Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Periode 1945-1949 atau yang biasa disebut dengan periode revolusi


kemerdekaan yang diwarnai dengan perjuangan melawan Belanda untuj berkuasa
kembali di Indonesia dengan berbagai upaya dilakukan pihak Belanda untuk dapat
menduduki kembali bangsa Indonesia. Melalui cara militer pihak Belanda
melakukan Agresi Militer Belanda I tahun 1947 dan Agresi Militer Belanda II
pada 1948, menjadi salah satu usaha Belanda untuk menguasai Indonesia. Untuk
mendukung cara militer, Belanda juga menggunakan cara politik, salah satunya
devide at empire yaitu dengan membentuk suatu negara-negara bagian.
Diantaranya Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Timur,
dan negara-negara lain. Akan tetapi tujuan utama Belanda hanya untuk memecah
belah bangsa Indonesia (Putro, 2018).

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menandai


berdirinya negara Republik Indonesia (RI) yang merdeka dan berdaulat. Akan
tetapi, Belanda tidak pernah mengakui kemerdekaan RI dan berusaha untuk
berkuasa kembali. Mereka tetap yakin sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan
‘sah’ di Indonesia setelah Jepang menyerah. Atas dasar itulah Netherlands Indies
Civil Administration (NICA) ikut serta dengan tentara Sekutu mendarat di
Tanjung Priok pada September 1945 (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993).
Kedatangan pasukan Sekutu yang diberi nama Allied Forces Netherland East
Indies (AFNEI) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison
bertugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan tawanan perang,
mempertahankan keadaan damai dan menghimpun keterangan tentang penjahat
perang untuk selanjutnya dituntut di pengadilan. Pihak Indonesia pun pada
awalnya bersikap netral, tetapi kondisi tersebut berubah ketika NICA
mempersenjatai kembali orang-orang Koninklijke Nederlands Indische Leger
(KNIL) yang baru dilepaskan dari tawanan. Bentrokanbentrokan senjata antara
pihak Sekutu, Belanda dengan rakyat Indonesia akhirnya tidak dapat dihindari. Di

1
dalam menghadapi keinginan Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia,
RI menerapkan dua strategi perjuangan yaitu perjuangan bersenjata dan
perjuangan diplomasi/perundingan.

Dalam pembahasan diatas, penulis akan membahas mengenai


diplomasi/perundingan yang di upayakan pihak Indonesia untuk mendapatkan
kembali pemerintahan dan wilayah Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar.
Peran konsensus diajukan sebagai dasar pijakan pemikiran dalam menyelesaikan
sebuah konflik. Berbagai kebijakan yang diambil untuk menengahi konflik berasal
dari hasil kesepakatan kedua belah pihak yang berseberangan lewat diplomasi
suatu negara.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana latar belakang terjadinya Konferensi Meja Bundar?

2) Bagaimana dampak KMB?

3) Bagaimana isi dari KMB?

4) Bagaimana peran tokoh-tokoh yang ikut serta dalam KMB?

1.3 Tujuan

1) Mengetahui latar belakang terjadinya Konferensi Meja Bundar.

2) Mengetahui dampak setelah terjadinya Knferensi Meja Bundar.

3) Mengetahui isi dari kesepakatan sidang Konferensi Meja Bundar.

4) Mengetahui peran tokoh-tokoh yang terlibat dalam Konferensi Meja


Bundar.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Konferensi Meja Bundar merupakan salah satu perjuangan diplomatik


dalam memperjuangkan kedaulatan bangsa Indonesia. Konferensi ini diadakan di
Den Haag, Belanda terhitung sejak 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Konferensi Meja Bundar merupakan diplomasi terakhir yang diadakan antara
Indonesia dengan Belanda dalam menyelesaikan masalah yang terjadi selama
bertahun-tahun silam. Konferensi ini juga menghadirkan sejumlah tokoh-tokoh
terkemuka, baik dari Indonesia maupun dari Belanda. Selain dari kedua negara
yang terlibat, Konferensi Meja Bundar juga menghadirkan PBB sebagai pihak
netral yang menengahi pertikaian antara Indonesia dengan Belanda.

2.1 Latar Belakang

Adapun latar belakang diadakanya Konferensi Meja Bundar tidak lain


adalah untuk menyelesaikan berbagai macam konflik diantara Indonesia dan
Belanda. Selain itu, konferensi ini juga diharapkan dapat mengesahkan kedaulatan
bangsa Indonesia yang walaupun sebenarnya sudah merdeka sejak 1945, tetapi
secara de facto, Indonesia masih berada di bawah kendali Belanda.

Seperti yang tertera dalam riwayat sejarah Indonesia, proklamasi


kemerdekaan bukan merupakan akhir dari penjajahan di tanah Indonesia. Setelah
Ir. Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan kemerdekaan pada 17
Agustus1945, konflik masih terus bermunculan di Indonesia. Bimantara, Alfidatu
(2014) mengemukakan tentang konflik pertama yang muncul setelah proklamasi
kemerdekaan adalah insiden Hotel Yamato di Tunjungan Surabaya pada tanggal
19 September 1945. Pertempuran tersebut sering disebut sebagai pemicu aksi 10
November yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pahlawan.

Insiden Hotel Yamato tersebut bukanlah satu-satunya konflik yang muncul


setelah kemerdekaan. Berbagai macam konflik muncul secara berkelanjutan
sebagai bukti bahwa kondisi Indonesia pada masa itu masih belum stabil dan
rawan terjadi penjajahan kembali. Salamadian (2018) mengemukakan beberapa

3
contoh konflik yang muncul pasca proklamasi, di antaranya Pertempuran 10
November di Surabaya, Pertempuran di Ambarawa, Pertempuran Medan Area,
Pertempuran Merah Putih di Manado, dan lain sebagainya. Beberapa peristiwa
tersebut cukup membuktikan bahwa proklamasi kemerdekaan bukanlah akhri dari
perjuangan rakyat Indonesia memperjuangkan kedaulatan. Kondisi Indonesia pada
masa itu masih belum dapat dikatakan aman karena masih banyak pertikaian yang
terjadi di berbagai tempat.

Melihat berbagai macam konflik yang terjadi di berbagai wilayah di


Indonesia, para tokoh-tokoh nasional mulai memikirkan cara untuk meredam
pertikaian tersebut. Mereka memutuskan untuk melakukan perjuangan meraih
kedauluatan Indonesia dalam bentuk diplomasi. Dilansir oleh seputarilmu.com
(2019) berbagai macam perjuangan diplomasi yang telah dilakukan oleh tokoh-
tokoh intelektual bangsa Indonesia diantaranya adalah Perjanjian Linggarjati,
Perjanjian Renville, Perjanjian Roem Royen dan Konferensi Inter-Indonesia.
Meski telah melaksanakan berbagai macam perjuangan diplomasi untuk
memperjuangkan kedaulatan bangsa, nyatanya Indonesia masih belum merdeka
secara penuh. Oleh sebab itu, diadakanlah Konferensi Meja Bundar dengan
harapan segala pertikaian yang terjadi antara Indonesia dan Belanda segera dapat
diselesaikan.

Zakky (2018) mengemukakan beberapa tujuan utama dari diadakannya


Konferensi Meja Bundar, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Mengakhiri perselisihan antara Indonesia dan Belanda dengan cara


melaksanakan perjanjian-perjanjian yang sudah dibuat antara Republik
Indonesia dengan Belannda, khususnya mengenai pembentukan
Negara Indonesia Serikat (RIS)
2) Dengan tercapainya kesepakatan Meja Bundar, dengan ini Indonesia
telah diakui sebagai negara yang berdaulat penuh oleh Belanda,
walaupun tanpa Irian Barat.

4
2.2 Isi Konferensi Meja Bundar (KMB)

Masalah-masalah yang dibicarakan dalam KMB meliputi berbagai hal,


yaitu dari panitia politik, hukum, dan ketatanegaraan, panitia bidang dan
keuangan, panitia kemiliteran, panitia kebudayaan dan panitia sosial. Secara
umum, KMB membahas mengenai penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada
Indonesia. Setelah sidang KMB berlangsung konferensi telah menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan yang sangat berarti bagi Indonesia. Dalam KMB seluruh
permasalahan telah dibahas dari semua aspek pemerintahan yang bertalian dengan
pembentukan negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat.

Dalam perundingan KMB pertama pada tanggal 23 Agustus 1949 telah


menghasilkan 3 kesepakatan yakni:

 Menyusun suatu konstitusi sementara untuk negara Indonesia Serikat

 Persetujuan tentang penyerahan kedaulatan kepada negara Indonesia


Serikat

 Ketentuan-ketentuan yang menyangkut serah terima jabatan-jabatan


pemerintah, hak dan kewajiban dari pemerintah Indonesia (Hindid
Belanda) kepada negara Indonesia Serikat (Nasution, 1996).

Hal tersebut merupakan suatu penegasan bahwa penyerahan kedaulatan


Indonesia sesuai dengan dasar-dasar persetujuan Renville. Selain itu, diterapkan
dasar-dasar kerjasama dalam Uni yang akan diadakan antara Belanda dan
Indonesia berdasarkan kesamaan hak dan derajat dilakukan secara sukarela.
Menurut Tom Critehley dalam (Tobing, 1986), sebagai ketua UNCI
mengharapkan KMB mencapai hasil yang akan mampu meletakan dasar-dasar
yang kukuh bagi persekutuan Belanda dan Indonesia. Dasar-dasar tersebut yakni:
(1) pengembalian RI ke Yogyakarta, (2) persetujuan mengenai dasar-dasar KMB,
(3) gencatan senjata. Dalam ketiga tahap tersebut UNCI bertindak sebagai
pemrakarsa perundingan di Den Haag.

Pada tanggal 2 November 1949 sidang penutup KMB dilangsungkan di


Ridderzaal, Den Haag, tepat pukul 14.15 GMT. Siding dihadiri oleh menteri-

5
menteri cabinet Drs. Willem Drees, ketua faksi dalam dewan perwakilan Belanda,
anggota-anggota senat Belanda, dan wakil-wakil diplomatik. Dalam siding
terakhir KMB menghasilkan kesepakatan pemerintahan baru berdasarkan
Pancasila yang diakui oleh dunia Internasional, adapun hasil kesepakatan KMB
antara lain:

 Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat


pada bulan Desember 1949 dan juga mengenai masalah keuangan,
ekonomi, budaya dan lain-lain

 Kesepakatan mengenai Irian Barat ditunda hingga 1 tahun,


dikarenakan belum mencapai kesepakatan

 Dalam bidang militer akan dibentuk APRIS (Angkatan Perang


Republik Indonesia Serikat) dengan tentara nasional Indonesia sebagai
initi pembubaran KNIL

 (Koninklijk Nederlands Indise Leger) dan pasukan bekas KNIL ke


dalam APRIS, adanya suatu misi militer Belanda di Indinesia untuk
membentuk dan melatih APRIS dan pemulangan Angkatan KL
(Koninklijk Leger) dan KM (Koninklijk Marine) ke negeri Belanda
(Nasution, 1996).

Perundingan akhir antara Indonesia dengan Belanda mencapai sebuah


kesepakatan bersama dalam sebuah perundingan yang akan sama-sama dihormati
dalam sebuah persetujuan kesepahaman. Sebagai hasilnya Belanda akhirnya
meninggalkan tanah air Indonesia dan menyerahkan kedaulatan penuh kepada
Republik Indonesia. Indonesia mendapatkan pengakuan de facto dan de jure dari
Belanda dan dunia Internasional pada tanggal 27 Desember 1949.

2.3 Dampak Konferensi Meja Bundar

Politik luar negeri yang dijalankan Indonesia pada periode 1946 sampai
1949 difokuskan pada penyelesaiaan sengketa dengan Belanda. Sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Republik Indonesia mendambakan
pengkuan dari dunia Internasional terhadap negaranya yang baru lahir. Pada

6
kenyataannya cita-cita tersebut barudapat diwujudkan dalam perundingan akhir
Indonesia-Belanda, yaitu pada Konverensi Meja Bundar (KMB). Hasil dari
pencapaian KMB sudah jelas membuktikan dapat membawa manfaat yang nyata,
menjiwai hubungan bangsa-bangsa yang terlibat dalam kerjasama Uni Belanda-
Indonesia (Tobing, 1986: 82).

Persetujuan yang dicapai pada KMB telah memberikan kepastian pada


bangsa Indonesia. Selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949 kedaulatan
yang penuh akan diserahkan kerajaan Belanda kepada Indonesia. Pihak
pemerintah Belanda dan pemerintah RIS sudah menyetujui rencana-rencana
persetujuan KMB secara utuh. Delegasi Hatta oleh Presiden RIS telah diberi
wewenang untuk menerima penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda. Dalam
hal ini, Drs. Willem Dress berpendapat bahwa penyerahan kedaulatan yang nyata
tidak dapat dicabut kembali, tetapi dilangsungkan sesegera mungkin.

Perundingan Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949 telah


memberikan kemenangan bagi Indonesia berupa penyerahan dan pengakuan
kedaulatan. Negara di seluruh dunia seolah-olah berlomba-lomba mengakui
kemerdekaan Indonesia. Mulai saat itu politik luar Negeri Indonesia perlu
diformulasikan lebih baik. Lebih-lebih setelah Indonesia diterima sebagai anggota
PBB (Agung, 1995: 85). Negara internasional yang memberikan pengakuan de
jure kepada Indonesia kemudian adalah Rusia dan RRC. Indonesia akhirnya
dimasukkan kedalam PBB sebagai anggota ke-60 dari badan Internasional dunia
itu pada tahun 1950.

Pengesahan dan penandatanganan isi Konferensi Meja Bundar dilakukan


pada tanggal 29 Oktober 1949. Hasil dari KMB ini kemudian disampaikan kepada
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selanjutnya KNIP melakukan sidang
pada tanggal 6-14 Desember 1949 untuk membahas hasil dari KMB. Pada tanggal
15 Desember 1949, Soekarno sebagai calon tunggal terpilih sebagai presiden
Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi
berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan
Kerajaan Belanda. Kabinet RIS terbentuk di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta
yang menjadi Perdana Mentri (Zakky, 2018).

7
Di waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan wakil
Tertinggi Mahkota AH. J. Lovink menandatangani naskah pengakuan kedaulatan.
Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini maka Indonesia berubah bentuk
negaranya menjadi negara serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RIS).
penyerahan kedaulatan menandai pengakuan Belanda atas berdirinya Republik
Indonesia Serikat dan wilayahnya mencakup semua bekas wilayah jajahan
Hindia-Belanda secara formal kecuali wilayah Irian Barat. Irian Barat diserahkan
oleh Belanda setahun kemudian.

2.4 Peran Tokoh-Tokoh

1. Perwakilan Indonesia

Mohammad Hatta, ketua delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Meja


Bundar di Den Haag, 1949
Sumber: Historia

Dalam Konferensi Meja Bundar, Indonesia diwakili oleh 12 orang yang


dipimin Drs. Hatta sebagai ketua, Nir. Moh. Roem, Kolonel T.B sebgai wakil
ketua. Simatupang, dan sepuluh anggota lain yaitu Mr. Muwardi, Ir. Djuanda, Dr.
Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Prof Dr. Mr. Supomo, Dr. J. Leitnena, Mr. Ali
Sastroamicijojo, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo.
Hatta dan wakilnya Mr. Mohammad Roem dari delegasi Republik
menyanggah argumentasi Maarseveen. Mereka menyatakan bahwa Irian Barat tak

8
dapat dipisahkan dengan dalil perbedaan etnisitas ataupun kebudayaan. Secara
politis, Irian Barat terintegrasi ke dalam koloni Hindia Belanda. Sementara pokok
penyerahan kedaulatan Belanda kepada RIS didasarkan atas semua wilayah yang
dahulu merupakan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda ().

2. Perwakilan Belanda
JH Maarseveen yang juga dipanggil Menteri Seberang Laut adalah
perwakilan Belanda untuk KMB. Sementara itu, Perdana Menteri Belanda Dr
Dress juga menjadi pemimpin pertemuan KMB (Sitompul,2019).

3. Perwakilan BFO
BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) mewakili negara-negara yang
dibuat Belanda di Kepulauan Indonesia. Perwakilan BFO dipimpin oleh Sultan
Hamid II dari Pontianak. Sebelum berangkat ke negeri Belanda untuk berunding,
delegasi Republik dan BFO (Majelis Permusyawaratan Federal) telah sepakat soal
Irian Barat. Keduanya sama-sama berpendirian bahwa Irian Barat harus
dimasukan ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Terlebih bagi BFO yang
mewakili Negara Indonesia Timur (NIT) karena memiliki ikatan sejarah dan
politik yang kuat dengan wilayah itu (Aditya, 2017).
Pada penghujung perundingan, Menteri Maarseveen menyingung isu
sensitif. Dia mengecualikan wilayah Irian Barat dalam klausul penyerahan
kedaulatan. Alasannya, Irian Barat bukan bagian dari Indonesia secara etnis dan
kultural.
Perwakilan BFO untuk NIT ikut menyampaikan pendapatnya melalui Ide
Anak Agung Gede Agung. Perdana Menteri NIT tersebut menjelaskan bahwa
sebelum menjadi salah satu keresidenan Hindia Belanda, wilayah Irian Barat
merupakan vassal dari Kesultanan Tidore Maluku yang kini (pada perundingan)
termasuk dalam lingkup NIT.
Menurut Agung, anggapan delegasi Belanda jika Irian Barat bukanlah
lingkungan dari Indonesia tak dapat diterima dan sangat disesalkan. Tanpa
mampu membantah apa yang dikatakan Hatta, Roem dan Agung, Menteri
Maarseveen justru tetap pada pendiriannya. “Bahwa dengan sangat menyesal

9
pemerintah Kerajaan Belanda tidak dapat memenuhi keinginan delegasi
Indonesia,” demikian kata Maarseveen sebagaimana dikutip Agung dalam Dari
Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat.
4. Perwakilan UNCI
Peran UNCI (United Nations Comissioner for Indonesia) adalah sebagai
penengah kelancaran konferensi antara Indonesia dan Belanda. UNCI diwakili
Chritchley dari Australia. Pada tanggal 31 Oktober, Merle Cochran dari UNCI
membentuk suatu panitia kecil. Anggotanya terdiri dari Prof. Dr. Supomo
(mewakili Republik), Mr. S. Blom (mewakili Belanda), dan Ide Anak Agung
Gede Agung (wakil BFO). Panitia ini bertugas merancang formula untuk
memecahkan masalah Irian Barat (Sitompul,2019).
Pada pukul 2 dini hari tanggal 1 November 1949, tercapailah kompromi
mengenai status Irian Barat yang dapat diterima semua pihak. Isinya: Irian Barat
berada dalam status quo dibawah penguasaan Belanda dan perundingan akan
dilanjutkan kembali setahun kemudian. Keesokan harinya, naskah piagam
penyerahan kedaulatan telah dirampungkan.
Dengan status quo nya, pemerintah Belanda secara aktif melakukan
perluasan wilayah eksplorasi di Irian Barat dengan membangun berbagai pos-pos
pemerintahan. Kenyataan yang mesti di terima ini bertentangan dengan cita-cita
Indonesia Raya dari Sabang sampai Merauke. Maka setelah itu, dimulailah
perjuangan mengintegrasikan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Konferensi Meja Bundar merupakan sebuah pertemuan pada tanggal 23
Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag yang merupakan tindak lanjut dari
perundingan Roem-rojen yang secara eksplisit hasilnya menandakan bahwa
Belanda mulai mengakui kedaulatan Indonesia. Sidang KMB ini antara lain
membahas mengenai pembentukan panitia pusat yang anggotanya dari pihak
Indonesia terdiri dari Mohammad Hatta, Moh Roem, A.K Pringgodigdo, Sultan
Hamid II, Ide Anak Agung, dan Soeparmo sementara dari pihak Belanda sendiri
anggotanya ialah Van Maarseven, D.U Stikker, Van Rojen dan Van der Vlak.
Di dalam konferensi ini juga banyak terjadi perdebatan, terutama yang
menyangkut masalah Irian Barat sebab pihak Belanda keberatan untuk
menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia Serikat. Hasil nyata dari
adanya konferensi ini ialah adanya penyerahan kedaulatan dari Belanda ke
Indonesia yang secara resmi diserahkan oleh Ratu Juliana pada tanggal 27
Desember 1949. Hasil ini cukup memuaskan bagi pihak Indonesia meskipun di
sisi lain perihal Irian Barat masih terombang-ambing karena keputusan mengenai
Irian Barat akan diputuskan maksimal setahun dari perundingan tersebut dengan
pengertian bahwa dalam jangka setahun dari penyerahan kedaulatan, soal-soal
mengenai Irian Barat akan ditentukan dengan jalan perundingan antara RIS dan
Belanda.
Dalam Konferensi Meja Bundar, Indonesia diwakili oleh 12 orang yang
dipimin Drs. Hatta sebagai ketua, Nir. Moh. Roem, Kolonel T.B sebgai wakil
ketua. Simatupang, dan sepuluh anggota lain yaitu Mr. Muwardi, Ir. Djuanda, Dr.
Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Prof Dr. Mr. Supomo, Dr. J. Leitnena, Mr. Ali
Sastroamicijojo, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo.
Dari pihak Belanda terdapat JH Maarseveen dan Perdana Menteri Belanda Dr
Dress juga menjadi pemimpin pertemuan KMB. Dari pihak BFO dipimpin oleh
Sultan Hamid II dan Peran UNCI (United Nations Comissioner for Indonesia)

11
adalah sebagai penengah kelancaran konferensi antara Indonesia dan Belanda.
UNCI diwakili Chritchley dari Australia.

3.2 Saran
Bahasan mengenai Konferensi Meja Mundar ini seharusnya bisa membuat
kita lebih tersadar akan betapa pentingnya perjuangan yang dilakukan oleh para
pahlawan kita dalam mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan.
Seharusnya ini bisa menjadikan suatu refleksi bagi kita semua bahwa tidak ada
perjuangan yang sia-sia baik perjuangan fisik maupun diplomasi semua usaha
yang dilakukan mendatangkan hasil positif yakni bagi kemerdekaan Indonesia.

12
DAFTAR RUJUKAN

Aditya, Ivan. 2017. Hatta Dan Konferensi Meja Bundar. Krogja, (Online),
(Krjogja.com) diakses 8 Oktober 2019. Tobing, K.M.L. 1986. Perjuangan
Politik Bangsa Indonesia Renville. Jakarta: Gunung Agung.

Agung, I.A.A.G. 1995. Pernyataan Rum-Van Roijen. Yogyakarta: Yayasan


Pustaka Nusatama dan UI-Press.

Bimantara, Alfidatu Panji. 2014. Perjuangan Diplomasi Dalam Mempertahankan


Kemerdekaan Indonesia Masa Revolusi (1946-1949). Universitas Negeri
Yogyakarta.

Nasution, A.H. 1996. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II: Periode
KMB. Bandung: Angkasa

Siptompul, Martin. 2019. Demi Pangakuan Kedaulatan. Historia, (Online),


(www.Historia.com) diakses 8 Oktober 2019.

Salamadian. 2018. Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi Perjanjian, Tokoh,


Dampak dan Hasil Perundingan. Online. https://salamadian.com/perjanjian-
perundingan-linggarjati/ Diakses pada 7 Oktober 2019.

Seputarilmu. 2019. Konferensi Meja Bundar (KMB): Sejarah, Tujuan, Isi dan
Dampaknya Terlengkap. Online.
https://seputarilmu.com/2019/01/konferensi-meja-bundar-kmb-sejarah-
tujuan-isi-terlengkap.html Diakses pada 7 Oktober 2019.

Zakky. 2018. Konferensi Meja Bundar (KMB): Sejarah, Tujuan, Isi dan
Dampaknya. Online. https://www.zonareferensi.com/konferensi-meja-
bundar/ Diakses pada 8 Oktober 2019.

13

Anda mungkin juga menyukai