Anda di halaman 1dari 36

TEOLOGI PRAKSIS SEBAGAI ILMU MANDIRI DAN BAGAIMANA ILMU

MENGANALISA PERSOALAN YANG ADA DALAM PERSPEKTIF ANALISIS


SOSIAL DAN REFLEKSI TEOLOGIS OLEH
GERBEN HEITINK DAN JOE HOLLAND PETER HENRIOT

Disusun Oleh :
1. Anggi Sayangi Sianturi
2. Eron Gabriel Rustam Siahaan
3. Vinance Geovani Anna Sihombing
4. Yusuf Willy Nababan

Mata Kuliah : Pembangunan Warga Jemaat


Dosen Pengampu : Pdt. Joksan Simanjuntak M.Th

SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN


PEMATANGSIANTAR TAHUN AJARAN 2019/20
Kata Pengantar

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa atas berkat
karunia yang melimpah diberikan kepada kita sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas yang telah diberikan oleh bapak Pdt. Joksan Simanjuntak M.Th sebagai dosen
pengampu mata kuliah pembangunan jemaat mengenai theologi praktis. Adapun
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan bapak dosen yang telah
membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Kami kelompok penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami penuis sangat mengaharapkan saran dan
kritik dari pembaca agar semakin baik dan memberikan manfaat bagi kita semua, dan
atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Siantar, Februari 2020

Kelompok Penulis
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
1. TEORETIS-ILMIAH
a. Beberapa Gagasan Berhubungan dengan Teologi Praktis sebagai Teori
b. Teologi Praktis sebagai Ilmu Tindak Tanduk
c. Teori Bertindak Teologi-Praktis
d. Perspektif Hermeneutis
e. Perspektif Strategis
f. Perspektif Empiris
2. ANALISI SOSIAL:PERANGKAT KARYA PASTORAL
a. Lingkaran Pastoral
b. Pengertian Analisis
c. Unsur unsur Analisis
d. Rangkuman dan Kesimpulan
3. ANALISIS SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL
a. Model-model
b. Contoh-contoh Perubahan
c. Rangkuman
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
BAB I
PENDAHULUAN

Teologi Praktis adalah teologi yang bersifat langsung. Masyarakat mengalami


transformasi kultural. Strukur-struktur feodal mulai kehilangan otoritasnya. Oleh karena itu
seorang seorang ahli di bidang teologi praktis, pastoral klinis dan pembangunan jemaat,
Heitink mengandaikan kesatuan dari bidang teologi praktis yang tidak bertolak pada masing-
masing subdisiplin pastoral, melainkan berusaha membentuk teori teologi praktis terpadu.
Dalam bab II akan dijelaskan bagaimana pandangan Heitink mengenai teologi praktis.
I.TEORETIS ILMIAH
Beberapa Gagasan Berhubungan dengan Teologi Praktis sebagai Teori
2.1 Teks dan Konteks
Teks dan konteks sangatlah berhubungan satu sama lain. Lihatlah teks kitab suci yang
harus diiterpretasikan lewat konteks kultural dan historis dari pengarang. Relasi antara
pewahyuan dan pengalaman manusiawi yang begitu kompleks ini membutuhkan pendekatan
hermeneutis.
2.2 Orientasi Empiris
Teologi praktis berorientasi empiris. Pengertian empiris tidak kebalikannya dar
hermeneutis. Bersifat empiris berarti bahwa penelidikan terarah pada proses pengertian, yaitu
pengertian tentang tradisi Kristiani dalam konteks masyarakat modern. Berbentuk empiris
berarti berarti bahwa penyelidikan teologi praktis bertolak dari situasi actual masyarakat dan
Gereja.
2.3 Teori dan Praktis
Sejak Schleiermacher, objek teologi dalam konteks modernitas bukanlah Allah ,
melainkan tradisi iman Kristen. Tradisi itu menghubungkan isi iman (fides quae) dan
pengalaman iman(fides qua). Setiap praktis secara implicit mengandung suatu teori. Setiap
teori mengandaikanpraksisi yang konkrit.
2.4 Teori aksi Teoro Tindak Tanduk
Heitink mengambil titik tolaknya dari Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur, paradigma
untuk interpretasi teks dapat dipakai juga untuk situasi aksi. Linguistik membedakanantara
bahaa lisan dan bahasa tulis. Maka, dapat dibedakan antara aksi sebagai tidakan dan aksi
sbagai fenomenon sosial yang merupakan hasil dari sejumlah tidakan manusia.
2.5 Pendekatan Hermeneutis
Titik tolak hermeneutis mempunyai arti yang besar dalam Teologi paktis. Dengan
demikian, bersama Firet, kita dapat menenkankan kesatuan antara momen hermeneutis dan
momen agagois dalam teologi praktis “ Firman itu dalam dirinya memiliki kekuatan untuk
menjernihkan, sehingga dapat dipahami , dan juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi,
sehingga terjad perubahan” (1968,24). Interpretasi hermeneutis menciptaan kesatuan yang
diperlukan dalam usaha teologi dan menunjukkan tempat tersendiri kepada teologi praktis,
yang berorientasi pada pemahaman tentang manusia.

Teologi Praktis sebagai Ilmu Tindak Tanduk


3.1 Pengertian Ilmu Tindak Tanduk
Menurut Schelsky, ilmu tindak tanduk sosial mengembangkan diri sebagai semacam
ilmu pengetahuan non eksakta yang ketiga. Firet menunjukka bahwa Schelsky dalam
penjumlahannya menyebutkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berbeda-beda di bawah satu
sebutan. Juga Daiber berpendapat bahwa ilmu tindak tanduk yang sering disebut sebagai ilmu
manusia atau behavioural sciences (ilmu pengetahuan tingkah laku), tidak boleh membatasi
dirinya pada tugas yang deskriptif-analitis.
3.2 Bertindak Tanduk sebagai Objek Teologi Pratis
Ilmu bertindak yang bergunabagi teologi praktis harus memuat unsure-unsur
sebagaiberikut :
a. Keterarahan pada bidang-bidang tindakan konkret
b. Analisis –demi tindakan- -situasi-situasi tindakan dan tindakan-tindakan di bidang-
bidang yang bersangkutan mengenai kenyataan dan potensialitasnya :
c. Pelaksaan hal itu juga berdasarkan teori kritis yang mnetrasnsendenkan empiri
dengan tujuan untuk mengembangkan model-model dan strategi-strategi tindakan untuk
bidang-bidang tindakan yang bersangkutan.

Teologi bertindak Teologi Praktis


11.1 dua sudut
Pengertian tindak tanduk teologis dapat diamati dari sudut pandag yang berbeda, yaitu
sebagai ilmu teologis dan sebagai ilmu tindakan.
11.1.1 hubungan antara Teori dan Praksis
11.1.2 Acuan Filosofis
Kata Yunani theoria berarti “ mengawasi upacara-upacara “,
memandang”,mengamati”. Oleh filsuf-filsuf Yunani, pengamatan sebagai sikap hidup-
bertentangan dengan hidup praktis dengan segala keterbatasannya-dianggap sebagai keadaan
paling tinggi yang dapat tercapai dalam keberadaaan manusia, yaitu semacam cara mengenal
demi dirinya sendiri dan cara memahami kenyataaan yang sebenarnya.
Oleh Aristoteles, cara mengenal melalui pengamatan ini dibedakan dari bertindak secara
praktis. Bertindak secara praktis itu, dibedakan lagi antara poiesis dan praksis. Poiesis
(rekayasa) adalah bertindak yang membawa hasil, bertindak yang tertuju pada produk.
Praksis sebaliknya, adalah bentuk hidup, dalam mana seseorang brtindak atas dasar
pengalaman hidupnya.
11.1.3 Teologi Praktis : Teori dan praksis
Praksis dipahami sebagai bertindaknya individu dan kelompok dalam masyarakat baik
didalam maupun diluar Gereja yang dalam hidup sendiri dan hidup bersama ingin
diinspirasikan oleh tradisi Kristiani dadn ingin mengarahkan diri kepada penyelamatan
manusia dan dunia. Teori dipahami sebagai teori teologis-hermaneutis terpadu , yang
mengaitkan dan mengantarai tradisi Kristiani dngan pengalaman, hidup, dan bertindaknya
manusia modern.
11.1.4 Faktor Kontekstualisas
Kebenaran selalu ditentukan secara situasional dan relasional dan hanya dapat
dioercaya jika tidak berhenti oada kata-kata saja. Ini berarti, bahwa intersubjektivitas sangat
kita butuhkan. Intersubjektivitas itu memerlukan hubungan timbal balik terus-menerus antara
teks dan konteks, teori dan praksis. Teologi praksis memilih titik tolaknya dari situasi, dari
praksis. Pengalaman yang dialami orang dalam hidupnya(praksis), direfleksikan berdasarkan
ungkapan teologis(teori). Teori ini, yang meruoakan hasil dari cara berpikir dan bertindak di
masa lampau dan mencerminkan situasi kekuasaan pada waktu itu, ternyata tidak lagi dapat
meyakinkan orang dalam praksis mereka pada masa kini.

11.2 kontur-kontur teori Tindakan Teologis –Praktis


Relasi dialektis antara teori dan praksis memberikan pengertian mengenai situasi
tindak tanduk kemasyarakatan serya gerejawi. Akan tetapi, nalaisi itu sendiri tidak
mencukupi untuk memahami, menjelaskan, mengendalikan dan mengarahkan tindak tanduk
itu. Hal itu menuntut dikembangkannya teori tindakan yang harus memenuhi kondisi-kondisi
yang dirumuskan oleh Firet :
* teori itu harus terarah pada bidang-bidang tindakan Konkret:
* demi bertindaknya, teori menganalisis situasi-situasi tindakan serta tindakan serta tindak
tanduk di Bidang-bidang bersangkutab mengenai kenyataan dan potensialitasnya.
* bahwa teori itu melakukannya-juga berdasarkan teori empirias-transenden yang kritis
-dengan tujuan untuk mengembangkan Model-model dan strategi-strategi tindakan bagi
bidang-bidang tindakan yang bersangkutan.
Rumusan ini mengandaikan presisi terhadap pengertian bertindak. Bertindak adalah,
menurut rumusan A. Van den Beld, dengan sadar dan sengaja menghasilkan sesuatu di dunia
ini" (1982,1). Ciri tindakan ialah bahwa ada seorang aktor, yang turun tangan dalam dunia
ini dan mengubahnya. Tindakan-tindakan manusia yang berintervensi tidak disebabkan,
melainkan ada alasan-alasan yang mendasarinya (van den Beld, 12).
11.3 Hubungan antara Praksis 1 dan Praksis 2
11.3.1 Pengaruh Konteks (Praksis 2)
Praksis 2 tidak hanya merupakan hiasan atau latar belakang untuk praksis 1,
melainkan merupakan konteks hidup konkret, di mana mamusia, beriman atau tidak, sebagai
aktor memikul tanggung jawab atas hidupnya sendiri, atas hidup orang lain dan atas
masyarakat sebagai keseluruhan. Praksis 1 tidak dapat dimandirikan terhadap praksis 2.

11.3.2 Perantaraan atau Mediasi Iman Kristiani


Relasi teori itu membutuhkan perantaraan. Kata itu, di satu pihak, menyatakan
ketimbalbalikan, dan di lain pihak, menunjuk kepada manusia serta lembaga, yang, sebagai
intermedier, mengambil peranan perantaraan itu. Hal yang sama berlaku juga bagi
perantaraan iman Kristiani. Di sini kita menunjuk pada karya Roh. Justru karya Roh Kudus,
yang berkaitan dengan kebebasan (2Kor 3:17) bersikap kritis terhadap segala bentuk
perantaraan yang pater- nalistis, dan yang memperlakukan orang sebagai anak kecil dan
meng- halangi kedewasaan mereka.
11.3.3 Objek Teologi Praktis
Kita memandang praksis 1 sebagai objek teologi praktis yang ma- terial atau
langsung. Namun, objek ini tidak dapat berdiri sendiri lepas dari praksis 2, karena keterkaitan
antara keduanya sangat besar. Oleh karena itu, perlu membuat distingsi logis antara
keduanya. . Seluruh teologi ada kaitannya dengan relasi teori-praksis. Atas dasar pandangan
hermeneutis mengenai usaha berteologi, kita dapat memandang praksis 2- iman yang dihayati
dalam keseluruhan hidup - sebagai praksis dari teologi secara keseluruhan. Dalam wilayah
prak- sis 2, para dogmaticietikus, dan lain-lain-dengan pandangan mereka masing-masing -
menjadi partner percakapan dengan orang dari ber- bagai lingkup dan situasi hidup. Karena
ada keterkaitan antara praksis 1 dan 2, maka studi objek langsung, yaitu "tindakan
komunikatif dalam pengabdian terhadap injil", menjadi hal yang rumit. Relasi antara sarana
dan tuju- an, bentuk dan isi, struktur dan kultur, tidak pernah lepas dari ruh zaman tertentu.
11.4 Aliran-Aliran dalam Teologi Praktis
Teori yang diuraikan di atas memberikan kesempatan untuk mengidentifikasikan
berbagai aliran dalam teologi praktis. Dalam bidang pembentukan teori seluruhnya, dapat
dibedakan lima aliran: (1) aliran normatif-deduktif, (2) aliran hermeneutis-medial, (3) aliran
empiris-analitis, (4) aliran politis-kritis, dan (5) aliran teologis-pastoral.
PERSPEKTIF HERMENEUTIS
12.1 Beberapa Gagasan tentang Hermeneutika
Hermeneutika dapat dicirikan sebagai sesuai dengan modernitas baru di Lonteks
modernitas, ini mencoba menjem- batani jurang yang semakin mebuatnya menjadi populer
Kristiani di sini dan di samping ada di tempat lain. Hermeneutika ini perlu diterima karena
merupakan dasar teologis bagi teologi praktis dan menunjuk pada isi dari apa yang kita
lakukan dalam teologi praktis. Karena jika kita melakukan teologi praktis, kita selalu berada
dalam proses menjembatani tradisi Kristiani dan masyarakat modern. Dalam tradisi Kristiani,
mulamula hermencutika lebih dulu ditangkap sebagai semacam cksegese. Tidak semua cerita
bahasa dapat dimengerti. Menampilkan cerita yang harus diinterpretasikan sebagai bahan
profetis atau poetis.
Dalam membahas hermeneutis terhadap teologi, kita terlibat dalam proses memahami,
mengundang, mengi nterpretasikan, dan menerjemahkan tradisi Kristiani ke dalam konteks
kita sendiri, untuk sekarang orang dapat memperbaiki dan mengembangkan kebebasan
mereka sebagai anak-anak Allah di dalam hidup mereka sendiri dan di dalam masyarakat
sebagai keseluruhan. Dua ahli menyumbang banyak pada perkembangan Hermetika, yaitu
Gadamer dan Ricocur. Gadamer mengambil sikap positif terhadap prasangka (prasangka,
Vorverständnis). Kalau kita mau menginterpretasikan teks, kita bertolak dari prasangka kita
sendiri. Semua definisi dan interpretasi kita tentukan oleh konteks kita sendiri.

12.2.1 Pengertian hermeneutik


Pengertian hermenutik sejak lama terkait dengan penafsiran teks-teks dan muncul
pertama kalinya pada tahun 1654 dalam teologi, dalam judul buku karya J. C.Dannhauer,
yang membahas tentang hermeneutika Sacra( Palmer, 34. Lama sekalai hermenutik
dipahami sebagai "ajaran tafsir alkitab" (Kuyper 1909 III, 90). Lama kelamaan tumbuhlah
pengertian bahwa " Firman Allah" mewngambil wujud bahas manusia" . Eksegese historis
kritia, sebagai buah pencerahan, merupakan salah satu pengolahan.

12.2.4 Model-Model Teologis


Bertolak dari refleksi atas karya Roh dan relasi antara keselamatan ilahi dan
kenyataan duniawi, dapat dibedakan antara berbagai macam model hermeneutis-teologis.
Pengetahuan kodrati tentang Allah dan pengenalan kodrati tentang manusia tidak
dimungkinkan. Jarak antara Allah dan manusia hanya dapat dijembatani oleh Firman Allah
yang berdaulat, yang menciptakan cakrawala pemahaman tersendiri. Ilmu-ilmu sosial di sini
didesak mundur ke "peran ancilla" (pela- yan), dan bagi pengalaman religius tidak ada
tempat. Model yang kedua, saya deskripsikan dengan istilah bipolaritas. Model ini
menyambung pada titik tolak pneumatologis dan beranggapan, bahwa keselamatan ilahi dan
kenyataan manusiawi berada dalam relasi timbal balik yang dinamis, sehingga momen yang
satu tidak dapat menjadi nyata tanpa momen yang lain (Heitink 1977, 170, H. Berkhof).
Bipolaritas menciptakan ruang bagi unsur-unsur seperti perjumpaan dan pemgalaman. Model
yang ketiga adalah model korelasi, di mana pertanyaan dan jawaban berkaitan satu sama lain.
Gambaran dari metode ini, kita dapatkan dalam Revised Correlational Method dari D. Tracy
(1983). Model yang keempat bertolak dari identifikasi antara pengalaman manusiawi dan
pengalaman religius.

12.2.5 Menginterpretasi sebagai Proses Sirkuler


Proses hermeneuti seperti yang telah kita jajaki dari segi filsafat dan ilmu-ilmu sosial,
merupakan proses sirkuler. Dalam pasal ini, kita akan mengikuti bagaimana proses sirkuler
itu dapat terjadi, ditinjau dari segi teologis praktis. Lingkaran hermeneutis tentang memahami
(mengerti sesuatu), menjelaskan (membuat supaya sesuatu dapat dipahami), dan menyadari
(membuat sesuatu menjadi miliknya sendiri), menyangkut proses yang kompleks, di mana
dapat dibedakan macam-macam faktor yang saling mempengaruhi historis, sosiologis, dan
psikologis

12.2.6 Pola-Pola Interpretasi


Teolog-teolog praktis mengambil unsur tertentu dari kese- luruhan bahan yang
tersedia. Siapa yang mendalami buku-buku dasar teologis praktis di bidang-bidang seperti
homiletik, kateketik, dan poi- menik akan menemukan dari siapa seorang penulis mengambil
unsur- unsurnya dan kaitan-kaitan mana yang ia buat. Di sini juga dapat dibedakan sejumlah
patokan interpretasi, seperti misalnya Kerajaan Allah atau Perjanjian atau Tubuh Kristus atau
Perkara Yesus atau model Exodus. Konsep atau tema atau kata kunci ini berfungsi sebagai
kerangka atau acuan teologis. Konsep macam itu menolong untuk mengartikan situasi aktual
dan membuka jalan menuju praksis beriman dan bertindak. Setiap pola seakan- akan memuat
lingkaran hermeneutis, di mana tradisi Kristiani dan perasaan hidup modern dihubungkan
satu sama lain.
PERSPEKTIF STRATEGIS
13.1 Beberapa Gagasan mengenai Perubahan
Dalam Teologi Praktis, kita membedakan tiga perspektif yang menunjuk pada
mengerti (empiris), menerangkan (hermeneutis), dan mengubah (strategis). Bab ini berbicara
mengenai perubahan (change). Teologi Praktis berusaha mengembangkan suatu teori
mengenai per- ubahan yang mempengaruhi situasi-situasi dalam hidup pribadi orang, dalam
relasi-relasi antarmanusia, dalam Gereja-gereja dan masyarakat sedemikian rupa sehingga
situasi-situasi itu lebih sesuai dengan tujuan- tujuan serta perintah-perintah Allah. Kerajaan
Allah merupakan hasil final dan eskatologis dari proses transformasi yang meliputi tidak
hanya manusia melainkan seluruh kosmos. Dalam perspektif strategis, kita membedakan dua
aspek, yaitu aspek metodologis dan aspek normatif. Aspek metodologis memper- hatikan
cara-cara (metode) yang dipakai untuk menjalankan proses perubahan. Aspek normatif
berarti bahwa kita bertanya ke arah mana- proses perubahan akan dilangsungkan. Aspek
normatif berefe- rensi pada perspektif hermeneutis yang sudah dibicarakan.

13.2 Perubahan : Dogma Sekuler dalam Masyarakat Modern


Kita dapat menggolongkan perubahan pada dogma-dogma sekuler dalam masyarakat
modern. Ada kepercayaan akan perubahan dan ada ketdakpercayaan akan perubahan. Model
ini akan kepada individualisme. Model organis memandang masyarakat sebagaikeseluruhan
yang lebih daripada jumlah bagian-bagiannya.
Orang yang satu memandang perkembangan masyarakat secara evolu- sionistis,
sering juga optimistis dalam arti kemajuan. Orang lain lebih memperhatikan pecahan-
pecahan revolusioner, yang menuntut pe- nguasaan perubahan-perubahan (opsi konservatif)
atau juga pemaju- an proses-proses revolusioner (opsi progresif), tergantung dari posisi yang
diambil atau pilihan politis yang dibuat. Demikianlah perbedaan dalam visi mengakibatkan
perbedaan dalam pilihan strategi tindakan. Satu hal adalah jelas: berpikir tentang perubahan
itu tidak netral, melainkan terpengaruh oleh nilai dan norma. Di sini kembali tampak
hubungan antara teologi praktis dan etika (D.S. Browning 1991, 96). Bagaimana teori
tindakan teologis berpikir tentang perubahan? Antropologi teologis, untuk mengutip Berkhof
(1973, 118) di satu pihak mempunyai perhatian terhadap perwujudan diri sebagai manusia
dan sesama dalam kasih dan kebebasan, di pihak lain terhadap keterikatan pada kesalahahan
nasib. yang benar, yaitu bahwa yang penting adalah kelahiran kembali, sebagai karunia Roh
Kudus. Namun yang lebih sesuai dengan garis Alkitab ialah untuk bertolak dari keharusan
pertobatan sehari-hari dalam praktek kehidupan. "Meski ada alasan kalau dalam Alkitab
selalu terdengar panggilan kepada pertobatan, bahwa perubahan dianjurkan, bahwa manusia
dipanggil dari keberadaannya yang demikian dalam dosa dan maut menuju kehidupan yang
baru". Demikian Firet (1968, 259). yang merumuskan pertobatan sebagai "perubahan
fundamental dalam berfungsinya seseorang secara rohani" (261). Pertobatan itu juga
mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik dan sosial. Akan tetapi, justru Barth juga
mengingatkan terhadap dosa kelambanan, yang se- lalu ingin mempertahankan posisi tengah
antara tidak dapat dan tidak mau dan yang karenanya begitu sukar untuk diperangi. Oleh
karena itu, cara bertindak Gereja di tengah masyarakat menuntut pemikiran normatif, juga di
mana pemikiran itu membawa ke polarisasi (misalnya dalam permasalahan politis yang peka
mengenai penempatan rudal- rudal berkepala nuklir di tahun delapan puluhan) lebih daripada
ke pengertian yang terpecah dan aksi bersama

13.3 Cara Berpikir Agogis tentang Perubanan


Jurusan studi yang menjadikan pendampingan perubahan terarah vang profesional
sebagai objek studinya adalah agologi. Dimanfaatkan- nya ilmu-ilmu sosial, tetapi memilih
titik tolaknya dalam filsafat. Oleh karena itu, agogi merupakan ilmu pengetahuan yang
normatif. Pe- ngertian pendampingan menunjuk pada sudut masuk antropologis. Dalam
dilema penguasaan dan emansipasi yang ditunjukkan oleh Nijk, maka W.F. van Stegeren
(1982) menawarkan pengolahan andra- gologi yang emansipatoris. Rumusan emansipasinya
adalah sebagai berikut, "Emansipasi adalah proses belajar yang terarah untuk menca- pai dua
tujuan: perwujudan diri manusia dan kesederajatan manusia- manusia dan kelompok-
kelompok" (15). Tujuan-tujuan ini berhu- bungan erat satu sama lain. Dalam pengertian
emansipasi, van Stegeren membedakan lima aspek: aspek individual (kesadaran akan posisi
sendiri dalam masyarakat dan akan situasi ketergantungan), aspek kelompok (emansipasi
kelompok-kelompok), aspek politis (struktur-struktur masyarakat dan menjalankan
kebijakan). Kemudian rumusan itu mempunyai aspek agogis (proses belajar) dan aspek aksi
(terarah pada kedua tujuan). Dengan menunjuk kepada Habermas, kepentingan pengetahuan
emansipatorisnya dan tekanannya pada dialog, maka van Stegeren sampai pada definisi
berikut: "Andragologi emansipatoris adalah ilmu pengetahuan yang dalam refleksi dan litian
teoretisnya ditujukan dan mengabdi kepada emansipasi manusia-manusia

13.4 Teori-Teori Perubahan


Strategi strategi macam apa yang dapat dipakai? Strategi mikro yang mempengaruhi
sikap dan perilaku individu, entah pemimpin-pemimpin dalam Gereja dan masyarakat, entah
orang yang dari bawah mempengaruhi perubahan seperti mahasiswa kita yang
memperjuangkan reformasi. Strategi makro diarahkan pada perubahan dalam sistem-sistem
sosial. Ada tiga tipe strategi, yaitu (1) tipe rasional-empiris, (2) tipe norma tifedukatif, dan (3)
tipe kekuasaan. Tipe (1) benusaha menjalankan proses perubahan lewat penyebar, an
informasi, pengetahuan, diskusi, forum, kursus, dengan mempergu nakan segala macam
media komunikasi. Strategi ini ada kelemahan. nya, karena manusia biasanya mendengar apa
yang ia ingin mendengar, dan kemudian karena strategi ini dapat dimanipulasi oleh yang
berkuasa. Tipe (2) berusaha mengoreksi kelemahan dari tipe (1). Kalau misalnya kita ingin
mengubah ide-ide kita mengenai rasisme atau feodalisme, kita harus melibatkan diri dalam
proses menjadi sadar akan faktor-faktor yang menindas orang lain. Kita selalu membutuh-
kan 'pembuka mata', karena kita buta terhadap hal yang tidak bie kita cari. Kita merasa
bersalah dan kita takut. Tipe (3) bertolak pada fakta bahwa orang yang berada dalam posisi
kekuasaan dan yang memperoleh hormat, keuntungan, dan dari padanya tidak mudah
melepaskan privilese-privilese mere- Memaksakan, mendorong, mengejar orang lain
bukanlah apa yang nelajari dari Tuhan kita.

13.5 Bagan Dasar: Lingkaran Regulatif


Van Strien menyebutkan tiga ciri dalam cara berpikir praktek: (1) cara berpikir
praktek tidak menggeneralisasi melainkan mengindi- vidualisasi, dan sifatnya situatif; (2)
cara itu tidak bermuara dalam ungkapan-ungkapan ilmiah, melainkan dalam tindakan-
tindakan yang dikendalikan secara ilmiah; (3) tindakan yang bersifat intervensi diken-
dalikan oleh norma-norma, karena orang ingin memperbaiki apa yang tidak berjalan dengan
baik. Siklus tindakan, yang mewujudkan hal mu, olehnya disebut sebagai siklus regulatif,
supaya dibedakan dari siklus empiris (van Strien 1986, 19). Siklus empiris- apabila
dinyatakan dalam fase-fase - akan memperlihatkan pola dasar sebagai berikut: fimusan-
permasalahan - diagnosis – rencana - intervensi - evaluasi.

13.6 Teori Komunikasi dan Teori Sistem


Teori komunikasi dapat dibedakan antara teori komunikasi mass(Lasswell) dan teori
komunikasi interpersonal yang bertolak dari dialog. Komunikasi merupakan proses yang
sangat kompleks. Komunikasi bisa bertumbuh hanya kalau kita rela masuk ke dalam dunia
orang lain secara empati.
Perspektif Empiris
14.1 Beberapa Gagasan mengenai Perspektif Empiris
Perspektif menggabungkan hal siapa berbuat apa secara primer dengan dimana dan
kapan. Semua tindakan bersifat situaional dan terjadi dalam ruang dan waktu, jadi
mempunyai konteksnya tersendiri, yang ditentukan oleh kondisi-kondisi dan factor-faktor
yang berbeda. Dalam teori tindakan teologis, pengujian empiris berkaitan dengan
pembentukan teori hermeneutis dan strategis.

14.2 Aliran-aliran di Dalam Penelitian Empiris


Di dalam penelitian empiris, kita berjumpa dengan banyak distingsi (perbedaan).
Yang pertama berhubungan dengan bermacam-macam tradisi penelitian. Biasanya titik
tolaknya ialah orang menggunakan pembagian dalam tiga bagian : penelitian hermeneutis,
penelitian empiris-analitis, dan penelitian kritis.

14.3 Persiapan Penelitian


14.3.1 Pilihan Tema Penelitian
Dalam fase persiapan penelitian dianjrkan membuat deskripsi sementara tentang tema
yang ingin diteliti melalui jalan ilmiah pada stadium awal.

14.3.2 Kekhasan Penelitian Tindakan


Pertimbangan berikut ialah, bahwa penelitian teoleogis-praktis me- akan penelitian
tindakan, Bertindak merupakan pengertian yang seperti kita lihat ketika kita membuat
distingsi antara praksis 1 dan praksis 2. Penelitian tindakan paling sedikit harus mempunyai
welevansi tertentu bagi tindakan intermedier. Hal itu dapat dilakukan dalam bentuk penelitian
situasi awal.

14.3.3 Kemungkinan-kemungkinan Seorang Penelitian


14.3.3.1 Apa yang mampu saya lakukan ?
Yang pertama itu yang paling mudah dijawab. Disini per;u mempertimbangkan taraf
kesukaran topic ini. Yang ada akhirmya kehilangan motivasinya Pertanyaan "apakah saya
dua enangani topik tertentu)" menupakan pertanyaan riil. Siapa ang mengangkat sesuatu yang
keberatan untuknya, akan gagal.
14.3.3.2 Bagaimana saya membatanya?
Pertanyaan inemgenai kemungkinan-kemungkinan diri sendiri adalah juga pertanvaan
mengenai pembatasan topik yang ingin diteliti. Beberapa proposal penelitian meliputi kerja
sepanjang hidup. yang lain lain membutuhkan waktu beberapa tahun. Kedua jenis ini tidak
cocok untuk dipakai dalam skripsi doktoral. Verschuren menunjuk dalam hubungan ini pada
arti prinsip budu (hwnet, fishtrap) orang memilih pembatasan tertentu lalu di dalamnya dibuat
kekhususan-kekhususan lebih lanjut. Rumusnya berbunyi, "Pi- lihlah dari salah satu pokok
jenis tertentu dan di dalamnya secara berturut-turut bagian tertentu, aspek dan sifat-sifat
(1986, 31)

14.3.3.3 Bagaimana kemampuan saya?


Kalau menyadari kemungkinan-kemungkinan diri sendiri, orang juga menanyakan
kepada diri sendiri, apa yang diketahuinya atas dasar sturli yang mendahului. Hal ini
berhubungan dengan penempatan opik dalam teologi praktis da di dalam teologi secara
keseluruhan. gaimana orang dapat menempatkan topik di dalamnya?
Dalam teclogi praktis bidang-bidang itu letaknva di dalam vak pastoa (penghayatan)
dan liturgik (perayaan). Sudah dalam fase perispan dapat dikumpulkan literatur berdasarkan
sudut-sudut masuk ini Pada Ropik teclogis-praktis, kita juga berhadapan dengan faktor-laktor
senial ilmiah. Pada penghindaran Perjamuan Kudus melekat aspek-mpek snio agama: gejala
itu terutama terdapat pada kelompok Kristen di wilayal tertentu negeri Belanda ("sabuk atau
jalur Alkitab") Juga terdapat aspek aspek psiko-agama: spiritualitas tertentu, pengalaman
kesalahan dan kebutuhan akan kelahiran kembali dan pertobatan. Instrumentarium penelitian
yang harus dipilih menimbulkan pertanyaan tentang metode- metode manakah yang dikuasai
oleh si peneliti. Pada inventarisasi yang pertama tampak bahwa topik yang dibatasi ini
mempunyai begitu banyak aspek, sehingga harus dipasangi bulu lagi.

14.4 Tipe-Tipe Penelitian


Kalau mengerjakan proposal penelitian dan pelaksanaan peneliti- an lebih lanjut, si
peneliti akan nenghadapi beberapa pilihan metodo- logis, yang akan kita bicarakan secara
singkat. Penelitian teologis-prak- tis dalam bentuknya yang paling sederhana, terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut deskripsi, interpretasi, penjelasan, dan tindakan. Un- sur-unsur
itu saling memanggil dalam ketimbalbalikan dan menunjuk pada keharusan untuk saling
melibatkan perspektif hermeneutis, strategis, dan empiris. Dalam semua fase penelitian, kita
berhadapan dengan aspek-aspek teologis maupun sosial-ilmiah. Hal itu mengajak untuk
memilih pendekatan interdisipliner dari permulaan.

14.4.1 Penelitian Deskriptif


Penelitian deskriptif mengarahkan diri pada deskripsi topik se- cara sistematis dengan
menggunakan data-data empiris. Siapa yang mengerjakan hal penghayatan Perjamuan Kudus
akan segera menemukan, bahwa pekerjaannya adalah mengenai pengkhususan bidang yang
lebih luas, yaitu perbedaan-perbedaan dalam pengalaman iman. Di dalam Protestantisme
negeri Belanda, kita berhadapan dengan macam-macam orang beriman. Di samping orang
Kristen yang mene- kankan pengalaman rohani, ada juga yang konfesional, yang karismatis,
yang injili dan yang liberal. Mereka merupakan penampang-penampang berbagai Gereja
yang besar. Perbedaan dalam penghayatan iman ini dapar digambarkan oleh penelitian
deskriptif atas dasar motif teologis dan ciri-ciri sosial-ilmiah. Bertolak dari pengetahuan ini,
kita dapat me- huskan tema penghayatan Perjamuan Kudus kepada populasi vang lehilh
Termasuk penelitian yang deskriptif, tergantung pada topiknya, alah juga pengumpulan data-
data statistis, dengan pertolongan mana dapat dideskripsikan populasi tertentu. Akan tetapi,
studi-studi fe nomenologis, yang melalui jalan memahami merekam gejala-gejala, termasuk
dalam perhitungan kita juga (de Groot, 320).

14.4.2 Penelitian Eksploratif


Penelitian eksploratif merupakan kombinasi antara penelitian deskriptif dan penelitian
menguji, namun dapat mempunyai arti man- diri. Si peneliti tidak ingin pertama-tama
menjajagi bidang tertentu atau mencatat gejala-gejala, melainkan mencoba menjelaskannya
dan bila mungkin sebagai kelanjutan atas dasar itu mengembangkan hipo- tesis-hipotesis
tertentu. Juga studi-studi kasuistis, seperti yang dipakai oleh Freud untuk menjadi dasar bagi
pengembangan psikoanalisisnya dan yang sampai sekarang masih mempunyai nilai heuristis
yang besar (Strocken, 1985), termasuk ke dalam tipe eksploratif (de Groot, 322).

14.4.3 Penelitian Menguji


Khas bagi penelitian menguji adalah "bahwa beberapa (kadang- kadang cuma satu)
hipotesis yang saling berhubungan, dan yang biasanya diambil dari teori, diuji dengan
menggunakan material empiris" (de Groot, 317). Sering hal itu mengenai uji coba, yang
kadang-kadang dilaksanakan di bawah kondisi-kondisi eksperimental. Melalui pengujian,
ingin diteliti apakah hubungan-hubungan yang diandaikan atas dasar teoretis tertentu, juga
dapat ditemukan kembali di dalam kenyataan atau di dalam kesadaran orang. Atau Ingin
ditunjukkan beradanya efek tertentu yang dengan cara tertentu mempengaruhi bertindaknya
manusia. Bertolak dari kecurigaan yang sehat, penelitian ini mengarahkan dirinya pada
falsifikasi ilmiah hipotesis-hipotesis. yang sesungguhnya dan metodologinya bertolak dari
padanya. Penelitian ini menjalani siklus empiris yang lengkap dari observasi, De Groot
memandang penelitian menguji sebagai penelitian em- induksi, deduksi, pengujian, dan
evaluasi (de Groot, 29). Dari hipotesis-hipotesis, dalam bentuk ramalan-ramalan yang dapat
diuji; pengujian merumuskan hasil-hasil ramalan sebagai material em- piris yang baru;
evaluasi adalah pengecekan kembali pada teori, juga terarah ke formulasi penelitian yang
berkaitan.
14.4.4 Penerapan di Dalam Penelitian Teologis-Praktis
Pada penerapan bentuk-bentuk penelitian empiris ini timbul per- tanyaan-pertanyaan
di dalam penelitian teologis-praktis. Terutama mengenai hubungan antara pendekatan
normatif-hermeneutis, yang dipilih di bagian sebelumnya, dengan bentuk-bentuk penelitian
em- piris yang digambarkan di sini. Demikianlah dapat diajukan pertanya- an, apakah
kenyataan beriman dan mengalami itu cocok untuk diteliti melalui jalan ini. Apakah hal ini,
dengan menggunakan istilah Haber- mas, tidak membawa ke rasionalitas yang dipersempit?
Demikianlah kita mendengar pertanyaan-pertanyaan para kritikus (Ploeger, 1989: Hofte,
1990; Claessens/van Tillo, 1990). Atas pertanyaan penting ini kita akan kemnbali sekali lagi.
Namun van der Ven (1990), yang menyambung pada de Groot dan yang menjadi sasaran
kritik ini dalam penelitian empirisya de- ngan bertolak dari teori teologis, menghargai juga
perspektif herme- neutis dan kritis dan mengguinakan baik metode kuantitatif maupun
metode kualitatif..Perlu membatasi diri pada data-data yang dapat diukur secara kuan- titatif
dan dapat diolah secara statistis. Demikianlah dapat dinyatakan dalam prosentase, kelompok-
kelompok mana yang mempunyai keya- kinan-keyakinan tertentu, atau keyakinan-keyakinan
iman manakah yang dapat dibedakan atas dasar pembentukan teori teologis, dianut oleh
orang tertentu. Dalam kasus yang terakhir, kita bertemu dengan pengetahuan yang ada. Kita
dapat maju satu langkah lebih jauh dan menemakan emosi-emosi dan sikap-sikap manusia
dan membuat score atas mereka, Dengan itu, kiranya batas-batas penelitian kuantitatif
tercapai. Dengan pertolongan konsep-konsep dan teori-teori yang terpakai, agaknya sukar
untuk lebih masuk lagi ke dalam kesadaran orang. Kalau sudah sampai pada titik ini, maka
perlu perlengkapan dengan metode-metode kualitatif, dari segi hermeneutis. Dengan
pertolongan itu dapat diperoleh pengertian yang lebih dalam tentang kekhasan keyakinan
iman tertentu, Sekali lagi saya menunjuk pada contoh mengenai hal menghindari Perjamuan
Kudus. Dalam fase penelitian tertentu perlulah - melalui wawancara-dalam-menelusuri
kekhasan pengalaman spiritualitas dalam dunia pengalaman orang-orang yang bersangkutan.
Pertanyaan lain ialah bagaimana titik-titik pandang normatif dalam penelitian empiris dapat
diberi tempat; hal ini sangat perlu, jika penelitian kita mau disebut penelitian teologis yang
normatif. Kalau bertolak misalnya dari penelitian sederhana, yang dilaksana- kan dalam tiga
fase: mendeskripsikan-menjelaskan-bertindak, maka normativitas ini dapat diungkapkan
dalam fase pertama, dengan mengembangkan teori teologis, kemudian dalam fase yang
kedua, lewat menyusun daftar pertanyaan-pertanyaan dan menginterpretasi- kan data-data,
dan dalam fase yang terakhir, lewat memberi saran- saran untuk tindakan. Dalam hubungan
ini perlu sekali lagi kembali ke struktur teologis-praktis yang terdiri atas ketiga lingkaran
yang sa- ling mengajak.

14.5 Siklus Empiris dalam Relasi dengan Siklus Regulatif dan Lingkaran
Hermeneutis Menurut de Groot, siklus empiris de fakto didasarkan pada proses
pengalaman yang terjadi dalam semua orang. Momen yang pertama di sini adalah
pengamatan. Sesuatu dari lingkungan mempengaruhi saya, saya mengamati sesuatu. Dari
pengamatan ini, seseorang bereaksi terhadap lingkungannya. Dengan itu terbukalah pilihan
antara alter- natif-alternatif: orang dapat bereaksi begini atau begitu. Cara bereaksi dapat diuji
dalam praktek, untuk menelusuri mana dari antara berma- cam-macam alternatif dirasa paling
baik. Bentuk dasar siklus empiris memuat baik momen-momen induktif maupun deduktif,
yang berarti bahwa dalam penelitian jalan induktif dan deduktif tidak boleh saling mengusir,
melainkan justru harus saling mengundang. Siklus regulatif itu tidak begitu berhubungan
dengan meramal dan menjelaskan, me- lainkan dengan merancang dan mengubah dan dengan
membentuk inti metodologis untuk teori tindakan strategis.
Memperlihatkan bagaimana konteks kesadaran tertentu berpengaruh dalam interaksi,
seperti nyata dari penelitian oleh Glaser dan Strauss. Demikianlah sekali lagi tampaklah
hubungan antara perspektif hermeneutis, strategis, dan empiris. Dari perspektif hermeneutis
diper- oleh motif-motif yang berhubungan dengan motivasi dan isi yang me- resapi perspektif
strategis dan empiris .

14.6 Perumusan Permasalahan: Penetapan Pertanyaan dan Tujuan Kita


Melanjutkan perjalanan proposal penelitian. Tiba saatnya bahwa permasalahan,
pertanyaan, dan tujuan harus dirumuskan. Pe- ngertian-pengertian ini sering dirumuskan
secara berbeda-beda. Dengan perumusan-permasalahan, kita maksudkan pengertian yang
agak luas, perumusan permasalahan yang agak umum. Di dalamnya, per- tama-tama
dirumuskan tujuan, dan selanjutnya sekonkret dan sepen- dek mungkin dirumuskan
pertanyaan. Verschuren mencatat, bahwa pengertian permasalahan mempunyai arti ganda:
"bottle nech yang menjadi kendala bagi situasi yang de fakto diinginkan, dan tanda tanya
yang merupakan kekosongan dalam pengetahuan kita tentang kenya- taan" (33). Dalam
memformulasikan permasalahan, keduanya harus diperhatikan. Untuk mencapai tujuan itu
diperlukan pengetahuan. Pengolahan pengeta- huan (hal "apa" dalam penelitian) adalah
perumusan-pertanyaan. Kita terapkan teori ini pada contoh kitä, keengganan untuk mengikuti
Perjamuan Kudus.

14.7 Pengolahan Penelitian


14.7.1 Isi Penelitian
Sebelum memformulasikan perumusan-pertanyaan dan peru- musan-tujuan biasanya
diadakan pra-penelitian. Orang berusaha untuk sedapat mungkin membentuk gambaran
tentang gejala, melalui pengamatan sendiri, percakapan-percakapan, dan studi literatur.
Orang juga telah menyusun glosarium dengan kata-kata, yang mung- kin main peranan dalam
penelitian. Dengan memakai glosarium itu, orang dapat mencari di perpustakaan apakah lebih
dahulu diadakan penelitian mengenai gejala itu atau mengenai kelompok sasaran yang
terlibat di dalamnya. Demikianlah terjadi inventarisasi pertama mengenai literatur tentang
topik penelitian yang relevan, baik sosial- ilmiah maupun teologis. Melalui inventarisasi ini,
orang menemukan nama-nama penulis dan instansi, yang kiranya mempunyai jalan masuk ke
topik atau kelompok sasaran yang bersangkutan.

14.7.2 Pelaksanaan Penelitian yang Ditahapkan


Selanjutnya perlu disadari fase-fase yang akan dilalui oleh peneliti an. Bagi penelitian
yang sederhana seperti skripsi doktoral, saya dapat membayangkan, bahwa si peneliti akan
mengikuti jalan induktif, sedikit banyak sudah dilukiskan dalam perumusan-pertanyaan, yaitu
yang meliputi pengamatan- deskripsi - analisis - refleksi – saran tin- dakan. Saya menyebut
ini jalan hermeneutis yang menuntut peng- olahan empiris yang jelas.
yang Penelitian empiris-analitis, seperti dilakukan dalam teologi em- piris van der Ven
(1990) dkk., setelah fase penjajagan yang dijelaskan memilih jalan yang lain. Fase induksi
diikuti, setia kepada de Groot, dengan deduksi teologis: konseptualisasi teologis, model
teologis- konseptual, operasionalisasi teologis. Semuanya ini biasanya bermuara dalam daftar
pertanyaan, yang menurut uji coba yang bernalar selan- jutnya diberikan kepada populasi
penelitian. Setelah pengumpulan data dan analisis, penelitian diinterpretasikan dan
dievaluasikan.

14.7.3 Metode Metode Penelitian


Sekarang tinggal pertanyaan mengenai metode-metode peneliti- an. Dalam contoh
yang telah kita pilih, dapat digunakan penelitian kuantitatif maupun kualitatif, atau kombinasi
dari keduanya. Untuk pertimbangan-pertimbangan yang memainkan peränan di sini, saya
menunjuk kepada Swanborn (1987). Untuk pengolahan jalan kuantitatif saya menunjuk
kepada de Groot (1961) dan van der Ven (1990). Bagi pengolahan jalan kualitatif saya
menunjuk kepada van Strien (1986) dan Wester (1987). Semuanya itu adalah buku-buku kita
pakai sebagai orientasi dalam bab-bab di atas. yang Saya dapat membayangkan, bahwa untuk
penelitian yang lebih luas, orang pertama-tama akan memilih jalan yang kualitatif. Obser-
vasi yang partisipatif dan wawancara-dalam, pertanyaan-pertänyaan yang terbuka yang
dikembangkan atas dasar teori tertentu yang ter- struktur merupakan kemungkinan-
kemungkinan yang baik.
Dokumen-dokumen pertolongan analisis isi (Wester, 91) dan menurut metode-metode
yang berlaku atau dengan pertolongan komputer (program "Kwalit- an"). Penelitian ini, yang
tidak representatif, dapat berlangsung di satu lokasi yang dapat diawasi. Demikianlah
penelitian ini dapat mem- berikan pengertian mengenai kehidupan beragama masyarakat desa
yang pada umumnya cukup homogen. Jalan kuantitatif dapat menyusul. Juga atas dasar hasil
yang diper- oleh melalui analisis, maka disusun daftar pertanyaan dan dibagikan kepada
populasi yang bersangkutan. Aturan-aturan representasi per- la diperhatikan di sini. Pada
daftar-daftar pertanyaan yang masuk dite- rapkan analisis faktor. Selanjutnya ditarik
kesimpulan-kesimpulan. Pe- belitian kuantitatif dapat juga diadakan dahulu dan kemudian
dileng- pi melalhi penelitian kualitatif. yang diperoleh kemudian dianalisa dengan. Hasil-hasil
yang diperoleh tidak dengan sendirinya membawa ke saran-saran tindakan. Untuk itu,
diperlukan refleksi atas dasar pengeta- huan psiko-pastoral yang tersedia. Mungkin juga di
sini melibatkan sekelompok pakar, untuk melihat bagaimana mereka atas dasar ma- terial
yang tersedia sampai ke saran-saran untuk tindakan. Hal itu dibuat untuk memperkuat inter-
subjektivitas dari penelitian melalui discours mengenai hasil.
II. ANALISIS SOSIAL:PERANGKAT PASTORAL

Disini dua pendekatan dala analisis sosial yaitu : “akademis” dan “pastoral”.
Pendekatan akademis mempelajari/ mengkaji situasi sosial khusus dengan cara yang benar-
benar abstrak dan objektif, merinci semua elemennya agar dimengerti dengan jelas.
Pendekatan pastoral memandang realitas dalam keterlibatan historis, mempertimbangkan
situasi untuk bertindak.

Dikotomi (suatu konsep teologis yg menyatakan bahwa diri manusia


dapatdibedakandalam dua aspek, yakni jiwa yang bersifat rohani dan jasmani) terdiri atas
“akademis” dan “pastoral”. Seseorang dapat bersikap “akademis” dalam arti secara ilmiah
mengejar pengetahuan dan disaat yang sama puna komitmen pada tindakan sosial.

A. Lingkaran Pastoral

Lingkaran ini menunjuk hubungan erat antara empat perantara pengalaman :


 Pemetaan masalah
 Analisis sosial
 Refleksi teologia
 Perencanaan pastoral

Semua itu saling berhubungan dan menekankan hubungan terus-menerus antara


refleksi dan aksi dan juga memiliki hubungan erat dengan “lingkaran hermeneutik” atau
metode interpretasi yang melihat masalah-masalah baru yang muncul terus-menerus untuk
menantang teori-teori lama dengan kekuatan situasi baru yang ada sekarang.
Momen pertama dalam lingkaran pastoral dan merupakan dasar tindakan pastoral,
ialah pemetaan masalah (insertion) yang menempatkan letak geografis dari jawban pastoral
kita dalam pengalaman individu dan komunitas nyata. Apa yang dirasa, dialami dan
bagaimana orang-orang menjawabnya merupakan pengalaman yang membentuk data pokok.
Semua itu harus diaphami dalam kekayaan seluruh interrelasi yang ada (tugas pokok analisis
sosial sebagai momen kedua dalam lingkaran pastoral). Analisis sosial menyelidiki seba-
sebab, akibat-akibat, menggambarkan kaitan-kaitannya da mengidentifikasikan pelaku-
pelakunya. Momen ketiga adalah refleksi teologis. Ini merupakan upaya untuk memahami
secara lebih luas dan mendalami pengalaman yang telah dianalisis itu dalam terang iman
yang hidup, kitab suci, ajaran sosial gereja dan sumber-sumber tradisi.
Tujuan lingkaran pastoral adalah melaksanakan putusan dan tindakan, momen
keempat yg amat penting adalah perencanaan pastoral. Tindakan pada situasi khusus
melahirkan pengalaman-pengalaman baru danitu berlanjut seterusnya sehingga lingkaran
pastoral itu berputar dan saling berhubungan (gerakan spiral) yang bukan hanya sekedar
lingkaran saja. Tiap langkah tidak sekedar membaharui langkah-langkah terdahulu,
melainkan memtahkan landasan baru di lingkaran pastoral tersebut.
1. Pertanyaan-pertanyaan kunci
Ada beberapa pertanyaan yang harus diajukan, yaitu:
 Pemetaan masalah
Disini semua aspek diperhitungkan dan dipertibangkan demi mendapatkan pemetaan masalah
yang baik.
 Analisis sosial
Tradisi analisis mana yang dianut? Apakah terdapat uraian da lam analisis tersebut yang perlu
diuji? Mungkinkah menggunakan analisis khusus tanpa menerima ideologi yang menyertai
nya?

 Refleksi teologis
Asumsi-asumsi metodologis apa yang mendasari refleksi teologis? Dalam hubungan macam
apakah analisis sosial tersebut menunjang teologi? Sebagai pelengkap atau unsur pembantu?
Seberapa dekat teologi terkait dengan situasi sosial yang ada?

 Perencanaan pastoral
Siapakah yang terlibat di dalam perencanaan pastoral? Apakah implikasi-implikasi dari
proses tersebut menunjuk jawaban-jawaban yang tepat? Bagaimanakah hubungan antara
kelompokkelompok yang melayani dan yang dilayani?

2. Dibalik anekdot

Perencanaan Pastoral yang efektif perlu melibatkan gerakan itu dalam sesuatu yang
bersifat kasuistik sampai yang analitis. Analisis sosial coba menyajikan arti serupa dari
kesatuan sistem realitas. Dalam konteks analisis sosial, fakta-fakta dan permasalahan tak lagi
dipandang sebagai problem yang saling terpisah. Lebih dari itu semua dipandang sebagai
bagian dari sebuah keselu ruhan yang saling berkaitan. Dengan menggunakan analisis sosial,
kita dapat menanggapi keadaan yang lebih besar dengan cara lain Sistematis.

3. Seruan untuk mengadakan analisis


Makin lama Gereja makin mengakui pentingnya analisis sosial bagi perencanaan
pastoral yang efektif. Dalam dokumen ajaran so sial tahun 1971, ''Panggilan untuk Bertindak'
(Octogesima adveni ens), Paus Paulus VI menantang para aktivis sosial dengan suatui cara
yang mengingatkan kita akan unsur-unsur dari 'lingkaran pas toral': Kami serahkan kepada
komunitas-komunitas kristiani sendiri

untuk menganalisis secara objektif situasi sebenarnya dalam ne gerinya sendiri. Demikian
agar dalam situasi itu dapat menebarkan Sabda Injil yang kekal, dan untuk menarik prinsip-
prin sip atau refleksi, norma-norma putusan dan petunjuk tindakan \dari ajaran sosial Gereja'
(No. 4).

4. Analisis dan teologi

Analisis sosial '' hanyalah' sebuah mo-men dalam lingkaran tersebut. Meskipun
merupakan langkah yang sangat perlu menuju ketindakan efektif demi keadilan, analisis
sosial harus dilengkapi dengan refleksi teologis dan perencanaan pas toral. Tak ada bagian-
bagian yang dapat dipisahkan secara total. Teologi tidak terbatas pada momen yang secara
eksplisit disebut refleksi teologis' (Theological Reflection). Dalam arti yang lebih luas, semua
momen lingkaran tersebut merupakan bagian dari definisi luas teologi

B. Pengertian Analisis

Analisis sosial dapat didefinisikan sebagai usaha memperoleh gambaran yang lebih
lengkap tentang sebuah situasi sosial dengan menggali hubungan-hubungan historis dan
strukturalnya. Analisis sosial tersebut berperan sebagai perangkat yang memungkinkan kitai
menangkap dan memahami realitas yang sedang kita hadapi, atau yang dalam terminologi
Amerika Latin ditunjuk dengan istilah 'la-i realidad". Analisis sosial menggali realita dari
berbagai dimensi.

1. Batas-batas analisis sosial

Dalam menggunakan analisis sosial sebagai sebuah perangkat/alat pastoral, kita perlu
menyadari keterbatasan keterbatasannya. Agar persoalan tersebut agak jelas, sebaiknya kitai
rumuskan (Pada akhir tinjauan ini kita akan kembali ke tema keterbatasan-keterbatasan
analisis).

Pertama, analisis sosial tidak dirancang untuk menyediakan sebuah jawaban langsung atas
pertanyaan 'apa yang kita perbuat?" Jawaban atas pertanyaan itu merupakan tugas strategi
atau perenca naan. Analisis sosial membuka konteks di mana sebuah program bagi perubahan
sosial dapat diperlihatkan, tetapi tidak menyajikan 'blueprint', bagi tindakan.

Kedua, analisis sosial bukanlah kegiatan esoteris monopoll kaum intelektual. Setiap
hari kita semua menggunakan perangkat i itu dalam berbagai cara. Kita menggunakannya
kalau kita mengait kan sebuah masalah atau peristiwa pada yang lain. Atau juga kalau kita
memilih sebuah langkah tindakan ketimbang langkah yang lain. Kerangka kerja yang memuat
hubungan dan pilihan-pilihan itui mungkin mengandung analisis sosial yang tersembunyi.
Analisis sosial yang lebih mendetail membuat analisis implisit itu menjadi eksplisit dan lebih
tepat.

Ketiga, analisis sosial bukanlah perangkat yang "'bebas nilai'. Pokok ini sangat
penting diperhatikan. Analisis sosial bukan sebuah pendekatan yang netral, atau sudut
pandang yang semata-mata ilmiah dan objektif terhadap realitas. Memang kita harus
berusahai bersih, tepat, logis dan beralasan.

Dalam pemi-i lihan masalah, cara pendekatan, pertanyaan-pertanyaan dan dalam


keterbukaan pada hasil analisis, kita mengungkapkan nilai-nilai dan prasangka-prasangka
kita. Kita tak pernah memasuki analisis tanpa i sebuah komitmen yang mendahului, baik
implisit maupun eksplisit. Komitmen tersebut mewarnai baik tindakan kita maupun tindakan.

2. Kesulitan-kesulitan

Ada berbagai jawaban yang dapat ditemukan dalam fakta kompleks masyarakat kita
dan tendensinya ke arah perubahan dan kontroversi.

Pertama, masyarakat di Amerika Serikat berkembang makin kompleks. Kita telah


maju jauh dari cara hidup nenek moyang kitai yang sederhana dan biasa. Dewasa ini sistem
sosial kita merupakan sebuah jalinan yang ruwet dari manusia-manusia, institusi-institusi,
jaringan-jaringan kerja, birokrasi dan mesin-mesin.

Kedua, analisis sosial merupakan aktivitas yang sulit karenai masyarakat kita terus-
menerus berubah. Analisis di masa kemarin mungkin tak lagi sah hari ini. Perubahan-
perubahan di hari esok bisa saja menggagalkan asumsi-asumsi kita hari ini.

Ketiga, memasuki analisis sosial berarti memasuki bidang ma salah yang menjadi
sengketa. Adanya sengketa itu akan membuat i tugas kita lebih berat dan sukar. Seperti kita
lihat tadi, analisis sosial tidaklah bebas nilai. Kita senantiasa memilih sebuah analisis yangi
secara implisit terkait pada suatu tradisi ideologis tertentu. Menyatakan diri tak berideologi
sendiri sebenarnya merupakan posisi ideo logis. Dengan menempatkan diri dalam suatu visi
masyarakat, entah itu kapitalisme, sosialisme, feodalisme, tribalisme dll. Kita berinteraksi
dengan pelbagai gerakan sosial dan politik. Beberapa di antaranya saling bertentangan satu
sama lain.

3. Kesempatan dan batas-batas

Kita sedang memasuki sebuah era yang sulit. Sebelum dekade 1970, Amerika Serikat
merupakan sebuah daratan yang memilliki kesempatan sosial yang terus-menerus
berkembang. Namun dewasai ini, Amerika sedang berubah menjadi suatu daratan dengan
kesem patan yang semakin kecil. Tema kultural utama yang mendasari erai pra ekspansionis
masa ini adalah ''batas-batas'. Tema baru yangi memberi tekanan pada kesadaran kita dewasa
ini adalah ,'batas' kekayaan dan pertumbuhan kita.

Walaupun analisis terhadap era baru itu berbeda-beda, adanya era baru itu secara luas
diterima sebagai fakta. Kelompok-kelompok politik baru telah lahir menghadapi tantangan
itu.Menentukan keterbatasan-keterbatasan itu tak perlu merupa kan hasil akhir suatu
kesempatan. Tetapi adanya keterbatasan-ke terbatasan', berarti bahwa asumsi-asumsi di masa
lalu kita tentang ekspansi yang tak terbatas dalam wilayah-wilayah yang terbuka dan
berkembang terus itu kini tak lagi sah. Peluang dan kesempatan baru dapat ditemukan, tetapi
hanya dalam batas-batas baru itu. Na mun untuk menemukan kesempatan tersebut, kita harus
mempertajam analisis sosial kita, merangsang imajinasi kreatif dan memper luas visi kita.
'Batas-batas baru' masa ini merupakan imajinasi dan kreativitas sosial di dalam batas-batas
larangan yang telah tertentukan bagi kita.

4. perpecahan dan solidaritas

Perpecahan (fragmentasi) itu berarti menganalisis sistem sosial menurut bagian-


bagiannya bukan secara keseluruhan. Hal ini dapat memperburuk desintegrasi sosial dan
menghasilkan permainan negatif. Dan akan tercipta ketegangan antar kelompok ras dan etnis
akan bertambah. Sedangkan solidaritas berarti bahwa tingkat analisis yang lebih perlu muncul

C. Unsur-unsur Analisis

Dalam analisis realitas sosial, kita menyelidiki sejumlah unsur masyarakat. Diantara lain:

1. Dimensi historis
2. Unsur-unsur struktural
3. Berbagai pembagian masyarakat
4. Pelbagai derajat dan tingkatan masalah yang ada

1.Sejarah

Memandang masalah sejarah secara serius menjadi sebuah solusi dalam masalah
analisis sosial, karena hal inilah yang menunjukkan dari mana kita berangkat. Sejarah
membuat kita mendapat konteks yang lebih luas karena memperjelas masa lalu dan
menawarkan wawasan masa depan. Tapi pada saat ini pendekatan pada analisis sosial kini
banyak yang bersifat nonhistoris, dimana pendekatan ini lepas dari konteks dan di perlakukan
secara mutlak, seperti contohnya yaitu metodologi (perbandingan) yang mengabstraksikan
masa sekarang dan sejarah.

Kesadaran historis itu memandang pergerakan waktu, dimana waktu yang dimaksud
adalah penunjukan dari deretan berbagai kejadian khas dimana kita terlibat secara sadar dan
dapat mempengaruhinya. Jika kita gagal memperhatikan dimensi historis, maka pemahaman
kita tidak akan memadai dan akan menyesatkan. Kita dapat membedakan 2 momentum dalam
setiap kesadaran historis:

1. Momen ilmiah yang menganalisis dengan cermat masa lalu


2. Momen intuitif yang mencoba membentuk masa depan.

Momen yang pertama adalah momen ilmiah, dimana dalam hal ini kesadaran historis
memiliki beberapa tahap.

Pertama adalah tahap pemisahan (separation) yaitu pemisahan dari lingkungan yang
ganas. Yang kedua adalah tahap asimilasi dimana lupanya akan bahasa leluhur dan
menjauhkan diri dari apa yang dilakukan oleh leluhur. Tahap yang ketiga adalah imigrasi
yaitu momen identifikasi. Dimana pada hal ini tidak hanya berarti memulai langkah baru,
bahkan sampai memunculkan rasa bangga yang baru. Momen kedua dalam kesadaran historis
adalah momen intuitif (intiutive moment). Momen ini kurang rasional dan kurang tepat
dengan momen ilmiah. Momen-momen mendorong diskusi berbagai skenario. Popularitas
nampak merupakan sebuah akibat dari gerak perubahan cepat yang sedang kita alami.
2.Struktur

Analisis sosial secara tajam berusaha mengenali struktur-struktur masyarakat, struktur


tersebut merupakan kenyataan yang harus dipahami jika kita mengkehendaki efektivitas
tindakan kita bagi keadilan. Dimana keadilan adalah masalah struktural dan bukan masalah
pribadi. Ketika muncul masalah-masalah struktural kita dapat mengatasinya dengan analisis
sosial dengan mengenali struktur utama. Ketika tidak mengenali analisis ini, maka kita bisa
dikatakan lumpuh ketika akan dihadapkan dengan pertanyaan –pertanyaan tentang keadilan
sosial.Berbicara keadilan sosial dalam masyarakat, kita perlu memperhatikan beberapa hal,
yaitu struktur ekonomi, struktur politik masyarakat, dan struktur kebudayaan. Dalam sebuah
analisis sosial yang mempertimbangkan struktur-struktur tersebut, maka perlu mengkaji
gabungan institusional struktur tersebut. Seperti contohnya pengaruh media komunikasi yang
dapat mempengaruhi perekonomian melalui periklanan.

3.Pembagian sosial

Pembagian masyarakat pada dasarnya mencakup ras, sex, umur, etnis, agama,
geografis dan sebagainya. Pembagian seperti itu nampak nampak berlangsung sangat jelas
dan langsung. Pentingnya mengenali pembagian-pembagian tersebut didasarkan pada 2
alasan. Pertama, akbibat dari peristiwa tersebut yang mempengaruhi seluruh masyarakat
dengan cara yang tidak sama. Yang kedua, jika saling bertentangan, maka itu akan
mengacaukan proses perubahan sosial.

Analisis sosial seharusnya membuat kita sadar akan pembagian-pembagian ini,


sehingga berbagai dimensi realitas yang ruwet itu tak akan terabaikan tatkala kita merancang
jawaban-jawaban. Pembagian-pembagian pada masyarakat akan menghasilkan banyak
masalah, dimana dalam hal ini akan terjadi penindasaan akan kaum minoritas. Pembagian
kelas akan sangat terlihat dan mempengaruhi banyak penduduk. Dimana keputusan hanya
diambil oleh orang yang berkuasa yang dipilih oleh orang-orang yang memiliki kepentingan
dalam bidang tertentu.

4.Tingkat dan derajat permasalahan.

Akhirnya harus dicatat bahwa masalah-masalah terjadi dalam berbagai tingkat.


Kerangka kerja yang dipilih analisis sosial akan menunjukkan tingkatan permasalahan
tersebut. Bahkan akan lebih lagi, dimana kerangka itu akan mengungkapkan hubungan antara
berbagai tingkat masalah. Jawaban terhadap masalah itu akan bermacam-macam menurut
tingkat permasalahannya. Meskipun demikian terdapat interrelasi yang kuat antar tingka-
tingkat permasalahan. Hubungan-hubungan itu perlu dikenali jika jawaban yang efektif
hendak dibuat.

Analisis permasalahan menurut berbagai tingkatan dan interrelasinya sungguh penting


karena akan meluruskan salah paham bahwa masalah lokal itu bersaing dengan masalah
global. Semua problem merupakan bagian dari sebuah keseluruhan. Hubungan antara bagian-
bagian dengan keseluruhan dapat dimengerti dengan bantuan pertanyaan-pertanyaan
fundamental:

 Siapa yang mempunyai kekuasaan?


 Bagi siapa kekuasaan itu dipergunakan?
 Penggunaan itu didasari nilai apa?
 Dengan visi mana memandang masa depan?

Pertanyaan-pertanyaan itu cocok dan sekaligus mengungkapkan tiap-tiap tingkat


permasalahan.

D. Rangkuman dan Kesimpulan

Dengan menajikan analisis sosial sebagai perangkat dan alat tindakan pastoral
ini, kita melihat pendekatan yang dapat mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang
membingungkan. Pada akhirnya kita memilih berbicara analisis sosial tetapi tidak
melakukan analisis sosial tersebut. Pendekatan yang telah kita lihat menempatkan tugas
analisis sosial dalam sebuah lingkaran pastoral yang menuju ketindakan bagi
keadilan.Kita hendakmenerapkan analisis kita pada berbagai tantangan sosial . dalam
kerangka analisis kita akan jelas bahwa pendekatan yang kita lakukakn bersifat:

1. Historis : mempertimbangkan konteks struktural yang saling berlainan.


2. Struktural : menekankan pentingnya bagaimana masyarakat dihasilkan
3. Kandungan nilai yang berorientasi pada keadilan sosial
4. Tidak dogmatis, menggunakan berbagai perspektif dan berbagai aliran analisis
5. Berorientasi pada tindakan.
III. ANALISIS SOSIAL DAN PERUBAHAN

Untuk melihat dinamika sosial kita perlu menganalisis. Analisis sosial memungkinkan
untuk membantu kita untuk menjawab dan menanggapi permasalahan secara efektif. Tentu
saja ada interpretasi tentang erubahan sosial. Untuk itu ada 3 model interpretasi tentang
dinamika perubahan dalam masyarakat, yaitu:

1. Model tradisional
2. Model liberal
3. Model radikal

Model-model perubahan tersebut model perubahan intepretasi yang mempunyai akar


secara historis. Bukan hanya sekedar model-model abstrak, yang manfaat teoritsnya dapat di
ukur terpisah dari peristiwa-peristiwa sejarah yang konkret.

A. Model-model
1. Model Tradisional
Secaara historis model tradisional untuk menafsirkan perubahan sosial atau
dinamika masyarakat telah menjadi model yang dominan. Arinya pandangan
tradisional sama sekali bukanlah perubahan. Metode yang di gunakan adalah
bercorak biologis (memandang masyarakat sebagai organisme yang analog
dengan tubuh manusia). perubahan merupakan irama alam itu sendiri, terungkap
dari perubahan musim-musim dan peredaran hidup manusia. prinsip yang berlaku
yang operatif dalam model ini bersifat otoritarian dan hierarkis. Segelintir orang
menguasai rakyat banyak . mereka yang berkuasa menentukan proses sosial:
bagaimana tatatertib harus di jaga bagaimana masyarakat berfungsi, bagaimana
kesejahteraan harus dirumuskan di sajikan yang merupakan ancaman-ancaman
penyimpangan dan patologis dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut moel tradisional perubahan historis yang penting di pandang sebagai
penyimpangan atau fenomena patologis. Maka jawaban terbaik terhadap
tantangan yang akan menggoyahkan keteraturan adalah:
a. Mendamaikan dan mengurangi tantangan dan menyerapnya ke dalam
sistem yang ada.
b. Atau membuangnya sama sekali.
2. Model Liberal
Secara umum model perubahan liberal telah mengganti model tradisional
dalam masyarakat dewasa ini. konsep-konsep pragmatisme dan plularisme
sungguh penting pada model ini. model libaeral berorientasi pada masa depan dan
akrab dengan perubahan yang artinya akan mengubah struktur.
Model liberal berciri evolusioner, pluralistik, dan manejerial. Metafor
interpretasi dasarnya bersifat mekanistis mengambil paradigmanya pada fisika
Newton. Menurut model ini waktu sosial bersifat linear atau evolusioner. Gerak
sejarah bukan siklis, tetapi progresif. Kejadian baru yang berarti selalu terbentang
dan terbuka. Kemajuan berjalan menurut kontium dimana masyarakat setahap
tahap demi tahap melangkah maju dan meningkat.
Dalam model ini terdapar asumsi bahwa "kepentingan umum' bukanlah tujuan
langsung dar keprihatinan sosial, melainkan merupakan hasil yang tak langsung
dari aktualisasi semua bagian. Dalam bidang ekonomi, "'kekuatan yang tak
nampak" (invisible hand) memimpin persaingan dalam sis tem "pasar bebas" bagi
keuntungan semua. Dalam bidang politik, bagian-bagian itu digerakkan karena
kelompok-kelompok kepen tingan. Dalam bidang kultural bagian-bagian tersebut
mengungkap kan diri lewat "pemikiran bebas". Menurut pandangan ini, masya
rakat yang sehat ditandai oleh individualisme dan inovasi, berkem bang dengan
cepat melalui situasi pengembangan, perluasan dan situasi persaingan. Prinsip
yang berlaku dan operatif dalam model liberal ialah manajerial. Interaksi dari
bagian-bagian yang saling terpisah dalam sistem itu menuntut manajemen yang
rasional. Manajemen itu harus melaksanakan 2 tugas pokok:
1. Harus mengekang bagian-bagian dari gerak-gerak ekstrem, seperti anarki, di
mana perpaduan sosial hancur. Atau juga otoritarianisme, di mana kekuatan sosial
ekonomi dan poli tik sangat terpusat dan terkonsentrasi di tangan sedikit orang.
2. Tugas manajemen adalah meniaga keselurühan bagian ber. gerak bersama
terus seirama dengan arah pengembangan kemajuan.

Sebagaimana telah disebut di muka corak menajerial model liberal tidak langsung dan tidak
secara positif mengembangkan "'kepentingan umum". Lebih dari itu mendorongnya secara
negatif dengan menambah kekuatan yang menantang dan menyajikan peluang bagi
kemajuan. Menciptakan keseimbangan sistem merupakan se suatu yang sangat penting.
Keseimbangan adalah sifat baik sosial yang pokok pada model ini.
Jika masyarakat dilihat terus menerus dalam perubahan, jawaban terbaik terhadap
tantangan tertentu ialah menetapkan bagaimana cara mengelolanya. Kepentingan-
kepentingan yang saling bersaing harus diadu. Sebuah aliran "manajemen konflik" bahkan
telah dibentuk. Peran pemerintah yang berciri liberal terutama ditetapkan sebagai "laissez-
faire". Selama periode belakangan ini, liberalisme berkembang dalam bentuk yang lebih
berciri sosial. Itulah apa yang kita maksud dengan istilah "'liberal" dalam politik Amerika
dewasa ini. Menurut liberalisme purba (atau konservatisme Amerika dewasa ini), kekuatan-
kekuatan sosial yang saling bersaing harus dibiarkan dan harus diperbolehkan menjalan kan
peran normalnya dalam negara "'laissez-faire". Pemecahan yang stabil atas konflik rasial
dicari, tetapi bukan transformasi mendasar dari sistem sosial. Dalam upaya menenang kan
orang-orang kulit hitam dengan langkah-langkah kaum refor. mis, para pendukung model
liberal menunjukkan sejumlah perubah an yang telah terjadi dan memperingatkan bahaya
perubahan yang terlampau cepat dan revolusioner.

3. Model radikal

Model ketiga dari dinamika perubahan sosial akan kita sebut ''model radikal".
Menurut perspektif radikal ini masyarakat berge rak melalui kurun sejarah seperti gelombang
dengan bentuk-bentuk baru yang muncul dari kontradiksi-kontradiksi bentuk lama. Bentuk-
bentuk yang lama hilang, dan tak satu pun nampak lagi. Tans formasi sistem yang mendasar
terjadi. Model radikal merupakan sebuah model yang berciri transformatif, interdependen,
dan parti sipatif. Metafor dasarnya ialah karya seni. Mari kita kaji tiap-tiap unsurnya. Model
ini memandang waktu sosial bersifat transformatif. Model tradisional melihat masyarakat
sebagai tak berubah; model libe ral memandang masyarakat terus-menerus berubah, namun
tanpa perubahan struktur dasarnya. Tetapi pada model radikal, transfor masi mendasar terjadi
justru dalam struktur sosialnya, sebagaimana peristiwa seiarah secara fundamental
menimbulkan tahap baru. Ada sebuah kaitan historis antara masa lalu, masa kini, dan masa
depan, tetapi merupakan kaitan dialektis. Melalui dialektika itu tahap tahap muncul dari
tahap-tahap lain lewat proses konflik yang kreatif.

Menurut model ini ruang sosial bersifat interdependen. Masya rakat merupakan
sebuah keseluruhan sistem, tetapi punya kualitas yang lain dengan interrelasi organis yang
ada dalam model tradisional. Model tradi sional menyediakan ruang yang sempit bagi
partisipasi, karena masyarakat dipimpin oleh elite yang otoriter. Model liberal mengizin kan
partisipasi, tetapi karena kompleksitas masyarakat dewasa ini (dipersulit lagi oleh
individualisme dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing), keputusan-keputusan
dasar tinggal di tanganelite manajerial, Tetapi model radikal menuntut input langsung dari
komunitas komunitas orang kebanyakan bagi keputusan-keputusan penting se luruh
masyarakat kita (baik dalam bidang-bidang politik, ekonomi maupun kebudayaan).

Kepentingan umum merupakan konsekuensi dan produk dari partisipasi kooperatif


orang-orang yang digerak tindakan penciptaan. Menurut model radikal, rasisme bukan hanya
praduga pribadi, tetapi merupakan fenomena struktural dan sangat erat terkait pada
keseluruhan sistem sosial. Mungkin kita tak mempunyai contoh historis yang bisa ditiru bagi
transformasi masyarakat kapitalis yang sudah maju. Karena itu tugas kita bukanlah menjiplak
model-model lain, tetapi membebaskan imaiinasi kreatif kita.

B. Contoh-contoh Perubahan

Dalam menghadapi konflik model ini menghendaki "'ketertiban". Model liberal


menekankan pendekatan mekanistis yang menghendaki "'keseimbangan'. Sedang model
radikal menekankan pendekatan artistik yang menghendaki "'kreativitas".

1. Internasional

Dengan menerapkan 3 model interpretasi terhadap masalah in ternasional dewasa ini,


kita dapat melihat pertentangan yang menarik dalam pendekatan terhadap konflik dunia Utara
dan Selatan. Negara-negara kaya di kawasan Utara dihadapkan dengan negara negara miskin
di Selatan yang pemerintahnya menuntut perubahan mendasar dalam pembangunan tata dunia
internasional. Demikian juga, tata internasional diterima dan dipertahankan dengan kekuatan
militer. Masa depan negara-negara miskin ialah atau "'diasingkan", atau "'diserap seluruhnya"
ke dalam sistem in ternasional seperti yang ada saat ini. Sikap lugas para penyanggah status
quo dapat dilihat dalam tindakan berbagai pemerintahan militer yang represif, sering kali di
dukung oleh Amerika Serikat. Hal yang sama terjadi dalam perundingan-perundingan
ekonomi internasional yang dilakukan AS. Selama masa pemerintahan Nixon, Daniel Patrick
Movnihan (waktu itu duta besar AS untuk PBB), mengambil pendekatan garis keras terhadap
masalah "Dunia Ketiga". Model radikal mendasari jawaban yang sifatnya struktural. Menurut
model ini, akar permasalahan yang dihadapi negara-nega ra miskin dapat ditemukan di dalam
tata ekonomi internasional dan dalam tata ekonomi nasional yang terkait padanya. Kerja
semba rangan dengan masalah tata dunia dewasa ini tak akan memperbaiki keadaan.
Hubungan antara negara kaya-miskin perlu diubah mela lui usaha-usaha kreatif untuk menata
kembali sistem sosial dunia Seruan bagi "Tata Ekonomi Internasional Baru" (TEIB) merupa
kan sebuah contoh tanggapan para strukturalis, meskipun jawabar yang lebih seksama lagi
juga menuntut tata nasional yang baru.

2. Masalah dalam negeri

Aplikasi lebih lanjut dari model-model penafsiran tsb. dapat Kedua, model-model
perubahan membantu kita untuk mengerti kekuatan dan kelemahan kita. Jika kita menguji
pengalaman-pengalaman kita sendiri secara jujur (baik pengalaman personal maupun
pengalaman institusional), barangkali kita sadar bahwa kita bertin dak menurut semua model
perubahan. Pada kesempatan lain dan dalam situasi yang berbeda, kita cenderung mendukung
tindakan yang ''mempertahankan sistem", atau "'memperbaharui sistem". atau juga yang
"'mengubah sistem'.

Ketidak konsekuenan itu dapat dipahami, bahkan boleh dipertimbangkan. Ada


saatnya untuk me lindungi tradisi. Ada saat untuk membaharui, dan ada waktunya bagi
perubahan mendasar. Bagaimanapun juga kita perlu sungguh-sungguh menyadari pilihan kita
untuk mengenali prasangka-prasangka tertentu kita atas berbagai model perubahan. Hanya
dengan sungguh-sungguh sadar kita dapat menentukan efektivitas pendirian kita terhadap
realitas sosial yang kita hadapi. Ambillah sebagai contoh, jawaban-jawaban terhadap
tantangan dan masalah kemiskinan Model tradisional menekan tantangan yang datang dari
gerak an kaum miskin. Tuntutan mereka bagi perubahan ditolak. Struktur sosial tetap tinggal
seperti apa yang ada ini. "'Mempersalahkan korban' (yaitu orang-orang miskin sendiri)
merupakan fenomen yang lumrah. Kita sering kali dingatkan bahwa "'orang miskin selalu
ada'. Kebanyakan politikus konservatif mendukung garis ini. Dan gerakan intelektual "neo-
konservatif" sudah mencoba memberi penghargaan baru dengan menvatakan perlunya ada
"'Pengharapan sedikit" (yang sifatnya dasar saja). Model liberal mengakui perlunya suatu
perubahan agar sistem yang ada dapat bertahan.

Model radikal melihat masalah-masalah struktural serius yang tak dapat diperbaiki
dengan hanya sekedar penyesuaian dalam sis tem itu sendiri. Penyembuhan atas "'Penyakit
sosial" adalah trans formasi struktural yang luas. Misalnya, modal dan teknologi sebagai
motor ganda perekonomian secara langsung harus ditata bagi tanggung jawabnya terhadap
masyarakat, dikendalikan orang orang yang digerakkan oleh kegunaannya. Model radikal
memandang masalahnya bukan pada jumlah industrialisasi atau angka pertumbuhan, tetapi
masalah sifat dasar produksi dan distribusi. Jawaban radikal terhadap kemiskinan di AS ini
tidak didukung oleh pemimpin-pemimpin utama, meskipun diteriakkan oleh semakin banyak
warganya. Model radikal membuat bangkitnya berbagai unsur pendekatan alternatif dalam
kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan. Meskipun demiki Model tradisional
menanggapi tantangan perubahan di dalam Gereja dengan menekankan kembali kategori
kepercayaan dan praktek tradisional. Penolakan terhadap perubahan merupakan na. da yang
khas. Gambaran statistik tak berubah tentang Gereja dipro yeksikan, bahkan juga dalam
terminologi yang dipakainya (sepert acuan pada" deposito iman'. "'keadaan rahmat", dan "
kebenaran kebenaran kekal").

Pengambilan bentuknya dalam Gereja adalah gerakan "komunitas basis" kristiani,


sebuah contoh penting tentang penata an kembali lembaga-lembaga religius. Di dalam
gerakan ini, partisi pasi yang lebih besar dari orang-orang biasa diusahakan. Pelayanan-
pelayanan baru kaum awam, bahkan penataan kembali tarekat tarekat iman dan religius mulai
mengambil bentuk. Jaringan kerja baru dari komunitas-komunitas bermunculan, dan
hubungannya dengan gerakan-gerakan bagi perubahan yang radikal dalam masya rakat yang
lebih luas telah dikembangkan.

C. Rangkuman dan Kesimpulan

Distingsi senantiasa terjadi di sekitar kita. Karya bagi keadilan sosial sebagian besar
merupakan karya untuk mengarahkan proses-proses yang ada menuju ke situasi sosial yang
lebih menaruh hormat pada hak-hak martabat manusia. Maka tindakan pastoral yang hendak
memajukan keadilan perlu memahami dinamika-dinamika perubahan sosial dan
menghubungkan berbagai dinamika tersebut secara kreatif.

Dalam bab di atas kita telah menguraikan tiga model penafsiran untuk memahami
perubahan, di samping menyajikan beberapa implikasinya bagi jawaban-jawaban pastoral
yang muncul dari tiap tiap model.

Ada 2 manfaat pelengkap bagi analisis sosial model-model perubahan. Pertama,


analisis menolong kita memahami tanggapan tanggapan yang diambil oleh mereka yang ada
dalam kedudukan berpengaruh atau punya otoritas terhadap situasi sosial yang ada. Jika
tindakan atas nama "Keadilan' menghadapi perlawanan, penting lah menyelidiki model
perubahan yang dipakai oleh mereka yang mendukung "'status quo". Maka kita dapat
memilih berbagai cara dan strategi yang penting bagi gerak perubahan lebih laniut. Tiap-tiap
model yang telah kita lihat di atas mempunyai "'bahasa'' tertentu yang sesuai dengannya.
Kumpulan slogan kunci dengan model perubahannya akan membantu kita untuk mengerti
orientasi orang-orang yang kita temui. Misalnya, seorang yang mengenakan model tradisional
akan berbicara tentang "'ketertiban", "'garis-garis orientasi yang tepat", dan "'cara melakukan
hal-hal yang diterima umum". Seseorang yang dipimpin oleh model liberal mungkin memilih
"'keseimbangan'. "'kedua sisi", "'pembangunan bertahap', dan "'keuntungan timbal balik
sebuah proses".. Penggunaan terminologi seperti "'tatanan baru", "kebaharuan', atau
"transformasi", menyingkap suatu keterbukaan yang lebih besar terhadap mo del radikal.
Kedua, model-model perubahan membantu kita untuk mengerti kekuatan dan kelemahan kita.
Jika kita menguji pengalaman-pengalaman kita sendiri secara jujur (baik pengalaman
personal maupun pengalaman institusional), barangkali kita sadar bahwa kita bertin dak
menurut semua model perubahan.

Pada kesempatan lain dan dalam situasi yang berbeda, kita cenderung mendukung
tindakan yang ''mempertahankan sistem", atau "'memperbaharui sistem". atau juga yang
"'mengubah sistem'. Ketidak konsekuenan itu dapat dipahami, bahkan boleh
dipertimbangkan. Ada saatnya untuk me lindungi tradisi. Ada saat untuk membaharui, dan
ada waktunya bagi perubahan mendasar. Tetapi dalam momen manakah sejarah sistem sosial
kita ini berada? Pertanyaan itu merupakan suatu pene gasan. Bagaimanapun juga kita perlu
sungguh-sungguh menyadari pi lihan kita untuk mengenali prasangka-prasangka tertentu kita
atas berbagai model perubahan. Hanya dengan sungguh-sungguh sadar kita dapat
menentukan efektivitas pendirian kita terhadap realitas sosial yang kita hadapi. Barangkali
cara terbaik untuk menghargai pentingnya analisis sosial yang secara serius
mempertimbangkan dinamika perubahan adalah menerapkannya pada situasi sosial konkret
yang kita hadapi sekarang. Dalam bab 3, kita akan menyelidiki "perubahan" jika dikaitkan
pada masalah "'Dunia Ketiga' dan pembangunan dalam negeri, sambil mencari model-model
yang menyajikan jawaban pastoral praktis bagi sebuah dunia yang sedang berubah secara
cepat.

BAB III
KESIMULAN DAN SARAN

Pada akhirnya kita memilih berbicara analisis sosial tetapi tidak melakukan analisis
sosial tersebut. Pendekatan yang telah kita lihat menempatkan tugas analisis sosial dalam
sebuah lingkaran pastoral yang menuju ketindakan bagi keadilan. Lewat garis-garis jabatan,
profesi, serta pribadi pastor, tampak kontur-kontur dari teologi pastoral itu. Teologi pastoral
harus dipandang sebagai bidang vak yang berdiri sendiri di dalam teologi praktis. Dengan
catatan singkat mengenai jabatan pastor, kita mengakhiri bagjan ketiga buku ini. Karya bagi
keadilan sosial sebagian besar merupakan karya untuk mengarahkan proses-proses yang ada
menuju ke situasi sosial yang lebih menaruh hormat pada hak-hak martabat manusia. Maka
tindakan pastoral yang hendak memajukan keadilan perlu memahami dinamika-dinamika
perubahan sosial dan menghubungkan berbagai dinamika ter sebut secara kreatif.

Pengolahan masing-masing bidang dan disiplin pastoral harus dicari dalam literatur
khusus mengenai misalnya katekese, liturgi, diakonia, pembangunan jemaat, karena teologi
praktis lebih merupakan dasar bersama dan bahasa bersama untuk semua aksi pastoral
tersebut. Hal itu berarti bahwa di semua bidang aksi pendekatan hermeneutis, strategis, dan
empiris diperlukan, sedangkan bidang-bidang itu berdiri sendiri dalam pengolahan serta
kontekstualitasnya.

Buku ini memeberi sumbangsih penuh bagi perkembangan pemikiran,terkhusus dari


berbagai macam relasi.meskipun usaha ini masih dalam bentuk abtraksi yang belum nyata
dalam kehidupan bermasyarakat ,tetapi ini suatu jalan yang baik dalam melakukan
pendekatan terhadap pergulatan identitas.Hal yang penting juga adalah ketika buku ini
mendekontruksikan ulang pemahaman teologi sosial sehingga pandangan kita tentang
perkembangan teologi menjadi memadai dan mempuni,dilihat dari perkembangan sejarah
dalam konteksnya.adapun masukan terhadap buku ini,yakni pentingnya menggunakan
pendekatan sosiologis dalam menganalisis situasi problematis yang terjadi saat ini.Tidak
hanya menggunakan pendekatan teologis saja,tetapi diseimbangkan dengan pendekatan
sosiologis yang bisa dilihat dari stuktur sosial,sistem kebudayaan tertentu,bahkan perubahan
sosial dan pembangunan yang terjadi.Dengan demikian studi sosiologi agama dapat lebih
komfrehensif mendeskripsikan pergulatan sosial maupun teologis yang terjadi pada saat ini.

Anda mungkin juga menyukai