SALVO UNARAJAN
1
Dari pemahaman tentang teologi dan pastoral di atas,Thomas C. Oden menyimpulkan pengertian
teologi pastoral sebagai satu-kesatuan yang memiliki makna inklusif. Menurut dia teologi pastoral
adalah teologi yang bersifat pastoral namun teologis, praktis namun sistematis teoretis. Baginya kedua
sisi itu berhubungan erat, dimana teologi pastoral memperoleh dasar teologis darinya (teologi) yakni
sebagai pengetahuan tentang Allah yang berkarya dalam sejarah manusia, dan pengetahuan tersebut
setelah mengalami refleksi secara sistematis, muncul dalam pengalaman, yaitu sisi praksis dari teologi
pastoral.
2
a. Melayani pelayanan gereja dengan hasil-hasil studi analitis kritisnya atas tindakan-tindakan,
strategi-strategi, prioritas-prioritas, program-program, fungsi-fungsi dan pemahaman diri pelayan
itu sendiri.
b. Menyediakan pedoman dan perspektif bagi tindakan di masa depan dan menyediakan
kriteria teologis untuk mengevaluasi tindakan dan perspektif tersebut.
c. Mengembangkan penilaian-penilaian sebagai tanggungjawabnya terhadap „tradisi kristen
dan situasi pastoral“.
d. Dokumen Optatam Totius dalam kaitan dengan pendidikan iman menegaskan bahwa
perhatian pastoral harus meresap ke dalam seluruh pendidikan, sehingga para mahasiswa harus
belajar begaimana menjalankan karya kerasulan bukan saja secara teoretis tetapi juga praktis (Bdk.
OT Bab IV, No 19-20).
3
Eugene King, OMI berbicara tentang keahlian yang dibutuhkan oleh seorang teolog pastoral (pelaku
teologi pastoral) yaitu: memperhatikan – memahami – menilai – memutuskan.
a. Memperhatikan (Ketepatan desktiptif):
Secara epistemologis dikatakan bahwa „tidak boleh membuat penilaian atas sesuatu hal (obyek),
bila kita tidak memiliki pengetahuan tentang obyek tersebut“. Untuk itu dibutuhkan seperangkat
alat/sarana untuk mendekati fakta-fakta tersebut.
De facto, fakta-fakta itu bersifat hermeneutis (elutif): artinya merupakan hasil dari interpretasi atas
fakta-fakta tersebut, yang bisa saja amat bervariasi bagi setiap orang, sesuai dengan pengalaman dan
pemahamannya.
Demikian pula dalam hal pelayanan pastoral, para pelaku pastoral mesti memiliki kemampuan-
kemampuan memantau praktek pelayanan pastoral dan identitasnya sendiri sebagai pelayan.
Kemampuan-kemampuan ini penting bagi „komponen meperhatikan“ini, yang terdapat dalam teologi
pastoral para pelayan/pelaku tersebut. Usaha-usaha para teolog pastoral untuk memperjelas langkah-
langkah metodologis dan kritis disiplin ini seharusnya dapat meningkatkan kualitas teologis
kemampuan-kemampuan pastoral itu sendiri.
b. Memahami (Persepsi analitis) :
Kemampuan memahami ini berkaitan erat dengan kemampuan mengumpulkan informasi yang
akurat. Kedua kesanggupan ini saling mengandaikan satu sama lain. Dengan membaca ulang rekaman
kasus-kasus pastoral, para pelaku pastoral belajar membuat identifikasi tentang pokok persoalan
pastoral, kepekaan kritis mereka akan berkembang secara baik, juga mereka menjadi lebih sadar akan
adanya beragam pemahaman terhadap situasi pastoral yang dihadapi serta makin sadar akan proses
penalaran mereka tentang sesuatu hal.
Di samping itu refleksi analitis ini akan membantu para pelaku pastoral menjadi lebih sadar akan
„kecenderungan manusiawinya“ yang suka mengulangi hal-hal yang dilakukan secara lebih efektif.
Dengan melakukan refleksi analitis kritis (memahami) ini, dapat mencegah petugas pastoral
terjerumus dalam kesalahan, mencegah pengulangan-pengulangan yang tidak perlu dan terhindar dari
rutinitas yang membosankan.
c. Menilai (Penilaian Terstruktur):
Pertanyaan utama dalam hal ini adalah: seberapa banyak yang harus diketahui seseorang untuk
sampai pada penilaian teologis pastoral? Sulit untuk menjawab pertanyaan ini karena kehidupan
modern yang kian kompleks membuat orang selalu merasa „tidak cukup“ dan memadai untuk
membuat refleksi tentang pokok-pokok teologis dalam kondisi riil sehari-hari. Orang selalu dituntut
untuk senantiasa berusaha mengembangkan keahlian-keahlian teologis yang bermutu dan cocok bagi
praksis pelayanan pastoral. Untuk itu semua pihak (mahasiswa teologi, dosen-dosen dan para
pelaksanan pastoral gereja dan pemimpin gereja) harus berpartisipasi dalam upaya pembentukan
teologi pastoral ini.
d. Keputusan :
Teologi pastoral melaksanakan kegiatan kritisnya bagi kepentingan komunitas orang beriman dan
bagi dunia sekitarnya.Ia memeriksa tindakan dan fungsi-fungsi pelayanan pastoral demi efektifitas
pelayanan pastoral itu sendiri. Dia bahkan dapat dipahami sebagai „sarana langsung“ untuk
mewartakan Firman Allah dan kehadiran Allah di dunia.
Hakikat dan fungsi keterlibatan ini hendaknya bersifat teologis karena teologi pastoral bukanlah
„praktis“ dalam arti menyediakan keahlian-keahlian penggembalaan, juga tidak dapat „diterapkan“
sebagai mata rantai komunikasi antara teori dan praktik. Sebaliknya teologi pastoral adalah teologi
yang dilaksanakan dalam „konteks tertentu“ dengan metode-metode yang cocok dengan konteks
tersebut. Juga perhatian utama teologi pastoral adalah untuk melihat – merefleksikan – memahami dan
menghantar pada Allah dan semua karyaNya di dunia ini.
II. Cabang-cabang Teologi Pastoral :
4
semata. Nampak jelas disini seolah-olah tindakan nyata lebih penting daripada ritus/tata upacara
penyembahan kepada Tuhan. Bahaya ini mesti dihindari sedapat mungkin karena kedua aspek itu tidak
bisa dipertentangkan. Keduanya selalu berjalan bersama dan saling mengandaikan. (Bdk Yak. 2: 14-
26). Athanasius mengartikan kata „Kairos“ dengan „waktu /saat keselamatan, saat dimana Tuhan hadir
dan berkarya dalam sejarah. Bila kita sepakat dengan pengertian Kairos ini, maka bunyi pepatah itu
mestinya: „“Melayani Kyrios dalam Kairos“. Dengan demikian maka kita akan sampai pada these
dasar atau pertanyaan pokok dari Teologi Pastoral, yang juga menjadi pikiran pokok dari Pastoral
Fundamental : Bagaimana gereja kita dapat melayani Kyrios secara lebih baik dalam Kairos? Atau
lebih tepatnya: bagaimana semestinya karya gereja secara nyata dilakukan, agar kita mampu melayani
Kyrios dalam Kairos ?Bagaimana karya pelayanan gereja dikembangkan, sehingga pelayanan kepada
Kyrios dalam Kairos terlaksana secara baik.?
Dalam Pastoral Fundamental ini dipelajari 3 tema pokok yang penting yakni :
a. Kriteriologi : Ilmu yang mempelajari tentang Arah/tujuandari karya gereja, atau lebih
tepatnya tentang berbagai macam kriteria (parameter), dalam mana arah atau tujuan karya
gereja itu diuji.
b. Kairologi : ilmu yang mempelajari tentang situasi dimana karya keselamatan gereja
diwujudkan, situasi yang turut dibentuk oleh gereja melalui karyanya itu. Kairos disini
diartikan sebagaimana yang ada dalam kitab suci, yakni saat atau waktu keselamatan. Situasi
dimana gereja berkarya sangat bervariasi dan selalu berubah-ubah.
c. Praksiologi : ilmu yang mempelajari tentang perkembangan lanjut dari setiap praksis pastoral
gereja. Hal ini masih berkaitan dengan pepatah lama tentang gereja yang selalu
berubah/membaharui diri („Ecclesia semper reformanda“).
2.3. Pastoral Pelayanan Peralihan Fase Kehidupan Manusia (Pastoral der Übergänge):
Sebetulnya bentuk/model karya pastoral ini dalam praktek dikenal dengan pastoral Kateketik
(Pastoral Katekese). Artinya, Bagaimana karya pelayanan gereja (dhi. Katekese) dijalankan
sedemikian, supaya kehadiran gereja sebagai sebuah kesatuan jemaat Kristus sungguh-sungguh
dialami dalam setiap fase peralihan hidup seorang manusia; mulai dari lahir hingga kematiannya.
Model Pastoral demikian hendaknya dilihat sebagai salah satu „peluang misi gereja“ yang mesti
dibangun dengan kesadaran akan fungsi dan panggilan gereja itu sendiri. Alasan yang mendasari
munculnya kesadaran akan pentingnya karya pastoral model ini adalah, peran dan fungsi gareja
sebagai „sakramen keselamatan universal“, sebagaimana yang ditegaskan oleh KV II, dan
facta„makin menyempitnya karya pelayanan yang dijalankan gereja“, terutama yang terjadi di
negara-negara eropa barat. Banyak peran dan karya yang sebelumnya diurus oleh gereja, kini diambil
alih oleh kaum awam atau lembaga-lembaga sosial karitatip lainnya. Gereja tidak lagi mengurus
segala-galanya (single fighter), melainkan gereja dituntut untuk lebih berkonsentrasi mengoptimalkan
peran dan fungsinya, sesuai dengan esensi panggilannya: „Peran Spiritual“.
2.4. Pastoral Futurologi :
5
Gereja Kristen (Katolik) sebagaimana situasi dunia dan kemanusiaan umumnya, kini dihadapkan
pada „pilihan“ yang krusial, „bangkit berjuang untuk meraih masa depan, dengan segala tantangan dan
peluang-peluangnya“ atau sebaliknya „bertahan/puas dengan keadaan yang ada beserta resiko bahwa
hidup dan karya gereja akan mati?
Kesadaran akan kelanjutan hidup dan karya gereja ini, hendaknya tidak hanya berlangsung dalam
diskusi-diskusi teologis dan pastoral, melainkan lebih dari itu, yakni menjadi sebuah aksi nyata. Tentu
tanggung jawab setiap orang kristen terhadap masa depan gereja, bukan karena adanya ketakutan akan
masa depan itu sendiri, melainkan karena panggilan gereja sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab
suci, untuk mewartakan tentang kasih Tuhan yang menyertai manusia dari masa ke masa, hingga akhir
zaman. (GS 1)
6
teguran Roh Kudus dan bertobat dari dosa (2 Tes 2,13; 1 Ptr 1,22); dan menyerahkan tubuh
kita supaya dipenuhi Roh kudus dan menjadi Bait Allah (1 Kor 3,16-17; 6,19-20).
3.3. Apa itu „Pengembangan Jemaat sebagai organisme“/alamiah (Naturliche Gemeindeentwicklung):
Mengapa kita menamakan pembangunan jemaat sebagai „organisme“/alamiah? Alamiah berarti
belajar dari alam. Belajar dari alam berarti, belajar dari ciptaan Tuhan dan belajar dari ciptaan Tuhan
berarti belajar dari Tuhan Sang Pencipta sendiri.
Hal itu bertujuan agar dalam upaya pembangunan jemaat kita belajar bagaimana proses sebuah
organisme berkembangbiak atau bertumbuh secara alamiah. Dan upaya pembelajaran itu mesti
sungguh mendalam dan intensif, dan tidak cuma pada permukaan saja. Kerapkali terjadi adalah bahwa
kebanyakan konsep yang dipakai untuk membangun jemaat, hanya berorientasi pada hasil (buah) dan
mengabaikan benih/umbih yang berada dalam tanah, yang menghasilkan buah itu.
Jadi dalam upaya pembangunan jemaat ini tidak digunakan trik atau strategi bisnis, dengannya kita
menarik dan memasukan sebanyak mungkin orang ke dalam gereja kita, melainkan lebih dari itu,
bagaimana kualitas hidup dari jemaat kita, yang dengannya orang sendiri merasa tersapa dan akhirnya
memutuskan untuk mengikuti Jesus Kristus dalam Gereja.
Sangat menarik bahwa sekian sering Perjanjian Baru - terutama Jesus sendiri menggunakan
perumpamaan/perbandingan dari alam, dan secara khusus dari pertanian untuk menjelaskan tentang
Kerajaan Allah: Bunga Bakung di ladang, benih, tentang biji sesawi, tentang pohon dan buahnya dan
tentang penabur dan penuai. Banyak penafsir menegaskan bahwa Yesus berbicara demikian karena
para pendengarNya hidup dalam budaya pertanian sehingga dengan menggunakan bahasa yang
berkaitan dengan hidup harian mereka, semua akan mudah dipahami.
Salah satu contoh tentang perkembangan makhluk hidup seperti yang ada dalam Injil adalah
Mateus 6,28 : „ Lihatlah bunga bakung di ladang, bagaimana dia bertumbuh“. „Lihatlah“ dari kata
bahasa yunani „katamathete“, yang sesungguhnya memiliki makna lebih luas dari sekedar
„melihat“.Kata itu sebetulnya adalah bentuk intensif dari „manthano“ yang berarti: „belajar“,
„menyelidiki“ dan „meneliti“. Bila awalan „kata“ dalam bahasa yunani ditambahkan pada sebuah kata
kerja, maka dalam konteks kita akan bermakna : „belajar dengan saksama“,meyelidiki dengan pasti“
dan „meneliti dengan penuh dedikasi“. Lalu bagaimana bisa dipahami semua hal itu? Ternyata bukan
keindahan bunga bakung yang mau diungkapkan, melainkan proses/mekanisme pertumbuhan bunga
bakung itu yang ditekankan: „bagaimana dia berkembang“. Ini yang mesti kita pelajari, kita selidiki,
teliti, daripada sekedar sebuah perintah untuk „melihat“ (katamathete: lihatlah), bila kita ingin
mengetahuisecara benar tentang perkembangan kerajaan Allah.
3.4. Kuncinya: Potensi Hidup:
Barangsiapa mempelajari ciptaan Tuhan dan semua fungsi mekanisnya- baik Kristen atau yang
bukan kristen, pasti akan bertemu dengan apa yang oleh para ahli ilmu pengetahuan disebut: „ potensi
hidup“. Secara „ekologis“ potensi hidup dapat didefinisikan sebagai „kekuatan inheren sebuah
organisme atau sekolompok organisme untuk membelah diri/memperbanyak jenisnya dengan
kemampuan yang dimilikinya“. Konsep seperti ini dalam dunia teknik sama sekali tidak dikenal. Tak
ada sebuah mesin memiliki „kekuatan sendiri“ untuk memproduksi dirinya sendiri. Sebuah mesin kopi
dapat menghasilkan tepung kopi tapi tentu bukan sebuah mesin kopi yang baru. Namun amatlah
berbeda dengan alam ciptaan Tuhan: sebuah pohon kopi dapat menghasilkan biji-biji kopi, yang
selanjutnya bisa menghasilkan sebuah pohon kopi lagi. Inilah konsep yang Tuhan Pencipta telah
tanamkan dalam diri setiap ciptaanNya. Inilah yang disebut dengan „misteri kehidupan“, yang dikenal
sebagai prinsip ciptaan Tuhan.
Dalam seluruh proses alamiah, selalu terjadi bahwa setiap potensi hidup selalu punya kekuatan
untuk membawa /menghasilkan bentuk aslinya secara valid.
Demikian pula halnya dalam karya pembangunan jemaat. Kita diharapkan tidak „membuat jemaat
bertumbuh“, melainkan menciptakan kondisi sekian sehingga memungkinkan semua „potensi hidup“
yang sudah diberikan Tuhan, bisabertumbuh dan berkembang. Tugas kita adalah mengurangi sedapat
mungkin faktor-faktor penghambat – baik dari dalam maupun dari luar jemaat, yang menghalangi
perkembangan hidup jemaat. Tuhan menepati janjiNya: „Dia memberikan pertumbuhan“ (1 Kor 3,6).
Ada paling kurang empat dasar pembangunan jemaat secara natural:
a. Ciri-ciri yang menentukan kualitas (Qualitätsmerkmale).
b. Strategi minimum (Minimumstrategie)
c. Prinsip-prinsip hidup (Biotische Prinzipien)
7
d. Cara-cara pikir yang baru (Neues Denkmodell)
8
Kata ‘communio’ dipakai untuk menggambarkan suatu persekutuan hidup yang mendalam. Kata
communio ini sering disamakan dengan ‘koinonia’(=Gemeinschaft, beda dengan Gesellschaft).
Sedangkan ‘mistik’ menunjukkan sifat ilahi yang penuh misteri dan menjadi ciri khas yang
membedakan persekutuan gereja dari persekutuan lainnya. Menurut Kitab suci Gereja bukanlah suatu
institusi, melainkan persekutuan persaudaraan, suatu persekutuan antar pribadi manusia satu sama lain,
dan persekutuan dengan Tuhan dalam Yesus Kristus, sebagaimana yang ditegaskan oleh Konggregasi
Ajaran Iman.
Model Gereja persekutuan mistik ini melihat Tritunggal Mahakudus sebagai dasar hidup Gereja,
karena Umat Allah dipanggil dan dikumpulkan oleh Bapa, dibangun oleh Putra menjadi Tubuh Mistik
dan digerakkan, diperbaharui dan dipersatukan oleh Roh Kudus. Dalam konteks ini kita berbicara
tentang struktur karismatis gereja, karena Roh Kudus telah mengaruniakan bermacam-macam
karunia kepada Gereja untuk membentuk satu Tubuh Mistik Kristus (Rm 12, 1dan 1 Kor 12). Relasi
yang dibangun adalah relasi kesetaraan timbal balik antara anggota. Para Pemimpin/gembala bukan
yang terutama atau paling penting apalagi sebagai satu-satunya yang paling menentukan, melainkan
seluruh umat Allah bertanggung jawab atas iman dan perutusan Gereja seturut kharisma yang
dianugerahkan Roh Kudus kepadanya. Tidak seorangpun di dalam Gereja yang otonom dan cukup
untuk dirinya sendiri. Dalam keberagaman kharisma itu semua orang memegang tanggung jawab yang
sama dan menjadi rekan kerja/kolega bagi pembangunan Gereja.
Model Gereja seperti ini menurut Dulles memiliki kelemahan yaitu belum mampu memberikan
jawaban secara memuaskan tentang beberapa persoalan pokok yang berkaitan dengan Gereja lokal dan
universal, kolegialitas para uskup, pelaksanaan pelayanan hierarki Gereja di bawah Paus, dan status
doktrinal dari konferensi para uskup.
9
sering mendoakan,...’aku percaya akan Gereja...’, maka hal itu berarti kita percaya bahwa disini, di
dalam Gereja, ditengah jemaat, karya Roh kudus berlangsung.
Kelebihan dari model ini adalah, dia memiliki dasar biblis yang kuat, spiritualitasnya terarah kepada
keagungan Allah dan kedekatan manusia dengan Allah serta Sabda Allah dilihat sebagai yang lebih
kaya daripada sekedar sumber informasi tentang peristiwa masa lampau.
A.Dulles melihat Gereja dalam model ini sebagai umat Allah yang beriman secara bertanggung
jawab, menghayati dan memahami iman dalam hidup harian mereka dan membagikannya kepada
sesama. Model ini amat meneguhkan dan mendorong gerakan evengelisasi dan re-evangelisasi Gereja
dewasa ini.
10
yakin bahwa ada kecenderungan setiap orang untuk menjadi ‘besar’ dan menjadi ‘yang pertama’ (Bdk
Mat 20,20-28). Seorang pemimpin sejati selalu berorientasi pada yang dilayaninya, dia selalu ada
untuk mereka, dan tidak mengutamakan kepentingan pribadinya. Seorang pemimpin harus selalu ada
bersama anggotanya, bila mereka membutuhkannya, sehingga segala sesuatu bisa diselesaikan pada
waktunya.
Motif untuk menjadi pemimpin bisa beragam, namun secara umum ada dua motif besar yang
ditengarai mendorong seorang menjadi pemimpin yaitu:
a. Motif Uang (Philokrematos):
Orang mau berkuasa dan menjadi pemimpin karena ingin mengumupulkan uang sebanyak-
banyaknya. Mereka yakin lewat kekuasaan yang dimiliki menjadi sarana untuk mendapatkan
uang yang dapat dipakai untuk memuaskan hasrat yang tanpa batas terhadap keinginan yang
bersifat hedonis (makan, minum dan seks).
Selain demi kenikmatan, kaum Philokrematos mau mengumupulkan uang banyak agar
mendapatkan “rasa nyaman”, yang sesuangguhnya de fakto tidak menjamin rasa aman.
b. Motif Berkuasa (Tahkta/Philothomus):
Golongan ini biasa mapan secara materi/harta dan uang. Yang mereka butuhkan adalah rasa
dihormati oleh orang lain, rasa bangga diri dan dicintai orang lain. Bahaya dari mentalitas
philothomus ini adalah bila hasratnya berkuasa tidak tercapai, maka apapun akan dia lakukan
termasuk rela menjadi pemimpin kaum pecundang sekalipun. Karena motifnya agar dihargai
dan dihormati, maka apabila dia dihina atau tidak dianggap maka dunianya kiamat.
c. Motif Terpaksa :
Motif ini jaran disadari dan terekspose. Ia dalam banyak hal sudah selesai dengan diri dan
hidupnya. Tidak berambisi untuk mengumupulkan uang/harta dan sekedar mencari
kesenangan. Ia juga tidak peduli dengan kehormatan. Namun ia menjadi pemimpin dan masuk
ke dalam system kekuasaan karena “dipaksa oleh keadaan”. Artinya, bila dia tidak turun
tangan dan terlibat aktif sebagai pemimpin, bisa jadi bakal muncul orang lain yang lebih buruk
dan membawa kerugian lebih besar. Bila dua tipe pertama (philokrematos dan philothumatos)
mencari kuasa karena melayani kepentingan sendiri, maka tipe ketiga ini sebaliknya dia tidak
berpikir tentang kepentingan diri sendiri. Juga dua tipe pemimpin pertama didorong oleh
“gairah/nafsu” karena merasa “kurang akan sesuatu” (uang,harta dan kehormatan), maka yang
ketiga ini didorong oleh “gairah cinta” atas dasar tanggung jawab. (Pepatah Latin: “Amos
meus, pondus meum” : cintaku adalah bebanku). Dan bila dua tipe pemimpin pertama
mengejar kekuasaan karena melihat semacam “kebaikan” yang bisa didapatkan. Sedangkan
tipe ketiga ini justru melihat kekuasaan dikejar bukan karena dianggap baik. Ia terpaksa
menerima kepemimpinan sebagai “necessary evil” (hal yang buruk namun mesti diterima).
Dan karena sifatnya “terpaksa”, maka bila masanya habis dan beralih dia akan dengan cepat
menyingkir. Dia tidak berambisi untuk mempertahankan kekuasaan dengan berbagai slogan
dan tipuan untuk melanggengkan kekuasaan.
d. Motif Keterpilihan :
Dalam model keterpilihan, pemimpin sejati berarti ia menjalankan kepemimpinan bukan demi
kepentingan diri sendiri, tetapi karena “dijamin Tuhan”. Artinya, dia hanya menjalankan
kepentingan Tuhan yang tampak dalam diri sesamanya. Dalam model ini, rasa tidak layak
yang diteguhkan oleh iman akan penyertaan Tuhan menjadi alasan utama seseorang menjadi
pemimpin. Motif dan model ini paling banyak ditemukan dalam kisah-kisah panggilan para
pemimpin di dalam kitab suci. Tuhan memilih orang yang dikehendakiNya, namun orang
yang dipilih tidak serta merta mengiyakan, karena selalu merasa tidak layak untuk memenuhi
panggilan itu. Misalkan : panggilan Musa (Kel.3:10), Yesaya (Yes. 6:1-8), Yeremia (Yer. 1:4-
10), Bunda Maria (Luk.1:26-38) dan Paulus (1 Kor.15:1-11).
11
kerja yunani ‘kubernsein’ yang berarti : memimpin, menuntun, membimbing. Namun arti asli
kata kerja ‘kubernsein’ adalah: mengemudi, yang menurunkan kata benda ‘kubernetes’:
Pengemudi, Pengendali kemudi (kapal). Gambaran seperti ini tentu sesuai dengan situasi kota
Korintus sebagai kota pelabuhan waktu itu. Dalam surat DeuteropaulusEfesus bab 4
ditunjukkan pembagian tugas dalam jemaat dan satu pemahaman yang berbeda tentang
kepemimpinan, yang juga mirip sebagaimana dalam Injil dan surat-surat Paulus yang lain.
Bersamaan dengan peralihan dari situasi Misi ke situasi jemaat muncul pula makna
‘pemimpin pelayan’/Gembala. Kedudukan dan tugas Gembala/Pelayan mengandung fungsi
Nabi dan Guru di dalamnya.
Dalam perjalanan waktu terjadi pemisahan antara pemimpin dan jemaat/yang dipimpin, yang
dikenal dengan ‘pastoralenGrundschisma’. Secara theoretis KV II kemudian menyatukan
pemisahan itu melalui ajaran tentang ‘kesamaan martabat imamat kaum terbaptis’. Hanya
Awam dan hierarki/pemimpin secara bersama-sama membentuk umat Allah. Mereka
membangun persekutuan/communio dan perutusan serta tanggung jawab mereka di dunia,
baik bersama ataupun masing-masing menurut spesifikasi tugas mereka. Semua orang Kristen
yang telah dibaptis, secara bersama-sama menjalankan perutusan gereja, tugas pewartan dan
liturgi serta menjalin kesatuan seluruh Gereja.
Dasarnya adalah bahwa secara resmi pelayanan seorang pemimpin, pertama-tama adalah
untuk membangun kesatuan. Seorang pemimpin jemaat mesti memperhatikan dan
mengupayakan kesatuan, baik itu yang berdimensi sinkronis (synchroneDimension), maupun
diakronis (diachroneDimension). Kesatuan yang berdimensi sinkronis artinya,
diharapkanmembina kesatuan di antara jemaat satu sama lain dan juga dengan Gereja
setempat/lokal. Sedangkan secara diakronis kesatuan jemaat itu harus tetap setia pada Injil dan
Tradisi Gereja. Disinilah tugas seorang pemimpin untuk menjaga agar kenangan akan Yesus
dari Nazareth tetap hidup, sebagai dasar iman yang diajarkan oleh para Rasul dan nabi,
sehingga tidak menjadi sia-sia dan disalahartikan. Semua itu tidak saja menjadi jaminan
kesatuan jemaat, namun juga menjadi jaminan kelangsungan semua hal yang berkaitan dengan
Yesus.
WalterKasper menegaskan secara konkrit bahwa pelayanan demi kesatuan itu terwujud dalam
kesatuan iman, kesatuan dalam perayaan ekaristi dan kesatuan satu sama lain dalam
pelayanan/diakonia. Termasuk dalam kesatuan Gereja adalah pemahaman dasar tentang
Gereja, sebagaimana termaktub dalam LG 1: “Gereja adalah Tanda dan Sakramen kesatuan
mesra Tuhan dan seluruh umat manusia.Dalam Gereja tugas perutusan seluruh umat dan
pemimpin terlaksana secara nyata”. Adalah keliru kalau membatasi tugas pelayanan hanya ke
dalam Gereja atau pelayanan sakramen.Sebaliknya Gereja mesti hadir untuk menyerukan
suara kenabian bila berhubungan dengan kesatuan dan kebebasan manusia. Tugas pemimpin
jemaat dalam mengusahakan kesatuan tidak boleh hanya menyentuh bidang liturgi dan
sakramen.
Tanggung jawab menjaga kesatuan dalam jemaat dan Gereja harus bermuara pada kesadaran
bahwa keanekaragaman sebuah jemaat harus tetap terbuka melampaui batas.
- Kepemimpinan: Perwujudan dari Partisipasi :
Asal-usul kata ‘partisipasi’ ini dijelaskan secara berbeda-beda. WinfriedAymans dan
Johannes Neumann mengacu pada kata bahasa Yunani: ‘sunodos’ yang diartikan sebagai
berjalan bersama, pemandu. Artinya berjalan bersama menuju tujuan yang sama. Michael
Kessler mengartikan sebaliknya. Dia merujuk dari kata Latin ‘concilium’ lalu dikenakan pada
kata ‘ekklesia’, dengan penekanan pada kesamaan panggilan dan bukan pada berjalan
bersama. Kedua terjemahan itu memiliki makna yang sama, karena dari sana muncul
pemahaman mengenai tanggung jawab bersama semua umat Allah yang telah bergabung
dengan gereja, sekaligus merupakan perwujudan dari perhatian kepada Gereja secara umum.
WalterKasper menyebutnya sebagai “participatio” kaum terbaptis dalam imamat umum
Yesus Kristus. Menurut dia, “Setiap orang dapat dan harus mewartakan, namun hal itu
hanya mungkin bila orang mau bersama mendengarkan dan mengakui kesaksian imam orang
lain, Setiap orang merayakan ekaristi, namun itu hanya dalam kebersamaan dengan semua
jemaat dan dalam kesatuan dengan seluruh gereja”
12
Dalam konteks ini maka model kepemimpinan yang mesti dihidupi dalam Jemaat adalah
“model kepemimpinan suportif-partisipatif”, bukan otoriter-absolut. Artinya, dalam
pelaksanaan tugas kepemimpinan, dia harus menempuh segala cara persuasif, mengutamakan
kerja sama yang konstruktif, memancing partisipasi dengan memotivasi semua pihak untuk
terlibat dalam seluruh proses : mulai dari perencanaan – pelaksanaan –
pengawasan/kontrol hingga evaluasi/penilaian. Prinsip yang dihayati dalam gaya
kepemimpinan ini adalah prinsip demokratis: “dari – oleh dan untuk semua”.
- Kualifikasi Diri ke(pemimpin)an :
Ada banyak sekali persyaratan yang menentukan kualitas kepemimpinan seseorang:
kepercayaan (trust), keteladanan yang baik, pengakuan dan lain sebagainya. Joe E. Trull dan
James E. Carter, merangkum seluruh kualifikasi kepemimpinan itu dalam dua aspek saja
yaitu: punya ‘integritas spiritual dan tanggung jawab etis”: ‘pelayanan seorang
pemimpin/pelayan bertumpuh pada kepercayaan umat terhadap integritas spiritual dan etisnya.
Tanpa integritas, maka pelayanan berada dalam bahaya’
Mengapa intgritas amat penting dalam hal ini? Karena integritas adalah batu uji karakter dan
memperjelas sejarah kehidupan, baik personal maupun psikologis, yang menjadi sumber
perilaku moral dan etis seseorang. Karenanya, apabila seorang pemimpin kehilangan
integritasnya, maka Gereja dan semua pelayanannya berada dalam bahaya. Integritas itu
hilang karena nilai-nilai yang jadi pegangan bersama juga mulai memudar. Disinyalir semua
itu terjadi karena munculnya paham-paham baru seperti, sekularisme, pluralisme dan
relativisme. Sekularisme menjadikan nilai-nilai religius tidak lagi sebagai dasar bagi
pengambilan keputusan dan tindakan; pluralisme mendorong lahirnya perbedaan pendapat,
yang berujung pada relativisme,dimana sebuah kebenaran bisa didekati dari berbagai cara dan
sudut pandang. Semua itu selanjutnya melahirkan ‘ketidakpastian etis’ (anomali).
Maka untuk mengatasi hal ini, mesti dimulai dari diri sendiri, dengan bertanya siapakah
pemimpin/pelayana gereja dan bagaimana perannya? Trull dan Carter mengatakan: “para
pemimpin/pelayan Kristen memiliki peran yang unik diantara semua panggilan/pekerjaan...”.
Tidak ada panggilan/pekerjaan yang secara etis menuntut sebagaimana halnya pelayanan
Kristen. Tidak ada pekerjaan profesional yang begitu akan meneladankan moralitas seperti
halya seorang pelayan gereja. Dalam kaitan dengan hal ini maka “karakter” merupakan hal
dasar bagi setiap pelayan.
- Pemimpin Kristiani :
Dalam konteks kepemimpinan dalam Gereja, seorang pemimpin sering disebut dengan istilah
khas “Gembala”. Namun perlu dicermati penggunaan istilah ini, karena motif sebenarnya dan
tujuan akhir dari upaya seorang gembala memelihara ternaknya ada “profit”. Walaupun segala
yang dilakukan gembala adalah demi “kebaikan” domba, namun tujuan akhirnya adalah
mencari kebaikan (= kepentingan, keuntungan pribadi).
Yesus memberikan gambaran yang berbeda tentang gembala. Gembala versi Yesus tidak
peduli dengan profit, perhitungan untung rugi dan demi kepentingan sendiri. Bahkan gembala
ini “menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya” (Bdk. Yoh.10:11). Gembala menurut
Yesus adalah yang tidak egois, bahkan dia mengambil langkah beresiko.
13
Idealnya adalah bahwa orang melakukan sesuatu sesuai kemampuannya (therightmanontherightplace),
namun dari hasil penelitian terhadap para agen pastoral aktif, 80% dari mereka tidak tahu secara pasti
apa kharisma mereka. Banyak dari mereka yang terlibat aktif dalam karya Gereja tidak dalam
kesadaran bahwa mereka memperoleh kharisma dari Tuhan untuk tugas tersebut, melainkan karena
mereka merasa sebagai anggota gereja mereka mau terlibat dalam imamat umum kaum terbaptis.
Terlepas dari itu semua, dalam upaya pembangunan jemaat, peran Roh Tuhan yang mencurahkan
kharisma kepada setiap anggota jemaat amatlah menentukan. Dalam upaya ini diharapkan semua
dapat dijalankan bersama, yaitu sebuah jemaat yang hidup berkat partisipasi aktif dan seimbang dari
setiap orang dan semua elemen.
Gereja memang dari asalnya melampaui segala kelengkapan manusiawi, dengan rencana, metode dan
strategi-strateginya. Namun gereja hanya bisa hidup jika semua unsur kemanusiaan dalam dirinya
digerakkan oleh Roh Kudus sendiri. Tanpa karya Roh Kudus maka Yesus Kristus akan tinggal sebagai
masa lalu, Injil tidak lebih dari sebuah buku tanpa makna, Pewartaan hanyalah penyampaian informasi
pastoral, Gereja menjadi satu organisasi/institusi dengan kekuasaan, penerimaan sakramen-sakramen
tidak berpengaruh dalam hidup atau tidak menghasilkan buah, dan liturgi cumalah sebuah ritual,
seremoni semata. Maka setiap agen pastoral mesti selalu menyadari tanggung jawabnya, mengakui
karya Roh Kudus dalam dirinya dan terpanggil untuk terlibat dan melibatkan diri dalam seluruh proses
pembangunan Jemaat secara seimbang.
14
menggerakkan upaya pengembangan jemaat adalah ‘spiritualitasInkarnatoris’, dimana dalam Yesus
Kristus Allah yang Transenden menjadi imanen, Allah yang abstrak menjadi nyata sebagai pribadi
yang berkomunikasi dan berelasi dengan manusia.
15
- Model Robot/Teknik atau Model Organisme/biologis:
Bila berkaitan dengan tema pengembangan Jemaat, banyak sekali yang membandingkannya
dengan “model robot”, ketimbang mengikuti prinsip organisme. Namun kebanyakan orang
yakin bahwa model robot itu sama sekali tidak cocok untuk menggambarkan perkembangan
jemaat secara alamiah. Karena setiap bagian yang disiapkan untuk menciptakan sebuah robot,
memiliki bentuk final/baku yang tidak dapat diubah lagi untuk sebuah robot dengan bentuk
yang khas. Bagian-bagian itu lalu disusun berdasarkan desain untuk sebuah robot. Pada
akhirnya robot itu terbentuk dan setiap bagian yang membentuknya memiliki bentuk seperti
sebelumnya, tidak mengalami perubahan apapun. Tidak seorang pun akan berpikir untuk
menabur benih robot dan menanti sampai saat panen tiba. Robot tidak bisa ditanam, disirami
dan dipetik. Prinsip hidup organisme hidup tidak berlaku disini. Sebaliknya prinsip-prinsip
kerobotan tidak berlaku pula bagi makhluk hidup. Kekurangan utama dari hasil karya teknik
adalah bahwa dia tidak memiliki potensi hidup yang memungkinkannya berkembang secara
otomatis, dari dirinya sendiri. Inilah yang di sebut: prinsip pembelahan diri sebagai prinsip
hidup.(Prinsip Hidup: bermula dari sebuah sel hidup berkembang mengikuti proses alamiah
hingga akhirnya menghasilkan sebuah individu dengan kepribadian dan identias yang khas).
- Mengapa prinsip teknik tidak berfungsi ?
Sebagai orang kristen, kita mesti menolak cara berpikir teknik, bukan karena motiv mereka
yang tidak pada tempatnya, melainkan ‘metode’ yang digunakan untuk mencapai tujuan itu
yang tidak benar. Banyak kali upaya-upaya teknik yang dilakukan, dalam banyak hal justru
bertentangan dengan apa yang mestinya menjadi perhatian untuk tidak dilakukan. Hal ini
sering terjadi misalnya dalam upaya untuk menciptakan damai dengan menghasilkan senjata
modern, menekan angka kemiskinan dengan bantuan sosial, memupuk tanaman untuk
memperoleh hasil yang banyak, dan lain-lain. Mesti diakui bahwa logika teknik, (Input-
OutputLogik) banyak kali tidak sesuai dalam kenyataan, karena dalam kenyataan semua hal
yang mau dilindungi justru malah binasa: senjata menjadi pemicu peperangan, bantuan sosial
merusakan motivasi/kesadaran pribadi, pupuk mencemarkan lingkungan. Pemikiran teknis
selalu mengabaikan akibat sampingan/resikoyang muncul dari tindakan itu.
Untuk itu dalam upaya pembangunan jemaat, kita tidak menggunakan prinsip-prinsip teknik,
melainkan mengikuti pola proses alamiah makhluk hidup:
16
Demikian pula dengan pembangunan jemaat, mengikuti prinsip Multiplikasi ini. Sebagaimana
buah yang sesungguhnya dari pohon apel bukannya apel, melainkan sebuah pohon apel baru,
demikian pula sebuah kelompok jemaat tidak menghasilkan Yesus Kristus yang baru,
melainkan satu kelompok jemaat baru yang tetap beriman kepada Kristus yang sama.
Pada prinsipnya orang tidak perlu membangun sebuah jemaat yang sangat besar
(Megagemeinde). Karena dari hasil studi terbukti ada hubungan positif antara indeks kualitas
sebuah jemaat dengan banyaknya jumlah jemaat. Sebuah jemaat yang terlampau besar baik
jumlah anggota maupun organisasinya, menjadi kurang efektif dalam penggembalaannya.
Contoh paling jelas dari kitab suci, kendati istilah multipilkasi ini bukan sebuah istilah biblis,
yaitu: tentang pelayanan Yesus sendiri. Yesus pertama-tama memilih keduabelas rasul, dan
melalui mereka Dia memberi tugas untuk menjadikan semua orang pengikutNya. Apa yang
menjadi tugas perutusan mereka nampaknya tidak langsung berkaitan dengan seruan, ajakan
untuk melakukan multiplikasi, namun dalam dan melalui pewartaan mereka akan terbangun
kelompok-kelompok jemaat yang semakin banyak.
+Mengubah energi Negatip menjadi Energi Positip (Energieumwandlung):
Prinsip ini memang amat sedikit dikenal dalam pembangungan Jemaat. Namun prinsip ini
sesungguhnya amat bernilai dan memberikan pengaruh yang signifikan, karena dia merubah
energi yang sifatnya destruktif menjadi bernilai konstruktif. Untuk mengerti cara kerja prinsip
ini, kita bisa lihat hubungan antara virus dan organisme. Virus itu menyebabkan sakit,
sehingga virus itu tidak baik. Memang ada beberapa jenis virus yang justru membantu
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit tertentu (Gegenmassnahmen). Dalam dunia
medis dikenal dengan ‘Vaksinasi’. Artinya, penyakit itu dapat disembuhkan dengan
menggunakan cara vaksin, dimana penyebab penyakit itu dipakai lagi melalui proses tertentu
untuk menyembuhkan sakit yang disebabkannya itu. Contoh paling koknrit adalah Vaksin
Rabies. Untuk mengatasi sakit yang disebabkan oleh gigitan anjing rabies, digunakan vaksin,
yang sesungguhnya adalah bibit rabies itu, yang kemudian bersama tubuh membentuk
antibodi melawan kuman/virus rabies.
Dalam kitab suci kita juga mengenal bagaimana Prinsip perubahan energi ini digunakan
dalam pewartaan. Misalnya Paulus ketika berada di Athena, di antara patung dewa-dewi.
Pertama-tama dia mengutip apa yang tertulis pada sebuah mezbah: ‘kepada Allah yang tidak
dikenal”, dan kutipan itu menjadi titik tolak bagiya untuk mewartakan Injil Yesus Kristus.
(Kis 17). Ada juga contoh biblis dan spiritual lain yang membantu kita mengerti bagaimana
sesuatu yang negatif bisa bermanfaat secara positif, seperti Darah para Martir menjadi benih
bagi pertumbuhan gereja dan Injil.
Prinsip ini dalam pembangunan sebuah jemaat mesti dilihat sebagai satu bentuk kreativitas
tingkat tinggi, karena bukan perkara mudah mengubah/ menggapai sesuatu yang positif dari
hal yang negatif. Secara negatif cara ini bisa dikatakan sebagai suatu bentuk ‘metode
manipulasi’ dalam pewartaan. Satu ilustrasi bisa membantu kita untuk mengerti hal ini yaitu,
melibatkan para baptisan baru atau orang yang baru bertobat untuk tugas penggembalaan
Jemaat. Banyak anggota jemaat tentu tidak setuju karena menurut mereka, mereka itu belum
matang dalam iman dan juga belum tahu banyak hal, bahkan mungkin juga hal yang mereka
tahu itu salah. Disini, dalam Prinsip perubahan energi hal ini bisa menjadi ‘kesempatan’
(chance) untuk melakukan pewartaan. Dasar keyakinan adalah bahwa, mereka yang baru
bertobat/dibaptis itu masih memiliki kontak dengan mereka yang belum bergabung dengan
gereja, mereka tentu bisa berbicara dengan ‘bahasa’ yang khas dimengerti oleh mereka yang
belum bertobat, dan sebagainya. Daripada melihat hal ini sebagai ‘bahaya’, banyak jemaat
justru menggunakan hal ini sebagai cara Tuhan untuk mendekati umatNya.
+On-the-job-Training : Regenerasi :
Prinsip regenerasi ini bisa dipahami dengan contoh soal daun yang gugur dari sebuah pohon.
Dalam logika pemikiran teknokrasi, sesungguh daun yang gugur itu tidak “jatuh”. Karena
melalui kerja mikroorganisme dalam tanah, daun yang jatuh itu berubah menjadi ‘humus’,
yang menjadi bahan makanan yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu selanjutnya.
Lingkaran proses demikian adalah suatu struktur prinsipal semua makhluk hidup. Bila proses
ini dikaitkan dengan pembangunan jemaat, maka nampak jelas betapa energi yang terpendam
itu akan bermafaat bagi banyak hal.
17
Dari pengalaman, prinsip regenerasi ini relatif lebih sederhana dipahami. Bahwa dalam
sebuah jemaat terdapat ruang yang dapat digunakan untuk beragam tujuan sama seperti
seorang imam mempersiapkan kotbah untuk diberikan kepada beberapa kelompok kitab suci
dalam jemaat, tentu amat bernilai, namun bukan itu sesungguhnya pusat atau intinya.
Satu ilustrasi yang dapat membantu untuk mengerti prinsip ini adalah apa yang dikenal
dengan ‘prinsip kepemimpinan bersama’ (Co-Leiter-Prinzip) dalam Jemaat. Disana terjadi
seorang pemimpin, ketika memimpin sekaligus mengajar kepada para calon pemimpin atau
pemimpin yang baru. Kebanyakan pelaksanaan tanggungjawab memimpin sekaligus menjadi
ajang latihan bagi pemimpin yang baru. Jadi sekali energi dipakai untuk menggapai banyak
hal yang baik, yang berguna bagi calon pemimpin baru. Tidak ada pemisahan antara program
pelayanan kepada Jemaat dan latihan kepemimpinan bagi kaum muda. Dalam pelayanan itu
dia sekaligus mendidik kaum muda. Dengan metode ‘onthejobtraining’ ini, bisa dicapai suatu
kualitas rekan kerja yang tinggi dengan energi yang kecil.
+Prinsip Simbiosis :
Istilah ‘Simbiosis’ (etim.: Yun. Syn: bersama-sama dan biosis: hidup). pertama kali
dikemukakan oleh seorang ahli Botani berkebangsaan jerman: Antony deBary (1879), untuk
menggambarkan hubungan erat dan terus-menerus antara organisme dari berbegai jenis
berbeda. Dalam Biologi dikenal ada beberapa jenis Simbiosis:
- Simbiosis Mutualisme : Hubungan dua makhluk hidup yang saling menguntungkan.
Contoh : Kerbau dan burung gagak : burung gagak makan kutu kerbau, dan kerbau dibebaskan
dari kutu yang melekat di tubuhnya.
: Bunga dan kupa-kupu: kupu-kupu hisap sari (madu) dan bunga dibantu untuk
penyerbukan. (Hal sama terjadi pula pada bunga dan lebah)
- Simbiosis Komensalisme : hubungan dua makhluk hidup, dimana yang satu diuntungkan,
namun yang lain tidak dirugikan.
Contoh : tumbuhan sirih dan inang (pohon induk), sirih diuntungkan karena dapat
merambat/menjalar pada tumbuhan lain (inang) dan inangnya tidak dirugikan karena sirih
tidak mengambil makanan darinya.
: Hiu dan ikan remora; ikan remora ambil makanan dari tubuh hiu, tapi hiu tidak
merasa dirugikan. Atau ikan remora untung dekat hiu, karena dia aman dari ikan-ikan
pemangsa.
- Simbiosis Parasitisme : hubungan dua makhluk hidup atau lebih, dimana yang satu mendapat
keuntungan dan yang lain dirugikan.
Contoh: Nyamuk yang gigit manusia: gigitannya sakit juga dia menghisap darah dari tubuh
manusia.
: Putrimalu/taliputri (umbai cacing): dia ambil makanan dari inangnya dan inangnya
lama-kelamaan akan mati.
Dalam kenyataan, prinsip simbiosisme ini terangkum dalam dua model yang bertentangan
satu sama lain:
+Yang pertama dikenal sebagai ‘model persaingan’ (konkurrenzmodell): seperti pada
prinsip simbiosis, yaitu suatu hubungan dari bermacam-macam jenis, namunnya bukan saling
mendukung, melainkan saling membinasakan.
+ Yang kedua dikenal dengan ‘model monopoli’ (Monokultur): dalam model ini
keberagaman dihilangkan dan yang tersisa hanya satu tipe yang menjadi sesuatu yang
dominan. Dengan demikian tidak ada lagi persaingan dan juga tidak ada lagi satu bentuk
hidup bersama yang saling mempengaruhi satu lain dari berbagai macam hal.
Hal yang sama juga terjadi bahwa banyak sekali orang kristen yang berpikir monopolistis. Bagi
mereka kesatuan orang kristen/kekristenan adalah yang terutama, dan itu terjadi bila semua jemaat
merupakan anggota dari satu organisasi gereja, bila memiliki liturgi yang sama, bila semua orang
kristen memiliki standar kesalehan/kesucian yang sama. Padahal mesti selalu diperhatikan bahwa
kesatuan tidak berarti keseragaman, karena dalam kesatuan mesti selalu diberi ruang bagi setiap orang
untuk mengekspresikan dirinya yang unik.
Oleh karena itu dalam pembangunan jemaat hendaknya selalu diperhatikan dan tetap dihargai
“keanekaragaman kharisma” (geistlicheGaben) dan keunikan kepribadian setiap orang yang saling
mendukung, daripada berusaha memunculkan keseragaman dalam pelayanan kristen. Kekhasan dari
18
cara kerja seperti ini adalah memperhatikan secara baik, apa yang menjadi kebutuhan setiap
pribadi/orang kristen (apa yang membuat bahagia) dan apa yang menjadi kepentingan jemaat secara
umum (apa yang baik dan dibutuhkan jemaat), dan bukannya mencari bersaing satu sama lain.
Dalam literatur Manajemen sekular prinsip ini dikenal dengan nama “Hubungan ang saling
menguntungkan” (Mutualisme/Win-Win-Beziehung). Disana tidak ada pemenang dan tidak ada yang
menjadi pecundang, melainkan dalam setiap keputusanyang menjadi pertimbangan adalah
“kebersamaan”. Disini seorang pemenang adalah sama seperti yang telah Yesus ajarkan 2000 tahun
silam, tetaplah “sesama” )Naechstenliebe) bagi yang lain. Inilah yang mesti selalu disadari oleh setiap
orang yang terlibat dalam pembangunan sebuah jemaat
+ Prinsip Fungsional :
Setiap makhluk ciptaan memiliki fungsi tertentu yang khas. Dan setiap fungsi yang dimiliki itu
mestinya menghasilkan sesuatu (“buah”). Dalam kita suci bukan sebuah kebetulan kalau Yesus
berkata :”pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik” (Mat 7:17), atau pada bagian lain Dia
berkata: “Dari buahnya kamu dapat mengenal mereka” (Mat 7:16). Buah, dalam arti biblis maupun
biologis, lebih menunjuk pada kualitas dari sebuah makhluk hidup. Dalam konteks pengembangan
jemaat, kontrol atau perhatian pada “kualitas” itu amatlah penting. Karena jemaat yang hendak
dibangun harus betul memiliki peran berarti/berguna bagi pertumbuhan iman dan menghantar kepada
keselamatan. Maka harus diperhatikan agar apa saja yang dilakukan, sungguh-sungguh bermanfaat:
“segala sesuatu diperbolehkan’. Benarr, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu
diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun” (1 Kor 10,23). Artinya, bahwa yang
dibuat itu hendak betul “berguna” (asas manfaat). Juga dalam “membangun” (yun. ‘oikodomeo’),
yang mau dibangun, hendaklah secara konkrit dibangun jemaat Jesus Kristus.
19
Monisme (yang menganut pola pikir statis),yakin bahwa bila yang adahanya segala bentuk
yang sah dan benar (seperti ajaran yang benar, sikap politik yang benar dan jelas, program
jemaat yang jelas), maka semua akan terjadi sebagaimana mestinya. Sementara
ituDualismus(yang berpola pikir dinamis), selalu memisahkan segala sesuatu (program-
program, bantuk-bentuk, struktur-struktur, tradisi dan institusi).
Sebetulnya kedua cara pikir ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dimanaMonismus
berarti ‘mengidentisikasi’, sedangkan Dualismus ‘memisahkan’ kedua posisi itu, namun
kesamaan mereka adalah bahwa secara terpisah masing-masing tidak mampu memiliki
pandangan yang merangkum kedua pole itu. Konsekuensi dari cara berpikir Monisme ini bagi
pembangunan jemaat adalah ‘teknokrasi’, dengan motto: “laksanakan program, maka
jemaat akan mengalami kemajuan/pertumbuhan”, sementara akibat dari cara pikir
Dualisme adalah ‘spiritualismus’, dengan motto: “Institusi-institusi secara rohani tidak
relevan”. Kedua pola pikir ini dalam realitas, berjauhan satu sama lain. Mereka menghambat
pemikiran biblis, mereka menghalangi iman yang hidup serta membatasi juga upaya yang baik
bagi pengembangan jemaat.
Kebanyakan orang kristen berpikir, atau dualisme atau monisme, spiritualis atau teknokratis,
subyektif atau obyektif, mistis atau magis. Mereka tidak mampu melihat keduanya secara
baik, selama mereka tidak memiliki pemahaman secara benar tentang kedua model pemikiran
itu. Keanekaragaman pola pikir ini ibarat kaca mata dengan beraneka warna, dimana orang
ingin melihat realitas yang sama, namun ternyata dengan warna berbeda. Itulah sebabnya
mengapa amat sulit untuk memahami bipolarisasi, -atau dapat dikatakan juga ;polarisasi
pemikiran biblis’ dalam kekristenan.
- Pola pikir Teknokrasi :
Inti dari pola pikir teknokrasi adalah bahwa segala (yang benar dan institusional) akan terjadi
dengan sendirinya/automatis. Bahkan kadang pola pikir teknokrasi muncul sedemikian
ekstrim dalam berbagai macam bentuk. Misalnya, Rayakan liturgi/ekaristi, maka Roh Kudus
akan turun ke atas jemaat secara otomatis. Atau, terimalah ajaran ini, maka engkau akan
langsung menjadi kristen. Atau, bila sebagai imam ditempatkan dalam medan karya, maka
akan memperoleh secara otomatis kecakapan kepemimpinan yang diperlukan dalam
memimpin jemaat.Atau, jika kamu cuma mengikuti program pembangunan jemaat tertentu ini,
maka otomatis jemaatmu akan bertumbuh dan menghasilkan buah.
Semua ini sangat berbeda dan memiliki posisi yang tidak saling mengikat satu sama lain,
mulai dari sakralismus ke dogmatismus dan klerikalismus hingga pada satu metode keyakinan,
namun semuanya menganut struktur pemikiran teknokrasi. Para penganut pola pikir ini hidup
dalam ilusi, bahwa apa yang dilakukan dalam bidang institusi, akan secara otomatis
menentukan pole lainnya.
Otomatisasi keyakinan seperti ini membuat kaum teknokrat buta untuk melihat kedua
bagian/pole itu sebagai yang berbeda. Apakah saya mengikuti ibadat atau apakah saya
sungguh mengalami secara nyata karya Roh Kudus, apakah saya menerima dogma tertentu itu
atau memiliki hubungan personal dengan Kristus, apakah saya menerima sakramen
pengurapan atau memperoleh anugerah-anugerah Roh Kudus, dan lain sebagainya, bagi
mereka yang menganut pola pikir ini sama saja. Pemahaman pola pikir monisme membuat
mereka tidak mengerti pertanyaan-pertanyaan tentang bipolarisasi.
Keyakinan yang otomatis ini tidak ada kaitannya dengan/tidak sama dengan pertumbuhan
otomatis/dengan sendirinya dalam makhluk hidup. Yang dimaksudkan dengan
automatisasidisini adalah otomatisasi dalam bidang teknik. Contoh: kita memasuki uang
logam ke dalam mesin otomatis dan mendapat satu kaleng minuman cocacola, atau lainnya.
Cara pikir teknokrasi ini berdekatan dengan cara kerja Magis. Sebagaimana seorang
Pesihir/dukun yakin bahwa rumusan magis/mantranya otomatis akan menjawabi keinginan,
demikian halnya kaum teknokrat yakin, bahwa rumusan, dogma, institusi dan metode
pertumbuhan jemaat akan menghasilkan akibat tertentu secara otomatis.
Daya kerja psikologi dibalik cara pikir teknokrasi ini adalah ‘kepastian mental/kekuatan
watak’ (dieSicherheitsmentalitaet). Orang tidak percaya sepenuhnya pada Yesus Kristus saja,
melainkan mencari jaminan-jaminan dari luar. Orang tidak merasa cukup, membangun
20
institusi-institusi yang berguna bagi pertumbuhan jemaat yang hidup (organisme), melainkan
mencari program-program, yang menjamin kepastian hidup jemaat.
Pola pikir monismus-teknokrasi ini tidak mendukung pertumbuhan jemaat sebagai satu
organisme.
- Pola Pikir Spiritual :
Pola pikir dualisme yang berakar pada pemikiran yang bersifat spiritual, nampak berbagai hal,
seperti dualisme antara Roh dan materi, organisme dan organisasi, karya Tuhan dan usaha
manusia, natural dan supranatural. Dualisme berarti dua hal tidak saling berhubungan
melainkan saling bertentangan satu sama lain.
Spiritualisme terutama dimengerti sebagai gerakan yang berlawanan dengan model
pemikiran teknokrasi. Permasalahannya adalah, bukan saja bahwa spiritualisme tidak hanya
mengalami kesulitan berkaitan dengan pemahaman teknis dari institusi, melainkan dengan
institusi secara keseluruhan. Dari sini nampak bahwa pola pikir spiritual justru memisahkan
diri dari hubungan dengan alam ciptaan. Kaum Spiritulis tidak mengerti, bahwa Tuhan
sendirilah yang menciptakan dunia materi dan menyatakan bahwa semua itu “sangat baik”
adanya (Gen 1,31). Mereka juga tidak mengerti, bahwa inkarnasi adalah sungguh Sabda yang
menjelma menjadi daging, sehinngga menjadi jalan masuk kepada keselamatan bagi semua
ciptaan (Yoh 1,14), Mereka juga tidak paham, menurut kesaksian kitab suci, Roh Kudus
adalah sumber dan daya hidup ciptaan (mzm 104,30; Ijob 34,14f). Ciptaan berarti Tuhan
menganugerahkan RohNya ke atas benda mati dan membuat menjadi hidup.
Kesulitan yang dihadapi oleh orang yang berpola pikir spiritual ini adalah, bahwa
kebanyakan yang mereka katakan, bernuansa “kerohanian/keagamaan”. Pandangan seperti ini
membawa kepada gnostisisme ketimbang biblis. Agar salah paham ini tidak berakibat lebih
besar, maka umumnya para pemimpin kristen menolak spiritualisme yang berorientasi pada
teologi gnostis. Ajaran mereka bisa saja sangat benar. Mereka percaya kepada Allah sebagai
Pencipta, inkarnasi Putra dan karya Roh Kudus dalam jemaat. Namun secara tersembunyi,
intuitif dan emosional, membawa akibat lebih besar bagi teologi praktis, daripada sesuatu
yang dirumuskan sebagai “yang benar dalam teologi.
Dalam logika pemikiran spiritual, karya Roh Kudus itu selalu istimewa dan mengagumkan,
jelas dan pasti. Artinya bahwa Tuhan senantiasa membaharui prinsipNya, demi pembangunan
jemaatNya, hal mana tidak mampu dilihat oleh orang yang berpola pikir dualistis. Baginya
prinsip-prinsipitu bukanlah karya Tuhan, melainkan hasil kerja manusia, bahkan setan
- Konsekuensi Teologis :
Struktur dasar dari pola pemikiran di atas memiliki konsekuensi teologis. Bila kita melihat
seluruh perjalanan perkembangan sejarah Gereja, sesungguhnya konflik-konflik besar yang
masih ada hingga hari ini mempengaruhi kekristenan, berkisar pada ‘pertarungan’ antara :
Monisme dan Dualisme, Obyektivisme dan Subyektivisme, Teknokrasi dan Spiritualisme.
Dengan kata lain, pertikaian antara dua pemahaman yang keliru tentang iman Kristen.
Sekiranya tidak terjadi “perubahan paradigma”, maka akan terus-menerus terjadi konflik
hingga kedatangan Kristus.
Secara teologis, dalam perkembangan sejarah gereja dan Dogma, baik itu sistem pemikiran
Monisme maupun Dualisme, melahirkan sederetan “-isme”. Sistem pemikiran dualisme, yang
berdasar pada pemikiran spiritual, melahirkan Relativisme, Eklektizisme, Libertinisme,
Spiritualisme, Doketisme, Separtisme, Individualisme, Anarkisme dan Quietisme. Semua ini
bisa membawa akibat yang membahayakan: Iman, Sabda Allah, kasih,
Komunintas/Persekutuan, Perubahan, Keanekaragaman, Kharisma, karya Sosial dan
Evangelisasi/. Sementara itu, sistem pemikiran Monisme yang berdasar pada Teknokrasi,
menghasilkan: Dogmatisme, Fundamentalisme, legalisme, Sakramentalisme, Tradisionalisme,
Monopolisme, Klerikalisme, Konservatisme dan Universalisme. Semuanya itu berakibat
buruk bagi: Ajaran, Kanon Kitab Suci, Etika, Sakramen, Tradisi, Kerja sama, jabatan, Aturan
dan pewartaan. (Bdk. Christian A. Schwarz, hal. 95).
Kedua sistem/pole pemikiran ini, nampak dalam studi perubahan paradigma, untuk
menemukan mana yang penting dan berguna, bagi perkembangan pole pemikiran dinamis,
yang melihat Jemaat sebagai Organisme. Nampak bahwa, “ semakin terbuka sebuah
Gereja/Jemaat bagi pembaharuan prinsip ini, tentu bukan secara verbal, melainkan kegunaan
21
prinsip itu, makin terbuka pula bagi proses perkembangan secara alamiah dari Jemaat/gereja
itu”. Sebaliknya, adalah tidak mungkin, orang akan yakin dengan hal itu, selama dia masih
terkungkung dalam pola pemikiran Spiritual dan Teknokrasi. Bila itu terjadi maka semua
argumen, baik itu secara rohani, biblis maupun strategis akan gagal, sia-sia.
Orang tidak boleh terjebak dalam ilusi, seolah-olah manusia bisa membangun jemaat secara
alamiah, bila dia sudah mengetahui caranya: “howto”. Selama pola pemikiran kita tidak
sesuai, maka cara/metode terbaik sekalipun tidak akan bisa membantu. Bahkan bisa saja
menjadi “halangan/gagal” (contraproductuve/kontraproduktif), sekiranya memisahkan hal-hal
teknis dalam proses pembangunan jemaat yang alamiah, dan menempelkannya pada sistem
pemikiran Spiritual atau Teknokrasi.
22