Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Tentang
Q I YAS

Disusun Oleh
Kelompok 4 :

Nama : 1. Suci Hati


2. Ummul Arifah
3. Riski Muniati
4. Fitri Maharani Nadia
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Ruang : 1 B HES
Dosen Pembimbing : SAIBAH, S.Pd.i, S.Ag, MA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)


MANDAILING NATAL
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaiakan makalah dengan
pembahasan “QIYAS”. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang penulis
alami dalam proses pengerjaannya, tapi penulis berhasil menyelesaikannya
dengan baik.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang
telah membantu penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun
tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.

Tentunya ada hal-hal yang ingin penulis berikan kepada pembaca dari
hasil makalah ini. Karena itu, penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi
sesuatu yang berguna bagi kita bersama.

Panyabungan, Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i

DAFTAR ISI...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas........................................................................... 2
B. Dasar Hukum Qiyas...................................................................... 3
C. Pembagian Qiyas ......................................................................... 5
D. Syarat dan Rukun Qiyas............................................................... 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................... 8
B. Saran............................................................................................. 8

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada sebagian masalah syara’ (hukum islam), untuk menentukan
hukumnya terkadang tidak ditemukan dalil. Baik dalil dari nash Al-qur’an
maupun hadits Nabi dalam menetapkan hukum padanya, maka salah satu cara
yang dipakai oleh mujtahid untuk menetapkan hukum tersebut adalah qiyas,
dan oleh sebagian besar ulama’, qiyas termasuk salah satu dasar pengambilan
hukum-hukum islam.

Sebagai dasar pengambilan hukum islam qiyas perlu dipahami secara


mendalam. Diantar yang harus dipahami tentang qiyas mencakup pengertian
qiyas, dasar hukum, pembagian, serta syarat dan rukunnya.

Mengetahui pengertian qiyas adalah hal yang mendasar sekali, tujuannya


agar kita mampu membedakan arti qiyas secara umum dengan arti qiyas
menurut ulama’ ushul fiqih. Adapun mengetahui dasar hukum qiyas untuk
menghilangkan keraguan kita tentang boleh tidaknya qiyas sebagai salah satu
dasar pengambilan hukum islam, juga sebagai hujjah (dalil) untuk membantah
pendapat orang yang tidak membolehkan qiyas.

Selanjutnya mengetahui pembagian (macam-macam) qiyas, dengan ini


seharusnya kita mampu membedakan antara qiyas yang satu dengan lainnya,
mampu menggolongkan hukum qiyas yang telah ada pada salah satu macam-
macam qiyas. Kemampuan ini bisa terjadi bila kita telah mengenal betul syarat
dan rukun qiyas.

Yang terakhir adalah mengetahui syarat dan rukun qiyas tujuannya untuk
dapat menggolongkan sah tidaknya suatu pengqiyasan hukum.

B. Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang di atas, pembahasan makalah ini mengerucut
pada beberapa hal yang selanjutnya sebagai rumusan masalah, yaitu:
1. Pengertian Qiyas
2. Dasar Hukum Qiyas
3. Pembagian Qiyas
4. Syarat dan Rukun Qiyas

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut arti bahasa arab ialah menyamakan, membandingkan atau
mengukur, dicontohkan seperti menyamakan si A dengan si B, karena
keduanya mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang
sama dan lain sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti tanah dengan
meter. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan
mencari persamaan-persamaannya.
Imam Jalaluddin Al-mahalli1 mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
‫واماالقياس فهو رد الفرع الى الصال بعلة تجمعهمافي الحكم‬
Artinya: Qiyas ialah mengembalikan masalah furu’ (cabang) pada masalah
pokok, karena suatu illat yang mempersatukan keduanya (cabang
dan pokok) di dalam hukum.

Kata kunci dari definisi di atas ialah masalah cabang, masalah pokok,
illat, dan hukum. Yang dimaksud masalah cabang yaitu setiap peristiwa yang
belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
sebuah dasar. Masalah pokok yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash. Illat (alasan) ialah sesuatu yang menimbulkan
hukum, illat berupa sifat-sifat yang terdapat pada masalah pokok dan masalah
cabang. Adapun hukum di sini ialah hukum yang terdapat pada masalah
pokok. Jika ada persamaan illat dengan masalah cabang, maka masalah
cabang tersebut hukumnya dikembalikan (dipersamakan) pada masalah
pokok.2

Timbulnya masalah pokok dan cabang berawal dari budaya dan


perubahan social yang terjadi di masyarakat, tempat islam itu masuk dan
berkembang. Di contohkan bahwa pada masa Nabi ketika ada orang
meninggal beliau meletakkan pelepah kurma yang masih segar di atas kuburan
si mayit, karena pelepah kurma tersebut akan beristigfar memintakan ampun
untuknya selagi pelepah itu belum kering, di Indonesia yang sudah
membudaya ketika ada orang meninggal ditaburi bunga segar atau basah
(belum kering) di atas kuburan si mayit dengan illat (alasan) yang sama. Dari
sinilah telah terjadi dua peristiwa yang dicontohkan oleh Nabi yang disebut
sebagai masalah pokok dan peristiwa yang terjadi di Indonesia sebagai
masalah cabang.

1
Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Hasyiyah dimyati ala syarhi waroqot, penerbit Toha Putra
Semarang, hlm.20
2
Amin Suma, Muhammad. Ijtihad Ibnu Taimiyah. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002, hlm, 32

2
B. Dasar Hukum Qiyas
Telah di sebutkan di atas bahwa sebagian besar ulama’ ushul fiqih dan
para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan
dasar pengambilan hukum islam. Ada juga menolak qiyas sebagai dasar
hukum, seperti yang disebutkan Dr. Wahbah al-Zuhaili, beliau
mengelompokkan pendapat ulama’ ushul fiqih tentang kehujjahan (pedoman
hukum) qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas
sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama’ ushul fiqih, dan yang
menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama’-ulama’ syi’ah, al-Nadzam,
Dzahiriyyah dan dari sebagian ulama’ Mu’tazilah Irak.3

Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya pemakaian


qiyas sebagai dasar hujjah (pedoman hukum), ialah Al-qur’an dan hadits serta
perbuatan sahabat yaitu:

a). Al-qur-an
        
         
        
        
    
  
Artinya: 2. Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab
dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu
tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa
benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah;
Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri
dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (al-hasyr:2)

Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’tabiruu yaa ulil abshaar (maka
ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orangyang mempunyai
pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada
manusia agar membandingkankejadian yang terjadi pada pada diri sendiri
kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jiks orang-orang
beriman melakukan perbuatan orang-orang kafir, niscaya mereka akan
memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahami
3
Umam, Chaerul. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia Baltaji, 2000, hal. 15

3
bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan
perbandingan, persamaan atau qiyas.

b). Al-hadits
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur
Yaman, beliau bertanya kepadanya:
.‫ اقضى كتتتاب اللتته‬:‫كيف تقضى اذا عرض لك قضاء؟ قال‬
.‫ فى ستتنة رستتوله‬:‫ فان لم تجد فى كتاب الله ؟ قال‬:‫قال‬
‫ اجتهتتد رأيتتي‬:‫ قال‬,‫ فان لم تجد فى سنة رسول الله‬:‫قال‬
‫ الحمتتد للتته التتذي‬:‫ فضرب رسول الله صادره وقال‬,‫ولالو‬
‫وفق رسول رسول الله لما يرضى الله ورسوله )رواه احمم م م ممد‬
(‫وابو داود والترمذي‬
Artinya: “Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila
dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: akan aku
tetapkan berdasar Al-qur-an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam Al-
qur’an? Mu’adz menjawab: akan aku tetapkan dengan sunnah
Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah?
Mu’adz menjawab: aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku
dengan berusaha sungguh-sungguh. Lalu Rasulullah menepuk dadanya
dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk utusan
yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang yang
diridhoi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan at-Tirmidzi)

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad
dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat
al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Bayak
cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu di antaranya
ialah dengan menggunakan qiyas

c). Perbuatan Sahabat


Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-
Asy’ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara
seorang hakim mengambil keputusan. Di antara isi surat beliau itu yang
artinya ialah:
“Kemudian pahamilah benar-benar persolan yang dikemukakan padamu
tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-
perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah

4
kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan paling sesuai
dengan kebenaran…”
C. Pembagian Qiyas
Dalam kitab Hasyiyah at-Dimyati ala Syarhil waraqaat Imam Jalaluddin
al-Mahalli4 membagi qiyas menjadi tiga macam, yaitu:

a). Qiyas Illat


Menurut beliau qiyas illat ialah qiyas yang illatnya sendiri menetapkan
hukum, dengan gambaran tidak masuk akal sama sekali jika hukum itu
ditinggal (tidak ditetapkan) karena illat itu. Maksudnya bahwa masalah
far’u itu lebih utama ditetapkan hukumnya dari pada masalah pokoknya.
Seperti mengqiyaskan kasus memukul orang tua dengan kasus berkata
hus! (membentak) kepada orang tua dalam hukum haramnya, karena
adanya illat berupa menyakiti. Jika berkata hus! Kepada orang tua saja
sudah diharamkan karena menyakiti apalagi memukulnya jelas lebih
menyakitkan. Yang demikian itulah yang disebut illat yang dapat
menetapkan hukum. Kiyas ini disebut juga qiyas aulawi.

b). Qiyas Dalalah


Arti qiyas dalalah adalah qiyas yang menjadikan antara dua kasus yang
sepadan sebagai dalil untuk (menetapkan hukum) kasus lainnya. Ini berarti
illat dalam qiyas dalalah hanya menunjukkan adanya hukum, tidak
menetapkan hukum. Bahwa dalam qiyas dalalah terdapat dua masalah
pokok (ashlu) yang sepadan, tidak ada yang lebih menonjol kesamaannya
dari keduanya, seperti mengqiyaskan harta anak kecil dengan harta orang
dewasa (balligh) dalam hal wajibnya mengeluarkan zakat karena illat
(alasan) yang terkandung dalam harta anak kecil dan orang dewasa sama-
sama bertambah dan berkembang. Tetapi madzhab Hanafi, mengatakan
tidak wajib harta anak kecil dizakati karena diqiyaskan pada ibadah,
seperti sholat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan pada orang
yang mukallaf, termasuk didalamnya orang yang telah dewasa (balligh),
sedang anak kecil tidak diwajibkan. Yang dimaksud tidak menetapkan
hukum karena terdapat dua pilihan ashlu (masalah pokok).5

c). Qiyas Syibhu


Qiyas Shibhu adalah mengqiyaskan masalah far’u (cabang) yang
diragukan diantara dua ashlu (pokok), kemudian masalah far’u (cabang)
tersebut disamakan dengan salah satu dari dua ashlu (masalah pokok) yang

4
Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Hasyiyah dimyati ala syarhi waroqot, penerbit Toha Putra
Semarang, hlm.20
5
Muhamma. Metodologi ijtihad Umar Bin Khatab. Jakarta : Khalifa2005.

5
paling menonjol kesamaannya. Imam Mahalli6 mengajukan contoh kasus
hamba sahaya yang dibunuh. Dalam persoalan dolman (jaminan), kasus
hamba sahaya ini diragukan, haruskah diqiyaskan kepada orang merdeka,
karena diajuga manusia keturunanan Nabi Adam as, atau diqiyaskan
dengan binatang, karena keduanya adalah harta benda. Dalam hal ini
hamba sahaya lebih menonjol kesamaannya dengan harta benda dari pada
orang dewasa, karena dia dapat diperjual belikan, diwariskan, diinfaqkan
serta tubuhnya dijadikan sebagai penentuan harga.

D. Syarat dan Rukun Qiyas


Syarat sebagai sesuatu yang harus dipenuhi sebelum masuk pada rukun
qiyas, fungsi syarat ialah mengeluarkan hal-hal yang tidak masuk dalam
syarat, seperti adanya kesamaan illat dalam mengqiyaskan sesuatu. Jadi
sederhananya jika tidak ada kesamaan illat antar masalah far’u (cabang) dan
ashlu (pokok) maka tidak bisa diqiyaskan. Fungsi syarat juga memasukkan
hal-hal yang sesuai dengan yang disyaratkan.
Syarat-syarat qiyas yaitu:
a. Syarat far’u (cabang)
Far’u (cabang) disyaratkan ada kesamaan dengan ashlu (pokok) dalam illat
yang menyatukan keduanya dalam satu hukum. Seperti memukul orang
tua (sebagai far’u) dan berkata hus! Kepada orang tua (sebagai
pokok/yang ada nashnya), dengan illat sama-sama menyakitkan orang tua.
b. Syarat ashlu (pokok)
Ashlu (pokok) disyaratkan, hukum yang ada padanya dikuatkan oleh dalil
yang disepakati oleh dua orang yang berselisih mengenai penerapannya
pada cabang, agar qiyas ini menjadi hujjah untuk menghadapi pihak yang
menentangnya.
Apabila tidak ada pihak yang menentang, maka hukum yang ada pada
kasus ashlu itu berdasar dalil yang dapat dijadikan dasar kuat oleh orang
yang membuat qiyas.
c. Syarat illat (alasan)
Illat (alasan) harus berlaku merata pada setiap perkara yang diilatinya.illat
itu tidak hanya terdapat pada ashlu saja, tetapi haruslah berupa sifat yang
dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashlu itu.
Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW
tidak boleh dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari
empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku
bagi orang lain. Larangan istri-istri Rasulullah SAW kawin dengan laki-

6
Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Hasyiyah dimyati ala syarhi waroqot, penerbit Toha Putra
Semarang, hlm. 21

6
laki lain setelah beliau meninggal dunia, dedang wanita-wanita lain
dibolehkan.
Rukum qiyas ada empat, yaitu:
1. Ashlu, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetepkan
hukumnya berdasar nash.
2. Far’u yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar
3. Hukum ashlu, yaitu hukum dari ashlu yang telah ditetapkan berdasar nash
dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada
persamaan illatnya.
4. Illat, (alasan) yaitu suatu sifat yang ada pada ashlu dan sifat itu pula yang
dicari pada fara’
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang
perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya. Peristiwa itu disebut sebagai fara’ (cabang). Untuk
menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama.
Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram
(hukum ashlu) berdasar firman Allah SWT:
      
       
Artinya: 10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Persamaan illat antar kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat
berkurang atau habisnya hartanya anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum
menjual hartaanak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-
sama haram.7
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
>> Ashlu, ialah memakan harta anak yatim
>> Far’u, ialah menjual harta anak yatim
>> Hukum ashlu, ialah haram
>> Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim

BAB III
PENUTUP

7
Abdullah, Sulaiman Haji. Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta : Pedoman
Ilmu Jaya1996.

7
A. Kesimpulan
Qiyas ialah mengembalikan masalah furu’ (cabang) pada masalah pokok,
karena suatu illat yang mempersatukan keduanya (cabang dan pokok) di dalam
hukum.
Ada dua pendapat ulama’ ushul fiqih tentang penggunaan qiyas sebagai dalil
penetapan hukum. Yang membolehkan di sepakati oleh sebagian besar ulama’
ushul fiqih, dan yang sebagian kecil tidak membolehkan. Yang membolehkan
berdasar pada al_qur’an, al_hadits, perbuatan para sahabat.
Qiyas terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Qiyas Illat ialah qiyas yang illatnya sendiri menetapkan hukum, dengan
gambaran tidak masuk akal sama sekali jika hukum itu ditinggal (tidak
ditetapkan) karena illat itu.
2. Qiyas dalalah adalah qiyas yang menjadikan antara dua kasus yang sepadan
sebagai dalil untuk (menetapkan hukum) kasus lainnya.
3. Qiyas Syibhu adalah mengqiyaskan masalah far’u (cabang) yang diragukan
diantara dua ashlu (pokok), kemudian masalah far’u (cabang) tersebut
disamakan dengan salah satu dari dua ashlu (masalah pokok) yang paling
menonjol kesamaannya.
Syarat qiyas ada yaitu:
Far’u (cabang) disyaratkan ada kesamaan dengan ashlu (pokok) dalam illat
yang menyatukan keduanya dalam satu hukum
Ashlu (pokok) disyaratkan, hukum yang ada padanya dikuatkan oleh dalil
yang disepakati oleh dua orang yang berselisih mengenai penerapannya pada
cabang, agar qiyas ini menjadi hujjah untuk menghadapi pihak yang
menentangnya.
Apabila tidak ada pihak yang menentang, maka hukum yang ada pada kasus
ashlu itu berdasar dalil yang dapat dijadikan dasar kuat oleh orang yang membuat
qiyas.
Illat (alasan) harus berlaku merata pada setiap perkara yang diilatinya.illat
itu tidak hanya terdapat pada ashlu saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat
pula diterapkan pada masalah-masalah lain.
Rukun qiyas yaitu:
>> Ashlu, ialah memakan harta anak yatim
>> Far’u, ialah menjual harta anak yatim
>> Hukum ashlu, ialah haram
>> Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim

8
DAFTAR PUSTAKA

Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Hasyiyah dimyati ala syarhi waroqot, penerbit Toha
Putra Semarang.2011

Amin Suma, Muhammad. Ijtihad Ibnu Taimiyah. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002

Umam, Chaerul. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia Baltaji, 2000.

Muhamma. Metodologi ijtihad Umar Bin Khatab. Jakarta : Khalifa2005.

Abdullah, Sulaiman Haji. Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam.


Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya1996.

Anda mungkin juga menyukai