Anda di halaman 1dari 5

BAB VI

MODEL PRAKSIS

Model praksis menyangkut teologi kontekstual memusatkan perhatiannya pada jati diri orang-
orang Kristen di dalam sebuah konteks, khususnya sejauh konteks itu dipahami sebagai
perubahan sosial. Virginia Fabella, dalam kata pengantarnya tentang Laporan Hasil Kerja
Konferensi Teologi Asia yang diselenggarakan di Sri Lanka pada tahun 1979, menggunakan
terminologi yang lain, namun menunjuk pada tampilnya sebuah cara berteologi yang baru, yang
secara signifikan berbeda dalam cakupan serta titik tolaknya dari upaya-upaya yang berangkat
dari kebutuhan entah untuk mengadaptasi pewartaan wahyu atau untuk mendengarkan konteks.
Terdapat dorongan yang lebih baru untuk mengkontekstuali sasikan teologi. Sebagai suatu proses
yang dinamis, upaya itu hendak menggabungkan kata-kata dan tindakan-tindakan, ia terbuka
kepada perubahan, dan memandang ke masa depan.

Model praksis adalah suatu cara berteologi yang dibentuk oleh pengetahuan pada tingkatnya
yang paling intensif-tingkat aksi berdasarkan refleksi. Model ini juga menyangkut pemindaian
makna dan memberi sumbangsih kepada rangkaian perubahan sosial, berdasarkan realitas-
realitas masa kini dan peluang-peluang masa depan.

GARIS BESAR MODEL PRAKSIS

Terminologi

Ketika kita berbicara tentang model praksis menyangkut teologi kontekstual, maka kita berbicara
tentang sebuah model, yang wawasan utamanya ialah bahwa teologi itu dilakukan bukan hanya
dengan menyediakan ungkapan-ungkapan yang relevan bagi iman Kristen, melainkan komitmen
kepada tindakan Kristen. Namun lebih dari itu, teologi dipahami sebagai produk dari dialog yang
berkesinambungan dalam kehidupan Kristen. Model praksis menggunakan sebuah metode yang
"dipahami sebagai kesatuan antara pengetahuan sebagai aktivitas dan pengetahuan sebagai isi."
"Model ini bekerja di atas keyakinan bahwa "kebenaran ada pada tataran sejarah, bukan pada
bidang ide-ide". “Dengan mengacu pada penggunaan Paolo Freire, Philip Berryman mencirikan
model ini "aksi dengan refleksi". Ia mengadakan refleksi atas aksi dan mengadakan aksi atas
refleksi-dua-duanya berputar menjadi satu. Para praktisi model praksis yakin bahwa dalam
gagasan tentang praksis ini mereka telah menemukan sebuah cara berteologi yang baru lagi
mendasar, sebuah cara, yang lebih dari semua cara lainnya, mampu menggubris secara memadai
pengalaman masa lampau (Injil, tradisi), serta pengalaman masa kini (pengalaman manusia,
kebudayaan, lokasi sosial dan perubahan sosial).

Apa yang kita sebut sebagai model praksis sering kali juga dinamakan "model pembebasan".
Alasan penyebutan ini ialah terutama karena para teolog politik di Eropa (J. Moltmann dan J.B.
Metz), dan khususnya para teolog pembebasan, teristimewa di Amerika Latin, telah
mengembangkan model ini dalam artinya yang paling penuh. Akan tetapi, alasan lain lebih
berkaitan dengan komitmen dasar kepada praksis sebagai suatu metode teologi. Walaupun model
praksis sangat erat bertalian dengan teologi pembebasan, istilah model praksis merupakan yang
paling cocok untuk digunakan oleh karena dua alasan. Pertama,, cara pendekatan semacam ini
terhadap proses kontekstualisasi teologi tidak mesti mengangkat tema-tema pembebasan. Tetap
ada kemungkinan misalnya untuk berteologi dalam sebuah konteks tertentu di mana
ketidakadilan struktural tidak sungguh merajalela. Dalam hal ini, kita masih dapat berteologi
dengan melakukan aksi berdasarkan refleksi dan mengadakan refleksi atas tindakan. Kedua,
dibandingkan dengan istilah model pembebasan, istilah ini secara lebih jelas menyingkapkan
bahwa kekhasan model ini tidak terletak pada tema tertentu tetapi pada satu metode tertentu.

Pengandaian-Pengandaian Model Praksis

Pengandaian kunci dari model praksis ialah wawasan bahwa tingkat mengetahui yang paling
tinggi ialah melakukan secara benar dan bertanggung jawab. Dalam cara berteologi yang lebih
tradisional, teologi diterangkan sebagai suatu proses "iman yang mencari pemahaman", maka
model praksis menegaskan bahwa teologi merupakan sebuah "iman yang mencari tindakan yang
benar". Dengan pertama-tama bertindak dan kemudian membuat refleksi atas tindakan iman
tersebut, Teologi tidak disusun dalam bentuk yang konkret, permanen dan dicetak, tetapi lebih
dalam arti sebuah aktivitas, sebuah proses, sebuah cara hidup.

Seorang praktisi model praksis melihat peran penting aspek kebudayaan dari satu konteks dalam
mengembangkan sebuah pemahaman atas iman. Unsur konstitutif dari kebudayaan itu sendiri
adalah per ubahan budaya dan perubahan sosial, dan perubahan ini mesti diindahkan sama
seperti kebiasaan-kebiasaan tradisional, nilai-nilai dan ung kapan bahasa. Dengan demikian,
sistem-sistem politik dan ekonomi adalah juga bagian dari kebudayaan, Oleh karena kebudayaan
itu merupakan sebuah produk manusia (atau lebih baik sebuah produk yang menghumanisasi),
maka seorang teolog praksis melihat eksistensi kultural sebagai sesuatu yang secara mendasar
bersifat baik. .

Tinjauan Atas Model Praksis

Kekuatan utama model praksis adalah metode serta epistemologi yang mendasarinya. Sebagai
satu metode teologi, model praksis oleh karena hakikat nya dikawinkan dengan sebuah konteks
khusus. Ia tidak pernah menjadi sebuah teologi yang "kakinya tidak berpijak di atas bumi".
Berteologi sebagai refleksi kritis atas praksis membuat teologi mampu menjadi sebuah ungkapan
yang ampuh mengenai agama Kristen. Dengan secara tetap mengadakan refleksi atas kegiatan
kita sehari-hari .

Model praksis memberi ruang yang luas bagi pengungkapan pengalaman personal dan komunal,
pengungkapan budaya atas iman, dan pengungkapan iman dari perspektif lokasi sosial. Pada saat
yang sama, ia menyediakan pemahaman-pemahaman baru dan menarik menyangkut Kitab Suci
dan kesaksian-kesaksian teologis yang lebih tua. Dalam beberapa hal model ini mengangkat
situasi konkret secara lebih bersungguh-sungguh daripada model-model yang lain,
CONTOH-CONTOH MODEL PRAKSIS

Satu contoh tentang hal ini ialah menyangkut salah seorang teolog pembebasan yang paling
penting, Leonardo Boff. Boff tentu saja menyadari pentingnya praksis dalam pergumulan
teologis, namun beberapa karyanya tidak secara serta merta mencerminkan metode praksis
sebagai jantung rancangannya. Buku-buku Boff tentang kristologi, rahmat dan Allah Tritunggal.
semuanya merupakan refleksi atas tema-tema pembebasan, dan tentang teologi sebagai "ihwal
merefleksikan secara kritis praksis iman Kristen". Boff membuat refleksi atas pengalaman
konkret menyangkut Jemaat-Jemaat Gerejani Basis, dan dengan demikian metode praksis yang
aktual lebih gamblang didayagunakan. Ihwal menjadi Gereja secara aktual dari suatu jemaat
kecil memberi terang baru pada apa artinya menjadi Gereja.

Teolog-teolog yang akan menjadi pusat perhatian saya secara lebih cermat dalam bagian ini,
yakni Douglas John Hall dan sejumlah teolog feminis Asia, juga mengembangkan pendekatan-
pendekatan lain dalam berteologi. Namun bagaimanapun, seperti Boff dan para teolog
pembebasan lainnya, penggunaan mereka atas model praksis merupakan hal yang mencirikan
kiblat dasar dari pemikiran mereka, dan karya-karya mereka menunjukkan cara-cara berpikir
baru me nyangkut iman Kristen.

Douglas John Hall

Douglas John Hall adalah pendeta Gereja Persekutuan Kanada, dan mahaguru emeritus bidang
teologi Kristen di Universitas McGill di Montreal. Ia dilahirkan di Ontario pada tahun 1928,
Dalam buku yang memiliki subjudul "Toward an Indigenous Theology of the Cross," ia
berupaya memaparkan sebuah teologi yang bersifat "pribumi menyangkut pengalaman Amerika
Utara sebagai (Hall mengutip George Grant] 'masyarakat teknologis yang paling riil sampai
sekarang ini”. Teologi Amerika Utara, entah dalam ragam Kanada atau Amerika Serikat. Hall
mengatahkan "barangkali ada kedalaman-kedalaman tersembunyi dari apa yang mungkin
memiliki arti penting secara teologis di dalam beberapa praktik yang ditata dari dalam dan yang
mengatakan sesuatu tentang kehidupan sehari-hari di dalam Gereja-Gereja Amerika Utara.
"Pemikira praksis" menekankan bahwa teori yang riil muncul dari aksi yang membangkitkan
lebih banyak tanggung jawab, lebih banyak kegiatan yang riil. Pemikiran praksis tidak
beranggapan bahwa kebenaran itu bisa dicapai secara terlepas dari kehidupan, tetapi sebaliknya
ia berpendapat bahwa kebenaran itu hanya bisa ditangkap dalam dialog dengan kehidupan
sebagaimana kehidupan itu secara aktual dilakoni, diderita dan dirayakan.

Tradisi kepelayanan/kepengurusan (stewardship)di dalam Gereja Amerika Utara dilihat Hall


sebagai hal yang secara khusus patut direfleksikan oleh para teolog Amerika Utara. Setelah
menetapkan bahwa ia akan merefleksikan praktik aktual kepelayanan (apa yang telah saya
sebutkan di atas sebagai "tindakan penuh komitmen" darinya refleksi dilancarkan), Hall pertama-
tama menyelidiki asal usul gagasan itu di dalam Kitab Suci, dan menemukan bahwa gagasan itu
sedemikian kaya sehingga patut dipandang lebih dari sekadar metafora belaka. Ia adalah sebuah
simbol yang mengandung keseluruhan amanat iman Yudaistik dan Kristen.

Titik praksis tidak menggantikan kegiatan berpikir, perbuatan tidak menggantikan kata-kata,
tetapi memastikan bahwa kegiatan berpikir itu berakar dalam keberadaan-dan me naruh
komitmen demi transformasi atasnya. Mengatakan bahwa undangan kepada kontekstualisasi
ialah suatu panggilan kepada praksis Kristen yang sejati bukanlah perkara me ngatakan, "Mari
kita melepaskan semua urusan teologi yang melelahkan ini dan langsung saja ke soal melakukan
kebenaran!" Sebaliknya, hal itu berarti berikrar untuk men jembatani jurang (yang bagaimanapun
artifisial saja) antara pemikiran dan tindakan, dan demikian menjadi lebih ber

Oleh karena itu, teologi Amerika Utara yang autentik harus berawal pada komitmen pribadi-
pribadi untuk melibatkan diri dalam transformasi dunia mereka. Orang-orang Kristen tidak boleh
menyerah kalah kepada alternatif seperti bersikap putus asa, dan bersikap sinis atau represif, dan
suppresif, tetapi sebaliknya mereka dipanggil untuk menghadapi dunia dewasa ini dengan suatu
"realisme profetis", siap untuk menghadapi masyarakat yang berlandas pada kesenangan tidak
akan bertahan; dan hanya masyarakat yang berdiri di atas kebenaran akan berkanjang".

Teologi Amerika Utara, kata Hall, mesti menjadi teologi salib. Ia perlu ditampilkan dari latar
bahwa "faktor gerejani tunggal dan memiliki jangkauan paling luas dalam menentukan refleksi
teologis dalam zaman kita sekarang ini ialah penggeranyangan secara efektif atas agama Kristen
di dunia Barat oleh kekuatan-kekuatan sekular, politik dan agama-agama alternatif" Agar teologi
Amerika Utara itu sungguh sungguh sejati, maka ia perlu bersikap rendah hati dalam
perumusannya tentang kebenaran Kristen di tengah sebuah dunia di mana terdapat banyak jalan
religius, serta mengarahkan upaya-upaya khusus untuk menjalin dialog dan rekonsiliasi dengan
Yudaisme. Ia perlu menyadari, dengan bantuan kritik terhadap globalisasi ekonomi, kejahatan
struk tural yang diciptakan dan dilanggengkan oleh kaum kaya Kanada dan Amerika Serikat.
Teologi Amerika Utara hanya bisa menjadi autentik apabila dilakukan berdasar pada komitmen
untuk memugar kerusakan yang dilakukan oleh perihidup kita terhadap lingkungan alam serta
menangkal momok penghancuran nuklir. Akhirnya, sebagai iman yang memikir, teologi tidak
akan pernah menyetujui "simplisisme" dan apo kaliptisisme yang diakibatkan oleh tekanan dari
dunia pasca-modern dewasa ini,

Teolog Feminis Asia

- Virginia Fabella

Pada tahun 1988, teolog Virginia Fabella dari Filipina, Fabella melancarkan sebuah tafsir ulang
atas Kitab Suci dan tradisi. Amanat Yesus bukan terutama amanat tentang diri-Nya sendiri,
melainkan suatu panggilan untuk bertindak. Pengajaran Yesus tentang Pemerintahan Allah
adalah suatu undangan bagi orang "guna membarui hidup mereka, mempercayai kabar baik dan
diselamatkan. Masuk ke dalam kerajaan itu berarti mengubah perilaku dan cara berelasi
seseorang." Lebih dari itu, amanat Yesus diajarkan bukan melulu dalam perkataan, melainkan
juga-dan terutama-dalam perbuatan. Yesus memperaga kan realitas Pemerintahan Allah oleh
kesetiakawanan-Nya dengan kaum tergusur di tengah masyarakat: para pendosa, orang-orang
yang dikucilkan, kaum perempuan. Yesus tidak saja memperhitungkan orang-orang seperti itu,
tetapi la "bahkan bertindak bertentangan dengan adat kebiasaan serta praktik-praktik yang
berlaku ketika itu. Kaum perempuan terbilang sebagai non pribadi, tidak lebih dari barang
bergerak. Namun Yesus tidak pernah mengabaikan mereka ketika mereka datang menghampiri
Dia untuk disembuhkan; mereka adalah makhluk-makhluk insani yang layak dan patut dibuat
utuh kembali... Ia tidak saja menghargai mereka sebagai sahabat, tetapi juga mem benarkan
kepantasan serta kemampuan mereka untuk menjadi murid, saksi, misionaris dan rasul."

Fabella secara fundamental dibentuk oleh komitmen dasarnya kepada pembebasan kaum
perempuan Asia. Apa yang terpenting dalam hidup Yesus bukanlah amanat tentang jati diri-Nya
sendiri atau hakikat dunia ini, melainkan cara Yesus bertindak, dan tindakan yang dituntut-Nya
dari manusia. Dewasa ini, iman akan Yesus bukanlah perkara mempercayai rumusan syahadat
Nicea atau Kalcedon, me lainkan soal dibarui dan diberdayakan oleh wawasan Yesus menyang
kut kesetaraan dan pembebasan. Semakin seseorang mengimani Yesus, semakin ia mendarmakan
dirinya untuk hidup seperti Yesus; semakin ia berlaku seperti itu, semakin ia akan memahami
siapa Yesus itu. Kristologi dikembangkan dalam konteks praksis kritis.

- Yong Ting Jin


Yong Ting Jin, seorang teolog Malaysia yang bekerja di Hong Kong sebagai sekretaris regional
Asia-Pasifik dari Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia, Berlandas pada keyakinan bahwa
"penindasan atas kaum perempuan adalah DOSA," dan bahwa akar dari dosa ini adalah sistem
patriarkat yang merasuki segala sesuatu, Yong menunjukkan bagaimana Gereja itu sendiri
seluruhnya berciri patriarkat, dan kemudian memperlihatkan bagai mana tafsir ulang atas Kitab
Suci mampu menelanjangi perkembangan ini sebagai suatu pengkhianatan pada tiap kesempatan
terhadap wawasan dan praktik Yesus serta realitas Gereja bahari.
Di satu pihak, sebagaimana yang disadari oleh kaum perempuan, bagaimanapun masyarakat dan
Gereja Asia menindas dan menyemena-menakan mereka. Yang menjadi titik pusat dari struktur
dan gaya hidup yang baru ini adalah peran baru kaum perempuan, yang bekerja sebagai mitra
kaum lelaki, bukannya didominasi oleh mereka. Kaum perempuan akan memberi sumbangsih
bagi suatu cara baru untuk memahami kekuasaan dan kewenangan di dalam Gereja; mereka akan
memberi sumbangsih bagi suatu cara baru (model praksis) melakukan refleksi teologis; mereka
akan memimpin Gereja dalam perjuangannya menegakkan perdamaian dan keadilan. Gereja
akan dibarui menjadi Gereja Yesus Kristus yang sejati, dan menjadi suatu jemaat yang relevan
dengan realitas Asia karena ia bertindak sesuai dengan wawasan Yesus Kristus. Sekarang ini,
menjadi seorang Kristen di sebuah negeri di mana ketidakadilan dan penindasan merajalela
merupakan suatu tantangan. Menjadi seorang perempuan religius dalam situasi semacam itu pasti
tantangannya dua kali lipat. Hal ini menuntut suatu pemikiran ulang yang radikal atas makna
menjadi seorang Kristen dan tentang imperatif komitmen religius.

Anda mungkin juga menyukai