Anda di halaman 1dari 9

TEOLOGI MORAL FUNDAMENTAL II

Ensiklik Veritatis Splendor art. 75-79


(Kritik terhadap Moral Proporsionalisme Joseph Fuchs)

Dosen Pengampu:
Yohanes Benny Suwito, STD.

Oleh:

Fransiskus Gilang Agcira Pradana

(700121002)

INSTITUTUM THEOLOGICUM

IOANNIS MARIAE VIANNEY SURABAYANUM

2022
1. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan yang diberi anugerah akal budi. Akal budi dalam diri
manusia mengandaikan adanya pengetahuan untuk mengetahui tindakan baik buruknya. Hal
ini dapat membuka wawasan manusia mengenai prinsip etika dan moral yang mereka miliki.
Demikian juga halnya dengan orang kristiani, tindakan yang mereka lakukan tentu tidak hanya
terkait tindakan yang mengikuti kemauan akal budi saja, tetapi hendaknya juga bertindak
seturut dengan ajaran moral kristiani.
Dalam moral Kristiani, setiap orang beriman diajak untuk menghidupi suatu tindakan
yang sesuai ajaran moral Kristiani. Setiap umat beriman diundang untuk merefleksikan
tindakan hidupnya yang seturut dengan iman kristiani. Oleh sebab itu, jawaban mereka melalui
setiap pilihan hidup dan tindakannya atas panggilan Allah itu hendaknya menjadi tujuan dari
kehidupannya. Apabila ia bertindak baik, maka itu seturut dengan kehendak-Nya. Apabila ia
bertindak buruk, maka itu melawan kehendak dan rencana-Nya. Semua itu akan
disempurnakan melalui jalan Imitatio Christi (mengikuti Kristus). Akan tetapi menghidupi
moral kristiani yang baik nampaknya bukanlah suatu upaya yang mudah. Disini perlu adanya
kesadaran akan keterbatasan dan kelemahan manusia dalam menanggapi panggilan Allah
untuk menghidupi moral kristiani, sehingga tidak jarang ditemukan berbagai persoalan moral
dalam kehidupan sehari-hari.
Gereja sendiri juga mengambil sikap untuk menanggapi berbagai persoalan moral yang
ada. Gereja hingga saat ini terus menerus menyuarakan kebenaran yang berkaitan dengan
ajaran moral kristiani. Gereja juga terus mengupayakan dialog untuk menyelesaikan
pemahaman moral yang bisa dikatakan menyimpang dengan kebenaran ajaran moral kristiani.
Salah satu bukti bahwa Gereja mengambil sikap dalam menanggapi permasalah moral ini
adalah dikeluarkannya berbagai ensiklik atau surat-surat apostolik untuk memberikan ajaran
kepada para uskup, imam dan seluruh umat katolik di dunia mengenai kebenaran iman moral
kristiani. Ensiklik Veritatis Splendor merupakan salah satu ensiklik yang berupaya untuk
memberikan suatu kebenaran fundamental dari ajaran katolik, khususnya mengenai ajaran
moral Gereja (VS 4). 1 Hal ini dimaksudkan karena dalam jemaat Gereja sendiri telah
mengalami keraguan terhadap ajaran moral Gereja yang kemudian mengajukan keberatan yang
bersifat manusiawi, psikologis, sosial dan budaya, keagamaan, bahkan yang bersifat teologis
(VS 4).2
Lebih spesifik lagi, ensiklik yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II ini juga berupaya
untuk memberi jawaban mengenai persoalan moral proporsionalisme yang saat itu dianggap
sebagai ajaran moral yang menyimpang dari Gereja. Persoalan ajaran moral yang menyimpang
ini justru diprakarsai oleh tokoh-tokoh teolog moral yang cukup berkompeten, salah satunya
adalah Joseph Fuchs, seorang teolog asal Jerman. Maka dari itu, ensiklik Veritatis Splendor
secara khusus pada artikel 71-83 berupaya menjelaskan secara mendasar dan lebih rinci

1
Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI (1994),
hlm. 51.
2
Ibid.
mengenai tujuan akhir dari tindakan moral tersebut serta memperbaiki kekeliruan ajaran moral
proporsionalisme.

2. Biografi Joseph Fuchs

Joseph Fuchs merupakan seorang tokoh teolog moral; Ia lahir di Bergisch Gladbach,
Jerman, 5 Juli 1912.3 Joseph Fuchs meneruskan jenjang pendidikannya di seminari keuskupan
Köln pada tahun 1931 dan ditahbiskan sebagai imam keuskupan tersebut pada tahun 1937. Ia
kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Gregoriana hingga pada akhirnya ia
menerima lisensi dalam bidang filsafat dan teologi. Pada tahun 1938 ia melanjutkan
pendidikannya di bidang moral dan menerima gelar S.T.D. dari teologi Yesuit di Falkenberg,
Belanda, pada tahun 1940. Setelah empat tahun berkarya di paroki, Fuchs kembali belajar
hingga pada akhirnya menerima gelar Th.D. dari Universitas Münster pada tahun 1946.

Pada tahun 1947, Fuchs diangkat menjadi staf pengajar di Universitas Gregoriana Roma
pada tahun 1954. Meskipun Fuchs mencapai usia pensiun wajib tujuh puluh tahun pada tahun
1982, ia tetap aktif dengan memberikan konsultasi kepada mahasiswa di fakultasnya sekaligus
mahasiswa di Universitas Gregoriana. Sebagai seorang penulis yang produktif, ia telah menulis
banyak buku yang mencapai 14 buah. Tulisan tersebut merupakan kumpulan esai, selain itu
Fuchs juga menulis lebih dari 50 artikel lainnya.4

Selama bertahun-tahun, ia memberikan perhatian yang luas pada berbagai macam


permasalahan moral. Tulisan-tulisan awalnya berfokus pada teologi seksualitas dan pernikahan
yang ia tulis pada tahun 1958 dan 1960. Kemudian ia menerbitkan empat buku teks tentang
berbagai bidang teologi moral yang berpola pada tradisi klasik tetapi berupaya untuk
memperkenalkan wawasan baru yang ia gunakan dalam pengajarannya di Universitas
Gregoriana. Kemudian ia terus menghasilkan artikel-artikel tentang isu-isu baru dalam etika
seksual, posisi hukum dalam masyarakat manusia, dan berbagai topik lainnya. Pada tahun 1965
ia menerbitkan tulisan dengan judul Natural Law: A Theological Investigation, tulisan tersebut
merupakan salah satu karya besar dalam bidang teologi moral Katolik dan dokumen penting
dalam sejarah intelektual Fuchs sendiri. Karya ini bertepatan dengan serangkaian publikasi
panjang yang mengeksplorasi implikasi-implikasi teologi moral dari visi Konsili Vatikan II,
terutama karena visi itu tertulis dalam Gaudium et Spes.5

Titik balik utama dalam kariernya adalah masuknya Fuchs dalam keanggotaan Komisi
Kepausan yang berfokus pada pembinaan keluarga, proses kelahiran anak, dan persoalan
kependudukan dari tahun 1965 hingga tahun 1968. Dia menjadi penulis sebuah karya besar
yang berjudul "Majority Report", tulisan ini mendapat penolakan dari Paus Paulus VI yang

3
Gale Thomson, New Catholic Encyclopedia (Second Edition), Washington D.C.: Catholic University of
America Press, hlm. 18.
4
Ibid.
5
Ibid.
secara jelas tertulis dalam ensiklik Humanae Vitae karena alasannya kurang lebih adalah ajaran
moral yang ia cetuskan tidak sesuai dengan ajaran moral kristiani.6

Ajaran moral Fuchs sangat berpengaruh karena perannya sebagai pengajar di Universitas
Gregoriana. Pengaruh itu lebih besar lagi karena ia mengajar dalam periode gerejawi sebelum
dan sesudah Konsili Vatikan II. Memang, ia adalah pencetus dan kontributor utama dalam
pembaruan teologi moral yang terjadi pada periode kontemporer. Bersama dengan koleganya
di Universitas Alphonsianum, Bernard Häring, Fuchs dianggap sebagai seorang "revisionis"
dan terlibat dalam pemahaman metodologi moral yang disebut dengan “proporsionalisme”7

3. Moral Proporsionalisme menurut Joseph Fuchs


Sebelum melangkah lebih jauh untuk membahas mengenai moral proporsionalisme
Joseph Fuchs, penting untuk mengetahui bahwa moral proporsionalisme ini berasal dari
pemahaman yang keliru, terkhusu mengenai tujuan dari perbuatan moral. Para pemikir tersebut
tidak memperhatikan fakta bahwa kehendak manusia terlibat dalam pilhan-pilihan konkret
yang dilakukannya (VS.75) 8 Metodologi moral proporsionalisme berakar dalam pemikiran
kontemporer yang digunakan oleh para teolog moral, termasuk Joseph Fuchs. Pemikiran
tersebut akhirnya dituangkan dalam sebuah tulisan yang berjudul "Majority" yang terkenal dari
Komisi Kepausan untuk mempelajari Masalah-masalah Keluarga, Kependudukan, dan Tingkat
Kelahiran untuk membenarkan praktik kontrasepsi oleh pasangan yang sudah menikah.
Dokumen-dokumen yang ditulis pada tahun 1966 ini dibocorkan ke pers pada tahun 1967 dan
diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun 1967. 9 Dalam Veritatis Splendor, Paus Yohanes
Paulus II menyatakan bahwa proporsionalisme berupaya menjelaskan bahwa dengan
menimbang macam-macam nilai dan kebaikan yang dicari, lebih memfokuskan pada proporsi
yang diketahui, antara akibat-akibat baik dan akibat-akibat buruk dari pilihan tadi, dengan
memperhatikan “kebaikan yang lebih besar” atau “keburukan yang lebih kecil” yang secara
aktual mungkin terjadi dalam suatu situasi khusus (VS. 75)10
Kemudian bagaimana moral proporsionalisme ini ketika dihadapkan pada kasus tertentu?
Dalam karyanya Majority, Fuchs dan para penulis lainnya mengklaim bahwa pasangan yang
sudah menikah dapat dengan benar melakukan kontrasepsi tindakan perkawinan individu
asalkan tindakan kontrasepsi ini digunakan untuk ekspresi cinta perkawinan, yang memuncak
dalam kesuburan yang diterima secara bertanggung jawab. Mengenai kasus tersebut, Fuchs dan
penulis lainnya menyatakan: "Ketika manusia mengintervensi tujuan prokreasi dari tindakan-
tindakan individual dengan kontrasepsi, hal ini dimaksudkan untuk mengatur dan tidak

6
Gale Thomson, New Catholic Encyclopedia (Second Edition), Washington D.C.: Catholic University of
America Press, hlm. 19
7
Ibid.
8
Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI (1994),
hlm. 140.
9
William E. May, Moral Theologians and Veritatis Splendor, https://www.ewtn.com/catholicism/library/moral-
theologians-and-veritatis-splendor-10096
10
Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor, op.cit, hlm. 140.
mengecualikan kesuburan. Kemudian ia menyatukan finalitas material menuju kesuburan yang
ada dalam persetubuhan dengan formalitas akhir dari pribadi dan menjadikan seluruh proses
itu manusiawi. Tindakan suami-istri yang dengan niat tidak subur atau yang dibuat tidak subur
oleh kontrasepsi buatan, dilakukan untuk ekspresi persatuan cinta suami-istri. Ekspresi cinta
itu mencapai puncaknya dalam kesuburan yang diterima secara bertanggung jawab.”11
Pada awal tahun 1970-an, para pendukung ajaran moral proporsionalisme menyebut
posisi mereka sebagai ajaran moral yang "konsekuensialistik." 12 Namun, ketika beberapa
teolog lain menuduh mereka lebih kepada penganut konsekuensialisme, mereka bersikeras
bahwa dalam menilai apakah suatu tindakan benar-benar menjalankan suatu "kebaikan yang
proporsional," maka seseorang secara mutlak perlu memperhitungkan tidak hanya konsekuensi
tetapi juga sifat dari tindakan tersebut. 13 Akibatnya, sejak tahun 1974 pemahaman moral
tersebut dikenal sebagai moral "proporsionalisme".
Kaum proporsionalis lainnya, terutama Fuchs, telah mengembangkan argumen
"totalitas" yang ditemukan dalam karyanya Majority. Fuchs menegaskan bahwa mustahil untuk
membuat penilaian moral dalam intensi dan melakukan apa yang ia sebut "pra-moral"
kejahatan. Menurutnya kita tidak bisa menilai suatu tindakan dalam "materialitas" tanpa
mengacu pada "intensi" dari pelaku moral, memahami dengan intensi akhir untuk kepentingan
apa orang tersebut bertindak.14
Kaum proporsionalis dengan teliti membedakan antara norma-norma "material" ini dan
apa yang mereka sebut norma-norma "transendental" dan "formal". Kaum proporsionalis
mengakui bahwa ada kemutlakan moral dalam arti "prinsip-prinsip transendental" yang
mengarahkan kita pada unsur-unsur keberadaan kita di mana kita melampaui sisa ciptaan
material. Jadi, mereka mengakui kemutlakan prinsip-prinsip seperti "Seseorang harus selalu
bertindak sesuai dengan cinta kasih kepada Tuhan dan sesama" dan "Seseorang harus selalu
bertindak sesuai dengan nalar yang benar."15 Mereka juga menganggap norma-norma absolut
yang mereka sebut sebagai "formal". Norma-norma ini mengidentifikasi disposisi batin dan
sikap yang harus dimiliki oleh orang yang jujur.
Dengan demikian, selalu benar bahwa kita harus adil, berani, suci, dan sebagainya.
Norma-norma ini, bagaimanapun juga tidak berkaitan dengan tindakan-tindakan manusia yang
spesifik, melainkan dengan keberadaan moral dari si pelaku moral. 16 Dengan cara tertentu
norma-norma ini, seperti yang dikatakan oleh Joseph Fuchs, adalah " sebuah nasihat-nasihat
daripada norma-norma dalam arti yang ketat" 17 dan, seperti yang telah dicatat oleh Louis

11
William E. May, Moral Theologians and Veritatis Splendor, op.cit.
12
Ibid.
13
Richard McCormick, Notes on Moral Theology: April-September 1974, dalam Notes on Moral Theology
(1965-1980), hlm. 529-544.
14
Joseph Fuchs, The Absoluteness of Behavioral Moral Norms, dalam Personal Responsibility and Christian
Morality, Washington, DC: Georgetown University Press, 1981, hlm. 138.
15
Timothy O'Connell, Principles for a Catholic Morality, New York: Seabury, 1978, hlm. 157-158.
16
William E. May, Moral Theologians and Veritatis Splendor, op.cit.
17
Ibid.
Janssens, norma-norma ini "merupakan unsur mutlak dalam moral." 18 Para teolog
proporsionalisme ini juga mengakuinya sebagai "nasihat-nasihat".
Sementara mengakui "kemutlakan" dari jenis di atas, proporsionalis menyangkal bahwa
ada kemutlakan moral dalam arti norma-norma yang secara universal melarang jenis tindakan
manusia yang dapat ditentukan. Hal ini disebut norma-norma "material" atau "perilaku”. Tidak
ada norma-norma semacam ini yang "absolut" atau "tanpa pengecualian," dan tindakan yang
dilarang oleh norma-norma tersebut tidak "secara intrinsik jahat." Contoh norma-norma
semacam itu adalah sebagai berikut: seseorang tidak boleh membunuh manusia yang tidak
bersalah; seseorang tidak boleh berhubungan seks dengan seseorang yang bukan istrinya.
Seperti yang dikatakan Fuchs, dan seperti yang disetujui oleh para proporsionalis lainnya,
"norma perilaku yang ketat, yang dinyatakan sebagai universal, mengandung kondisi dan
kualifikasi yang tidak diungkapkan yang dengan demikian membatasi universalitasnya."19
Menurut para proporsionalis, norma-norma semacam itu diketahui secara induktif oleh
kecerdasan manusia dan oleh orang-orang yang hidup bersama dalam komunitas dan
merefleksikan pengalaman manusia bersama mereka. 20 Karena demikian, maka "kita tidak
pernah dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa pengalaman masa depan, yang sampai
sekarang belum terbayangkan, mungkin menempatkan masalah moral ke dalam kerangka
acuan baru yang akan meminta revisi norma yang tidak dapat memperhitungkan pengalaman
baru tersebut." 21 Akibatnya, norma-norma ini "hanya berlaku untuk sebagian besar" dan
mengakui pengecualian ketika bertindak melawannya diperlukan oleh kebaikan yang lebih
besar yang terkait secara proporsional.22
Melalui pemahaman moral proporsional tersebut, dapat kembali pada kasus penggunaan
kontrasepsi tadi. Menurut teolog moral proporsionalis, McCormick mengatakan bahwa bahwa
"objek" dari kontrasepsi yang mereka setujui ditentukan dengan melihat tindakan itu dalam
totalitasnya, dan bahwa jika kita melihatnya dengan cara ini kita akan melihat bahwa objek dari
tindakan itu adalah "untuk memupuk cinta kasih secara bertanggung jawab menuju kesuburan
yang murah hati," jelas suatu tindakan yang baik. Selain itu, jika pasangan suami-istri
menggunakan sterilisasi kontrasepsi untuk menghindari ancaman serius yang mungkin
ditimbulkan oleh kehamilan terhadap istri, objek yang dipilih, jika tindakan tersebut dilihat
secara totalitas, adalah untuk menstabilkan pernikahan, jelas hal itu merupakan tindakan yang
baik. McCormick menyebutnya sebagai "tindakan menstabilkan pernikahan".23

18
Janssens, Norms and Priorities in a Love Ethic, hlm. 208.
19
Joseph Fuchs, The Absoluteness of Behavioral Norms, dalam Personal Responsibility and
Christian Morality, hlm. 129.
20
Francis Sullivan, SJ., Magisterium: Teaching Authority in the Catholic Church, New York: Paulist, 1983,
hlm. 150-151.
21
William E. May, Moral Theologians and Veritatis Splendor, op.cit.
22
Ibid.
23
Ibid.
4. Ensiklik Veritatis Splendor mengenai Moral Proporsional
Tanggapan Gereja yang tertuang dalam Veritatis Splendor ini semakin mempertegas
upaya Gereja yang dengan serius memperbaiki kekeliruan pemahaman moral yang dilakukan
oleh oknum-oknum dalam Gereja sendiri, khususnya para teolog moral yang dengan
wibawanya diharapkan mampu mengajarkan ajaran moral yang sesuai dengan kaidah Gereja
Katolik. Maka dari itu menjelang akhir bab ketiga ensikliknya, Paus Yohanes Paulus II
mengingatkan para uskup akan tanggung jawabnya sebagai gembala. Beliau berupaya
mengidentifikasi ajaran yang mewakili tema sentral dari Ensiklik ini, ajaran yang dinyatakan
kembali dengan otoritas Penerus Petrus. Ini adalah ajaran yang menegaskan kembali
"universalitas dan kekekalan perintah-perintah moral, khususnya yang melarang selalu dan
tanpa kecuali tindakan-tindakan jahat yang intrinsik" (VS 115). Dengan kata lain, Paus
menegaskan kembali ajaran resmi Katolik bahwa ada “moral absolut” atau “norma-norma
moral tanpa pengecualian” yang berlaku selalu dan di mana-mana.
Paus Yohanes Paulus II ingin menjelaskan serta menekankan isu mengenai perbuatan
moral dalam bagian empat Bab II. Di sini pertama-tama Yohanes Paulus II membedakan antara
apa yang ia sebut "teleologi" dan "teleologisme". Ia menegaskan bahwa "kehidupan moral pada
dasarnya memiliki karakter 'teleologis', karena kehidupan moral terdiri dari tindakan-tindakan
manusia yang menuju kepada Allah sang Kebaikan tertinggi dan menjadi tujuan akhir “telos”
dari manusia (VS 73). Paus Yohanes Paulus II melihat bahwa ada kecenderungan moral yang
berkarakter teleologis ini akan mengarah pada "teleologisme" yang menjadi sebuah paham
dalam teologi kontemporer. Teori-teori etika tertentu, yang beliau sebut sebagai 'teleological',
mengaku prihatin atas kesesuaian tindakan manusia dengan tujuan yang dikejar oleh pelaku
moral dan dengan nilai-nilai yang dimaksudkan olehnya. Kriteria untuk mengevaluasi
kebenaran moral suatu tindakan diambil dari “pertimbangan non-moral atau pre-moral” yang
akan diperoleh dan nilai-nilai non-moral atau pre-moral yang sesuai untuk dihormati. Untuk
beberapa perilaku konkret akan benar atau salah menurut apakah itu mampu menghasilkan
keadaan yang lebih baik untuk semua pihak. Perilaku yang benar adalah perilaku yang mampu
'memaksimalkan' kebaikan dan 'meminimalkan' kejahatan (VS 74).
Salah satu jenis "teleologisme" yang diidentifikasi oleh Paus yakni "konsekuensialisme"
yang mengklaim untuk menarik kriteria kebenaran dari cara bertindak yang diberikan semata-
mata dari perhitungan konsekuensi yang sudah dapat dilihat sebelumnya, yang berasal dari
pilihan tertentu. Pandangan lain, yakni "proporsionalisme" yang menekankan pada "dengan
menimbang berbagai nilai dan barang yang dicari, lebih berfokus pada proporsi yang diakui
antara efek baik dan buruk dari pilihan itu, dengan pandangan pada kebaikan yang 'lebih besar'
atau 'kejahatan yang lebih kecil' yang sebenarnya mungkin terjadi dalam situasi tertentu" (VS
75).
Bapa Suci menolak teori-teori tersebut, dengan menyatakan bahwa "mereka tidak setia
kepada ajaran Gereja, ketika mereka percaya bahwa mereka dapat membenarkan pilihan-
pilihan perilaku yang disengaja yang bertentangan dengan perintah-perintah ilahi dan hukum
kodrati" (VS 76). Pertama-tama Paus mengatakan bahwa cara mengevaluasi tindakan manusia
"bukanlah metode yang memadai untuk menentukan apakah pilihan perilaku konkret itu sesuai
dengan jenisnya atau dengan sendirinya baik atau buruk, sah atau terlarang," karena "semua
orang mengakui kesulitan, atau lebih tepatnya ketidakmungkinan, untuk mengevaluasi semua
konsekuensi dan efek baik dan jahat - yang didefinisikan sebagai pra-moral - dari tindakan
seseorang sendiri" (VS 77).
Paus selanjutnya menekankan bahwa "moralitas tindakan manusia tergantung terutama
dan secara mendasar pada 'objek' yang dipilih secara rasional oleh kehendak yang disengaja"
(VS 78). Dalam bagian lain, ia kemudian menunjukkan apa yang dimaksud dengan "objek"
yang dipilih secara rasional oleh kehendak yang disengaja. Paus Yohanes Paulus II menulis:
"Untuk dapat memahami objek dari suatu tindakan yang menentukan tindakan itu secara moral,
maka perlu untuk menempatkan diri dalam perspektif orang yang bertindak. Objek dari
tindakan berkehendak sebenarnya adalah jenis perilaku yang dipilih secara bebas. Sejauh itu
sesuai dengan akal budi, itu adalah penyebab kebaikan kehendak; itu menyempurnakan kita
secara moral. Dengan objek dari tindakan moral tertentu, maka seseorang tidak dapat
mengartikan suatu proses atau peristiwa dari tatanan fisik semata, untuk dinilai berdasarkan
kemampuannya untuk menghasilkan keadaan tertentu di dunia luar. Sebaliknya, objek itu
adalah akhir terdekat dari keputusan yang disengaja yang menentukan tindakan kehendak dari
orang yang bertindak" (VS 78).
Singkatnya, "objek" yang menentukan tindakan adalah persis apa yang dipilih seseorang
secara bebas dan dengan melakukan hal itu, meratifikasi di dalam hatinya dan mengesahkan,
misalnya "objek" dari tindakan perzinahan adalah pilihan bebas untuk melakukan hubungan
seksual dengan seseorang yang bukan pasangannya. Dengan pemahaman tentang "objek" dari
tindakan manusia ini, mudah untuk memahami argumen Yohanes Paulus II, yang ia rangkum
dengan mengatakan: "Akal budi membuktikan bahwa ada objek-objek tindakan manusia yang
pada dasarnya 'tidak mampu diperintahkan' kepada Allah karena mereka secara radikal
bertentangan dengan kebaikan orang yang diciptakan menurut gambar-Nya" (VS 80).
Yohanes Paulus II setuju dengan Paus Paulus VI dalam menggambarkan objek tindakan
kontrasepsi dan sterilisasi kontrasepsi secara berbeda, seperti contoh kasus yang sudah
ditentukan sebelumnya. Tujuan kontrasepsi menurut para Paus justru menghambat prokreasi
(bdk. Humanae Vitae 14) : "Sama-sama harus ditolak adalah setiap tindakan yang, baik dalam
mengantisipasi tindakan suami-istri, atau dalam pencapaiannya, atau dalam pengembangan
konsekuensi alamiahnya, mengusulkan baik sebagai tujuan atau sebagai sarana untuk
menghambat prokreasi".
Yohanes Paulus II dan Paulus VI dengan begitu mendalam mengidentifikasi objek yang
dipilih oleh orang-orang yang melakukan kontrasepsi. Mereka yang menggunakan kontrasepsi,
memilih untuk menghalangi prokreasi untuk mempengaruhi apa yang disebut oleh kaum
proporsionalis sebagai disvalue atau kejahatan "non-moral" atau "pra-moral" untuk mencapai
beberapa tujuan yang baik, misalnya untuk menstabilkan pernikahan mereka atau memupuk
cinta. Tetapi dengan sendirinya kontrasepsi tentu tidak "memupuk cinta secara bertanggung
jawab terhadap kesuburan yang murah hati" dan juga sterilisasi kontrasepsi tidak dapat
menstabilkan hidup perkawinan suami-istri.

5. Kesimpulan

Teologi moral sejatinya berupaya untuk menunjukkan bagaimana hendaknya seorang


kristiani melakukan tindakannya seturut dengan ajaran iman Gereja. Akan tetapi teologi moral
sendiri akan menimbulkan mispersepsi bagi seseorang yang kurang teliti dalam memahami
teologi moral secara menyeluruh. Seperti halnya moral proporsionalisme yang dianut oleh
Joseph Fuchs dan kawan-kawan ini berupaya untuk memberikan wawasan mengenai konsep
teologi moral yang benar, secara khusus mengenai telos dari tindakan moral tersebut. Akan
tetapi, Joseph Fuchs dan kawan-kawan sedikit mengabaikan ajaran moral yang sesuai dengan
ajaran moral kristiani, sehingga ajaran mereka pun ditentang oleh Gereja dan ditanggapi oleh
bapa suci, khususnya dalam ensiklik Veritatis Splendor ini.

Dengan demikian Paus Yohanes Paulus II dengan tegas menolak konsekuensialisme dan
proporsionalisme bukan hanya karena mereka adalah teori-teori yang cacat secara filosofis dan
teologis, tetapi juga karena ajaran mereka yang bertentangan dengan Wahyu Ilahi dan ajaran
moral yang mendasar dalam Gereja.

Sumber Pustaka

Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan
KWI, 1994.
Thomson, Gale, New Catholic Encyclopedia (Second Edition), Washington D.C.: Catholic
University of America Press.
McCormick, Richard, Notes on Moral Theology: April-September 1974, dalam Notes on Moral
Theology, 1965-1980.
Fuchs, Joseph, The Absoluteness of Behavioral Moral Norms, dalam Personal Responsibility
and Christian Morality, Washington, DC: Georgetown University Press, 1981.
O'Connell, Timothy, Principles for a Catholic Morality, New York: Seabury, 1978.
Sullivan, SJ., Francis, Magisterium: Teaching Authority in the Catholic Church, New York:
Paulist, 1983.
E. May, William, Moral Theologians and Veritatis Splendor,
https://www.ewtn.com/catholicism/library/moral-theologians-and-veritatis-splendor-
10096

Anda mungkin juga menyukai