Anda di halaman 1dari 9

MOHON DIPERHATIKAN

Silahkan dipelajari terlebih dahulu materi perkulihan berikut ini dengan cermat, teliti dan tuntas,
kemudian jawablah pertanyaan-pertanyaan yang ada di akhir materi perkuliahan.

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI ISLAM

1.PENDAHULUAN

Agama, selain sebagai realitas Ilahi, juga merupakan fenomena manusiawi. Sebagai realitas
Ilahi, agama merupakan norma, doktri, ajara-ajaran, atau sistem keyakinan yang berasal dari
Tuhan yang bersifat obsolut, abadi, dan tidak terbatas, sisi inilah yang kemudian disebut dimensi
normativitas agama. Sementara sebagai fenomena manusiawi, agama merupakan bentuk
pemahaman dan hasil interpretasi manusia terhadap ajara-ajaran agama yang mewujud dalam
struktur budaya pemeluknya dan bersifat relatif, terbatas, dan berubah, aspek inilah yang disebut
dengan dimensi historisitas agama.

Studi agama, selama ini dikaji dengan menggunakan pendekatan teologi yang melihat agama
sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak
bersifat ideal. Atau dengan ungkapan lain bahwa agama sebagai wahyu dari Tuhan, selama ini
dikaji dengan pendekatan teologi. Sementara sebagai fakta historis-empiris-sosiologis,agama
dikaji dengan menggunakan pendekatan ilmiah aatau perspektif ilmiah dengan memanfaatkan
pendekatan ilmu-ilmu sejarah, psikologi, sosiologi, antropologi, dan filasafat.

Dalam diskursus studi agama kontemporer, menurut Amin Abdullah (1996: V) bahwa fenomena
keberagamaan manusia dapaf dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat
dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu—meskipun
fenomena ini sampai kapan pun adalah merupakan ciri khas daripada agama-agama yang ada---
tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait erat dengan historisitas pemahaman dan
interpretasi orang perorangan atau kelompok-kelompok terhadap norma-norna ajaran agama
yang dipeluknya,serta model-model amalan, dan praktek-praktek ajaran agama yang
dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut Amin menegaskan bahwa pada
umumnya, normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah lewat
pendekatan doctrinal-teologis, sedang historisitas keberagamaan manusia ditelaah lewat berbagai
sudut pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang beersifat multi dan interdisikliner, baik lewat
pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural maupun antropologis.

Kajian agama dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti, sejarah,


psikologi,sosiolog, dan antropologi, sebenarnya merupakan babak kelanjutan dari studi agama
yang sebelumnya menggunakan perspektif teologi yang semata-mata melihat agama dari sisi
normativitas ajaran wahyu. Karena didasarkan atas keyakinan agama masing-masing, maka
pendekata teologi sebagaimana disinyalirr oleh Abuddin Nata (2003: 32), cenderung bersifat
tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan yang berujung pada
pengkotak-kotakan ummat, tidak ada kerjasama, dan tidak adanya kepedulian sosial. Adanya
ketidak puasan atas pendekatan teologi itulah yang mendorong munculnya pendekatan mpiris
dalam studi agama.

Perubahan orientasi pendekatan terhadap fenomena keberagamaan manusia ini terjadi pada abad
19. Teologi tidak lagi menjadi the Queen of science, seperti yang pernah terjadi pada abad
pertengahan, tetapi hanyalah sebagian dari skema besar studi dan penelitian agama. Pengaruh
metoda pendekatan danpenelitian sosial terhadap studi agama, lambat laun akan sangat dominan,
Pada puncaknya, agama dan keberagamaan manusia oleh berbagai metoda penelitian sosial
dipandang tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebagai gejala sosial (Amin Abdullah, 1996: 31).
Pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian agama pada akhirnya melahirkan imajinasi agama
terbatas pada aspek kulit, zhahir, dan bentuk semata dan dipandang kurang apresiatif terhadap
aspek “doktrin” atau hasil-hasil penelitian agama dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial, kurang
memperhatikan aspek “normativitas” dari ajaran agama itu sendiri. Ketidakpuasan terhadap hasil
kajian ilmu-ilmu sosial tersebut muncul dari kalangan teolog.

Tidak hanya kaum teolog yang merasakan ketidakpuasan seperti itu. Seiring dengan
ketidakpuasan para teolog, secara metodik diperkuat dengan munculnya pendekatan baru
terhadap entitas keberagamaan manusia, yakni pendekatan fenomenologi. Dalam konteks ini,
pembahasan materi fenomenologi mencakup: pengertian fenomenologi, fenomenologi agama,
dan ciri-ciri pendekatan fenomenologi.

II. PENGERTIAN FENOMENOLOGI

Secara harfiah istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang memiliki
arti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam hal ini fenomenologi
merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang
membanjiri kesadaran manusia. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Dengan
demikian secara operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ‘ilmiah’ dalam
meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran, perasaan, ide, emosi, maksud,
pengalaman, dan apa saja dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena)
(Loren Bagus, 2005: 234-239). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam operasionalnya pendekatan
fenomenologi membutuhkan perangkat lain, seperti sejarah, filologi, arkeologi, psikologi,
sosiologi, antropologi, dan sebagainya.

Istilah “fenomenologi” berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yakni: phenomenon
(jamak phenomena) dan logos. Dari sudut Bahasa, istilah phenomenon bisa diartikan sebagai
penampilan (penampakan), yakni penampilan sesuatu yang menampilkan diri. Dalam psikologi
fenomena biasanya didefinisikan sebgai data dari pengalaman yang dapat diamati dan dijabarkan
oleh subjek yang mengalami pada suatu waktu. Dalam filsafat, fenomena memiliki berbagai arti.
Akan tetapi, pada umumnya fenomena diartikan sebagai “penampilan/penampakan sesuatu”
yang brbeda dengan “sesuatu itu sendiri.” Perbedaan antara penampakan sesuatu dengan sesuatu
itu sendiri, menjadi tonggak filsafat Kant. Dia mengajarkan bahwa pemikiran kita tidak akan
pernah sampai kepada “sesuatu itu sendiri” atau nomenon. Dan yang bisa kita ketahui hanyalah
penampakan sesuatu atau phenomenon. Teori Kant ini—yang menekankan bahwa pengetahuan
kita terbatas pada pengetahuan tentang penampilan/penampakkan sesuatu atau fnomenon—
disebut fenomenalisme, namun, fenomenalisme ini jangan dikacaukan dengan fenomenologi
( Henry MIsiak & Virginia Staudt Sexton (terj), E Koswara, 2005: 2).

Pada dasarnya istilah fenomenologi telah muncul pada pertengahan abad ke-19, yang kemudian
digunakan daam sejarah filsafat dengan arti yang berbeda-beda. Kant, Hegel (yang menulis
Phenomenology of Mind pada tahun 1807), Mach, Brentanto, dan Stumpf memiliki pemahaman
sendiri-sendiri tentang fenomenologi. Dan ketika Edmund Husserl menggunakan istilah
fenomenologi ini pada pada permulaan abad ke-20, ia memberikan arti dan dan signifikansi baru.
Bagi Husserl, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan tentang fenomena, tentang objek-objek
sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghadirkan diri dalam kesadaran kita, Husserl
adalah pendiri dan tokoh fenomenologi yang paling terkemuka ( Henri Misiak &
Virginia……….,2005: 3)

Kata “fenomenologi” dibawa ke ruang publik pertama kali oleh Hegel lewat bukunya
Phenomenology of the Spirit (1870)--“Fenomenologi” Hegel sarat dengan dengan metafisika,
yakni perbincangan tentang apa yang ada di baliak penampakan. Kant pun tak jauh beda,
kajiaannya tentang fenomena juga meyisakan tentang konsepsi tentang noumena yang
tersembunyi. Pengetahuan manusia yang terbatas mau tidak mau terbentur pada fenomena
(penampakan). Fenomenologi Husserl merupakan ilmu tentang penampakkan (fenomena).
Artinya, semua perbincangan tentang esensi yang berada di balik penampakan dibuang jauh-
jauh. Istilah “fenomenologi” sendiri berasala dari Bahasa Yunani phinomenon (phainomai,
penampakkan diri) dan logos (akal budi). Ilmu penampakan berarti ilmu tentang apa yang
menampakkan diri ke pengalaman subjek. Taka ada penampakan yang tidak dialami. Hanya
dengan berkonsentrasi pada apa yang tampak dalam pengalaman, maka esensi dapat terumuskan
dengan jernih. Pembicaraan tentang esensi di luar penampakkan adalah kerja sia-sia. Dan hal
inilah yang membedakan fenomenologi Husserlian dengan Kant maupun Hegel, meski tidak
disangkal sumbangan keduanya. Kant dan Hegel masih membicarakan tentang kodrat di balik
penampakan. Hegel dengan roh absolutnya. Sedang Kant dengan noumenanya (Donny Gahral
Adian, 2010: 4-5)

III. METODA FENOMENOLOGI


Metoda fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran
atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode
fenomenologi bukan tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran, umpanya segenap hal
yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau disukai. Tujuan utamanya adalah mnjangkau
esensi-esensi hal-hal tertentuyang hair dalam kesadaran. Metoda fenomenologis dipraktekan
dengan cara yang sistematis, melalui berbagai langkah atau Teknik. Spiegelberg dalam
Phenomenologi of movement (1971) merinci ada tujuh langkah metode fenomenologis. Yang
paling mendasar dan digunakan secara luas, juga oleh para aahli psikologi, adalah deskripsi
fenomenologis. Menurutnya deskripsi fenomenologis bisa dibedakan ke dalam tiga fase,
mengintuisi, menganalisis, dan menjabarkan secara fenomenologis. Mengintuisi artinya
mengkonsentrasikan secara intens, atau merenungkan fenomena. Menganalisis adalah
menemukan berbagai unsur atau bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya.Sedangkan
menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi, dianalsis, sehingga fenomena
itu bisa dipahami oleh orang lain.
Langkah lainnya, adalah wessenchau yang diterjemahkan sebagai ‘pemahaman terhadap esensi-
esensi (insight of essence), “pengalamn atau kognisi tentang esensi-esensi”(experience or
cognition of essence), namun dia lebih suka menyebutnya dengan pengintuisian esensi esensi
(intuiting of essence). Pengintuisian esensi-esensi ini disebut juga dengan pengintuisianeidetik
(eidetic intuiting). Kata eidetic berasal dari eidos (esensi) yang dipinjam oleh Husserl dari Plato.
Pencapaian atau penangkapan esensi-esensi berbagai hal melalui fenomena sebagai fungsi dari
pengintiuisian esensi itulah yang oleh Husserl disebut dengan reduksi eidetik (eidetic reduction).
Langkah berikutnya adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-
pengandaian. Untuk mengeksplorasi kesadaran, seluruh penyimpangan, teori-teori, keyakinan-
keyakinan, dan corak-corak berpikir yang sudah menjadi kebiasaan, disingkirjkan atau atau
dalam bahasa Husserl, “disimpan di dalam tanda kurung” (bracketed),meminjam konsep yang
berasal dari matematika. Husserl menyebut segenap penyingkiran penilaian itu dengan istilah
epoche, sebuah istilah Bahasa Yunani yang artinya tidak memberikan suara. Hanya setelah
epoche dilakukan, eksplorasi atas fenomena bisa diharapkan membawa hasil, sebab dengan cara
demikian fenomena tidak dikaburkan atau didistorsi oleh sifat-sifat individual si penyelidik
(Henry Misiak dan Virginia Staudt Sexton……, 2005: 7-8).

IV. FENOMENOLOGI AGAMA

Charles J. Adams, sebagaimana dikutif oleh Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan (2015: 78).
Mengungkapkan bahwa terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi
agama. Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama sesorang yang termasuk
di dalamnya usaha sebagian dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara netral sebagai
persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema
taksonomik untuk mengklasifikasi fenomena dibenturkan dengan batas-batas budaya dan
kelompok religius. Secara umum, pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan
dan kesamaan reaksi keberagamaan semua manusia secara sama, tanpa memperhatikan dimensi
ruang dan waktu dan perbedaan budaya masyarakat.
Arah dari pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang
apa yang yang disebut dengan perilaku keagamaan. Sebagai sebuah ilmu yang relatif
kebenarannya, pada pendekatan ini tidak dapat berjalan sendiri. Secara operasional, ia
membutuhkan perangkat lain, misalnya sejarah, filologi, arkeologi, studi literatur, psikologi,
sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang lebih
fundamental(esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia, Usha pendekatan ini agaknya
mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis empiris
ke pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya.

Menurut Ninian Smart dalam Peter Connlly (1999:X) bahwa Fenomenologi dalam kajian
keagamaan biasanya digunakan untuk menerapkan epoche. Secara intensional, epoche
merupakan metoda meletakan pandangan subjektif peneliti ke dalam kurung untuk
meneunjukkan karakter, ide, dan perasaan orang beriman. Epoche menuntut berjalan dengan alas
keyakinan. Epoche adalah pengertian lain dari fenomenologi dan merupakan penerapan longgar
dari metoda Husserl. Menurut Husserl, sebagaimana dikemukakan oleh Mariasusai Dhavamony
(1995:6) prinsip fenomenologi harus kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada
halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Subjek harus melepaskan atau menurut Hsserl,
menaruh antara tanda kurung semua pengandaian-penandaian dan kepercayaan-kepercayaan
pribadinya serta dengan simpati melihat objek yang mengarahkan diri kepadanya Langkah ini
disebutnya eepoche. Lewat proses ini objek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur
sementaranya yang tidak hakiki, sehingga tinggal eidos (hakikat objek) yang menampakan diri
atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran.

Clive Erriker dalam Peter Connolly (ed) mengungkapkan bahwa dua konsep Husserl, yang
menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi studi fenomenologis terhadap agama
adalah:epoché dan eidetic vision. Epoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”,
atau ia sama dengan makna “pengurungan” (bracketing). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga
yang akan mempengaruhi pemahaman yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa
konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat
sebagai sebuah pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan
dengan kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan
tindakan epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi sebuah
fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga
menganggap benar kapasitas untuk memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena
yang bisa dibela sebagai pengetahuan yang “objektif”(2001: 105).
Untuk lebih jelas dan singkatnya, akan diringkas beberapa karakteristik fenomenologi filosofis
yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama.
1)      Watak deskriptif, yakni Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena,
cara tentang tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman
manusia.
2)      Antireduksionisme, yaitu pembebasan dari prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang
menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan
ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman dan menyediakan deskripsi-deskripsi
yang lebih akurat tentang  pengalaman ini.
3)       Intensionalitas, yaitu cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena.
Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang
fenomenolog perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari datanya, dan struktur-
struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan.
4)      Pengurungan (epoché), diartikan sebagai penundaan penilaian. Hanya  dengan mengurung
keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang didasari pada pandangan alami yang tidak
teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui  fenomena pengalaman dan memperoleh wawasan
tentang struktur-struktur dasarnya.
5)      Eidetic vision, adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali
dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi
universal”. Esensi-esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri yang
penting dan tidak berubah dari suatu fenomena yang memungkinkan kita mengenali fenomena
sebagai fenomena jenis tertentu.

V. CIRI-CIRI PENDEKATAN FENOMENOLOGI

Dalam kajaian keislaaman, para orientalist di Barat ternyata lebih menekankan pada aspek studi
perbandingan agama (comparative religions) dan sejarah agama-agama (history of religions).
Hal ini telah berlangsung sejak paruh kedua abad ke-19. Aspek kajian ini dikembangkan oleh
tokoh seperti Mircea Eliade, pendekatan ini mengandung dua ciri utama, yakni: (1)
memebebaskan diri dari pemihakan atas agama yang dianutnya, yang bisa diistilahkan dengan
epoche –usaha menetralkan keberpihakan pada agama—dan (2) mengklasifikasikan apek-aspek
dasar untuk menemukan karakter universal yang sama antara agama yang ada ciri yang kedua
ini dikenal istilah taxonomic scheme of religion—struktur dasar agama yang ada di balik semua
fenomena agama.Dalam pandangan fenomenologis, kajian keislaman tidak bisa dilakukan hanya
dengan mengamati apa yang sudah terlembagakan saja, tetapi harus dengan memahami apek-
aspek structural dan universal yang fenomenologi dilatarbelakangi sebuah doktrin atau institusi
keislaman itu menjadi ada.

Pendekatan fenomenologi dalam bidang kajian Islam dapat dipahami sebagai sikap seorang
peneliti untuk menempatkan sikap empati terhadap Islam dan umatnya. Subjektivisme menjadi
tantangan bagi peneliti yang menggunakan pendekatan fenomenologi. Karena dalam hal ini,
seorang peneliti harus menempatkan Islam berdasarkan apa yang dipahami, dihayati, dan
diparktekan oleh umatnya, bukan berdasarkan pada prasangka apalagi berdasarkan pemahaman
peneliti yang bersumber dari ajaran di luar Islam. Atau dengan ungkapan lain, jika fenomenologi
digunakan dalam mengkaji Islam, berarti seorang peneliti memeahami dan menganalisis Islam
bukan atas dasar nilai-nilai yang tertunag dalam teks yang bersifat normatif, namun berdsarkan
pada apa yang dipahami dan diamalkan oleh umatnya.

Paradidigma developmentalism, sebagaimana diungkapkan oleh Jamali Sarodi (2008: 157-158),


berpandangan atau beranggapan bahwa peneliti sudah tahu sesuatu yang akan diteliti, pra-
anggapan (apersepsi) dengan membawa teori-teori dari luar objek penelitian hendaknya
dihindari. Sebab, membawa teori dari luar berarti diasumsikan bahwa peneliti telah memiliki
perspektif sendiri yang memungkinkan mempunyai kepentingan dan tujuan tertentu. Lebih
lanjut, untuk mengetahui oprasional pendekatan fenomenologi, terlebih dahulu diketahui ciri-ciri
fenomenologi, sebagai berikut:
1.Epoche

Pengkajian terhadap keyakinan agama-agama di dunia ini sebagaimana disarankan oleh para ahli
perbandingan agama, harus dilaakukan dengan sikap empati. Artinya pengkaji hendaknya tidak
memiliki tendensi untuk membela keyakinan, ajaran, doktrin agama tertentu, melainkan dengan
cara membiarkan bagaimana keyakinan ,doktrin, dan ajaran agama itu dipahami oleh para
pemeluknya. Untuk itu, tugas pengkaji atau peneliti adlah sekedar memberikan elaborasi atau
penjelasan terhadap apa saja yang dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh penganut agama itu
sendiri.

Analisis terhadap hasil kajian ini, dapat dilakukan oleh para pengkaji atau peneliti sejauh tidak
menyanngkut keyakinan, dogma, doktrin, dan ajaran agama yang dipahami oleh pemelu,knya.
Analisis fenomena dapat dilakukan oleh pengkaji hanya menyangkut peran dan fungsi agama
dalam pembentukan realitas sosial. Dalam konteks ini, peneliti harus melakukan pendekatan
emic, artinya peneliti tidak berusaha menafsirkan fenomena yang dilihat berdasarkan
pengetahuan sebelumnya, namun ia harus berusaha memberikan deskripsi berdasarkan informasi
yang dipeeoleh dari objek penelitian, yakni komunitas pemeluk agama.

2.Ta.xonomi scheme of religion

Telah disinggung dalam penjelasan sebelumnya bahwa pendekatan teologi dalam kajian agama
bertolak dan atau mendasarkan diri pada keyakinan agama masing-masing. Karena dalam
perspektif teologi, sebgaimana dikemukakan oleh Ahmad Norman Permata (2000: 23), agama
tidak lain merupakan hak perogratif Tuhan sendiri. Realitas sejadi dari agama adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh ajaran masing-masing agama. Pendekatan teologi dalam studi
agama, sebagaimana disinyalir oleh Amin Abdullah (1996:30), cenderung lebih menonjolka
“segi-segi perbedaan” dan menutup rapat- dan menutup rapat-rapat “segi-segi persamaan.”
Dalam kondisi seperti ini hubungan intra dan antar umat beragama sering berada pada titik saling
curiga, menghina satu sama lain,serta menyalahkan satu atas lainnya—terlebih lagi ketika
perbedaan pandangan teologis sudah bertali kelindan dengan kepntingan politik----tidak jarang
berujung pada tindakan kekerasan yang mengatasnamakan kebenaran suci.

Berdasar pada kenyataan bahwa seetiap agama memiliki ajaran , doktrin, dan ritual yang khas,
yamg berbeda antar satu agama ke agama lainnya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai
keyakinan agama-agama besar di dunia, bukan pada aspek-aspek yang berbeda yang ditonjolkan,
aakan tetapi sebaliknya lebih menonjolkan aspek-aspek persamaan yang terkandung di
dalamnya. Kesamaan-kesamaan esensial dalam bentuk nilai-nalai dan prinsip-prinsip universal
yang ada dalam ajaran, doktrin, dan keyakinan dari agama-agama inilah yang kemudian dikenal
dengan taxonomi scheme of religion. Nilai-nilai kesamaan antar agama ini dapat dijadikan
sebagai modal untuk saling memahami ajaran agama yang ada, sehingga seorang orientalis
tidaklah beralasan untuk bersikap sinis terhadap Islam.
Sebagi contoh misalnya, John L. Esposito, seorang sarjana Amerika yang pada mulanya benci
kepada apa saja yang berbau Islam dan Arab, kemudian bersikap empati. Hal tersebut karena ia
mau belajar dan mencari tahu tentang Bahasa Arab dan Islam maka muncullah dalam dirinya
pengetahuan tentang Islam. Kemudian, ia dapat memahami dan menemukan titik-titik kesamaan
antara ajaran Islam dan Kristen, tentunya dalam hal-hal yang ada kesamaannya (Jamali Sarodi,
2008: 158)

Apa yang dialami oleh Esposito tersebut, secara historis tercermin dalam pernyataan WC Smith,
yang semenjak lama menghimbau kepada para penkaji agama untuk menerapkan sikap
empatidalam melakukan kajian perbandingan agama (comparative religion). Alsannya,
kemungkinan dapat ditumbuh-kembangkan sikap toleran (tasamuh) dalam beraagama ketika
para penganut agama itu mampu menunjukkan titik-titik persamaan di antara agama-agama
yang ada. Dari sini dapat dilakukan suatu upaya memperkecil untuk menonjolkan perbedaan-
peerbedaan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh umat manusia.

VI. PENUTUP

Agama, selain sebagai ajaran atau doktrin Tuhan, juga mrupakan suatu pemamahaman dan
interpretasi manusia atasnya, Dengan uangkapan lain,agama merupakan kesatuan antara realitas
ilahi dan fenomena manusiawi. Selama ini, kajian agama yang telah dilakukan oleh kalangan
ahli, mengarah pada pilihan salah satu dari kedua sisi dari agama tersebut. Pendekatan doktrinal-
teologis bertolak dari aspek batin (substansi) agama, sementara ilmu-ilmu sosial yang
menggunakan pendekatan atau metoda ilmiah, berangkat dari aspek zhahir (bentuk) agama.

Pendekatan fenomenologi dalam studi agama digunakan sebagai suatu upaya untuk mencari
“intisari” atau “hakikat” dari agama dari pengalaman keagamaan. Dengan ungkapan lain bahwa
pusat perhatian pendekatan fenomenologi, sebenarnya hanya terbatas pada pencrian eseni,
makna, dan struktur fundamental dari pengalaman keberagamaan manusia.

Pendekatan fenomenologi adalah sebuah pedekatan yang didasari oleh filsafat fenomenologi,
Filsafat tersebut mengajarkan betapa pentingnaya melihat gejala (fenomena) yang tampak dari
suatu entitas untuk menafsirkan alam pemikiran yang berkembang dalam entitas tersebut.
Pendekatan ini dalam studi agama digunakan untuk menkaji tentang fenomena keberagamaan
manusia sebagaimana ia muncul dan menjelma. Pendekatan ini lahir dari anggapan bahwa
keberagamaan dapat dipahami dengan utuh jika dikaji dari fenomenanya. Maka yang menjadi
fokus pendekatan fenomenologis adalah apa yang menjadi esensial dalam kehidupan beragama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmad Norman Permata (2000), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
2. Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan (2015), Studi Islam Suatu Pengantar Dengan
Pendekatan Interdisipliner ,Bandung, Rosdakarya.
3. Donny Gahral Adian (2010), Pengantar Fenomenologi, Depok, Koekoesan
4. Henry Misiak dan Virginiae Staudt Sezton (Terj.), E. Koswara (2005), Psikologi,
Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik, Bandung, Aditama.
5. Jamali Sarodi (2008), Metodogi Studi Islam, Bandung, Pustaka Setia
6. Lorens Bagus (2005), Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia.
7. Mariasusai Dhavamony (1995), Fenomenologi Agama, Yogyakarta, Kanisius.
8. M. Amin Abdullah (1996), Studi Agama Normativitas atau Historisitas,Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
9. Peter Connolly (ed., 2002), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta, ELKiS.

Latihan; jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini

1.Jelaskan pengertian fenomenologi baik dari sisi bahasa maupun istilah

2.Siapa orang yang pertama kali memperkenalkan fenomenologi ke publik, dan dalam karya apa?

3. Menurut Spiegelberg bahwa deskripsi fenomenologi dibedakan ke dalam tiga fase, sebutkan dan
jelaskan

4. Sebutkan dua ciri fenomenologi menurut Charles J. Adam.

5. Silahkan jelaskan apa arah dari fenomenologi?

6. Menurut Hegel prinsip fenomenologi harus kembali pada data bukan pemikiran. Silahkan jelasakan
maksudnya.

7. Silahkan saudara sebutkan dan jelaskan karakteristik dari fenomenologi filosofis.

8. Coba saudara jelasakan apa yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologi dalam kajian Islam.

9. Silahkan saudara jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah epoche dan taxonomic scheme of religion

10. Menurut Mircea Aliade pendekatan fenomenologi memiliki dua ciri utama, sebutkan dan jelaskan.

Anda mungkin juga menyukai