Penganut pandangan ini berpendirian bahwa
semua unsur dalam alam mempunyai nilai bawaan ( inherent value ), misalnya kayu mempunyai
nilai bawaan bagi kayu sendiri sebagai alasan berada. Jadi, kayu tidak berada demi untuk
kepentingan manusia saja. Demikianlah seluruh makhluk hidup memiliki nilai inheren lepas dari
kepentingannya bagi manusia. Manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya mempunyai
hubungan kontiunitas, maka manusia dan lingkungan mempunyai tujuannya masing-masing.
Maka tiap makhluk mempunyai hak mendapatkan perlakuan sesuai dengan hak yang melekat
padanya.

Pandangan ketiga, yaitu ekosentris, berpendirian bahwa bumi sebagai keseluruhan atau
sebagai sistem tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Maka, lingkungan harus diperhatikan
karena manusia hanyalah salah satu subsistem atau bagian kecil dari seluruh ekosistem. Manusia
adalah mikro dari makro kosmos. Menurut pandangan ini, bumi memiliki nilai hakiki ( intrinsic
value ) yang harus dihormati oleh manusia. Maka, alam atau lingkungan tidak boleh
diperlakukan semena-mena, karena bumi mempunyai nilainya yang luhur yang harus dijaga,
dihormati, dan dianggap suci.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika lingkungan tidak bersifat
antroposentris, tetapi juga tidak sekadar bersifat biosentris atau ekosentris. Manusia dan semua
makhluk hidup lainnya, bahkan seluruh planet bumi ini, bersumber dari Allah. Allah yang
menciptakannya dan Allah menghendaki seluruhnya berada, topang-menopang, dan saling
membutuhkan. Maka etika lingkungan, dari perspektif teologi Kristen, mestinya bersifat
teosentris, artinya berpusat pada Allah sendiri. Kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan
hidup bukan saja karena kita membutuhkan sumber-sumber di dalamnya dan karena bumi ini
adalah rumah kita (antroposentris), bukan pula karena makhluk hidup memiliki hak asasi seperti
hak asasi manusia (biosentris), juga bukan karena bumi ini merupakan suatu ekosistem yang
memiliki nilai intrinsik (ekosentris); kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup
karena lingkungan hidup adalah ciptaan Allah, termasuk manusia, yang diciptakan untuk hormat
dan kemuliaan-Nya.

Kalau kita memelihara lingkungan sekadar karena diperlukan untuk menopang hidup
manusia, kita akan jatuh ke dalam materialisme, nilai etis yang telah terbukti merusak
lingkungan. Kalau kita memelihara lingkungan karena sekadar kecintaan kita pada lingkungan
yang memiliki hak seperti kita, maka kita akan jatuh ke dalam romantisisme, nilai etis yang
cenderung utopis. Kita perlu memelihara lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada
Allah Sang Pencipta yang telah mengaruniakan lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya
untuk menopang hidup kita dan yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Juga, sebagai tanda
syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui pengorbanan
Yesus Kristus. Maka, memelihara lingkungan tidak lain dari ibadah kita kepada Allah.
Bagaimana menjabarkan ibadah ini, norma-norma berikut kiranya perlu dikembangkan sebagai
penjabaran etika lingkungan yang bersifat teosentris, dengan menunjukkan solidaritas dengan
semua makhluk, dengan sesama (termasuk generasi penerus) dalam kasih dan keadilan.

1. Solidaritas dengan Alam.

Karena manusia dengan lingkungan hidup adalah sesama ciptaan yang telah dipulihkan
hubungannya oleh Tuhan Yesus Kristus, maka manusia, khususnya manusia baru dalam Kristus
(2 Kor. 5:7), seharusnya membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan solider (sesama
ciptaan dan sesama tebusan) berarti alam mestinya diperlakukan dengan penuh belas kasihan.
Manusia harus merasakan penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai
kerusakannya juga. Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak diperlakukan semena-mena,
tidak dirusak, tidak dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan musnah atau punah. Manusia
tidak boleh bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap sesama makhluk. Dengan cara
itu, manusia dan alam secara bersama (kooperatif) menjaga dan memelihara ekosistem. Contoh
konkret: manusia berdisiplin dalam membuang sampah atau limbah (individu, rumah tangga,
industri, kantor, dan sebagainya) agar tidak mencemari lingkungan dan merusak ekosistem.
Pencemaran/polusi mestinya dicegah, diminimalisir, dan dihapuskan supaya alam tidak sakit atau
rusak. Manusia bertanggung jawab atas kesehatan dan kesegaran alam kita.

Sikap solider dengan alam dapat pula ditunjukkan dengan sikap hormat dan menghargai
(respek) terhadap alam. Tidak berarti alam disembah, tetapi alam dihargai sebagai ciptaan yang
dikaruniakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus yang menjadi cerminan
kemuliaan Allah. Menghargai alam berarti menghargai Sang Pencipta dan Sang Penebus. Contoh
konkret misalnya tidak membabat hutan sembarangan, sebab membabat hutan dapat
memusnahkan aneka ragam spesies dalam hutan. Contoh lain, tidak menangkap ikan dengan
menggunakan bahan peledak atau bahan pemusnah lainnya. Sebaliknya, usaha menghargai dapat
dilakukan melalui usaha-usaha kreatif mendukung dan melindungi kehidupan seluruh makhluk
dan lingkungan hidup misalnya dengan tidak hanya penghijauan, pembudidayaan, tetapi juga
usaha pemulihan dengan membersihkan lingkungan yang terlanjur rusak. Pokoknya, sikap
solidaritas dengan alam dapat ditunjukkan dengan pola hidup berdisiplin dalam menjaga dan
memelihara keseimbangan ekosistem secara konstan.

2. Pelayanan yang Bertanggung Jawab (Stewardship)

Alam adalah titipan dari Allah untuk dimanfaatkan/dipakai/digunakan manusia


memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sekaligus adalah rumahnya. Maka, sumber-sumber alam
diberikan kepada manusia tidak untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan
memanfaatkan sumber-sumber alam itu secara bertanggung jawab. Memanfaatkan alam adalah
bagian dari pertanggungjawaban talenta yang diberikan/dipercayakan oleh Tuhan kepada
manusia (Mat. 25:14-30.). Allah telah memercayakan alam ini untuk dimanfaatkan dan dipakai.
Untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk disuburkan, dan dijaga agar tetap sehat sehingga
produknya tetap optimal. Oleh karena itu, alam mesti dipelihara dan keuntungan yang didapat
dari alam sebagian dikembalikan sebagai deposit terhadap alam. Akan tetapi, juga dipergunakan
secara adil dengan semua orang. Ketidakadilan dalam memanfaatkan sumber-sumber alam
adalah juga salah satu penyebab rusaknya alam. Sebab, mereka yang merasa kurang akan
mengambil kebutuhannnya dari alam dengan cara yang sering kurang memerhatikan kelestarian
alam, misalnya dengan membakar hutan, mengebom bunga karang untuk ikan, dan sebagainya.
Sebaliknya, mereka yang tergoda akan kekayaan melakukan pengurasan sumber alam secara
tanpa batas.
Panggilan untuk memanfaatkan sumber-sumber alam sebagai pelayanan dan
pertanggungjawaban talenta akan mendorong kita melestarikan sumber-sumber alam, sekaligus
melakukan keadilan terhadap sesama. Contoh konkret: manusia menghemat menggunakan
sumber-sumber alam (bahan bakar fosil, hutan, mineral, dan sebagainya) agar tetap mencukupi
kebutuhan manusia dan makhluk hidup lain secara berkesinambungan. Penghematan ini tidak
hanya berarti penggunaan seminimal mungkin sumber-sumber alam sesuai kebutuhan (air,
energi, kayu, dan sebagainya), tetapi mencakup pula pola 4R -- " reduce", "reuse", "recycle",
"replace " (atau mengurangi, menggunakan ulang, mendaur ulang, dan mengganti) sumber-
sumber alam yang kita pergunakan setiap hari. Dunia modern yang sangat praktis mengajar kita
memakai lalu membuang. Sayangnya, yang sering dibuang itu adalah yang semestinya masih
berguna kalau didaur. Tidak jarang pula yang dibuang itu sekaligus merusak lingkungan,
misalnya bahan kimia atau kemasan kaleng dan plastik. Karena itu, bahan-bahan yang merusak
alam sebaiknya tidak digunakan terlalu banyak dan tidak dibuang sembarangan.

3. Pertobatan dan Pengendalian Diri

Kerusakan lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya
manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara
teologis, dapat dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis
moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan. Dengan demikian, setiap perilaku
yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis moral yang berarti tindakan dosa. Dalam
arti itu, maka upaya pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan
pengendalian diri. Dilihat dari sudut pandang Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan hidup
yang pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan
dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi
dikendalikan oleh cinta kasih.

Materialisme adalah akar kerusakan lingkungan hidup. Maka, materialisme menjadi


praktik penyembahan alam (dinamisme modern). Alam dalam bentuk benda menjadi tujuan yang
diprioritaskan bahkan disembah menggantikan Allah. Kristus mengingatkan bahaya mamonisme
(cinta uang/harta) yang dapat disamakan dengan sikap rakus terhadap sumber-sumber alam (Mat.
6:19-24 par.; 1 Tim. 6:6-10). Karena mencintai materi, alam dieksploitasi guna mendapatkan
keuntungan material. Maka, supaya alam dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya, manusia
harus berubah (bertobat) dan mengendalikan dirinya. Manusia harus menyembah Allah dan
bukan materi. Dalam arti itulah maka usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah kepada
Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam modern alias
materialisme/mamonisme. Pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud kecintaan kita
kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu penjabarannya adalah terhadap
seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.

Kesimpulan.

Alam atau lingkungan hidup telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada kita untuk digunakan
dan dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Manusia dapat menggunakan alam untuk
menopang hidupnya. Dengan kata lain, alam diciptakan oleh Tuhan dengan fungsi ekonomis,
yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi, bukan hanya kebutuhan manusia
menjadi alasan penciptaan. Alam ini dibutuhkan pula oleh makhluk hidup lainnya bahkan oleh
seluruh sistem kehidupan atau ekosistem. Alam ini berfungsi ekumenis (untuk didiami) oleh
seluruh ciptaan lainnya. Alam ini rumah kita. Kata-kata "ekonomi", "ekumene", dan "ekologi"
berakar dalam kata Yunani " oikos " yang artinya rumah. "Ekonomi" berarti menata rumah;
itulah tugas pengelolaan kebutuhan hidup. " Ekumene " berarti mendiami rumah; itulah tugas
penataan kehidupan yang harmonis. "Ekologi" berarti mengetahui/menyelidiki rumah; itulah
tugas memahami tanggung jawab terhadap alam.

Dalam Etika lingkungan sendiri menekankan bahwa lingkungan merupakan satu kesatuan
dengan manusia yang merupakan sesama ciptaan Allah, namun manusia di berikan kuasa oleh
Allah untuk melindungi, melestarikan dan mengelola lingkungan di bumi. Suatu kelebihan yang
di berikan Allah kepada manusia yang tentunya sangat baik. Manusia harus bersikap baik
terhadap lingkungan sekitar mereka, Etika Lingkungan menuntun manusia untuk menjaga dan
melindungi lingkungan hidup sebagai bentuk tanggung jawab atas tugas yang di berikan Allah
kepada manusia. Jika manusia tidak mampu untuk merawat lingkungan hidup maka di pastikan
manusia di anggap gagal dalam melaksanakan tanggung jawab yang di berikan. Merawat,
melindungi serta melestarikan semua yang ada dalam lingkungan hidup, itu juga merupakan
bagian dari Ibadah, jadi jika manusia tidak mampu menjaga lingkungan hidup maka ibadah yang
mereka lakukan juga di anggap tidak berkenan kepada Tuhan.
Manusia adalah penata dalam rumah bersama ini. Pertama, ia adalah pengelola ekonomi,
tetapi ia lebih dikuasai oleh kerakusan. Karena itu, diperlukan pembaruan/pertobatan dan
pengendalian diri supaya timbul sikap respek dan tindakan penuh tanggung jawab terhadap
lingkungan. Maka tanggung jawab Kristen dalam memelihara kelestarian lingkungan kiranya
dapat pula dirumuskan dalam pola 4R -- "repent", "restraint", "respect", "responsible" (atau
bertobat, menahan diri, menghormati, dan bertanggung jawab). Ibadah yang sejati adalah ibadah
yang dapat diimplementasikan secara bertanggung jawab dalam hidup yang nyata.

Dalam menata kehidupan bersama, umat Kristen harus bermitra dengan semua orang,
bahkan dengan semua makhluk. "Ekumene" berarti bekerja bersama membangun kehidupan di
atas planet ini. Tugas itu adalah tugas bersama semua orang dan seluruh ciptaan. Maka tugas
orang Kristen adalah memberi kontribusinya sesuai dengan iman dan pengharapan kepada Allah,
memperkaya dan mengoptimalkan ibadahnya dengan terus-menerus menjaga dan memelihara
kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan.
Optimalisasi ibadah itu dinyatakan dalam bentuk disiplin, penghematan, dan pengendalian diri.

Anda mungkin juga menyukai