Anda di halaman 1dari 8

PERJANJIAN ROEM-ROYEN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK MATAKULIAH
Indonesia Masa Pergerakan Kebangsaan
yang dibina oleh Bapak Dr. Dewa Agung Gede Agung, M.Hum

Oleh:
KELOMPOK 4
Aghnia Muzammilul Maghfiroh 170731637570
Nelinda Agustina 170731637520
Nur Elifianita Susanti 170731637547
Safira Putri Andriani 170731637546
Syihabuddin 170731637629

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
SEPTEMBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Perjanjian Roem-Royen


Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945
bukan berarti perjuangan telah berakhir. Indonesia masih harus menghadapi
ambisi Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Beberapa
perundingan telah dilakukan. Beberapa diantaranya adalah perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian Renville yang merupakan akibat dari Agresi
Belanda I pada 8 Desember 1947.
Dalam usaha mencapai tujuannya tersebut Belanda membuat juga
membuat strategi penguasaan kembali wilayah jajahannya tersebut dengan
cara diplomasi. Dengan membentuk negara-negara boneka (federal) yang
antara Belanda dan Pemerintahan Republik Indonesia disebut BFO
(Bijeenkomst voor Federal Overleg) pada 27 Mei 1948 (Budiman, 2017: 87).
Dengan berbagai pertimbangan mengenai hubungan kedua negara
yang tidak baik, maka Wakil Tertinggi Belanda di Indonesia Dr. J.L.M. Beel
merencanakan untuk melumpuhkan Indonesia dengan menyerang ibukota
Yogyakarta dan menawan Presiden Soekarno, wakil dan beberapa pejabat
tinggi Republik Indonesia (Budiman, 2017: 87). Serangan tersebut
berlangsung pada 19 Desember 1949 yang berarti Belanda telah melanggar
pasal 10 perjanjian Renville mengenai genjatan senjata.
Belanda berusaha mengumumkan kepada dunia internasional bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Tentara Republik Indonesia sudah
tidak ada dengan ditawannya para pemimpin dan dikuasainya Yogyakarta.
Padahal sebelumnya Presiden Soekarno sempat mengirimkan mandat kepada
Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan (Budiman, 2017: 88).
Tindakan tersebut malah membuat posisi Belanda di dunia semakin
terpojok. Agresi militer Belanda kedua bertepatan dengan akan diadakannya
konferensi di New Delhi yang akan membahas permasalahan Negara Republik
Indonesia dengan Belanda. Dalam konferensi tersebut dihadiri oleh 18 negara
keculi Turki yang tidak dapat hadir. Dalam konferensi tersebut negara-negara
yang hadir mengutuk Agresi Militer II yang dilakukan Belanda (Budiman,
2017: 94).
Menanggapi Agresi Militer II Komisi Tiga Negara (KTN) yang telah
dibentuk LBB untuk membantu penyelesaian masalah Indonesia Belanda
mengirimkan laporan kepada LBB bahwa Belanda telah menyerang Indonesia
(Budiman, 2017: 94). Sementara itu Hutagalung (2010: 455) menyatakan
bahwa LBB menerima berita Agresi Militer II dari Indonesia Officer di
Singapura.
Alhasil direncakanlah sidang tanggal 20 Desember 1948 di Paris
(Budiman, 2017: 94). Amerika yang sebelumnya mendukung Belanda mulai
menyadari bahwa Belanda sudah tidak mungkin menguasai Indonesia kembali
berbalik haluan mendukung Indonesia. bahkan Amerika juga merupakan salah
satu negara yang mengusulkan dikeluarkannya resolusi oleh LBB. Amerika
bersama Kuba, Norwegia, dan Cina (Taiwan-pen.) menyerukan penghentian
pertempuarn dan mendesak Belanda untuk memulai perundingan dengan
pihak Indonesia guna membicarakan pengakuan/penyerahan kedaulatan
kepada Indonesia. Sidang dilakukan beberapa kali hingga akhirnya keluarlah
resolusi DK PBB no.67 pada tanggal 28 Januari 1949 mengenai “The
Indonesian Question” (Hutagalung, 2010: 423).
Resolusi DK PBB 28 Januari 1949 secara garis besar tidak
menguntungkan Indonesia. hanya pada pasal 1 dan 2 yang menghendaki
pengembalian Presiden Soekarno, Wakil Presiden dan para pejabat ke
Yogyakarta untuk kemudian melakukan tugasnya di Yogyakarta dengan bebas
(Hutagalung, 2010: 427). Sedangkan sisanya menguntungkan pihak Belanda.
Karena bagaimanapun juga Belanda merupakan sekutu negara Eropa ketika
Perang Dunia II.
Isi dari resoludi DK PBB 28 Januari 1949 dianggap kurang
menguntungkan bagi Belanda. Karena dengan dilaksanakannya DK PBB 28
Januari 1949 berarti Belanda merelakan Indonesia lepas dari penguasaan. Oleh
karena itu Belanda tidak kunjung melaksanakan isi resolusi tersebut.
Demikian juga dari pihak Indonesia juga terjadi permasalahan antara para
pimpinan sipil dan pimpinan militer. Hal ini dikarenakan digunakannya
kalimat “kepada pengikut-pengikut Indonesia yang bersenjata”. Hal ini berarti
Belanda tidak mengakui adanya Tentara Republik Indonesia (Hutagalung,
2010: 486).
Dalam rangka menunjukkan eksistensi Tentara Republik Indonesia
dilancarkannya serangan secara serentak dan besar-besaran di seluruh Jawa
pada Maret 1949 (Hutagalung, 2010). Serangan ini membuat Yogyakarta
kembali ke tangan Tentara Republik Indonesia. Meskipun sangat sulit untuk
melaksanakan resolusi DK PBB 28 Januari 1949. Namun, pengembalian para
petinggi ke Yogyakarta sangat dibutuhkan. Amerika dan BFO juga turut
mendesak Belanda untuk segera melaksanakan resolusi.
Kondisi Bell yang terdesak tersebut membuat rencana untuk
mempercepat KMB dengan mengikutsertakan Presiden Soekarno dan
Wakilnya secara individu. Tanpa melakukan koordinasi dengan para pejabat
Indonesia (Hutagalung, 2010: 465). Namun hal ini tidak berhasil dikarenakan
penolakan Soekarno.
Bersedianya Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen menunjukkan
bahwa usaha diplomasi dan militernya gagal. Belanda tidak mendapat
dukungan di LBB serta gagal memecah belah bangsa Indonesia. BFO
mendesak agar Belanda mengembalikan para pemimpin Indonesia ke
Yogyakarta agar bisa mengikuti Konferensi Meja Bundar.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa latar
belakang Belanda terpaksa melaksanakan perjanjian Roem-Royen dengan
Indonesia antara lain: 1) Ambisi Belanda untuk menguasai Indonesia kembali,
ambisi ini mencoba diperoleh dengan jalan diplomasi dan militer. Namun
mengalami kegagalan; 2) Dilanggarnya pasal 10 perjanjian Renville oleh
Belanda dengan melakukan Agresi Militer II; 3) Resolusi DK PBB tanggal 28
Januari 1949 tidak segera dilaksanakan oleh Belanda; 4) Semakin terpojoknya
posisi Belanda di mata internasional. Ketika Belanda tidak melaksanakan
resolusi DK PBB 28 Januari 1949 berarti Belanda melawan LBB dan
melawan dunia internasional. Dengan begitu akhirnya Perjanjian Roem-Royen
berhasil dilaksanakan pada 14 April 1949 hinggal 7 Mei 1949 di Hotel Des
Indes Jakarta. Yang kemudian menjadi jalan dilaksanakan KMB sebagai ujung
perjuangan penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.

2.2 Perjanjian Roem-Royen


2.3 Arti Perjanjian Roem-Royen bagi Indonesia
2.4 Arti Perjanjian Roem-Royen bagi Belanda
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
DAFTAR RUJUKAN

Hutagalung, B.R. 2010. Serangan Umum 1 Maret 1949: dalam Kaleidoskop


Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Budiman, A. 2017. Sejarah Diplomasi Roem-Roijen dalam Perjuangan


Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1949. Jurnal
UNIGAL Volume 4, 1 Januari 2017. Diakses pada tanggal 25 September
2019.

Anda mungkin juga menyukai