PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan obor
peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih
sempurna. Bagaimana masalah dalam benak pemikiran manusia telah mendorong
untuk berfikir, bertanya, lalu mencari jawaban segala sesuatu yang ada, dan
akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran.. Meskipun terlihat banyak
dan beraneka ragam buah pemikiran manusia, namun pada hakikatnya upaya
manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok
yakni, Apakah yang ingin kita ketahui? (Ontologi) Bagaimanakah cara kita
memperoleh pengetahuan? (Epistemologi) dan apakah nilai pengetahuan tersebut
bagi kita? (Aksiologi) (Adib, 2011 :45).
Setiap pengetahuan yang dimiliki manusia selalu dipertanyakan dan
dikritisi oleh diri sendiri maupun orang lain. Bahwa pengetahuan yang
dimilikinya adalah pengetahuan tentang “apa” atau apanya yang perlu diketahui
1
maka jawabannya ada pada ontologi pengetahuan itu sendiri. Begitupula dengan
pertanyaan bagaimana cara menemukannya atau metode apa yang akan kita
gunakan dalam menemukan dan memperoleh pengetahuan itu adalah kajian
epistemologi. Selanjutnya pertanyaan apa kegunaan pengetahuan itu bagimanusia,
dan makhluk lainnya, termasuk lingkungan dimana manusia berada, disebut
kajian aksiologi.
Ketiga dimensi utama filsafat ilmu pengetahuan diatas yaitu ontologi
merupakan asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang menjadi objek
penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek penelaahan
tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi
pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Sedangkan
aksiologi merupakan bentuk asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah
diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut, yang mana ketiganya
(ontologi, epistemologi, dan aksiologi) merupakan tiang penyangga bagi tubuh
pengetahuan yang disusunnya (Surajiyo, 2010:146). Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi sebagai unsur yang sangat penting dalam filsafat ilmu yang dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.
PEMBAHASAN
A. Ontologi Pendidikan
Pengertian Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ontos” yang memiliki berada
(yang ada). Ontologi merupakan bagian dari filsafat yang paling umum, istilah
ontologi sering kali diidentifikasikan dengan metafisika atau proto-filsafat atau
biasa disebuat dengan filsafat pertama. Metafisika membicarakan semua yang
dianggap ada, dan mempersoalkan hakekat, dan hakekat ini tidak dapat dijangkau
dengan panca indra karena tak berbentuk, berwaktu, dan bertempat (Bahrum,
2013: 37). Persoalan yang bersangkutan dengan ontology menjadi pembahasan
pertama pada filsafat, yang membahas tentang realitas, realitas merupakan
kenyataan yang kemudian menjurus pada sesuatu yang dianggap benar (Suminar:
4).
Aspek realitas yang dijangkau oleh teori pendidikan melalui pengalaman
pancaindra adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek filsafat
2
pendidikan adalah manusia sepenuhnya. Dalam dunia pendidikan, tenaga
pembimbing dalam hal ini guru atau dosen membimbing muridnya untuk
memahami realita yang ada di dunia dan membina tentang kesadaran kebenaran
yang berpangkal atas realita. Dalam artian lain seorang murid akan mengerti dan
memahami tentang mana yang benar dan mana yang tidak benar.
B. Epistemologi Pendidikan
Pengertian Epistomologi
Epistemologi berasal dari kata episteme dan logos yang berarti perkataan,
pikiran, pengetahuan dan pengetahuan sistematik. Kata “epistemologi” sendiri
berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan)
dan logos (ilmu, uraian atau ulasan) (Aziz, 2006) dalam (Syaifudin, 2013:329).
Maka dari itu epistemologi merupakan ilmu, percakapan tentang pengetahuan atau
ilmu pengetahuan. Kata episteme dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja
epistamai yang berarti menundukan, menempatkan atau meletakan. Maka secara
harafiah, episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk
menempatkan sesuatu pada kedudukan setepatnya. Disamping episteme untuk arti
pengetahuan dalam bahasa Yunani juga dipakai kata gnosis sehingga epistemologi
dalam sejarah pernah disebut gnoseologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat
telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epitemoologi
kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge erkentnis theorie)
(Idri, 2015: 2)
Dengan kata lain, kajian tentang epistemologi sangat erat kaitannya
dengan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, mengolah, menganalisis
dan membentuk suatu teori, postulat dan paradigma tertentu. Epistemologi
merupakan istilah teknis yang sering digunakan dalam kajian kefilsafatan.
Sebagaimana disinyalir R. Harre, epistemologi menempati salah satu cabang
kajian disamping logika, metafisika dan etika. Menurut Azyumardi Azra
menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang
keaslian, pengertian, struktur, metode-metode dan validitas ilmu pengetahuan
(Syaifudin, 2013:329).
4
Menurut para Ahli.
Epistemologi menurut para ahli yaitu :
1. Abdul Munir Mulkan, segala macam bentuk aktivitas dan pemikiran
manusia yang selalu mempertanyakan dari mana asal muasal ilmu
pengetahuan itu diperoleh.
2. Mujamil Qomar, bagian ilmu filsafat yang secara khusus mempelajari dan
menentukan arah dan kodrat pengetahuan
3. Anton Bakker, cabang filsafat yang berurusan mengenai ruang lingkup
serta hakikat pengetahuan.
4. Achmad Charris Zubair, suatu ilmu yang secara khusus mempelajari dan
mempersoalkan secara dalam mengenai apa itu pengetahuan, dari mana
pengetahuan itu diperoleh serta bagaimana cara memperolehnya.
5. Jujun S. Suria Sumantri, arah berfikir manusia dalam menemukan dan
memperoleh suatu ilmu pengetahuan degan menggunakan kemampuan
rasio (Suriasumantri,1990:105)
5
Epistemologi sering dikaitkan dengan metode dan cara-cara mendapatkan
pengetahuan. Menurut Gulo, metode untuk memperoleh pengetahuan, yaitu:
Pertama, metode keteguhan (tenacity) yaitu keyakinan akan kebenaran sesuatu.
Bahwa manusia adalah ciptaan Allah, bukan keturunan monyet merupakan
keyakinan yang diperoleh dari agama. Kedua, metode otoritas, yaitu cara
mengetahui kebenaran melalui sumber yang mempunyai otoritas. Bahwa manusia
pertama adalah Adam yang diciptakan oleh Allah dari tanah merupakan
kebenaran karena sumbernya yaitu Al-Quran (Idri, 2015:11). Ketiga, metode a
priori atau instuisi. Keempat, metode tradisi yaitu kebenaran yang diterima
berasal dari tradisi yang berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat. Kelima,
metode trial and error, kebenaran yang diperoleh dengan serangkaian percobaan
yang tidak sistematis dengan cara dicoba salah, dicoba lagi salah dan seterusnya
hingga ditemukan yang benar. Keenam, metode metafisika yaitu kebenaran yang
diperoleh melalui dunia trasenden misalnya pengetahuan dari ajaran agama,
kepercayaan, atau mistik. Ketujuh, metode ilmiah yaitu kebenaran yang diperoleh
melalui proses deduksi dan induksi terhadap fenomena alam empirik.
Jenis-jenis epistemology
Berdasarkan cara kerja dan metode pendekatan, epistemologi dapat dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu epistemologi metafisis, epistemologi skeptis, dan
epistemologi kritis. Epistemologi metafisis merupakan epistemologi yang
mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengandaian metafisika
tertentu (Idri, 2015: 15). Epistemologi ketegori ini berangkat dari suatu paham
tertentu tentang kenyataan kemudian membahas tentang bagaimana manusia
mengetahui kenyataan itu. Kenyataan realitas yang disebut juga “yang ada”,
apakah yang ada tersebut berupa materi atau ide-ide. Dikaji melalui epistemologi
metafisis disertai dengan metode-metode yang digunakan untuk mengetahuinya.
Epistemologi skeptis berdasar pada proporsi pembuktian terlebih dahulu
apa yang dapat diketahui sebagai sessuatu yang benar-benar rill dan tak
diragukan. Kebenaran sesuatu harus dibuktikan terlebih dahulu sehingga dapat
diterima. Jika tidak, maka kebenaran itu diragukan. Kesulitan yang dihadapi
dengan pendekatan epistemologi jenis ini terletak pada kondisi ketika seseorang
sudah masuk dalam sarang skeptisisme dan konsisten dengan sikapnya, tak
6
gampang menemukan jalan keluar. Sikap skeptis dalam menghadapi persoalan
keilmuan dengan meragukannya atau mengandaikan bahwa ada pengetahuan dan
bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu tetapi pengetahuan itu dapat saja benar
dan mungkin juga salah (Idri, 2015: 16).
Epistemologi kritis tidak memprioritaskan metafisika atau epistemologi
tertentu, tetapi berangat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran asal
sehat atau asumsi asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah
sebagaimana ditemukan dalam kehidupan kemudian ditanggapi secara kritis (Idri,
2015: 17). Keyakinan dan pendapat-pendapat yang ada dijadikan data
penyelidikan atau bahan refleksi kritis untuk diuji kebenarannya berdasar nalar
sehat. Sikap kritis diperlukan untuk berani mempertanyakan apa yang selama ini
sudah diterima begitu saja tanpa dinalar atau tanpa dipertanggungjawabkan secara
rasional dan kemudian mencoba menemukan alasan yang masuk akal untuk
menerima atau menolaknya. Epistemologi kritis melebihi dua epistemologi
sebelumnya karena didasarkan pada asumsi, prosedur, dan kesimpulan pemikiran
akal sehat atau asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah.
8
tetapi mendidik seluruh makhluk. Dalam hal ini juga Robert L. Gullick dalam
Toto, Nabi Muhammad dipandang sebagai seorang pendidik yang luar biasa
(Mahfud, 2018: 91).
Sementara itu, selain sumber normatif dalam bahasan ini juga harus
melihat sumber historisnya yang terdiri dari (a) Hasil-hasil kajian ilmiah
mengenal watak manusia, mulai dari pertumbuhan secara psikologis, sosiologis,
tetapi senantiasa serasi dan akidah dan nilai dalam Islam. (b) Hasil-hasil kajian
ilmiah dalam bidang pendidikan mengenai proses belajar manusia, namun juga
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. (c) Pengalaman tentang keberhasilan
kaum muslim di dalam mengembangkan pendidikan, segala bentuk dukungan
pemerintah akan membawa dampak terhadap perkembangan pendidikan Islam
yang dirumuskan. (d) Nilai-nilai dan tradisi sosial budaya masyarakat Muslim
yang tidak menghambat kemajuan dan perubahan (Mahfud, 2018: 91). Dari
sumber historis ini kemudian harus dilihat sebagai suatu keselarasan dengan
semangat ajaran Islam
C. Aksiologi Pendidikan
Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi: nilai kegunaan ilmu,
penyelidikan tentang prinsip-prinsip nilai. Secara etimologis, istilah aksiologi
berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan
kata “logos” yang berarti teori. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari nilai (Sadulloh, 2007: 36). Nilai yang dimaksudkan adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
akan dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu kepada
permasalahan etika dan estetika. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Jadi
Aksiologi adalah suatu kajian yang mempelajari nilai dan teori untuk mencari
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh
9
Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai yang termasuk
nilai paling tinggi yaitu nilai dari Tuhan contohnya nilai moral, nilai agama, nilai
keindahan (estetika). Aksiologi tidak bisa diartikan secara sempit dikarenakan
objek kajiannya memang sangat luas. Aksiologi juga mengandung pengertian
yang lebih luas daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan
yang bertaraf tinggi).
Aksiologi memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan berikut. Untuk
apa pengetahuan yang berupa ilmu dipergunakan? Bagaimana kaitan cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek
yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan teknik
prosedural yang nerupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral atau profesional.
Filsafat ilmu meneliti dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal berikut:
1. Pandangan manusia terhadap kenyaatan
2. Pemahaman berbagai dinamika alam
3. Saling keterkaitan antara logika dan matematika pada satu sisi dengan sisi
lain.
4. Berbagai sumber pengetahuan dan pertangggungjawabannya
5. Berbagai keadaan dari keberadaan-keberaadan teoritis.
Dilihat dari jenisnya, paling tidak terdapat bagian umum dari
aksiologidalam membangun filsafat ilmu ini, yaitu etika dan estetika.
a. Etika
Conny R. Semiawan (2005:158) menjelaskan tentang etika itu
sebagai: “the study of the nature of the morality and judgement” artinya
kajian tentang hakikat moral dan keputusan atau yang biasa disebut
kegiatan menilai. Selanjutnya semiawan menjelaskan bahwa etika
merupakan dasar atau standar perilaku manusia, yang kadang-kadang
disebut dengan “moral”. Bahwa tidak ada kejadian yang bisa diterangkan
secara pasti dengan zero tolerance atau nihilnya toleransi. Ada beberapa
spesifikasi tentang toleransi yang dapat dicapai. Di alam ilmu yang
berkembang langkah demi langkah selalu mengedepankan toleransi . ilmu
berlaku disemua kajian keilmuan baik ilmu eksakta ataupun bahasa, sosial,
10
religi, ataupun politik, bahkan dalam setiap perubahan pemikiran ataupun
dogma. Semua perubahan ilmu didasari dan dilandasi oleh toleransi. Hal
ini demikian karena hasil dari penelitian tidak sama dengan sifat objektif
penelitian atau hasil penelitian pengetahuan ilmiah yang lain.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama etika
merupakan bentuk suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu predikat
yang dipakaiuntuk objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan
manusia, dan mempelajari baik buruknya manusia.
b. Estetika
Menurut (Semiawan, 2005: 159) estetika adalah hakikat keindahan
didalam seni. Setetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang
hakikat indah dan buruk. Estetika membantu khalayak luas untuk
memahami, mengarahkan dalam persepsi baik dari suatu pengetahuan
ilmiah. Dalam estetika sendiri mempunyai beberapa yaitu diantaranya:
- Universal
Universal berarti berlaku umum. Salah satu tuntutan yang harus
dioenuhi oleh ilmu atau pengetahuan ilmiah adalah harus berlaku
umum. Lintas ruang dan waktu, paling sedikit di bumi ini. Ini juga
bertemu hukum-hukum fisika yang betrlaku di Indonesia maupun di
Amerika Serikat, baik sekarang maupun ratusan tahun yang lalu,
dengan beberapa catatan, misalnya kondisi-kondisi yang relevan di
tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dibandingkan sama. Ternyata
sifat universal memiliki keterbatasan. Keterbatasan sifatnyta lebih
nyata pada ilmu-ilmu sosial, misalnya sejarah, antropologi budaya,
ilmu hukum dan ilmu pendidikan. Tampaknya keterbatasan ini tidak
dapat dipisahkan dari hakikat ilmu ilmu sosial sebagai ilmu mengenai
manusia yang sebagai pelaku utama.
Keterbatasan sifat universal berkaitan erat dengan karakter
universalnya. Ada perbedaan antara karakter universal ilmu-ilmu sosial
dan ilmu eksakta. Misalnya antara ilmu sejarah dan mekanika.
Fenomena ilmu sejarah berkaitan dengan ruang dan waktu sementara
11
mekanika boleh dikatakan boleh dikatakan terbebas dari ruang dan
waktu. Karena itu karakter universal sejarah berbeda dengan universal
mekanika.
- Dapat dikomunikasikan
Disebut dapat dikomunikasikan apabila bahasa tidak merupakan
kendala, pengetahuan ilmiah bukan saja dimengerti artinya, tetapi
maknanya. Jadi, memberikan pengetahuan baru kepada orang lain
dengan tingkat kepercayaan cukup besar. Terpenuhinya dengan baik
sifat intersubjektif suatu pengetahuan sangat membantu menjadi
communicable.
- Progresif
Progresif dapat artkan adanya kemajuan, perkembangan,
peningkatan. Sifat ini meruypakan salah satu sifat tuntutan diera
modern untuk ilmu. Sifat ini sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran
filosofis, yaitu skeptis, menyeluruh (holistic comprehensive),mendasar
(radical), kritis dan analitis, yang menyatu dalam semua imajinasi dan
penalaran ilmiah. Adanya sifat-sifat ini didominasi oleh sifat skreptis
terhadap segala sesuatu yang dianggap berat, akan mendorong
seseorang untuk menanyakan semua pengetahuan, kemudian ciri-ciri
lain yang akan membawanya ke imajinasi dan penalaran filosofis
ilmiah yang kemudian berlanjut ke pengembangan pengetahuan, dan
berujung pada penemuan pengatuah baru. Dengan demikian
berlangsunglah progresivutas pengetahuan.
14
terpenuhinya kebutuhan emosional, berupa rasa puas, rasa senang
ataupun rasa yang sejenisnya (Mudyahardjo, 2012).
Kesimpulan
Dalam landasan ilmu pengetahuan yang digunakan adalah ontologi,
epistemologi dan aksiologi, atau dengan kata lain apa, bagaimana dan kemana
ilmu itu. Ontologi berarti ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu yang ada
atau berada atau dengan kata lain, artinya ilmu yang mempelajari tentang yang
ada. Sedangkan, menurut istilah adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah
ada, baik secara jasmani maupun secara rohani. Epistemologi merupakan aspek
cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur
dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam aspek ini yang dibahas adalah
bagaimana cara kita mencari pengetahuan dan seperti apa pengetahuan tersebut.
Aksiologi salah satu aspek dari cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Disisi lain, aksiologi sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh Nilai
kegunaan ilmu tergantung dari manusia yang memanfaatkannya.
Dalam realitas manusia terdiri dari dua golongan, pertama golongan yang
mengatakan bahwa ilmu itu bebas mutlak berdiri sendiri. Golongan kedua
berpendapat bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Adapun dalam Islam ilmu itu tidak
bebas nilai ia dilandasi oleh hokum normatif transendental. Nilai yang menjadi
dasar dalam penilaian baik buruknya segala sesuatu dapat dilihat dari nilai etika
(agama) dan estetika. Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan
kebenaran. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa nilai dari pengetahuan atau
ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran.
15
Daftar Rujukan
Adib, M. 2011. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika Ilmu
pengetahuan. Yogyakarta:Pustaka Pelajara.
Idri, H. 2015. Epistemologi: Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadis, dan Ilmu Hukum
Islam. Jakarta: Prenada Media.
16
Suminar, T. Tinjauan Filsafati (Ontologi, epistomologi, dan aksiologi) dalam
Manajemen Pembelajaran Berbasis Teori Sibernetik. Journal Unnes.
(online).http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/edukasi/article/download/
961/898. Diakses pada 30 Agustus 2019.
Syam, N.W. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media.
Syam, M.N. 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.
Surabaya:Usaha Nasional.
17