Anda di halaman 1dari 17

PENDEKATAN FENOMENOLOGI

DALAM KAJIAN AGAMA ISLAM

Makalah ini

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Metodologi Studi Islam

Oleh:

SUSILO 22.08.954

TUMINI 22.08.955

PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM SUNAN GIRI
PONOROGO
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah pendekatan dalam kajian Islam telah mendorong perhatian
banyak sarjana di bidang studi Islam (Islamic Studies). Awalnya, kajian Islam
hanya memperoleh tempat yang sangat terbatas dan hanya dikaji dalam
konteks history of religions, comparative study of religios atau religions
wissenschaft pada umumnya.
Dalam kaitanya dengan studi agama, makna istilah fenomenologi
tidak pernah terbekukan secara tegas. Maka perlu kiranya suatu kecermatan
dalam upaya menentukan faktor-faktor yang mencakup dalam pendekatan
fenomenologis. Pendekatan fenomenologis memiliki karekteristik tersendiri
yang berbeda dengan pendekatan lainya dalam memahami agama.
Filsafat positivisme dengan paradigma kuantitatif - ilmiah dalam studi
sosial dan humaniora telah menghegemoni sekian lama di era moderen pasca
renaissance Eropa, namun kemudian terkesan memudar setelah munculnya
filsafat fenomenologi yang dielaborasi menjadi sebuah pendekatan dalam
paradigma kualitatif-alamiah di era posmodernisme guna melakukan kegiatan
penelitian ilmiah khususnya dalam studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Fenomenologi sebagai sebuah pendekatan terasa belum dipahami
secara logis pada masa-masa awal ketika Edmund Husserl (1859-1938) sejak
pertama kali mencetuskannya. Setelah menunggu sekian lama kemudian
terjadilah perkembangan yang sangat spektakuler dalam dunia penelitian
sehingga pendekatan fenomenologis mampu diterjemahkan dengan baik
dalam studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tidak terkecuali studi Islam.1
Islam merupakan sebuah sistem universal yang mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia. Dalam Islam, segala hal yang menyangkut
kebutuhan manusia, dipenuhi secara lengkap. Semuanya diarahkan agar

1 M. Zeni Rochmatullah Ilyas dan Afdol Abdul Hanaf, Pendekatan Studi Islam
(Yogyakarta:Jejak Pustaka, 2022), 1–2.
manusia mampu menjalani kehidupan yang lebih baik dan manusiawi sesuai
dengan kodrat kemanusiaanya. Apabila hal itu dilaksanakan, maka akan
selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Layaknya sebuah sistem, Islam
memiliki sumber ajaran yang lengkap, yaitu berupa Al-Qur’an dan Hadis.
Rasulullah menjamin, jika seluruh manusia berpegang teguh dengan Al-
Qur’an dan Hadis dalam kehidupannya, maka ia tidak akan pernah tersesat
selama-lamanya.2
Studi Islam yang dimaksud dalam materi ini adalah upaya memahami
dengan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama
Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas
pelaksanaannya dalam kehidupan melalui beberapa metode dan
pendekatan yang secara operasional-konseptual dapat memberikan pandangan
tentang Islam. Tentunya, menemukan dan menguji pendektan-pendekatan
tersebut dilakukan melalui penelitian. Penelitian (reaserch) adalah upaya
sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan
prinsip-prinsip umum.3 Dari gambaran permasalahan tersebut, penulis perlu
memaparkan secara komprehensif beberapa materi tentang karakteristik studi
Islam beserta perkembangannya dan berbagai metode pendekatan studi Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menjadikan pokok
permasalah pada pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian dan fungsi fenomenologi?
2. Bagaimana penggunaan fenomenologi dalam studi Islam?
3. Bagaimana pendekatan fenomenologi dalam studi Islam?
4. Bagaimana penerapkan fenomenologi dalam studi islam?

2 Supiana, Metodologi Studi Islam (Jakarta Pusat: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama, 2012), 73.
3 Hammis Syafaq et al., Pengantar Studi Islam (Surabaya: Nuwailah Ahsana, 2021), 7.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah tersebut
antara lain:
1. Mengetahui pengertian dan fungsi fenomenologi
2. Mengetahui penggunaan fenomenologi dalam studi Islam.
3. Mengetahui pendekatan fenomenologi dalam studi Islam
4. Mengetahui penerapan fenomenologi dalam studi islam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Fungsi Fenomenologi


1. Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomen
dari phainesthai/phainomai/phainein yang berarti menampakkan atau
memperlihatkan.4 Dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom dan fosfor
yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja tampak,
terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam
istilah gejala yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan
kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat
diamati lewat indra. Atau secara harfiah fenomena dapat di artikan
sebagai suatu gejalah atau sesuatu yang menampakkan. Fenomenologi
juga di artikan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak
(phainomenon).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua
sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan
dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena di pandang dari sudut
kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam
memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat “penyaringan” atau
ratio, sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi
menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk
memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat
pengalaman yang berbeda.
Kant dan Fries mempergunakan istilah fenomenologi sebagai
pelajaran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala.5
Sedangkan fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan dengan
suatu disiplin ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek

4 Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta : Rineka Cipta, 1990 ). Cet. 1. 37


5 Syamsudin Abdullah, dkk. Fenomenologi Agama, (Jakarta: Depag RI, 1984), hlm. 1
dunia atau benda, dimana tidak ada hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat
sebagai suatu objek yang dapat dilihat, dipegang, diraba, atau didengar.
Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang kemudian
muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.6
Fenomenologi memberi tekanan pada keperluan melukiskan
gejala-gejala tanpa prasangka. Istilah fenomenologi dipakai untuk
pertama kali oleh J.H. Lambert (1728-1777), yang menyebut
fenomenologi sebagai sebuah penyelidikan kritis mengenai hubungan
antara sesuatu yang lepas dari pertimbangan dan sesuatu sebagai akibat
pengalaman kita.
Dari beberapa pengertian di atas, jelas bahwa Fenomenologi
Agama merupakan cabang Ilmu Agama yang mengkaji fenomena
keagamaan secara sistematis bukan historis sebagaimana sejarah agama.
Aliran fenomenologi lahir sebagai reaksi metodelogi positivistik
yang di perkenalkan Comte (Waters, 1994: 30). Pendekatan positivistik
ini selalu mengandalkan seperangkat fakta sosial yang bersifat objektif,
atas segala yang tampak secara kasat mata. Dengan demikian,
metodologi ini cenderung melihat fenomena hanya dari kulitnya, dan
kurang mampu memahami makna dibalik gejala yang tampak tersebut.
Sedangkan fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme, yang
tidak hanya memandang dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi
berusaha menggali makna di balik gejala itu (Campbel, 1994: 233).
Fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan
dengan sesuatu yang sudah menjadi atau disiplin ilmu yang menjelaskan
dan mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena
(Kuswarno, 2009: 1) Plato mendefinisikan fenomenologi sebagai studi
tentang struktur pengalaman, atau struktur kesadaran. Menurut Plato,
fenomenologi merupakan studi tentang “fenomena”, tentang penampilan
suatu atau sejumlah hal yang muncul dari kesadaran pengalaman orang

6 M. A. W. Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995),


hlm. 6
lain, termasuk cara kita memberikan makna terhadap hal-hal yang
mengemuka dari dalam pengalaman tersebut. Apa yang kita alami
terhadap orang lain termasuk presepsi (mendengar, melihat, meraba,
mencium dan lain-lain), hal percaya, tindakan mengingat, memutuskan,
merasakan, menilai, mengevaluasi adalah pengalaman dari tubuh kita
yang terdeskripsi secara fenomenologis.

Fenomenologi mampu nengungkap objek secara meyakinkan,


meskipun objek itu berupa objek kognitif maupun tindakan ataupun
ucapan. Fenomenologi mampu melakukan itu karena segala sesuatu yang
dilakukan oleh seseorang selalu melibatkan mental (Collin, 1997: 111).
Dimyati (2000: 67-90), dengan menyadur beberapa gagasan
Husserl, menyatakan bahwa fenomenologi merupakan analisis deskriptif
dan introspektif tentang kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman langsung yang meliputi indrawi, konseptual, moral, estetis
dan religius. Fenomenologi adalah suatu metode yang secara sistematis
berpangkal pada pengalaman dan melakukan pengolahan-pengolahan
pengertian.
Manusia adalah makhluk yang melakukan komunikasi, interaksi,
partisipasi, dan penyebab yang bertujuan. Kekhususan manusia terletak
pada intensionalitas psikisnya yang ia sadari, yang dikaitkan dengan
dunia arti dan makna. Dunia makna manusia ini dapat diteliti dengan
metode fenomenologi.
Menurut (Moustakas, 1994) dalam buku penelitian kualitatif dan
desain riset, fenomenologi sebagai metode penelitian paling tidak,
metodologi yang mendasari fenomenologi mencakup empat tahap :
a. Bracketing, adalah proses mengidentifikasi dengan “menunda”
setiap keyakinan dan opini yang sudah terbentuk sebelumnya tentang
fenomena yang sedang diteliti. Dalam hal demikian seorang peneliti
akan diberi peluang untuk berusaha kembali seobjektif mungkin
dalam menghadapi data tertentu. Bracketing sering disebut sebagai
“reduksi fenomenologi”, dimana seorang peneliti mengisolasi
pelbagai fenomena, lalu membandingkan dengan fenomena lain yang
sudah diketahui sebelumnya.
b. Intuition, terjadi ketika seorang peneliti tetap terbuka untuk
mengaitkan makna-makna fenomena tertentu dengan orang-orang
yang telah mengalaminya. Intuisi mengharuskan peneliti kreatif
berhadapan dengan data yang bervariasi, sampai pada tingkat tertenu
memahami pengalaman baru yang muncul. Bahkan, intuisi
mengharuskan peneliti menjadi seseorang yang benar-benar
tenggelam dalam fenomena tersebut.
c. Analysing, analisis melibatkan proses seperti coding (terbuka, axial,
dan selektif), kategorisasi sehingga membuat sebuah pengalaman
mempunyai makna yang penting. Setiap peneliti diharapkan
mengalami “kehidupan” dengan data akan dia deskripsikan demi
memperkaya esensi pengalaman tertentu yang bermunculan.
d. Describing, yakni menggambarkan. Pada tahap ini, peneliti mulai
memahami dan dapat mendefinisikan fenomena menjadi
“fenomenon” (fenomena yang menjadi). Langkah ini bertujuan untuk
mengomunikasikan secara tertulis maupun lisan dengan menawarkan
suatu solusi yang berbeda.

2. Fungsi Fenomenologi
Berikut ini fungsi dari fenomenologi :
a. Sebagai pembelajaran dalam keagamaan. Dengan memahami tentang
fenomenologi, seseorang di mungkinkan dapat memahami hakikat
keberagamaan secara mendalam. Di karenakan, fenomenologi itu
mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi terhadap
keagamaan khususnya agama Islam .
b. Sebagai konstruksi taksonomis untuk mengklasifikasikan fenomena
dengan melintasi batas-batas komunitas agama, budaya, dan zaman.
Pokok dari aktivitas ini adalah mencari struktur pengalaman
keagamaan dan keluasan prinsip-prinsip yang tampak
mengoperasikan bentuk perwujudan keberagamaan manusia secara
keseluruhan.
c. Fenomenologi berfungsi sebagai ilmu pengetahuan secara sadar
mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka
teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan
lewat koleksi data yang besar untuk suatu koleksi umum diluar
substansi sesungguhnya, dan tanpa berkontaminasi kecenderungan
psikologisme dan naturalisme.
d. Sebagai wadah untuk berfikir kritis dalam menanggapi fenomena
keberagamaan.
e. Berfungsi untuk mengungkapkan atau mendeskripsikan makna
sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-
kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.
f. Berfungsi untuk memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-
lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi,
metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena pada
dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya
dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini
bisa dilihat dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada
pemahaman terhadap Yang Maha Esa.

B. Penggunaan Fenomenologi Dalam Studi Islam


Fenomenologi Husserl dijadikan sebagai landasan dalam
fenomenologi agama. Fenomenologi agama menjadikan agama sebagai objek
studi menurut apa adanya. Atau dengan kata lain, ia menjelaskan fenomena
keagamaan sebagai yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini
kaum fenomenolog agama mencegah sikap memandang fenomena
keagamaan itu menurut visi mereka sendiri.
Tujuan fenomenologi agama adalah mengkaji dan kemudian mengerti
pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik
manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada
fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah
dan budaya manusia.
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama muncul sebagai reaksi
terhadap beberapa pendekatan sebelumnya, yaitu:
1. Pendekatan teologi yang normatif (atau sebut saja: teologis-normatif).
Dalam mengkaji tradisi agama, pendekatan ini digunakan untuk
menghasilkan dan menyumbangkan pemahaman yang lebih baik
mengenai dunia agama. Sehingga menjadikan agama tertentu (terutama
agamanya sendiri) sebagai agama yang benar, sementara agama lain
salah.
2. Pendekatan reduksionis. Pendekatan ini melihat agama lebih sebagai
fakta-fakta intelektual, emosional, psikologis dan sosiologis. Di sini
agama diselidiki melalui beberapa disiplin di luar ilmu agama (teologi).
Ilmu-ilmu ini dalam melihat agama (termasuk persoalan ketuhanan)
menghasilkan beberapa kesimpulan, misalnya ia sebagai pemerasan
ekonomis (Marx), frustasi jiwa manusia (Feuerbach), suatu fase manusia
dalam keadaan keterbelakangan (Comte), dan lain-lain. Ketika mencari
asal-usul agama, ahli sosiologi agama memulai kerjanya dalam
masyarakat yang paling “primitif”. Melalui penelitian terhadap
masyarakat yang paling “awal/primitif” itu diharapkan diperoleh
pemahaman mengenai proses perkembangan agama sepanjang sejarah.
Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman
keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena
keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan
objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang
berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan
untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul
dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit,
etnosentris dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-
pengalaman agama dengan akurat.
C. Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Islam
Fenomenologi berasal dari bahasa yunani “Phainoai”, yang berarti
“menampak” dan phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Istilah
fenomenologi diperkenalkan oleh Johan Heirinckh. Pelopor aliran
fenomenologi adalah Edmund Husserl. Jika dikaji lagi fenomenologi itu
berasal dari phenomenom yang berarti realitas yang tampak. Dan logos yang
berarti ilmu. Jadi fenomenologi adalah ilmu yang berorientasi untuk
mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak.
Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkontruksikan makna dan konsep penting dalam kerangka
intersubyektifitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan
kita dengan orang lain). (Kuswarno, 2009: 2) fenomenologi berasumsi bahwa
orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan
mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya (Littlejohn, 2009:
57).
Pendekatan fenomenologi memahami makna atau hakikat yang
sebenarnya dari suatu gejala objek yang dikaji melalui jiwa atau kesadaran
objek itu sendiri. Dalam arti bahwa pendekatan fenomenologi yang
dikembangkan dari pendekatan fenomenologis, membiarkan gejala yang
diteliti berbicara sendiri secara tulus dan apa adanya, tidak boleh ada upaya-
upaya luar dari sang peniliti membuat prakonsepsi yang macam-macam,
apalagi berlebih-lebihan. Berbeda dengan pendekatan ilmiah positivistik,
pendekatan fenomenologi dapat memahami adanya keterkaitan objek dengan
nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan, kemanusiaan dan lain-lain.
Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian kualitatif yang
berakar dari filosofi dan psikologi, serta berfokus pada internal dan
pengalaman sadar seseorang. Pendekatan fenomenologi untuk mempelajari
kepribadian dipusatkan kepada pengalaman individual - pandangannya
pribadi terhadap dunia (Atkinson, 2011: 57). Pendekatan fenomenologi
menggunakan pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang masalah
dari suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna dibalik
setiap gejala itu (Kuswarno, 2009: 7). hingga saat ini.
Bagi Schutz, tugas utama fenomenologi ialah mengkonstruksi dunia
kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami sendiri.
Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa anggota
masyarakat berbagi presepsi dasar mengenai dunia yang mereka
internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan
interaksi atau komunikasi (Kuswarno, 2009: 110).
Dalam pandangan Schutz, manusia adalah makhluk sosial, sehingga
kesadaran akan kehidupan dunia sehari-hari adalah kesadaran sosial. Manusia
dituntut untuk saling memahami satu sama lain, dan bertindak dalam
kenyataan yang sama. Sehingga, ada penerimaan timbal balik, pemahaman
atas dasar pengalaman bersama, dan tipikasi atas dunia bersama. Melalui
tipikasi inilah manusia belajar menyesuaikan diri kedalam dunia yang lebih
luas, dengan juga melihat diri kita sendiri sebagai orang yang memainkan
peran dalam situasi tipikal (Kuswarno, 2009: 18).
Jadi dalam kehidupan totalitas masyarakat, setiap individu
menggunakan simbol-simbol yang telah diwariskan padanya, untuk memberi
makna pada tingkah lakunya sendiri (Kuswarno, 2009: 18). Dengan kata lain,
ia menyebut manusia sebagai “aktor”. Ketika seseorang melihat atau
mendengar apa yang dikatakan atau diperbuat aktor, maka dia akan
memahami makna dari tindakan tersebut.
Dalam dunia sosial ini disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”
(interpretive reality). Dimana, makna subjektif yang terbentuk dalam dunia
sosial para aktor berupa sebuah “kesamaan” dan “kebersamaan” (Kuswarno,
2009: 110). Sehingga sebuah makna disebut sebagai intersubjektif Inti
pemikiran Schutz adalah bagaimana memahami tindakan sosial melalui
penafsiran. Dimana, tindakan sosial merupakan tindakan yang berorientasi
pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu, sekarang dan akan
datang.
Proses penafsiran dapat digunakan untuk memperjelas atau memeriksa
makna yang sesungguhnya, sehingga dapat memberikan konsep kepekaan
yang implisit. Dengan kata lain, mendasarkan tindakan sosial pada
pengalaman, makna dan kesadaran. Manusia mengkontruksi makna di luar
arus utama pengalaman melalui proses “tipikasi”. Hubungan antara makna
pun diorganisasi melalui proses ini, atau biasa disebut stock of knowledge
(Kuswarno, 2009: 18).
Beberapa karakteristik dasar fenomenologi dapat dilihat dalam 5 poin.
Pertama, watak deskriptif. Kedua, antireduksionisme. Ketiga, intensionalitas.
Keempat, pengurungan (epoche). Kelima, Eidetic vision (Rusli, 2008: 143).
Selain itu beberapa hal di bawah menjadi landasan epistemologis pendekatan
ini dalam fenomena sosial budaya:
1. Fenomenologi memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki
kesadaran.
2. Pengetahuan pada manusia ini berawal dari interaksi atau komunikasi di
antara manusia, antara satu individu dengan individu lain.
3. Karena kesadaran tersebut lahir dari proses interaksi dan komunikasi,
maka ia bersifat intersubyektif.
4. Perangkat pengetahuan ini menjadi pembimbing individu dalam
mewujudkan perilaku-perilaku dan tindakan-tindakannya. Dengan
demikian, perilaku dan tindakan individu tidak berdasar pada situasi yang
obyektif, namun oleh kesadarannya terhadap hal tersebut.
5. Adanya typification atau pemberian tipe-tipe terhadap unsur-unsur yang
ada dalam kehidupan manusia.
6. Pengakuan bahwa kehidupan manusia merupakan kehidupan yang
bermakna.
7. Dalam memahami gejala sosial menuntut pula pemahaman atas kerangka
kesadaran yang digunakan untuk membangun perangkat pemaknaan
tersebut.
8. Metode yang tepat dalam memahami gejala sosial adalah dengan
mengetahui dan memahami “hakikat” dari gejala yang dipelajari tersebut
(Ahimsa-Putra, 2012: 281-283). Memahami dalam konteks ini adalah
mengetahui pandangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma,
aturan yang ada dalam suatu masyarakat atau yang dianut oleh individu.
Setelah itu menetapkan relasinya dengan perilaku warga masyarakat,
perilaku sebuah kolektivitas atau perilaku individu tertentu (Ahimsa-
Putra, 2012: 285).
Pendekatan ini memiliki dua unsur pokok yang tak terpisahkan. Unsur
yang pertama adalah usaha untuk menunda prasangka dan ide atau konsepsi
awal tentang sesuatu yang sedang diteliti atau yang dikenal dengan “epoche”
‘pengurungan’ (bracketing) (Kockelmans, 1994: 43; Rusli, 2008: 145 dan
Langdridge, 2007: 17). Epoche adalah pengurungan semua anggapan dan
penilaian sebelumnya dan memposisikan diri terhadap obyek dengan setiap
pengalaman konkret yang dialami oleh peneliti dan pelaku (Kockelmans,
1994: 43 dan Langdridge, 2007: 17). Inti dari epoche adalah keraguan, yaitu
keraguan tentang natural attitude atau prasangka yang telah dimiliki
sebelumnya (Langdridge, 2007: 17). Unsur kedua adalah eidetic vision atau
eidetic intuition. Eidetic vision berarti melihat ke dalam jantung makna
(makna agama). Pada unsur ini, peneliti melihat, mengenali secara
komprehensif dan mendeskripsikan fenomena yang ditemui sebagai suatu
kesatuan makna (unity of meaning) (Rusli, 2008: 145 dan Kockelmans, 1994:
43).
Untuk menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang, Schutz
mengelompokkanya dalam dua fase, yaitu :
1. In-order-to-motive (Um-zu-motiv), yaitu motif yang merujuk pada
tindakan dimasa yang akan datang. Dimana tindakan yang dilakukan
oleh seseorang pasti memiliki tujuan yang telah ditetapkan.
2. Because motives (weil Motiv), yaitu tindakan yang merujuk pada masa
lalu. Dimana tindakan yang dilakukan seseorang pasti memiliki alasan
dari masa lalu ketika ia melakukanya.
D. Penerapan Fenomenologi Dalam Studi Islam
Dalam penerapan pendekatan fenomenologis, khususnya yang
berkaitan dengan fenomena keagamaan, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra
(2012: 298-300), pakar antropologi menetapkan beberapa prinsip etis-
metodologis yang perlu diperhatikan.
Pertama, tidak menggunakan kerangka pemikiran tertentu untuk
menilai kebenaran pandangan subyek. Hal tersebut dikarenakan tugas peneliti
bukanlah menilai atau menentukan kebenaran pandangan keagamaan yang
diteliti, namun mendeskripsikannya sebaik mungkin melalui perspektif
penganutnya.
Kedua, pandangan keagamaan yang didapat juga tidak memerlukan
penilaian. Dalam kacamata fenomenologi, semua “kesadaran” adalah “benar”.
Ketiga, dalam melihat fenomena atau subyek, peneliti dapat
dianalogikan sebagai “murid” yang ingin memahami pandangan keagamaan
suatu individu atau komunitas dan bermaksud mendeskripsikannya sesuai
pemahaman individu tersebut.
Keempat, peneliti harus selalu mengingat bahwa tujuan utamanya
adalah mengungkapkan pandangan, keyakinan atau kesadaran kolektif
masyarakat terhadap suatu fenomena keagamaan. Karenanya, hendaknya
peneliti menahan diri dari memberikan pendapat yang mungkin bertolak
belakang dengan pandangan subyek. Konsep-konsep inilah yang akan dibawa
dalam ranah komunikasi antaragama sebagai pendekatan awal dalam
memahami konsepsi agama menurut kacamata penganutnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan penulisan ini adalah :
1. Fenomenologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala
yang nampak. Jelas bahwa Fenomenologi Agama merupakan cabang Ilmu
Agama yang mengkaji fenomena keagamaan secara sistematis bukan
historis sebagaimana sejarah agama.
2. Fungsi dari fenomenologi adalah sebagai pembelajaran dalam keagamaan.
Dengan memahami fenomenologi, seseorang dimungkinkan dapat
memahami hakikat keberagamaan secara mendalam. Dikarenakan,
fenomenologi itu mengajarkan tentang fenomena-fenomena yang terjadi
terhadap keagamaan khususnya Islam. Perkembangan pendidikan Islam
terbagi menjadi lima periode, yaitu periode pembinaan pendidikan Islam,
pertumbuhan pendidikan Islam, kejayaan pendidikan Islam, kemunduran
pendidikan Islam, dan periode pembaharuan pendidikan Islam.
3. Penggunaan atau posisi fenomenologi dalam kajian Agama dan Studi
Islam adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama
atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau
memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk
memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
4. Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian kualitatif yang
berakar dari filosofi dan psikologi, serta berfokus pada internal dan
pengalaman sadar seseorang. Pendekatan fenomenologi untuk mempelajari
kepribadian dipusatkan kepada pengalaman individual-pandangannya
pribadi terhadap dunia.
5. Dalam penerapan pendekatan fenomenologis, khususnya yang berkaitan
dengan fenomena keagamaan, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra (2012:
298-300), pakar antropologi menetapkan 4 prinsip etis-metodologis yang
perlu diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2012. Fenomenologi Agama: Pendekatan


Fenomenologi Untuk Memahami Agama. Paper in Walisongo Journal,
Vol. 20, No. 2, November 2012, 271-304.
Langdridge, Darren. 2007. Phenomenological Psychology: Theory, Research and
Method. Essex: Pearson Education Limited.
Rusli. 2008. Pendekatan Fenomenologi Dalam Studi Agama: Konsep, Kritik dan
Aplikasi. Paper in journal ISLAMICA, Vol. 2., No. 2, March 2008, 141-
153
M. Zeni Rochmatullah Ilyas dan Afdol Abdul Hanaf, Pendekatan Studi Islam.
Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2022.

Batubara, Chuzaimah, Iwan, dan Hawari Batubara. Handbook Metodologi Studi


Islam. Jakarta Timur: Prenada Media, 2018.

HM, Abubakar. Pendidikan Islam di Era Peradaban Modern. Yogyakarta:


Penerbit : K-Media, 2020.
Ilyas, M. Zeni Rochmatullah, dan Afdol Abdul Hanaf. Pendekatan Studi Islam.
Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2022.

Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.
Nurhakim, M. Metodologi Studi Islam. Malang: UMM Press, 2021.
Nurhasanah, Neneng, Amrullah Hayatuddin, dan Yayat Rahmat Hidayat.
Metodologi Sudi Islam. Jakarta: Amzah, 2018.

Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme. Jakarta : Rineka Cipta, 1990.


Syamsudin Abdullah, dkk. Fenomenologi Agama. Jakarta: Depag RI, 1984.
Slamet, Achmad. Buku Ajar Metodologi Studi Islam (Kajian Metode dalam Ilmu
Keislaman). Yogyakarta: Deepublish, 2016.

Supiana. Metodologi Studi Islam. Jakarta Pusat: Direktorat Jenderal Pendidikan


Islam Kementerian Agama, 2012.
Syafaq, Hammis, Amin Tohari, Nurul Asiya Nadhifah, Umi Hanifah, dan Marli
Candra. Pengantar Studi Islam. Surabaya: Nuwailah Ahsana, 2021.

Anda mungkin juga menyukai