Anda di halaman 1dari 9

Perundingan Linggarjati

Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Lingga'r'jati adalah suatu perundingan
antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status
kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November
1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Belakang
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia
menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10
November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik
dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan
Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta
Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau
mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan
Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk
menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di
Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord
Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke
arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan
Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut
Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn
dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil perundingan

Hasil perundingan tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:

1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa dan Madura.
2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-
Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia


Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya
beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-
partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk
mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.
Pelanggaran Perjanjian
Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J.
van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal
21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran
antara Indonesia dan Belanda.

Perjanjian Renville
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal
17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang
berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan
ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari
Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas
Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang
disebut Garis Van Mook.

Latar Belakang
Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi
gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Gubernur Jendral Van Mook dari Belanda memerintahkan
gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus. Pada 25 Agustus, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi
yang diusulkan Amerika Serikat bahwa Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik Indonesia-
Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia yang dipilih oleh
Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia, dan Amerika Serikat yang disetujui kedua belah pihak.

Pada 29 Agustus 1947, Belanda memproklamirkan garis Van Mook yang membatasi wilayah Indonesia
dan Belanda. Republik Indonesia menjadi tinggal sepertiga Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra,
tetapi Indonesia tidak mendapat wilayah utama penghasil makanan. Blokade oleh Belanda juga mencegah
masuknya persenjataan, makanan dan pakaian menuju ke wilayah Indonesia.

Delegasi
Perjanjian diadakan di wilayah netral yaitu di atas kapal USS Renville milik Amerika Serikat dan dimulai
tanggal 8 Desember 1947.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap, dan Johannes Leimena
sebagai wakil. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo.
Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.

Gencatan senjata

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan
gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tetapi pertempuran terus terjadi
antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit
pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara
Karawang dan Bekasi.
Pihak yang hadir pada perundingan Renville

1. Delegasi Indonesia di wakili oleh Amir syarifudin (ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr.J.
Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
2. Delegasi Belanda di wakili oleh R.Abdul Kadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H..A.L. Van Vredenburg,
Dr.P.J. Koets, dan Mr.Dr.Chr.Soumokil.
3. PBB sebagai mediator di wakili oleh Frank Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard Kirby.

Isi perjanjian

1. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat
dan Jawa Timur.

Pasca perjanjian

Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang
dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Divisi ini
mendapatkan julukan Pasukan Hijrah oleh masyarakat Kota Yogyakarta yang menyambut
kedatangan mereka.

Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar, seperti Barisan Bambu
Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo,
mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata
terhadap tentara Belanda. Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, S.M.
Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir
Syarifuddin, Menganggap Negara Indonesia telah Kalah dan Bubar, kemudian ia mendirikan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang
masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia
(NII). Akibat dari Perjanjian Renville itu pula, pasukan dari Resimen 40/Damarwulan, bersama
batalyon di jajarannya, Batalyon Gerilya (BG) VIII Batalyon Gerilya (BG) IX, Batalyon Gerilya
(BG) X, Depo Batalyon, EX. ALRI Pangkalan X serta Kesatuan Kelaskaran, dengan total
penikut sebanyak tidak kurang dari 5000 orang, juga Hijrah ke daerah Blitar dan sekitarnya.
Resimen 40/Damarwulan ini kemudian berubah menjadi Brigade III/Damarwulan, dan
batalyonnyapun berubah menjadi Batalyon 25, Batalyon 26, Batalyon 27. Setelah keluarnya
Surat Perintah Siasat No I, dari PB Sudirman, yang mengharuskan semua pasukan hijrah pulang
dan melanjutkan gerilya di daerah masing-masing, Pasukan Brigade III/Damarwulan, di bawah
pimpinan Letkol Moch Sroedji ini, melaksanakan Wingate Action, dengan menempuh jarak
kurang lebih 500 kilometer selama 51 hari
Perjanjian Roem-Roijen
Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara
Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada
tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi,
Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa
masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang
sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka,
juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap
Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan
“Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

Kesepakatan

Hasil pertemuan ini adalah:

 Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya


 Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
 Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
 Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan
semua tawanan perang

Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:

 Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian
Renville pada 1948
 Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak
 Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

Pasca perjanjian
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik
Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin
Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22
Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri
keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera
(15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda
pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.
Isi Konferensi Inter Indonesia (19 -22 Juli
1949 dan 31 Juli - 2 Agustus 1949)
Konferensi Inter-Indonesia merupakan salah satu bentuk perundingan Indonesia-Belandan sebagai
bentuk perjuangan diplomasi mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang meliputi konferensi inter-
indonesia, isi konferensi inter indonesia, perundingan inter indonesia, perjanjian inter indonesia.

Sebelum Konferensi Meja Bundar berlangsung, dilakukan pendekatan dan koordinasi dengan negara-
negara bagian (BFO) terutama berkaitan dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat.

Konferensi Inter Indonesia 1 dan 2


Konferensi Inter-Indonesia ini penting untuk menciptakan kesamaan pandangan menghadapi Belanda
dalam KMB. Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta.

Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19 - 22 Juli 1949. Konferensi Inter-
Indonesia I dipimpin Mohammad Hatta.

Konferensi Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli - 2 Agustus 1949. Konferensi Inter-
Indonesia II dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua BFO).

Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan pada masalahm


pembentukan RIS, antara lain:

1. masalah tata susunan dan hak Pemerintah RIS,

2. kerja sama antara RIS dan Belanda dalam Perserikatan Uni.

Isi Konferensi Inter-Indonesia


Hasil positif Konferensi Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa hal berikut ini.

1. Negara Indonesia Serikat yang nantinya akan dibentuk di Indonesia bernama Republik Indonesia
Serikat (RIS).

2. Bendera kebangsaan adalah Merah Putih.

3. Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.

4. Hari 17 Agustus adalah Hari Nasional.

Dalam bidang militer, Konferensi Inter-Indonesia memutuskan hal-hal berikut.

1. Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional.
2. TNI menjadi inti APRIS dan akan menerima orang-orang Indonesia yang ada dalam KNIL dan kesatuan-
kesatuan tentara Belanda lain dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.

3. Pertahanan negara adalah semata-mata hak Pemerintah RIS, negara-negara bagian tidak mempunyai
angkatan perang sendiri.

Gambar: Suasana Konferensi Inter-Indonesia I di Yogyakarta pada tanggal 19 - 22 Juli 1949.

Kesepakatan tersebut mempunyai arti penting sebab perpecahan yang telah dilakukan oleh Belanda
sebelumnya, melalui bentuk-bentuk negara bagian telah dihapuskan.

Kesepakatan ini juga merupakan bekal yang sangat berharga dalam menghadapi Belanda dalam
perundingan-perundingan yang akan diadakan kemudian.

Pada tanggal 1 Agustus 1949, pihak Republik Indonesia dan Belanda mencapai persetujuan penghentian
tembak-menembak yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan di Sumatera pada
tanggal 15 Agustus.

Konferensi Meja Bundar


Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23
Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst
voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.[1]
Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu
Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi
ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Latar belakang

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan
kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia
kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi,
lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda
terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik.
Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua
pihak.[2]

Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi
Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para
pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar
untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[3]

Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara
di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perunndingan antara
delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus,
Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari
Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan
kerangka dasar untuk konstitusinya.[4] Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh
Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar
di Den Haag.

Negosiasi

Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta


Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer.[5] Mereka
juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta
Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu,
tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik
bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia
Belanda.[6] Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status
Papua Barat.
J.H. Maarseveen, Sultan Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2
November 1949

Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda berlangsung
berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka dan
berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh
Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942. Delegasi Indonesia terutama
merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut mereka digunakan oleh Belanda
dalam tindakan militer terhadap Indonesia. Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam
komisi PBB untuk Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian
utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober,
delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia
Belanda.[7]

Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu.
Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia
Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki
ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya.[8] Meskipun opini publik Belanda yang
mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan
dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati.[9] Pada akhirnya, pada awal 1
November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui
perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah
penyerahan kedaulatan.[10]

Hasil

Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949.
Kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 December 1949.[11] Isi
perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:

1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja


“ kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat
ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara
yang merdeka dan berdaulat.
2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-
ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan
kepada Keradjaan Nederland.
3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember
1949

— Rantjangan Piagam Penjerahan Kedaulatan. [12]

Keterangan tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut:


 Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada
Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua
bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan
mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari
serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.[13][14][15][16]
 Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda
sebagai kepala negara
 Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat

Dampak
Lihat pula: Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi


Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik
Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari
16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh
Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian,
tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa
kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di
Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas
semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski
ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda
umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah
pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua
negara".[17]

Tekait utang Hindia Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam
kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.[

Anda mungkin juga menyukai