Anda di halaman 1dari 5

Nama : Abdul Azis

Nim : 20131001
Makul : Filsafat Ilmu

Filsafat Agama: Fenomena dan Unsur Fundamental Agama


A. Fenomenologi dan Fenomenologi Agama

Unsur fundamental agama dapat diketahui, salah satu caranya, dengan pendekatan
fenomenologi. Metode fenomenologi dikenalkan oleh Edmund Huserl (1859-1938).
Semboyan fenomenologi adalah zu den sachen selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri).
Pendekatan fenomenologi berusaha menemukan kembali pengalaman dasariah dan asli, yang
utuh, bebas nilai dan kaya isi, tentang sesuatu hal atau perkara. Untuk mendapatkan
pemahaman yang representatif dan memuaskan tentang suatu hal, segala doktrin dan teori
tentang hal itu harus dilepaskan. Perhatian difokuskan kembali kepada fenomena,
sebagaimana hal itu menampakkan diri kepadaku (Diester, 1992: 25).

Usaha menemukan unsur fundamental sesuatu hal, melalui pendekatan fenomenologi,


dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, fenomena sesuatu hal diselidiki sejauh disadari
secara langsung dan spontan. Kedua, fenomena sesuatu hal diselidiki hanya sejauh ada
sebagai bagian dari dunia yang dihayati secara keseluruhan. Menurut prinsip-prinsip itu,
segala fenomena sesuatu hal dan segala pemahaman tentang fenomenanya itu dianalisis.
Segala penyempitan atau reduksi dan interpretasi yang berat sebelah disingkirkan, sehingga
ditemukan unsur fundamental.

Fenomenologi Huserl menentang habis-habisan tradisi pemikiran yang telah


dikembangkan sejak Descartes hingga Hegel. Jika selama itu, pengetahuan dikembangkan
lewat konstruksi spekulatif dalam akal budi, maka bagi Huserl, pengetahuan yang
sesungguhnya adalah kehadiran data dalam kesadaran akal budi, bukan rekayasa pikiran
untuk membentuk teori (Sudiarja, 1995: 6).

Fenomenologi Huserl menekankan pentingnya suatu metode yang tidak memalsukan


fenomena, melainkan dapat mendeskripsikan seperti penampilannya. Fenomena yang
dimaksud oleh Huserl adalah kehadiran data dalam kesadaran, atau hadirnya sesuatu tertentu
dengan cara tertentu dalam kesadaran kita. Fenomena dapat berupa hasil rekaan atau sesuatu
yang nyata, gagasan maupun kenyataan. Pendapat Huserl tentang fenomena bukan berarti dia
berpihak kepada idealisme atau realisme, juga bukan mensintesiskan keduanya.
Fenomenologi Huserl justru bersifat pra-teoritik. Fenomenologi justru menempati posisi
sebelum ada pembedaan antara idealisme dan realisme (Delfgaauw, 1988: 105).

Anton Bakker (1984: 112) dengan mengutip berbagai sumber memberikan uraian
rinci tentang pedoman metodik dalam fenomenologi. Untuk mencapai hakikat fenomena
harus diadakan operasi pembersihan. Beberapa hal tambahan dan cara pemahaman lain,
segala dogma dan tradisi harus disaring. Operasi itu disebut reduksi atau epokhe. Hal
tambahan dan cara pemahaman yang lain harus “ditempatkan dalam kurung”, segi-segi itu
tidak diperhatikan atau dipandang lebih dulu, namun bukan berarti tidak dihargai. Reduksi
pokok yang pertama adalah reduksi fenomenologis, yang kedua reduksi eiditis, dan yang
ketiga reduksi transendental-fenomenologis.

Pada reduksi fenomenologis, disaring tentang realitas objek dan subjek. Objek
diselidiki hanya sejauh disadari. Objek dipandang menurut relasinya dengan kesadaran.
Terhadap fakta tidak diadakan refleksi maupun tidak diberi statemen. Pada reduksi eiditis,
dicari hakikat dari fenomena. Yang dimaksud hakikat adalah struktur dasariah yang meliputi
isi fundamental, semua sifat hakiki, semua relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan objek
lain yang disadari. Untuk mencari hakikat, disaring dan dibersihkan semua aspek yang hanya
kebetulan, tidak penting, dan hanya berhubungan dengan objek individual. Reduksi
transendental-fenomenologis merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai terjadinya
penampakan diri, serta mengenai akarnya dalam kesadaran. Kesadaran yang ditemukan
dalam reduksi ini adalah kesadaran subjektivitas murni, atau sama dengan aku transendental.
Tetapi kemudian, aku transendental kehilangan status terisolir. Dunia berada menurut adanya
komunitas individu yang bersifat intersubjektif. Dengan demikian, fenomenologi Huserl
menganalisis cara-cara terjadinya pengalaman komunal.

Yang paling penting dalam reduksi bukan menaruh dunia dalam kurung, tetapi segala
teori dan interpretasi tentang dunia. Huserl menekankan aspek positif dalam reduksi. Reduksi
bukan saja berpaling dari segala teori tentang dunia, tetapi juga berpaling kepada sesuatu,
yakni kesadaran atau aku transendental (Bertens, 1983:104).

Aplikasi metode fenomenologi dalam berbagai disiplin ilmu hampir tidak mengalami
banyak kesulitan, tidak demikian halnya dalam penyelidikan agama. Kesulitan itu bersumber
dari: pertama, kenyataan bahwa agama-agama itu berkembang, sehingga agama merupakan
objek kajian yang hidup dan berkembang secara khas. Kedua, agama itu bersifat individual,
subjektif, batiniah, loyalitas adalah tuntutan terpokok dalam beragama. Akibatnya, dalam
studi agama orang sering membandingkan agama-agama dengan metodenya sendiri, seraya
merumuskan keunggulan agamanya.

Fenomenologi agama, menurut C.J. Bleeker, adalah studi agama dengan cara
membandingkan berbagai fenomena yang sama dari berbagai agama untuk memperoleh
prinsip universal. Dalam upaya itu, prinsip kerja fenomenologi Huserl khususnya epokhe
eiditis dipergunakan. Sementara menurut Raffaelle Pettazzoni, fenomenologi agama adalah
pendekatan terhadap persoalan-persoalan agama dengan mengkoordinasikan data agama,
menetapkan hubungan, dan mengelompokkkan data berdasar hubungan tersebut tanpa harus
mengadakan komparasi tipologis antar berbagai gejala agama (Sudiarja, 1995: 7).

Fenomenologi agama adalah suatu metode pendekatan dalam studi agama dengan
tanpa memperhatikan sejarah suatu agama, tetapi yang diperhatikan adalah bagaimana agama
menampakkan diri. Fenomena agama atau gejala yang dengannya agama menampakkan diri
menjadi perhatian utama dalam rangka memahami hakikat agama. Dengan metode
fenomenologi dicoba ditemukan struktur dasariah agama yang meliputi isi fundamental, sifat
hakiki, relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan objek lain yang disadari. Fenomenologi
agama tidak hanya ingin mendeskripsikan fenomena yang ditelaah, tidak juga hanya
menerangkan hakikat filosofis fenomena, lebih dari itu suatu fenomena religius diberi arti
secara lebih mendalam sebagaimana dihayati manusia religius (Dhavamony, 1995: 42).
Fenomenologi agama seperti itu adalah dalam rangka menghindari bias subjektif dan
ketidaksesuaian antara penyelidikan dengan kenyataan agama sebagai suatu yang dialami dan
dihayati, bahkan oleh si pengamat sendiri.

B.Unsur-unsur Fundamental Agama

Dalam situasi kemajemukan agama terdapat berbagai fenomena berupa institusi dan
tradisi yang merupakan bentuk ekspresi keagamaan. Pendekatan fenomenologi dimaksudkan
untuk memahami pengalaman dasariah awal mula hubungan manusia dengan Sang Pencipta,
yang lebih dikenal dengan “pengalaman keagamaan”. Fenomenologi agama semacam itu
oleh Max Scheler disebut dengan wesensphanomenologie der religion. Scheler menunjuk tiga
tugas bagi fenomenologi ini. Pertama, studi analisis tentang sifat hakiki Yang Ilahi. Kedua,
studi tentang cara bagaimana Yang Ilahi Menampakkan diri. Ketiga, studi tentang aktus
religius yang dilakukan oleh manusia untuk menerima penampakkkan diri Yang Ilahi
(Bertens, 1983: 115).
Pendekatan fenomenologis terhadap gejala agama, berdasar batasan Scheler tersebut,
menunjukkan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, di dalam agama-agama terdapat unsur-unsur yang sama di samping tentunya


perbedaan-perbedaan. Sebagai misal, pengamatan terhadap gejala yang berupa kultus
peribadatan menunjukkan bahwa semua agama meyakini adanya kenyataan lain. Semua umat
beragama menekankan loyalitas terhadap Tuhan. Keyakinan ketuhanan merupakan unsur
fundamental agama yang mempengaruhi segala bentuk ekspresi keagamaan sesorang.

Kedua, dalam setiap agama terdapat orde, yakni suatu norma yang terkait dengan misi
utama agama. Orde dapat bersifat kosmis maupun etis. Orde biasanya bersumber dari
gnostik, yakni pengetahuan dan atau pengalaman keagamaan. Pengetahuan dan atau
pengalaman keagamaan pada agama kesukuan dapat terjadi karena mythe, sementara dalam
agama profetis pengetahuan dan atau pengalaman keagamaan diperoleh, salah satu caranya,
lewat wahyu /kitab suci. Pengetahuan dan atau pengalaman keagamaan merupakan unsur
fundamental agama. Ketiga, setiap agama mengakui adanya ketidaksempurnaan di dunia
ini. Meskipun, penjelasan tentang sebab ketidaksempurnaan berbeda-beda dalam setiap
agama. Agama, dalam hal ini, menawarkan suatu jalan keluar dari ketidaksempurnaanÂ
melalui ritual-ritual. Setiap agama, dengan demikian, berorientasi pada penyelamatan.
Pemahaman dan pengakuan tentang ketidaksempurnaan dunia serta orientasi penyelamatan
mengandaikan dan membawa manusia kepada keyakinan tentang dunia lain yang sempurna
setelah dunia ini, umat beragama meyakini tentang kehidupan jiwa manusia setelah
kehidupan di dunia ini. Keyakinan tentang immortalitas jiwa merupakan unsur fundamental
agama. Keyakinan immortalitas jiwa sering menjadi jaminan bagi moral.

Keempat, dalam setiap agama terdapat orientasi etis-sosial. Agama selalu sosial,
meskipun agama bermula dari pengakuan keagamaan yang individual. Orientasi etis-sosial
agama sangat terkait dengan orde dan pandangan baik buruk.

Pemahaman tentang unsur fundamental agama dan realisasinya dalam kehidupan akan
berpengaruh terhadap masa depan agama. Terdapat minimal tiga kemungkinan terkait dengan
eksistensi agama. Pertama, agama seharusnya berakhir. Respon ini merupakan kritik atau
reaksi atas kegagalan umat beragama dalam menjalankan fungsi penyelamatan ataupun
penertiban dunia/masyarakat. Kedua, agama akansegera berakhir. Respon ini merupakan
akibat dari kemajuan peradaban manusia. Ketika teknik yang dikuasai manusia sudah
sedemikian maju, dan karenanya manusia terpesona oleh kemajuan itu; agama dipandang
akan segera kehilangan fungsinya dalam kehidapan manusia. Fungsi agama akan digantikan
oleh IPTEK. Ketiga, akan terdapat semangat baru dalam agama, agama tidak akan pernah
berakhir. Respon ini merupakan akibat dari pesimisme terkait dengan semakin kompleksnya
persoalan manusia dan ketidakmampuan IPTEK memberikan solusi yang memuaskan bagi
kehidupan, tetapi justru menimbulkan persoalan baru dalam kehidupan (Aslam, 1986).

Anda mungkin juga menyukai