Anda di halaman 1dari 7

PERJANJIAN INDONESIA DAN BELANDA

PASCA KEMERDEKAAN
KELOMPOK 4

ANGGOTA KELOMPOK :
IDA BAGUS PUTU WINDU SANJAYA (2201010222)
I PUTU JEYESTHA ANANDRA PUTRA (2201010130)
I WAYAN BAYU AGHENI (2201010077)
I WAYAN WANA CAHYAWAN (2201010341)
I PUTU DODY SUPRANATA (2201010680)
A. PERANJIAN LINGGARJATI

Setelah terjadi konflik berkepanjangan terjadilah perundingan antara


Indonesia dan Belanda di Linggajati, Cirebon pada tanggal 10 November 1946.
Perjanjian Linggarjati terjadi karena pada Perundingan Hooge Veluwe tidak
diperoleh kesepakatan diantara Indonesia dan Belanda. Inggris menjadi
penengah dalam perjanjian Linggarjati yang diwakili oleh Lord Killearn,
Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mr. Susanto
Tirtoprojo, S.H., dan Dr. A.K. Gani, dan Belanda diwakili oleh Prof.
Schermerhorn, De Boer, dan Van Pool. Pada tanggal 15 November 1946
diumumkan hasil perundingan dengan hasil sebuah naskah persetujuan yang
terdiri dari 17 pasal antara lain sebagai berikut.

 Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah


kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. 
 Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1
Januari 1949.
 Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk
Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia
Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
 Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya.


Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang
dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat
pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama
dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan
bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah
ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai
anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini
akan diselesaikan lewat arbitrase.

2
B. PERJANJIAN RENVILLE

Belanda tetap melanggar perjanjian yang telah disetujui pada


Perundingan Linggarjati dengan melakukan Agresi Militer I secara serentak
pada 21 Juli 1947 di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Dunia internasional
mengecam tindakan Belanda yang melanggar perjanjian tersebut. PBB
kemudian turun tangan dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk
menyelesaikan masalah ini.  Anggota dari KTN yaitu Australia sebagai wakil
Indonesia (Richard C. Kirby), Belgia sebagai wakil Belanda (Paul Van
Zeeland), dan Amerika Serikat sebagai penengah  (Prof. Dr. Frank Graham).
Perundingan mengenai masalah agresi militer Belanda dilakukan di atas kapal
Amerika serikat, USS Renville, pada 17 Januari 1948. Kapal USS Renville
pada saat itu sedang bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok.  Delegasi dari
Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin dan Belanda memilih
seorang Indonesia bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua.  Hasil
dari perundingan Renville adalah:

 Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS. 


 RI memiliki kedudukan sejajar dengan Belanda. 
 RI menjadi bagian RIS dan akan diadakan pemilu untuk membentuk
Konstituante RIS.
 Tentara Indonesia di daerah Belanda atau daerah kantong harus
dipindahkan ke wilayah RI. 

C. PERJANJIAN ROEM-ROYEN

Perundingan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI selanjutnya adalah


Perundingan Roem-Royen. Perundingan ini diadakan karena Belanda kembali
melanggar Perjanjian Renville.  Belanda melancarkan Agresi Militer II
sehingga memaksa berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di
Bukittinggi, Sumatera Barat.  Pendirian pemerintahan darurat ini di bawah

3
komando dari Syafruddin Prawiranegara. Karena tindakan ini Belanda kembali
mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional. 

Perundingan dimulai pada 14 April 1949 yang dilakukan oleh Mr Moh


Roem (Indonesia) dengan Dr Van Roijen (Belanda) dengan mediator Merle
Cochran (anggota UNCI dari AS). Perundingan ini dilakukan di Hotel Des
Indes (Hotel Duta Merlin Jakarta, sekarang). Perundingan berlarut-larut dan
sempat terhenti sampai 1 Mei 1949 karena terjadinya perbedaan pendapat yang
tajam. Pemerintah Belanda menghendaki agar RI menghentikan gerakan
gerilya oleh pejuangnya, bersedia menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB)
dan bersedia bekerja sama menciptakan keamanan dan ketertiban, barulah
pemerintahan dan pemimpin RI yang ditahan Belanda dibebaskan. Karena
perundingan berjalan sangat lamban, bahkan hampir mengalami jalan buntu,
pada 24 April 1949 Drs Mohammad Hatta datang ke Jakarta. Pihak RI
menempuh cara lain yakni mengadakan perundingan informal dan langsung
dengan pihak Belanda disaksikan Merle Cochran.

Pada 25 April 1949, diadakan pertemuan informal pertama antara Drs.


Moh. Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr Van Royen. Hasil pertemuan ini
tidak diumumkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan bahwa
pertemuan informal itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada
delegasi Belanda. Anggota UNCI dari AS Merle Cohran mendesak Indonesia
agar dapat menerima usulan Belanda dengan kompensasi bantuan ekonomi
setelah pengakuan kedaulatan, tetapi sebaliknya mengancam untuk tidak
memberi bantuan apapun kepada Indonesia apabila pihak RI tidak bisa
melanjutkan perundingan. Selanjutnya masing-masing pihak mengeluarkan
pernyataan. Persetujuan ini sebenarnya hanya berupa pernyataan dari kedua
belah pihak yang masing-masing menyetujui pernyataan pihak lainnya. Isi
pernyataan ini ditanda tangani pada 7 Mei 1949 oleh ketua perwakilan kedua
negara yaitu Mr Moh Roem dan Dr Van Roijen, oleh karena itu terkenal
dengan sebutan Roem Royen Statemens. Berikut isi dari perundingan Roem-
Royen:

4
 Sesuai dengan resolusi DK PBB, Indonesia menyatakan
kesanggupannya untuk menghentikan perang gerilya.

 Bekerja sama mengembalikan dan menjaga keamanan dan ketertiban.

 Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dengan
maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-
sungguh dengan tidak bersyarat.

D. KONFRENSI INTER-INDONESIA
Pertemuan Inter-Indonesia ini digelar sebelum Konferensi Meja Bundar
digelar. Pertemuan itu dihadiri oleh RI dan BFO, atau badan penasehat federal
yang terdiri dari negara-negara boneka buatan Belanda. Perundingan ini
berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 dan dilanjutkan di
Jakarta pada tanggal 30 Juli 1949. Sebagai hasil dari pertemuan tersebut,
terbentuklah negara yang disebut RIS, APRIS (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia Serikat) adalah angkatan bersenjata nasional, dan TNI menjadi inti
dari APRIS.

E. KONFRENSI MEJA BUNDAR


Sesuai dengan hasil dari Perjanjian Roem-Royen, Konferensi Meja Bundar
(KMB) akan segera dilaksanakan. Konferensi ini diadakan di Den Haag,
Belanda yang berlangsung pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. 
Delegasi Indonesia dipimpin oleg Drs. Moh. Hatta, dan delegasi dari BFO
dipimpin oleh Sultan Hamid II. Hasil dari KMB tersebut diantaranya:
 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia paling lambat 30
Desember 1949. 
 Indonesia berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni
dengan Belanda. 
 Uni Indonesia-Belanda dipimpin oleh Ratu Belanda. 
 Permasalahan Irian Barat yang merupakan daerah perselisihan akan
diselesaikan dalam waktu satu tahun. 

5
Hasil perundingan tersebut merupakan hasil maksimal yang bisa didapat
meskipun banyak pihak yang tidak puas. Pada 27 Desember 1949, dilakukan
penyerahan kedaulatan dari belanda kepada RIS. Belanda juga dipaksa keluar
dari wilayah RI yang ditandai dengan upaca pengakuan kedaulatan Indonesia
yang merupakan tindak lanjut dari hasil KMB.

6
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia :
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1945%E2%80%931949)
Kompas :
https://buku.kompas.com/read/2183/5-perjanjian-yang-mempertahankan-
kedaulatan-indonesia-pasca-kemerdekaan
kotan.co.id :
https://lifestyle.kontan.co.id/news/5-perundingan-untuk-mempertahankan-
kedaulatan-indonesia-setelah-proklamasi?page=all

Anda mungkin juga menyukai