Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ONTOLOGI

Untuk memenuhi tugas mata kuliah


Filsafat Sains
Yang dibina oleh
Prof. Dr. Subandi, M.Si.
Dr. Muntholib, M.Pd.

Oleh :

Irmayanti Muis (190331865203)


OFFERING A

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
September 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Filsafat merupakan sebuah cabang ilmu yang dapat melahirkan ilmu. Filsafat
bercerita tentang untuk mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan yang didapatkan berdasar
dari pengalaman pribadi, orang lain maupun yang lain. Filsafat mengajarkan seseorang untuk
mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak diketahui untuk memperoleh
kebenaran.
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-
ragu dan filsafat dimulai dari kedua-duanya. Cara berfilsafat yaitu mendrong seseorang untuk
mengetahui apa yang belum diketahui dan apa yang belum diketahui. Berfilsafat selalu haus
akan ilmu dan selalu mencari kebenaran, walaupun kebenaran yang ada bersifat absolut. Cara
berfilsafat juga mengajarkan kita untuk jujur dalam berpengetahuan dan seberapa jauh kita
mendalami sebuah kebenaran dari sebuah ilmu.
Ilmu merupakan pengetahuan untuk mempelajari dasar-dasar kehidupan sampai
tingkat kompleks. Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan obor
peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih sempurna.
Bagaimana masalah dalam benak pemikiran manusia telah mendorong untuk berfikir,
bertanya, lalu mencari jawaban segala sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia adalah
makhluk pencari kebenaran.
Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung dalam mencari kebenaran. Ilmu
bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena semesta, kebenaran berada
disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu berada disepanjang pengalaman. Tujuan
befilsafat menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu
disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. (Bahrum, 2013). Filsafat dan ilmu
tidak dapat dipisahkan. Dengan berfilsafat kita akan memperoleh ilmu tanpa batas, dan ilmu
akan memperoleh kebenarannya dengan berfilsafat.
llmu dapat dipandang sebagai suatu kegiatan manusia yang melibatkan berbagai
komponen seperti: obejek yang ditelaah, metode yang dipakai untuk menelaah objek tersebut,
hasil telaah itu disusun secara sistematik, kebenarannya dapat dipertanggungiawabkan secara
umum (Rizal, 1997). Berdasarkan hal tersebut segala sesuatu yang dikaji bentuknya dalam
keadaan nyata, dan diketahui keberadaannya. Istilah lain dalam penggalian ilmu ini
merupakan cabang ilmU.
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah


1. Apa yang dimaksud dengan ontologi?
2. Apa yang dimaksud dengan metafisiska?
3. Apa yang dimaksud asumsi?
4. Apa yang dimaksud peluang?
5. Bagaiamana bentuk beberapa asumsi dalam ilmu?
6. Sampai sejauhmana batas-batas penjelajahan ilmu?

1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah
1. Memahami pengertian ontologi?
2. Memahami pengertian metafisika?
3. Memahami pengertian asumsi?
4. Memahami pengertian peluang?
5. Mengetahui bentuk beberapa asumsi dalam ilmu?
6. Mengetahui batas-batas penjelajahan ilmu?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ontologi


Ontologi berasal dari dua kata onto dan logi, artinya ilmu tentang ada. Ontologi
adalah teori tentang ada dan realitas. Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti
“berada (yang ada)” dan kata kata “logos” berarti”ilmu pengetahuan, ajaran dan teori”.
Menurut istilah, ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan
bagaimana keadaan yang sebenarnya. Ontologi adalah ilmu pengetahuan yang meneliti segala
sesuatu yang ada. Meninjau persoalan secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan
terhadap sifat dan realitas. Apa yang dapat kita alami dan amati secara langsung adalah fakta,
sehingga fakta ini disebut fakta empiris, meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji
oleh panca indra. Pembicaraan ontologi perlu pemisahan antara kenyataan dan penampakan.
dan pertanyaan penting di bidang ontologis adalah: “apakah yang merupakan hakikat
terdalam dari segenap kenyataan (Musa Asy’arie, 1997).
Ontologi merupakan bagian metafisika. Metafisika adalah bidang telaah filsafat yang
merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafat termasuk pemikiran ilmiah.
Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan
awan gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya. Dunia yang sepintas lalu
kelihatan sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafat tentang
hakikatnya. Ontologi membicarakan segala sesuatu yang dianggap ada, mempersoalkan
hakekat. Hakekat ini tidak dapat dijangkau oleh panca indera karena tak terbentuk, berupa,
berwaktu dan bertempat. Dengan mempelajari hakikat kita dapat memperoleh pengetahuan
dan dapat menjawab pertanyaan tentang apa hakekat ilmu itu.
Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris.
Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera
manusia. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya
mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka
ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, di mana obyek ilmu yang di luar
jangkauan manusia tidak termasuk dalam bidang telaahan ilmu karena tidak dapat dibuktikan
secara metodologis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni
berorientasi pada dunia empiris.. Pendidikan adalah suatu peristiwa kehidupan masyarakat,
yang didalamnya menyangkut aspek-aspek komunikasi, materi, teknologi, nilai, dan
perkembangan manusia itu sendiri. Kajian bidang pendidikan tidak hanya tertuju pada aspek
fisik manusia, tetapi juga yang menyangkut aspek rohani. Oleh karena itu, aspek ontologis
dari pendidikan menyangkut aspek tujuan pendidikan yang tidak terlepas dari masalah
antropologis (manusianya), tujuan hidupnya, perkembangannya, dan lingkungan
kehidupannya di masa sekarang dan yang akan datang. Objek penelaahan yang berada dalam
daerah pra pengalaman (seperti penciptaan manusia) atau pasca pengalaman (seperti hidup
sesudah mati) tidak menjadi pembahasan dalam ontologi. Berdasarkan objek yang ditelaah
dalam ilmu pengetahuan dua macam:
a. Obyek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau bahan
yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu/ jenis-jenis dan sifat-sifat ilmu
pengetahuan. Apa yang menjadi obyek materi filsafat? SK. Maitra dalam “Methods of
Comparative Philosophy” (Kwee Swan Liat; 1986) menguraikan ada 3 jenis obyek
materi filsafat yang disebut sebagai Satcidananda, yang memiliki tiga dimensi obyek,
yaitu Sat atau dimensi eksistensi atau keberadaan segala sesuatu, Cit yaitu dimensi
kesadaran atau pikiran tentang segala sesuatu, dan Ananda adalah dimensi kebahagiaan
atau nilai. Satcidananda berisi tiga aspek pokok kajian filsafat, yaitu (1) kajian tentang
kenyataan keberadaan segala sesuatu atau ontology, (2) kajian tentang kesadaran
terhadap segala sesuatu atau epistemology atau filsafat tentang pengetahuan dan logika
atau filsafat tentang penalaran, dan (3) kajian tentang nilai segala sesuatu atau berkaitan
dengan aksiologi atau filsafat tentang nilai, dan etika atau filsafat tentang baik dan jahat,
serta estetika yaitu filsafat tentang indah dan jelek.
b. Obyek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik pandang terhadap
obyek material. (Suriasumantri, 2007). Obyek formal filsafat adalah bentuk atau wujud
dari sesuatu yang diahadapi dan dipikirkan oleh filosof. Sedangkan isi sesuatu yang
menjadi hal atau tema yang dihadapi dan dipikirkan filosof, disebut obyek material
filsafat. Obyek formal filsafat adalah berbentuk pertanyaan yang menghendaki
pemecahan atau jawaban. Tetapi perlu dibedakan bahwa tidak setiap pertanyaan adalah
pertanyaan filosofis, dan hanya pertanyaan-pertanyaan tertentu saja yang dapat menjadi
obyek formal filsafat. Contoh pertanyaan filosofis yang membutuhkan jawaban kritis
sistematis, kontemplatis dan komprehensif, yaitu: Apa hakikat tujuan pendidikan bagi
manusia?
Persoalan tentang ontologi menjadi pembahasan yang utama dalam bidang filsafat,
yang membahas tentang realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada
sesuatu kebenaran. Realitas dalam ontologi ini melahirkan pernyataan-pertanyaan: apakah
sesungguhnya hakikat realitas yang ada ini?; apakah realitas yang tampak ini sesuatu realitas
materi saja?; adakah sesuatu di balik realita itu?; apakah realitas ini terdiri dari satu bentuk
unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau pluralisme? Dalam pendidikan, kegiatan
membimbing anak untuk memahami realita dunia dan membina kesadaran tentang kebenaran
yang berpangkal atas realita merupakan stimulus menyelami kebenaran tahap pertama.
Dengan demikian potensi berpikir kritis anak-anak untuk mengerti kebenaran telah dibina
sejak awal oleh guru di sekolah atau pun oleh orang tua di keluarga (Jalaluddin, 2007).
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekat ontologi dengan dua macam
sudut pandang:
a. Kuantitatif yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak.
b. Kualitatif yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar
yang berbau harum.
Permasalahan ontologis, berkaitan dengan masalah obyek dari kajian ilmu (termasuk
ilmu pendidikan). Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat
diuji oleh pancaindera manusia.
Bidang kajian yang begitu banyak tentunya membutuhkan kajian yang lebih detail
dengan pendekatan keilmuan yang lebih terorientasi pada obyek khusus, yang sifatnya
membantu menjelaskan, memprediksi dan mengontrol tindakan-tindakan keilmuan, yang
hasilnya dapat digeneralisasi dan menghasilkan teori tertentu tentang ilmu pendidikan. Kajian
ontologis pendidikan, akan mempunyai implikasi terhadap kajian tentang tujuan pendidikan,
sementara tujuan pendidikan memiliki berbagai implikasi terhadap masalah kehidupan, yang
berkenaan dengan aspek kehidupan di dunia maupun di akhirat nanti. Dengan demikian,
kajian ontologis pendidikan merupakan wilayah kajian filosofis yang tidak bisa dipisahkan
dari masalah realitas kehidupan di masyarakat.

2.2. Metafisika
Metafisikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa Yunani yakni meta
adalah setelah atau di balik, dan phusika adalah hal-hal di alam. Ilmu metafisika merupakan
turunan dari ilmu filsafat yang membahas dan menggali sebab dari sesuatu sehingga menjadi
sebuah sesuatu yang nyata. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di alam
semseta?
Menurut Suriasumantri bidang telaah filsafat yang disebut metafisika ini merupakan
tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafat termasuk pemikiran ilmiah. Jadi metafisika
berasal dari pemikiran manusia.
2.3. Beberapa Tafsiran Ontologi/Metafisika
Persoalan dalam keberadaan menurut Ali Mudhofir (2014) ada tiga pandangan, yang
masing-masing menimbulkan aliran yang berada. Tiga segi pandangan itu adalah sebagai
berikut.
2.2.1.Keberadaan Dipandang dari Segi Jumlah (Kuantitas)
Keberadaan dipandang dari segi jumlah (Kuantitas), artinya berapa banyak
kenyataan yang ada. Pandangan ini malahirkan beberapa aliran filasafat sebagai jawabannya,
yaitu sebagai berikut.
a. Monoistik
Tafisran metafisika paham monoistik ini digunakan manusia antara lain terhadap
alam. Gejala alam seperti hujan, angin, petir dan lain-lain bisa didekati dari segi proses
kimia-fisika. Paham monoistik mempunyai pendapat bahwa antar pikiran dan zat tidak dapat
dibedakan. Keduanya hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun
mempunyai substansi yang sama. Sebagai contoh, perbedaan antara robot dan manusia.
Paham monoistik menyatakan letak perbedaan robot dan manusia hanya terletak pada
komponen dan struktur yang membangunnya dan sama sekali bukan terletak pada komponen
dan struktur yang membangunnya dan sama sekali bukan terletak pada substansinya yang
pada hakikatnya berbeda secara nyata. Kalau komponen dan struktur robot sudah dapat
menyamai manusia, maka robot itupun bisa jadi manusia.
Aliran yang menyataknan bahwa hanya satu kenyataan yang fundamental.
Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau subtansi lainnya yang tidak dapat
diketahui. Tokohnya antara lain: Thales (625-545 SM) yang berpendapat bahwa kenyataan
yang terdalam adalah sebuah subtansi, yaitu air. Aniximander (610-547 SM) berkeyakinan
bahwa yang merupakan kenyataan terdalam adalah Aperion, yaitu sesuatu yang tanpa batas,
tidak dapt ditentukan dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam
dunia. Anaximenes (585-528 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan unsur kenyataan
yang sedalam-dalamnya adlah udara. Filuf modern yang ternasuk monisme adalah B.Spinoza,
berpendapat bahwa hanya ada satu subtansi, yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan dididentikkan
dengan alam (naturans naturata).
b. Dualiasme (Serba Dua)
Paham dualistik mengkaji tentang sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif.
Paham dualistik mempunyai penafsiran bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran) tidak dapat
dibedakan secara substantif. Filsuf yang menganut paham dualistik adalah Rene Descartes
(1596-1650), John Locke (1632-1714) dan George Berkeley (1685-1753) berpendapat bahwa
apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia,
adalah bersifat mental. Bagi Descartes maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan
berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada. Pada dasarnya tiap ilmuwan boleh mempunyai
filsafat individual yang berbeda. Titik pertemuan kaum ilmuwan adalah sifat pragmatis dari
ilmu.
Aliran yang menganggap adanya dua subtansi yang masing-masing berdiri sendiri.
Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini adalah Plato (428-348 SM), yang membadakan dua
dunia, yaitu dunia indra (bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio
manusia). Rene Descrates (1596-1650 M) yang membedakan subtansi pikiran dan subtabsi
keluasan. Leibniz (1646-1716 M) yang membadakan antara dunia dunia yang sesungguhnya
dan dunia yang mungkin. Imanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala
(fenomena) dan dunia hakiki (naumena).
c. Pluralisme (Serba Banyak)
Aliran yang tidak mengakui adanya satu subtansi atau dua subtansi melainkan
banyak subtansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme diantaranya Empedokles (490-430
SM) yang mrnyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas 4 unsur, yaitu udara, api, air, dan
tanah. Anaxagoras (500-428 SM) yang menyatakan bahwa hakikat hakikat kenyataan terdiri
atas unsur-unsur yang tidak terhitungg banyaknya, sebanyak sejumlah sifat benda dan
semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous. Dikataknnya bahwa nous adalah
suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.
2.2.2. Keberadaan Dipandang dari Segi Sifat (Kualitas)
Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualis) menimbulkan beberapa aliran sebagai
barikut.
a. Spiritualisme/Supernaturalisme
Tafsiran yang paling pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah
bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) dan wujud-wujud ini bersifat
lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan
kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana manusia percaya
bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat dalam benda-benda seperti batu,
pohon dan air terjun. Animisme ini merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam
sejarah perkembangan kebudayaan manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat di
bumi.
Spiritualisme mengandung beberapa arti, yaitu:
1. Ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh (Pneuma, Nous,
Reason, Logos), yakni roh yang mendasari dan mengisi seluruh alam. Spirituliasme
dalam arti ini dilawankan dengan materialisme.
2. Kadang-kadang dikenakan pada pandangan idealistis yang menyatakan adanya roh
mutlak. Dunia indra dalam pengertian ini sebagai dunia ide.
3. Dipakai dalm istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari roh suci
dalam bidang agama.
4. Kepercayaan bahwa roh orang mati berkomunikasi dengan roh orang yang masih hidup
melalui perantara atau orang tertenntu dan melalui bentuk wujud yang lain. Istilah
spiritualisme lebih tepat dikenakan bagi kepercayaan semacam ini. Aliran spiritualisme
juga disebut idealisme (serba cita). Tokoh aliran ini diantaranya Palto dengan ajarannya
tentang idea(cita) dan jiwa. Idea atau cita adalah gambaran asli segala benda. halSemua
yang ada dalam dunia hanyalah penjelmaan atau bayangan saja.

b. Materialisme
Materialisme merupakan paham berdasarkan naturalisme yang merupakan lawan dari
supernaturalisme yang menyatakan terdapat wujud-wujud bersifat gaib. Materialisme
berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat
gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari
dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Prinsip-prinsip materialisme dikembangkan oleh Democritus (460-370 SM).
Democritus mengembangkan teori tentang atom yang menjadi unsur dasar dari alam. Hanya
berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna
itu warna. Dalam kenyataannnya hanya terdapat atom dan kehampaan. Artinya, objek dari
penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan
itulah yang bersifat nyata. Manis, panas, dingin atau warna adalah terminologi yang kita
berikan kepada gejala yang kita tangkap lewat pancaindera. Rancangan panca indera ini
disalurkan ke otak kita dan menghadirkan gejala tersebut.
Materialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang
nyata kecuali materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan materi yang dapat
dikembalikan pada unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu yang kelihatan, dapat diraba,
berbentuk, dan menempati ruang. Hal-hal yang bersifat keharmonian seperti pikiran, jiwa,
keyakinan rasa sedih, dan rasa senang tidak lain hanyalah pengungkapan proses kebendaan.
Tokoh aliran ini antara lain Demokritos (460-370 SM), Berkeyakinan bahwa alam
semesta tersusun atas atom-atom kedil yang memiliki bentuk dan badan. Atom ini
mempunyai sifat yang sama, perbedaannya hanya hanya besar, bentuk, dan letaknya. Thomas
ahobbes (1588-1679) berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia merupakan
gerak dari materi. Termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka karena segala
sesuatu yang terjadi dari benda-benda kecil. Bagi Thomas Hobbes, filsafat sama dengan ilmu
yang mempelajari benda-benda.

2.2.3. Keberadaan Dipandang dari Segi Proses, Kejadian, atau Perubahan


Aliran yang berusaha menjawab persoaaln ini adalah sebagai berikut.
a. Mekanistik
Menyatakan bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan asas-asas
mekanik(mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari materi yang bergerak dan dapat dijelaskan
menurut kaidahnya. Aliran ini jua menerangkan semua peritiwa berdasar pada sebab kerja
(efficient cause), yang dilawankan sebab tujuan (final cause). Alam dianggap sebuah mesin
yang keseluruha fungsinya ditentukan secara otomatis oleh bagian-bagiannya.
Pandangan yang bercorak mekanistik dalam kosmologi pertama kali diajukan oleh Leucippus
dan Demokritus yang berpendirian bahwa alam dapat diterangkan berdasarkan pada atom-
atom yang bergerak dalm ruang kosong. Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei (1564-
1641) dan filsuf lainnya dalam abad ke-17 sebagai filsafat mekanistik.
b. Teleologi (Serba- Tujuan)
Berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab
akibat, akan tetapi sejak semula memang ada suatu kemauan atau kekuatan yang
mengarahkan alam kesuatu tujuan. Plato membedakan antaa idea dan materi. Tujuan berlaku
di dalm ide, sedangkan kaidah sebab-akibat berlaku dalm materi.
Menurut Aristoteles, untuk melihat kenyataan yang sesungguhnya kita harus
memahami empat sebab, yaitu sebab bahan (materia cause), sebab bentuk (formal cause),
sebab kerja (efficient cause), dan sebab tujuan (final cause). Sebab bahan adalah bahan yang
menjadikan sesuatu itu ada; sebab bentuk adalah yang menjadikan sesuatu itu berbentuk;
sebab kerja adalah yang menyebabkan bentuk itu bekerja atas bahan; sebab tujuan adalah
yang menyebabkan tujuan semat-mata karena perubahan tempat atau gerak. Dibidang ini
semata-mata berkuasa yang kaidah sebab akibat yang pasti. Sebaliknya, segala kejadian
tujuannya adalah menimbulkan sesuatu bentuk atau sesuatu tenaga. Namun, di katakan juga
bahwa kegiatan alam maengandung suatu tujuan. Sehubungan dengan masalah ini kaidah
sebab akibat hanyalah alat bagi alam untuk mencapai tujuannya.
c. Vitalisme
Memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya secara fisika-kimiawi, karena
Hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf vitalisme seperti Henry Bergson (1859-
1941) menyebutkan elan vital. Dikatakannya bahwa ela vital merupakan sumber dari sebab
kerja dan perkembangan dalam alam. Asas hidup ini mamimpin dan mengatur gejala hidup
dan menyesuiakannya dengan tujuan hidup. Oleh karena itu, vitalisme sering juga dinamakan
finalisme. Organisme, aliran ini biasanya dilawankan dengan mekanisme dan vitalisme.
Menurut organisisme, hidup adalah suatu sturktur yang dinamis, suatu kebetulan yang yang
memiliki bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya sistem yang teratur.

2.2 Asumsi

Kamus Besar Bahasa Indonesia, asumsi berarti dugaan yang diterima sebagai dasar,
atau landasan berpikir karena dianggap benar. Menurut Prof. Ir. Podjawijatna menjelaskan
bahwa pengetahuan adalah hasil dari sebuah putusan. Sehingga untuk memperoleh
pengetahuan, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai objek-objek empiris. Asumsi ini
diperlukan sebagai arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita. Sebuah pengetahuan
baru dianggap benar, selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya
(Suriasumantri, 2007).
Asumsi, yaitu suatu gagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat atau pernyataan yang
sudah dianggap benar, yang dijadikan titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan suatu
studi) dan/atau dalam rangka bertindak (melakukan suatu praktek).
Pengkajian lebih mendalam tentang hakekat obyek empiris, maka ilmu membuat
beberapa asumsi (andaian) mengenai objek itu. Asumsi yang sudah dianggap benar dan tidak
diragukan lagi adalah asumsi yang merupakan dasar dan titik tolak segala pandang kegiatan.
Asumsi itu perlu sebab pernyataan asumtif itulah yang memberikan arah dan landasan bagi
kegiatan penelaahan. Ada beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu,
yaitu: Pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu
dengan yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Kedua,
menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu.
Ketiga, determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan. Asumsi yang dibuat oleh ilmu bertujuan agar mendapatkan pengetahuan
yang bersifat analitis dan mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk
dalam pengalaman manusia.
Asumsi itupun dapat dikembangkan jika pengalaman manusia dianalisis dengan
berbagai disiplin keilmuan dengan memperhatikan beberapa hal; Pertama, asumsi harus
relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional
dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis. Kedua, asumsi harus disimpulkan dari
“keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”.
Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi
kedua adalah asumsi yang mendasari moral. Oleh karena itu seorang ilmuan harus benar-
benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda maka berbeda pula konsep pemikiran yang
dipergunakan. Suatu pengkajian ilmiah hendaklah dilandasi dengan asumsi yang tegas, yaitu
tersurat karena yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat
kesamaan pendapat.
Pertanyaaan mendasar yang muncul dalam tataran ontologi adalah untuk apa
penggunaan pengetahuan itu? Artinya untuk apa orang mempunyai ilmu apabila
kecerdasannya digunakan untuk menghancurkan orang lain, misalnya seorang ahli ekonomi
yang memakmurkan saudaranya tetapi menyengsarakan orang lain, seorang ilmuan politik
yang memiliki strategi perebutan kekuasaan secara licik.
2.3 Pengertian Peluang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peluang berarti ruang gerak, baik yang
kongkret maupun abstrak, yang memberikan kemungkinan bagi suatu kegiatan untuk
memanfaatkannya dalam usaha mencapai tujuan, kesempatan.
Menurut Murwani (2011), peluang merupakan perbandingan antara banyaknya
kejadian yang muncul (observed) dengan banyaknya seluruh kejadian yang mungkin muncul
(expected). Sehingga dalam proses pencarian ilmu, peluang merupakan kemungkinan-
kemungkinan yang ada dalam pencarian atau perumusan suatu pengetahuan yang pasti
(kepastian).
Peluang dalam ilmu menyatakan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah
berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar bagi seseorang untuk mengambil kesimpulan, dimana keputusan
tersebut harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Oleh
karena itu, pada pengambilan keputusan terletak pada seseorang tersebut bukan pada teori-
teori keilmuan. Pengetahuan harus diletakkan pada permasalahan hidup dan yang mempunyai
perspektif dan bobot berbeda-beda. Peluang berdampingan dengan resiko.
Seseorang yang mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih mempercayai
pernyataan “80% anda akan sembuh jika meminum obat ini” daripada pernyataan “Yakinlah
bahwa akan pasti sembuh setelah meminum obat ini”. Hal ini menyadarkan kepada kita suatu
jawaban yang berupa peluang. Yang di dalamnya terdapat nilai benar dan juga mengandung
kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun bergantung pada persentase
kebenaran yang dikandung ilmu tersebut.
Dalam proses pembuktian ilmu, peluang merupakan kemungkinan-kemungkinan yang
mendasari terbentuknya sebuah hipotesa. Hipotesa muncul dari adanya problema atau
pertanyaan-pertanyaan ilmiah. Hipotesa ilmiah mengutarakan peluang-peluang yang mungkin
menjadi jawaban sementara dari problema yang dihadapi. Akan tetapi, kebenaran dari sebuah
hipotesa harus dibuktikan dengan adanya fenomena atau kejadian nyata.
2.4 Beberapa Asumsi dalam Ilmu
Menurut Troy Wilson Organ, “asumsi dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu:
aksioma, postulat, dan premis tersembunyi” (Mudyahardjo, 2004).
2.4.1. Aksioma adalah asumsi yang diterima kebenarannya tanpa perlu pembuktian, atau
suatu pernyataan yang kebenarannya diterima secara universal. Contoh: “dalam hidupnya
manusia tumbuh dan berkembang”. Terhadap pernyataan ini tidak akan ada orang yang
menyangkal kebenarannya, sebab kebenarannya dapat diterima secara universal tanpa perlu
dibuktikan lagi.
2.4.2. Postulat yaitu asumsi yang diterima kelompok orang tertentu atas dasar persetujuan.
Contoh: “Perkembangan individu ditentukan oleh faktor hereditas maupun oleh faktor
pengaruh lingkungannya (pengalaman)”. Asumsi ini disetujui/diterima benar oleh kelompok
orang tertentu, tetapi tentu saja ditolak oleh kelompok orang lainnya yang menyetujui asumsi
bahwa perkembangan individu sepenuhnya ditentukan oleh faktor hereditas saja, atau oleh
faktor pengaruh lingkungan saja.
2.4.3. Premis Tersembunyi yaitu asumsi yang tidak dinyatakan secara tersurat yang
diharapkan dipahami atau diterima secara umum. Premis tersembunyi biasanya merupakan
premis mayor dan premis minor dalam silogisme yang tidak dinyatakan secara tersurat,
dalam hal ini pembaca atau pendengar diharapkan melengkapinya. Contoh: Armin perlu
dididik (dinyatakan). Dalam pernyataan ini terdapat premis tersembunyi yang tidak
dinyatakan, yaitu semua manusia perlu dididik (premis mayor), dan Armin adalah manusia
(premis minor). maka kesimpulanya seperti pernyataan di atas adalah Armin perlu dididik.
Asumsi digunakan secara tepat, maka untuk meyakinkan hal tersebut perlu adanya
tinjauan awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Suriasumantri, 2007):
a. Deterministik
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari
doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal.
b. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terkait pada
hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada
bidang ilmu sosial. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung
ruang dan waktu.
c. Probabilistik
Pada sifat probabilistik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun
sifatnya berupa peluang. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk
memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan
modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak digunakan.
Asumsi-asumsi dalam ilmu dapat dan perlu dibatasi atau dikotak-kotakkan menjadi
kian sempit ketika ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu
menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang terjadi dalam pengalaman manusia. Suatu
permasalahan kehidupan manusia sama seperti membangun pemukiman ibukota. Hal ini
didasarkan karena proses analisisnya tidak bisa dilakukan secara cermat dan saksama hanya
oleh satu disiplin keilmuan saja. Masalah yang rumit yang dihadapi manusia, harus dilihat
sepotong-sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai disiplin keilmuan dengan
asumsi-asumsinya masing-masing tentang manusia, mencoba mendekati permasalahan
Ibukota dari berbagai segi: psikologis, sosiologis, tatakota, kesehatan umum, transportasi,
pendidikan perpustakaan, hiburan dan pertamanan. Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam
bidang pengkajiannya masing-masing dan berfederasi dalam suatu pendekatan multidisipliner
(Bukan fusi atau penggabungan asumsi yang acau balau).
Pengembangan asumsi harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi ini harus
relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional
dan merupakan dasar dari pengakajian teoritis. Asumsi bahwa manusia dalam administrasi
adalah manusia administrasi kedengarannya memang filsafat namun tidak mempunyai arti
apa-apa dalam penyusunan teori-teori administrasi. Asumsi manusia dalam administrasi yang
bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau
makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai
model, strategi dan praktek administrasi, dalam pengkajian administrasi, akan menyebabkan
kita berhenti di situ. Sperti sebuah lingkaran, setelah berputar-putar, kita kembali ke tempat
semula , jadi kesitu juga ujung-ujungnya.
Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya bukan
bagaimana keadaan seharusnya. Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah
ilmiah sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral. Misalnya dalam
kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia yang mencari keuntungan
sebesar-besarnya dengan kerugian sekebil-kecilnya. Maka itu sajalah yang kita jadikan
sebagai pegangan tak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya begitu.
Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau
strategi, serta penjabaran peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua
itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang
berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori
keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana
adanya.
Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam
analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda
pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan
tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang
menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang
sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian iliah yang lugas lebih
baik dipergunakan asumsi yang tegas (tersurat). Sesutau yang belum tersurat (terucap)
dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini
jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya kemudian ternyata bahwa asumsinya adalah
cocok maka tinggal memberikan konfirmasi, sedangkan jika ternyata mempunya asumsi yang
berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.
2.5 Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Pada penjelajahan ilmu, terdapat beberapa pertanyaan tentang
pencarian/penjelajahannya. Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di
manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain?
Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari
pengetahuan-pengetahuan yang lainnya? Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah sangat
sederhana yaitu ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di
batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka?
Jawabannya adalah tidak, sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman
manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab-musabab kejadian terciptanya manusia?
Jawabannya adalah tidak, sebab kejadian itu diluar jangkauan pengalaman manusia. Baik hal-
hal yang terjadi sebelum hidup, maupun apa-apa yang terjadi sesudah kematian, semua itu di
luar penjelajahan ilmu.
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas
pengalaman manusia. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak
pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan
lingkup batas penelaah keilmuan yang bersifat empiris ini, konsisten dengan asas
epistimologi keilmuan mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
BAB III

KESIMPULAN

1. Filsafat bercerita tentang untuk mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan yang didapatkan


berdasar dari pengalaman pribadi, orang lain maupun yang lain. Filsafat mengajarkan
seseorang untuk mengetahui apa yang diketahui dan mengetahui apa yang tidak
diketahui untuk memperoleh kebenaran.
2. Ontologi berasal dari dua kata onto dan logi, artinya ilmu tentang ada. Ontologi adalah
teori tentang ada dan realitas. Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti
“berada (yang ada)” dan kata kata “logos” berarti”ilmu pengetahuan, ajaran dan teori”.
Menurut istilah, ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan
bagaimana keadaan yang sebenarnya. Ontologi adalah ilmu pengetahuan yang meneliti
segala sesuatu yang ada.
3. Berdasarkan objek yang ditelaah dalam ilmu pengetahuan dua macam: objek material
dan objek formal.
4. Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekat ontologi dengan dua macam sudut
pandang: kuantitatif dan kualitatif.
5. Metafisikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa Yunani yakni meta adalah
setelah atau di balik, dan phusika adalah hal-hal di alam. Ilmu metafisika merupakan
turunan dari ilmu filsafat yang membahas dan menggali sebab dari sesuatu sehingga
menjadi sebuah sesuatu yang nyata.
6. Tiga segi pandangan/tafsiran ontologi itu adalah sebagai berikut: keberadaan dipandang
dari Segi Jumlah (Kuantitas): monoistik, dualisme, pluralisme; keberadaan dipandang
dari Segi Sifat (Kualitas): supernaturalisme/spiritualisme, materialisme; keberadaan
dipandang dari Segi Proses, Kejadian, atau Perubahan: mekanistik, teologi, vitalistik.
7. Asumsi, yaitu suatu gagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat atau pernyataan yang sudah
dianggap benar, yang dijadikan titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan suatu studi)
dan/atau dalam rangka bertindak (melakukan suatu praktek).
8. Peluang merupakan perbandingan antara banyaknya kejadian yang muncul (observed)
dengan banyaknya seluruh kejadian yang mungkin muncul (expected). Sehingga dalam
proses pencarian ilmu, peluang merupakan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam
pencarian atau perumusan suatu pengetahuan yang pasti (kepastian).
9. Beberapa asumsi dalam ilmu: aksioma, postulat,premis tersembunyi
10. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas
pengalaman manusia.
DAFTAR RUJUKAN

Ali Mudhofir, 2014. Kamus Filsafat Nilai. Jakarta: Komunitas Bambu

Jalaluddin dan Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.

Kwee Swan Liat, 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan.

Murwani, R Santosa, 2011. Peluang dan Tantangan. Jakarta: Uhamka Press.

Musa Asy’arie, 1997. Filsafat Islam tentang Kebudayaan. Yogyakarta: LESFI Institut.

Redja, Muhardjo, 2001. Filsafat Ilmu Pengantar: Suatu Pengantar: Aceh: Remaja
Rosdakarya.

Suriasumantri, Jujun, 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai