Anda di halaman 1dari 10

PERUNDINGAN LINGGARJATI

Perjanjian atau perundingan linggarjati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan
Belanda di Linggarjati, Jawa Barat dengan menghasilkan suatu persetujuan tentang status
kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan yang terjadi di Istana Merdeka yakni di jakarta
tanggal 15 November 1946 yang ditandatangi oleh kedua pihak yaitu Indonesia dan Belanda
pada tanggal 25 Maret 1947.

Sebab/Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Linggarjati/Perundingan Linggarjati


Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke negara Indonesia karena disaat itu Jepang
menetapkan status quo di Indonesia yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dan
Belanda, contohnya peristiwa 10 November, tidak hanya itu pemerintah Inggris bertanggung
jawab menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh karena itu, SirArchibald Clark
Kerr, sebagai diplomat Inggris mengundang Indonesia dan juga Belanda dalam merundingkan di
Hooge Veluwe, tetapi perundingan tersebut gagal karena disaat itu Indonesia meminta Belanda
untuk mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, tetapi Belanda hanya
ingin mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Akhir agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia dalam
menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada 7 Oktober 1946 yang
bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia Belanda yang
dipimpin oleh Lord Killearn yang dalam perundingan tersebut menghasilkan persetujuan untuk
gencatan senjata di tanggal 14 oktober dan mengambil jalan untuk semua masalah tersebut
melalui perundingan Linggarjati yang dilaksanakan pada tanggal 11 November 1946.
Tokoh-Tokoh Dalam Perundingan Linggarjati/Perjanjian Linggarjati
Dalam perundingan linggarjati/perjanjian linggarjati dari wakil Indonesia adalah sebagai
berikut..
Ketua: Sutan Syahrir
Anggota:
 Mr.Moh. Roem
 Mr.Susanto Tirtoprojo
 A.K. Gani

Sedangkan di pihak belanda adalah komisi Tim Jenderal yang terdiri dari...
Ketua/dipimpin: Wim Schermerhorn
Anggota:
 H.J.Van Mook
 Max Van Poll
 F.de Baer
Mediator adalah Lord Killearn dari Inggris.
Hasil Isi Perjanjian Linggarjati/Perundingan Linggarjati
Isi hasil perundingan yang terdiri dari 17 pasal antara lain berisi:
1. Belanda mengakui secara de faktor bahwa wilayah RI yaitu Jawa, Sumatera dan Madura
2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI yang paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949
3. Pihak Belanda dan Indonesia sepakan untuk membentuk Negara RIS
4. Dalam bentuk negara RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/persemakmuran
Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri belanda sebagai kepala Uni.
Dampak Perjanjian Linggarjati/Perundingan Linggarjati
Perjanjian Linggarjati memberikan dampak positif dan negatif bagi bangsa Indonesia antara lain
sebagai berikut...
1. Dampak Positif Hasil Perjanjian Linggarjati
Advertisement
a. Adanya pengakuan Belanda secara de facto mengakui kekuasaan pemerintah RI atas Jawa,
Madura dan Sumatera
b. Dari perundingan linggarjati, berturut-turut negara asing kini mengakui kekuasaan RI seperti..
 Inggris: 31 Maret 1947
 Amerika Serikat 17 April 1947
 Mesir 11 Juni 1947
 Lebanon: 29 Juni 1947
 Suriah: 2 Juli 1947
 Afganistan: 23 September 1947
 Burma: 23 November 1947
 Saudi Arabia: 24 November 1947
 Yaman: 3 Mei 1948
 Rusia: 26 Mei 1948
2. Dampak Negatif Hasil Perjanjian Linggarjati
1. Belanda dapat membangun kembali kekuatan di Indonesia
2. Banyak masyarakat dan kalangan indonesia yang menetang mulai dari Partai Masyumi, PNI,
Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. dimana partai tersebut menyatakan bahwa
bukti lemahnya pemerintah Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.
3. Pemimpin perundingan linggarjati Indonesia yaitu Sutan Syahrir dianggap memberikan
konsensi bagi Belanda membuat sebagian besar anggota Partai Sosialis di Kabinet dan KNIP
menarik dukungannya kepada Syahrir pada tanggal 26 Juni 1947.

Peristiwa Setelah Perjanjian Linggajarti


Hasil perjanjian linggarjati atau perundingan linggarjati ternyata tidak berjalan muluss,
dikarena dianggap bahwa indonesia tidak mematuhi perjanjian akibat dari indonesia melakukan
hubungan diplomatik yang dianggap belanda, Indonesia tidak memiliki hak atau tidak meminta
isin kepada Belanda karena Indonesia merupakan uni dari Belanda. Tanggal 20 Juli 1947,
Gubernur Jenderal H.J. Van Mook akhirnya menetapkkan bahwa Belanda tidak terikat lagi
dengan perjanjian tersebut dan ditanggal 21 Juli, terjadi suatu peristiwa dimana Belanda beraksi
dengan melakukan Agresi Militer Belanda 1. Dapat disimpulkan dari permasalahan ini bahwa
terdapat perbedaan penafsiran atau kesalah pahaman mengenai Perjanjian Linggarjati antara
Indonesia dan Belanda.

PERUNDINGAN RENVILLE
Perjanjian Renville merupakan perjanjian yang dimana antara Indonesia dengan Belanda
yang diadakan pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat
sebagai tempat netral USS Renville yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara
“KTN”, Committee of Good Offices for Indonesia, yang diterdiri dari Amerika Serikat, Australia
dan Belgia.

Latar Belakang Perjanjian Renville


Diadakannya perjanjian Reville atau perundingan Renville yang bertujuan untuk
menyelesaikan segala pertikaian antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. perundingan ini
dilatarbelakangi adanya peristiwa penyerangan Belanda terhadap Indonesia yang sebut dengan
Agresi Militer Belanda Pertama yang jatuh pada tanggal 21 Juli 1947 sampai 4 Agustus 1947.
Diluar negeri dengan adanya peristiwa penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia,
menimbulkan reaksi keras.
Pada tanggal 1 Agustus 1947, akhirnya dewan keamanan PBB memerintahkan keduanya
untuk menghentikan tembak menembaj. Pada tanggal 4 Agustus 1947, Republik Indonesia dan
Belanda mengumumkan gencatan dan berakhir pula Agresi Militer Pertama. Agresi militer
pertama disebabkan adanya perselisihan pendapat yang diakibatkan bedanya penafsiran yang ada
dalam persetujuan linggajati, dimana Belanda tetap mendasarkan tafsirannya pidato Ratu
Wilhelmina pada tanggal 7 Desember 1942. Dimana Indonesia akan dijadikan anggota
Commonwealth serta akan dibentuk negara federasi, keinginan Belanda tersebut sangat
merugikan Indonesia.
Dengan penolakan yang diberikan pihak Indonesia terhadap keinginan Belanda, sehari
sebelum agresi militer pertama Belanda tidak terikat lagi pada perjanjian Linggarjati, sehingga
tercetuslah pada tanggal 21 Juli 1947 Agresi militer Belanda yang pertama. Perundingan pihak
Belanda dan pihak Indonesia dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 diatas kapal Renville yang
tengah berlabuh diteluk Jakarta. Perundingan ini menghasilkan saran-saran KTN dengan pokok-
pokoknya yakni pemberhentian tembak-menembak di sepanjang Garis van Mook serta perjanjian
pelatakan senjata dan pembentukan daerah kosong militer. Pada akhirnya perjanjian Renville
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 dan disusul intruksi untuk menghentikan aksi
tembak-menembak di tanggal 19 Januari 1948.

Tokoh Perjanjian Renville


Yang hadir pada perundingan diatas kapal Renville ialah sebagai berikut:
 Frank Graham “ketua”, paul van Zeeland “anggota” dan Richard Kirby “annggota”
sebagai mediator dari PBB.
 Delegasi Indonesia Republik Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin “ketua”, Ali
Sastroamidjojo “anggota”, Haji Agus Salim “anggota”, Dr. J. Leimena “anggota”, Dr.
Coa Tik len “anggota” dan Nasrun “anggota”.
 Delegasi Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo “ketua”, Mr. H.A.L van
Vredenburgh “anggota”, Dr.P.J.Koets “anggota” dan Mr. Dr. Chr. Soumokil “anggota”.

Isi Dari Perjanjian Renville


Berikut merupakan pokok-pokok isi perjanjian Renville yaitu:
 Belanda akan tetap berdaulat hingga terbentuknya RIS atau Republik Indonesia Serikat.
 RIS atau Republik Indonesia Serikat memiliki kedudukan sejajar dengan Uni Indonesia
Belanda.
 Belanda dapat menyerahkan kekuasaannya ke pemerintah federal sementara, sebelum
RIS terbentuk.
 Negara Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat.
 Enam bulan sampai satu tahun, akan diadadakan pemilihan umum “pemilu” dalam
pembentukan Konstituante RIS.
 Setiap tentara Indonesia yang berada di daerah pendudukan Belanda harus berpindah ke
daerah Republik Indonesia.

Dampak Perjanjian Renville


Akibat buruk yang ditimbulkan dari perjanjian Renville bagi pemerintahan Indonesia yaitu:
 Semakin menyempitnya wilayah Republik Indonesia karena sebagian wilayah Republik
Indonesia telah dikuasai pihak Belanda.
 Dengan timbulnya reaksi kekerasan sehingga mengakibatkan Kabinet Amir Syarifuddin
berakhir karena dianggap menjual Negara terhadap Belanda.
 Diblokadenya perekonomian Indonesia secara ketata oleh Belanda.
 Republik Indonesia harus memaksa menarik mundur tentara militernya di daerah gerilya
untuk ke wilayah Republik Indonesia.
 Untuk memecah belah republik Indonesia, Belanda membuat negara Boneka antara lain
negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Jawa Timur.

Perundingan Renville yang berbuah perjanjian Renville sebuah hasil dari perudingan setelah
terjadinya Agresi Militer Belanda pertama, berlangsungnya perundingan ini hampir satu bulan.
Dalam perundingan ini KTN menjadi penengah, wakil ketiga negara tersebut antara lain
Australia diwakili Richard Kirby, Belgia diwakili Paul Van Zeeland, Amerika Serikart diwakili
Frank Graham, untuk Indonesia sendiri oleh Amir Syarifuddin dan Belanda oleh Abdul kadir
Wijoyoatmojo seorang Indonesia yang memihak Belanda. Dalam hal ini perjanjian ini
menimbulkan banyak kerugian bagi Indonesia sehingga timbulnya Agresi Militer Belanda yang
kedua.
PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA
1. Latar Belakang Terbentuknya PDRI

Pemimpin republic di Jawa telah menduga kemungkinan agresi Belanda II dan telah
membuat rencana menghadapi kemungkinan itu. Pada bulan November 1948, wakil presiden
Hatta mengajak Mr. Syafruddin Prawiranegara- Menteri kemakmuran Republik- ke Bukittinggi,
dan Hatta kembali ke Yogyakarta Syafruddin tetap tinggal untuk mempersiapkan kemungkinan
pembentukan sebuah pemerintahan darurat di Sumatra- seandainya ibu kota Republik di Jawa
jatuh ke tangan Belanda. Pertengahan Desember 1948, perdana menteri India Jawaharlal Nehru
mengirim sebuah pesawat untuk membawa Soekarno dan Hatta keluar Jawa. Dalam perjalanan
keluar Jawa, pesawat itu akan singgah di bukitinggi, disini hatta akan tinggal untuk mengepalai
pemerintahan darurat sementara presiden soekarno terbang ke New Delhi, dan dari sana ke New
York mengajukan masalah Republik ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi sebelum pesawat
Nehru sampai di Yogyakarta, pesawat tersebut tertahan di Singapura karena pemerintah Belanda
menolak member izin melintasi daerah mereka dan memberikan hak mendarat di Jakarta.[ Jadi,
Soekarno dan Hatta masih berada di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember ketika belanda
menyerang dan menduduki kota itu.
Di Bukitinggi, ketika mendengar berita belanda menyerang Yogyakarta Syafruddin pada
mulanya tidak percaya bahwa pemerintahan Republik dapat hancur sedemikian cepatnya atau
bahwa hampir smua anggota cabinet, termasuk Soekarno dan Hatta telah membiarkan diri
mereka tertahan. Dia menduga bahwa laporan itu mungkin hanya propaganda Belanda, dan
merasa kurang pasti dengan legalitas kekuasaanya, dia menunda pembentukan pemerintahan
darurat di Sumatra sampai sesudah dia, bersama dengan para pemimpin pemerintahan provinsi
Sumatra dan komandan militer Sumatra yang baru colonel Hidayat, meninggalkan bukitinggi dan
mundur ke Halaban, kira-kira 16 km di tenggara Payakumbuh. Mereka sampai disana 21
Desember dan segera di ikuti residen Sumatra Barat Rasjid.
Di Halaban mereka segera menyusun strategi untuk menjawab serangan belanda. Yakin
bahwa pada saat itu pemimpin-pemimpin Republik di Jawa telah di tahan belanda, maka pada
tanggal 22 Desember Syafrudin mengumumkan berdirinya pemerintahan darurat republic
Indonesia (PDRI), dia sendiri sebagai ketua, gubernur Sumatra Mr. Tengku Moh D. Hassan
sebagai wakil ketua dan Mr. Rasjid sebagai menteri keamanan. Cabinet mengangkat panglima
angkatan darat, laut dan udara, dan menunjuk perwakilan Indonesia di India, Mr. Maramis
sebagai menteri luar negeri dan menugaskannya agar membawa masalah Indonesia ke
PBB. Mereka kemudian menunjuk Susanto- seuanya menteri dalam cabinet Hatta yang luput dari
penangkapan Belanda ketika mereka meyerang Yogyakarta.
Sejak itu PDRI memainkan peranan penting dan menjamin bahwa perjuangan melawan
Belanda tetap di pimpin oleh pemerintahan yang sah yang di akui oleh republic di seluruh
nusantara. PDRI merupakan symbol nasional dan faktor pemersatu, khususnya bagi pasukan
gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatra, karena pemerintahan Syafruddin diakui oleh
pasukan Republik (dibawah panglima besar sudirman). Sebagai pengganti yang sah dari
pemerintahan Soekarno dan Hatta. Penulis sejarah Sumatra Barat Mestika Zed mempertanyakan
apa yang akan terjadi bagi perjuangan kemerdekaan Republik seandainya PDRI tidak
mendapatkan kesetiaan dari Sudirman dan perwira bawahannya di Jawa dan Sumatra.
Sebelum meninggalkan Halaban, pemimpin republic memencar. Syafruddin dan
kebanyakan menterinya berangkat ke selatan unuk mendirikan pemerintahan mobil di bidang
alam, di perbatasan Sumatra barat dengan Jambi. Colonel Hidayat dan komandemen militer
Sumatra bernagkat ke utara, berhenti untuk beberapa minggu di rao, di bagian utara Sumatra
barat dan kemudian melanjutkan “long march” ke Aceh disana Hidayat membentuk markas
komando, militer Sumatra di daerah yang tidak pernah terjamah oleh Belanda. Mr. Rasjid dan
anggata pemerintahan Sumatra Barat pindah ke Kototinggi, suatu nagari di pegunungan di luar
Suliki, sebelah utara Payakumbuh. Ia ditemani oleh Catib Sulaiman dan Anwan Sutansaidi,
sampai disana 24 desember dan membentuk pemerintahan militer Sumatra barat di kantor
perwakilan nagari.
2. Tokoh Sjafruddin Prawiranegara serata Peranannya dalam PDRI

Mr. Sjafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten pada tanggal 28 Februari 1911 dan
meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun. Beliau adalah pejuang
pada masa kemerdekaan Republik Indonesia. Tokoh yang lahir di Anyar Kidul memiliki nama
kecil “kuding”, yang berasal dari kata Udin pada nama Sjafruddin. Ia memiliki darah keturunan
Sunda dari pihak ibu dan Sunda Minangkabau dari pihak ayah.
Sebelum kemerdekaan, Sjafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta
(1939-1940), Petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai
departemen Keuangan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, Ia menjadi anggota Badan
Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya
MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan
Negara (GBHN).
Agresi Militer Belanda II atau operasi gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali
dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno,
Mohammad Hatta, Syahrir dan beberapa tokoh lainnya. Pemerintahan resmi lumpuh. Sesuai
dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh dewan siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan
dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan
kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi,
bahwa ia diangkat sementara membentuk kabinet dan mengambil alih Pemerintahan Pusat.
Pemerintahan Sjafruddin ini kemudian dikenal sebagai Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia.
Di sebuah dangau kecil yang belakangan dikenal sebgai “Dangau Yaya” Syafruddin
Prawiranegara mengumumkan berdirinya PDRI pada Rabu 22 Desember 1948. Dari sudut
pandang seorang pemuda pengikutnya, Kamil Koto, mengalirlah kisah presiden Sjahfruddin
Prawiranegara yang selama 207 hari nyaris melanjutkan kemudi kapal besar bernama Indonesia
yang sedang oleng dan nyaris karam. Sebuah perjuangan yang mungkin terlupakan, tetapi sangat
krusial dalam memastikan keberlangsungan Indonesia. Atas usaha Pemerintahan Darurat,
Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya
Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada
13 Juli 1949, diadakan siding antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta
serta sejumlah Menteri kedua Kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara
resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta. Meskipun hanya sementara memegang jabatan
Presiden, namun memiliki arti penting pada masanya. Tetapi sosok Syafruddin Prawiranegara
seolah tenggelam ketika penguasa Orde Baru menebar jaring kepatuahan tanpa reserve.
Tampaknya Syafruddin Prawiranegara memang berseberangan dengan Suharto.

3. Peranan Syafruddin Prawiranegara dalam PDRI

Mr. Sjafruddin adalah seorang yang berjasa dalam menyelamatkan eksistensi Negara
Republik Indonesia. Di sini ada suatu peranan yang diberikan oleh Mr. Syafruddin
Prawiranegara adalah tetap membuat Indonesia berada dalam pemerintahan yang merdeka dan
berdaulat. Karena kita ketahui bahwa ketika Soekarno ditahan oleh Pemerintah Belanda akibat
dari Agresi Militer II maka Presiden memberikan mandat kepada Mr. Syafruddin ini untuk
membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Kita telah mengetahui bahwa
Negara merupakan integrasi dari kekuatan politik, Negara adalah organisasi pokok dari
kekuasaan politik. Maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kepala Negara adalah suatu
simbol dari pemerintahan yang merdeka dan berdaulat karena didalamnya terdapat mengenai
unsure-unsur yang ada dalam suatu Negara.
Dengan adanya PDRI dan Mr. Sjafruddin dipilih sebagai pejabat Presiden sementara
maka eksistensi Negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan berdaulat karena dihadapan
pemerintah Belanda, pemerintahan RI de facto di pimpin oleh Soekarno dari penjara, meskipun
sebenarnya de jure pemerintahan berada di tangan Syafruddin Prawiranegara dan kedudukan
Soekarno yang berada dalam tahanan bukan lagi sebagai kepala Negara yang merdeka dan
berdaulat. Jadi, dengan diberikan mandat dari Presiden kepada kepala pemerintahan darurat RI
maka posisi Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat Presiden sementara (Ketua PDRI)
dan bukan dianggap sebagai Presiden RI yang utuh karena ia hanya sebagai pemegang jabatan
sementara saja berdasarkan mandat yang diterimanya dari mandatory yaitu Presiden Pertama RI
sendiri. Maka dari fakta sejarah ini, Mr. Syafruddin Prawiranegara tidak menyalahgunakan
amanah pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) untuk mengangkat
dirinya sebagai Presiden PDRI melainkan hanya sebagai ketua PDRI.
Ketika PDRI sendiri Mr. Syafruddin ini sendiri selalu berpindah dari satu tempat ke
tempat lain bahkan sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil dikarenakan pemerintahan PDRI
sangat dicari oleh pihak kolonial belanda untuk dihancurkan. Namun ini bukan berarti
pemerintahan darurat ini tanpa adanya perlawanan karena pada tanggal 1 Januari 1949 PDRI ini
membentuk lima wilayah pemerintahan militer di Sumatra yaitu Aceh dengan gubernur Militer
Tgk Daud Beureuh. Daerah Tapanuli dan Sumatra Timur Bagian Selatan dengan Gubernur
Militer dr. Ferdinand Lumban Tobing sedangkan Riau dengan Gubernur Militer R.M Utoyo.
Sumatra Barat dipimpin oleh Gubernur Militer Mr. Sultan Muhammad Rasjid dengan Wakil
Gubernur Militer Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Sementara Sumatra Selatan denagn Gubernur
Militer dr. Adnan Kapau Gani. Mungkin pembentukan ini dengan maksud sebagai alat bertahan
dan melakukan dari gerakan mobilisasi tentara pemerintahan Belanda sehingga Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia tetap terlindungi dari serangan musuh dan eksistensi Negara
Indonesia tetap ada.

4. Kronologi dari PDRI


Setelah terjadinya peristiwa pengkudetaan PKI di Madiun 19 September 1948, Belanda
kembali melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948 tepatnya pukul 06.00
pagi. Serangan ini dilakukan oleh pihak Belanda sebagai serangan terakhir yang bertujuan untuk
menghancurkan Republik Indonesia. Dengan pasukan lintas udara, serangan langsung ditujukan
ke ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda,
dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta. Dengan keberhasilan ini maka Belanda beranggapan
bahwa mereka dapat dengan mudah menduduki dan melumpuhkan ibu kota Republik Indonesia.
Dengan adanya Agresi Militer II ini secara fisik Belanda berhasil menangkap dan menawan
Presiden Soekarno yang diterbangkan ke Prapat dan kemudian dipindahkan ke Bangka, Wakil
Presiden Mohammad Hatta yang diasingkan di Bangka, dan beberapa petinggi lainnya seperti
Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Mohammad Roem dan beberapa menteri lainnya.
Sebelum para petinggi Republik Indonesia ini di tawan oleh pihak Belanda, mereka
mengadakan sidang Kabinet dan mengambil sebuah keputusan untuk memberikan mandat
melalui radiogram yang akan dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran yaitu Mr. Syarifuddin
Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera. Mandat atau materi kawat ini dikirim pada
menit-menit terakhir sebelum Soekarno-Hatta ditawan. Mandat tersebut berisikan agar Mr.
Syarifuddin Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dengan tertangkapnya para petinggi Republik Indonesia lantas tidak berarti bahwa
pemerintah Republik Indonesia telah berakhir. Pada umumnya tentara Republik Indonesia tidak
dapat memahami alasan menyerahnya para politisi sipil pada Belanda sementara para prajurit
mengorbankan jiwa mereka demi Republik. Seluruh kekuatan TNI yang ada di Yogyakarta di
perintahkan keluar kota untuk bergerilya. Pasukan-pasukan Republik Indonesia mengundurkan
diri ke luar kota-kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis Van
Mook. Selain menteri kawat yang dikirimkan kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara, wakil
presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Hadji Agoes Salim mengirim Kawat kedua
kepada Dr. Soedarsono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis di New Delhi.
Materi kawat atau radiogram itu ternayata tidak pernah diterima oleh Mr. Syarifuddin, hal
ini diperkirakan bahwa dalam keadaan perang itu sangat dituntut mobilitas yang tinggi dengan
berpindah-pindah kedudukan yang dimaksudkan untuk menghindari serangan dari lawan.
Kekhawatiran inilah yang menyebabkan Hatta mengirimkan radiogram kepada Dr. Sudardono,
A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis. Namun, kontroversi mengenai sampai tidaknya radiogram itu
berhenti pada tanggal 22 Desember 1948, ketika di desa Halaban, dekat Payakumbuh, Sumatra
Barat, diadakan rapat dengan beberapa tokoh, yang akhirnya memutuskan untuk membentuk
pemerintah darurat. Mr. Syafruddin Prawiranegara, terpilih sebagai PDRI dan pada tanggal 31
Maret 1949 berhasil membentuk pemerintah darurat.
Susunan Kabinet PDRI
1. Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan
2. Mr. Soesanto Tirtoprodjo: Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri
Pembangunan dan Pemuda
3. Mr. AA. Maramis: Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India)
4. dr. Soekirman: Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan
5. Mr. Loekman Hakiem: Menteri Keuangan
6. Mr. IJ. Kasimo: Menteri Kemakmuran dan Pengawas Makanan Rakyat
7. KH. Masjkoer: Menteri Agama
8. Mr. T. Moh. Hasan: Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
9. Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan
10. Ir. Mananti Sitompoel: Menteri Pekerjaan Umum
11. Mr. St. Moh. Rasjid: Menteri Perburuhan dan Sosial

Dari fakta sejarah ini, Mr. Syarifuddi Prawiranegara tidak


menyalahgunakan amanah pembentukan PDRI untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden
PDRI. Melainkan hanya sebagai Ketua PDRI (Suryanegara, 2010: 268).

5. Perjalanan singkat PDRI


Setelah ditawannya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan beberapa Menteri
lainnya. Sesuai dengan rencana awal dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948 bahwa
seluruh kekuatan TNI yang masih ada di Yogyakarta diperintahkan ke luar kota untuk
melakukan gerilya. Angkatan perang yang telah membagi wilayah pertahanan republik menjadi
dua komando, yaitu Jawa dan Sumatra siap melaksanakan rencana di bidang pemerintahan
tersebut. Untuk melancarkan rencananya telah disiapkan konsepsi baru dalam bidang pertahanan.
Konsepsi tersebut dituangkan dalam perintah siasat nomor 1 tahun 1948 yang pokok isinya
adalah sebagai berikut:
1. Tidak melakukan pertahanan yang linear
2. Memperlambat setiap majunya serbuan musuh dan pengungsian total, serta bumi hangus
total
3. Membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai kompleks di beberapa
pegunungan, dan
4. Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal menyusup ke belakang garis
musuh dan membentuk kantong-kantong sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi medan
gerilya yang luas.

Siasat ini berhasil untuk melawan Belanda yang bersenjatakan lengkap. Perlahan ara TNI
ini bergerilya ke luar Yogyakarta. Di jawa, berdasarkan siasat tersebut berlangsung long march
siliwangi yang sangat terkenal itu. Sejumlah 11 Bathalion Divisi Siliwangi dengan keluarga
mereka dan penduduk lainnya mulai bergerak kembali ke Jawa Barat dengan jalan kaki. Namun,
setibanya di Jawa Barat mereka dihadang oleh Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh
Kartosuwiryo. Namun, setelah dua bulan melkaukan long march, mereka berhasil untuk
menguasai atau memperoleh kedudukan di Jawa Barat sesuai dengan yang diharapkan.
Berkat Perjuangan Mr. Syafruddin Prawiranegara dengan PDRI di Bukittinggi Sumatra
Barat dan exile government di India, serta perjuangan A.N. Palar selaku wakil Indonesia di PBB,
menyebabkan dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada tanggal 28 Januari 1949.

Kemudian pada yanggal 1 maret1949 terjadilah serangan umum terhadap kota


Yogyakarta yang diduduki oleh Belanda ketika itu. Penyerangan inii dilakukan oleh TNI dan
dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Komandan Brigade 10 daerah wehrkreise ketiga yang
membawahi daerah Yogyakarta. Awal penyerangan ini dibentuk sektor-sektor untuk
mempermudah pengepungan. Seckor barat dipimpin oleh major Fentje Sumual, sektor untuk
selatan dan timur dipimpin oleh major Sarjono, sektokr utara dipimpin oleh major Kusno. Untuk
sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Serangan dilakukan dari
berbagai penjuru kota, sehingga dalam waktu 6 jam Yogyakarta behasil di kepung dan di kuasai
oleh TNI. Dan serangan umum ini berhasil mencapai tujuannya yaitu mendukung perjuangan
secara diplomasi dan meninggikan moral rakyat serta TNI yang sedang bergerilya, menunjukkan
kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan yang mampu mengadakan ofensif
serta mematahkan moral pasukan Belanda.

6. Akhir dari PDRI


Belanda menerima himbauan PBB supaya mengadakan gencatan senjata pada tanggal 31
Desember 1948 di Jawa dan tanggal 5 Januari 1949 di Sumatra, tetapi perang gerilya terus
berlangsung. Sebagian besar satuan tentara beroperasi secara otonom selama perang gerilya ini.
Di samping banyak kemenangan kecil mereka atas pihak Blanda, pasukan-pasukan Republik
yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto mendapat suatukemenangan besar
ketika mereka berhasil merebutkembali dan menguaasai Yogyakarta selama eman jam pada
tanggal 1 Maret 1949
PBB dan Amerika Serikat mulai mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda.
Dengan memberikan berbagai tekanan dan ancaman yang dilakukan oleh militer Rrepublik dan
Amerika Serikat, akhirnya pada bulan April Belanda telah sepakat untuk menyerah , tetapi
mendesak untuk mengadakan perbincangan-perbincangan dengan pemerintah Republik. Pada
tangal 6 Juli 1949 pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Berahkirnya keperintahan PDRI ini kemudian berkaitan erat dengan perundingan Roem-
Royen dimana Belanda menyetujui pemerintahan republik ke Yogyakarta. Dan membebaskan
tahanan politik yang ditahan sejak 19 Desember 1948 tersebut, hal ini juga berarti pemerintahan
kedaulatan akan segera di serahkan oleh Belanda kepada Padaris, ditambah dengan
menginggalnya Panglima Militer Belanda Simon H. Spoor yaitu salah satu tokoh yang
memprakarsai perebutan kedaulatan pemerintah Indonesia.
Walaupun begitu, pertahanan Indonesia di Sumatra tak sepenuhnya aman Belanda yang
berkubu di Bukittinnggi beruasaha berkali-kali mengusir pasukan kita yang berpangkal di
Palupuh. Hingga sampai pada penyerahan kedaulatan oleh Belanda ke Republik Indonesisa.
Pertempuran-pertempuran tidak sering terjadi terlebih setelah case fire gerakan Belanda yang
tertuju pada keamanan saja.
Beberapa tokoh agak sedikit bertentangan dengan delegasi-delegasi Belanda yang
berdampak pada putusan pengembalian mandat PDRI kepada pemerintahan di Yogyakarta.
Pemerintahan yang berlangsung kurang lebih selama 7 bulan ini berakhir ketika penyerahan
mandat dari PDRI kepada Hatta pada tanggal 14 Juli 1948. Setelah perjanjian Rpem-Royen
disahkan dan Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang dan menyelesaikan duailisme
pemerinytahan yang ada pada saat itu.
KESIMPULAN

1. Perundingan Linggarjati
Perundingan Linggarjati dilaksanakan pada tanggal 10-15 November 1946. dalam
perundingan Linggarjati delegasi Indonesia dipimpin perdana Menteri Sutan Syahrir, sedangkan
delegasi Belanda diwakili oleh Prof. S. Schemerhorn dan Dr. H,J. Van. Mook. Penengah dan
pemimpin perundingan dari pihak Inggris, yaitu Lord Killeam. Hasil perundingan diumumkan
pada tanggal 15 November 1946 dan telah tersusun sebagai naskah persetujuan yang terdiri atas
17 pasal, antara lain berisi sebagai berikut:
1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto
paling lambat 1 Januari 1949.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah
Republik Indonesia
3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

2. Perundingan Renville
Jikalau kita melihat kembali segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi sebelum
diadakannya perundingan Renville, maka penyebab awal dilaksanakannya perundingan “baru”
ini tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan
penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Yang mana pada akhirnya hal ini
menyebabkan timbulnya penyerangan Belanda terhadap Indonesia (Agresi Militer Belanda
Pertama). Dan melihat agresi yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, Dewan Keamanan
PBB memutuskan untuk membuat suatu komisi jasa yang baik bagi keduanya, yang diberi nama
KTN (Komisi Tiga Negara). KTN ini sendiri juga memiliki tujuan untuk menyelesaikan
sengketa dan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini, dilihat justru memojokkan keadaan
bangsa kita dan justru semakin membuka peluang negara Belanda pada waktu itu untuk
menduduki sebagian besar wilayah republic Indonesia, dan hal inilah yang justru memicu
ketidakpercayaan rakyat pada Perdana Menteri Amir Syarifudin yang dinilai gagal karena terlalu
membuka peluang Belanda untuk lebh dapat menguasai berbagai wilayah Indonesia yang dinilai
lebih memiliki sumber daya alam yang melimpah, oleh karena itu dengan adanya perjanjian
Renvile ini sangatlah memberikan berbagai dampak yang signifikan.
3. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Mandat yang dikirimkan pemerintah kepada Sjafruddin untuk membentuk pemerintahan darurat
di Sumatra tidak pernah diterima oleh yang bersangkutan. Akan tetapi, pemerintah darurat
seperti yang dimaksudkan dalam mandat itu terbentuk juga di Sumatra. Inisiatif untuk
membentuknya diambil oleh Sjafruddin bersama T. M. Hassan (Ketua komisariat pemerintah
pusat untuk Sumatra) dalam pertemuan sore tanggal 19 desember 1948. Pembentukannya
diresmikan tanggal 22 desember 1948 di halaban, dekat payakumbuh, dengan nama Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sjafruddin diangkat sebagai Ketua PDRI sedangkan T.M.
Hassan sebagai Wakil Ketua. Kedudukan PDRI berpindah-pindah. Tempat yang cukup lama
mereka tempati ialah Desa Bidar Alam, Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat.

Komunikasi antara PDRI dan tokoh-tokoh di Jawa yang masih bebas mulai terbuka akhir Januari
1949. Sejak itu diadakan koordinasi untuk menyamakan sikap menghadapi Belanda. Pada tahap
berikutnya, di Jawa dibentuk Komisariat Pemerintah Pusat untuk Djawa (KPPD). Kemudian,
pada tanggal 31 Maret 1949 kabinet PDRI disempurnakan dengan memasukkan beberapa tokoh
di Jawa sebagai Menteri. PDRI juga mendapat dukungan dari angkatan perang. Baik Jenderal
Soedirman maupun Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T. B. Simatupang dan PTTD Kolonel
Nasution mengadakan hubungan dengan PDRI melalu radiogram.

PDRI juga mengadakan hubungan dengan para diplomat RI yang berada di luar negeri.
Khususnya dengan anggota delegasi RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Informasi-informasi
yang disampaikan PDRI mengenai perkembangan di dalam negeri, khususnya kemajuan gerilya,
digunakan oleh para diplomat ini sebagai senjata untuk menghadapi Belanda dalam perdebatan
di Dewan Keamanan PBB. Akan tetapi, hubungan dengan para pemimpin RI yang ditawan
Belanda di Pulau Bangka tidak ada sama sekali. Oleh karena itulah kemudian terdapat perbedaan
pendapat antara PDRI dan pihak Bangka, khususnya mengenai pernyataan Roem-Roijen (7 Mei
1949).

Selama lebih kurang tujuh bulan Pdri memimpin perjuangan dan mempertahankan eksistensi RI,
dan pada tanggal 13 juli 1949 Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat kepada Presiden
Soekarno.

Anda mungkin juga menyukai