Anda di halaman 1dari 4

KELOMPOK II

PERJANJIAN LINGGARJATI

DISUSUN OLEH :

1. ROGERS EXCELSIO CHRISTO PIRI 20071101334


2. FARHAN BALAPRADHANA 20071101134
3. ABDUL RAHMAN ABDULRAHIM 20071101613
4. JOSHIA RANDI DENGAH DJAE 20071101449
5. HENDRY IMANUEL DESFRIYAN 20071101770
6. IRENE GABRIELA HAPA 20071101084
7. ELVIRA MAHARANI LAROGA 20071101133
8. ANGEL CHRISTINA MELANI PUTONG 20071101253
9. PASKAHREN TANIA POMANTOW 20071101801
10. STELHA MARSELA MAMILE 20071101338
11. WULLUR THIFANY FELICIA 210711010548

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO

2022
A. Latar Belakang Perjanjian Linggarjati

Perundingan atau perjanjian Linggarjati merupakan salah satu perjanjian antara


Indonesia dan Belanda dalam sejarah kemerdekaan. Perjanjian ini digelar di Linggarjati,
Jawa Barat, dan ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta, terkait status kemerdekaan
RI. Sebelum Perjanjian Linggarjati dilaksanakan, telah digelar rangkaian perundingan di
Jakarta maupun Belanda, namun kedua belah pihak belum menemukan titik temu
mengenai status Indonesia sebagai negara yang merdeka. Hingga akhirnya, tanggal 11-
13 November 1946 digelar pertemuan di Linggarjati, Jawa Barat. Hasil perundingan ini
diteken pada 15 November 1946 lalu diratifikasi secara resmi pada 25 Maret 1947 di
Istana Merdeka, Jakarta.

Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 setelah


sekian lama dijajah bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda, dan kemudian Jepang.
Meskipun sudah memproklamirkan kemerdekaan, namun Indonesia masih diincar oleh
Belanda yang ingin berkuasa kembali. Setelah Indonesia merdeka, Pasukan Belanda
yang tergabung dalam NICA (Netherlands-Indies Civiele Administration) kembali ke
Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu yang telah memenangkan perang
melawan Jepang. Maka, digelarlah rangkaian perundingan untuk membahas status
kemerdekaan RI. Pertemuan pertama dilangsungkan pada 23 Oktober 1945 di Jakarta
oleh perwakilan RI dan NICA. Namun gagal mencapai kesepakatan. Pertemuan kedua
digelar pada 13 Maret 1946 yang berlanjut tanggal 16-17 Maret 1946 dan menghasilkan
naskah yang dikenal dengan sebutan Batavia Concept atau Rumusan Jakarta. Naskah ini
adalah nota kesepahaman untuk menginjak fase perundingan berikutnya.

Delegasi Belanda dalam pertemuan itu adalah Perdana Menteri Prof. Dr. Ir. W.
Schermerhorn, sedangkan wakil Indonesia dipimpin oleh Soetan Sjahrir. Pihak Inggris
(Sekutu) bertindak sebagai penengah yang diwakili oleh Sir Archibald Clark Kerr atau
Lord Inverchapel. A.H. Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan: Periode
Linggarjati (1994), mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut telah disepakati melalui
rumusan naskah persetujuan pendahuluan yang ditandatangani oleh Soetan Sjahrir dan
Hubertus van Mook (Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir) pada 30 Maret 1946.
B. Kronologi Sejarah Perundingan Linggarjati

Sebagai tindak lanjut atas beberapa pertemuan awal, dihelat forum di Hoge Veluwe,
Belanda, pada 4-24 April 1946, yang membahas tentang persoalan status kenegaraan,
kemerdekaan, dan wilayah Indonesia. Namun, pemerintah Kerajaan Belanda tidak
setuju dan menawarkan opsi bahwa Indonesia akan menjadi negara bawahan dalam
persemakmuran Belanda. Soetan Sjahrir sebagai wakil delegasi Indonesia tentu saja
menolak mentah-mentah. Indonesia ingin kedaulatan penuh. Perundingan kembali
dilanjutkan pada 7 Oktober 1946 dengan tujuan untuk mengurai persoalan demi
persoalan. Delegasi Indonesia dalam forum ini adalah Soetan Sjahrir, A.K. Gani, Amir
Sjarifuddin, Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Roem, dan Ali Boediardjo. Sementara
dari pihak Belanda diwakili oleh Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn dan Inggris sebagai
penengah diwakili oleh Lord Killearen. Pada 14 Oktober 1946 disepakati bahwa akan
dilakukan pembicaraan lebih lanjut mengenai pengakuan Indonesia dari pihak Belanda.
Waktu yang disepakati untuk pertemuan penting itu adalah dari 12 November 1946 di
Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat.

C. Isi Perjanjian Linggarjati

Perundingan Linggarjati dilangsungkan selama 3 hari, yakni hingga tanggal 15


November 1946 yang membuahkan kesepakatan bersama. A.B Lafian melalui buku
Menelusuri Jalur Linggarjati Diplomasi dalam Perspektif Sejarah (1992) memaparkan,
perjanjian tersebut disepakati pada rapat penutup pukul 13.30.

Adapun isi dari Perjanjian Linggarjati adalah sebagai berikut:

1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan


yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.
2. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari
1949.
3. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negeri
Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS), yang salah satu
negara bagiannya adalah Republik Indonesia (RI).
4. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda
selaku ketuanya.

Karta Sasmita dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1960 (1995)


menyebutkan bahwa isi Perjanjian Linggarjati masih menimbulkan polemik di kalangan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Hal tersebut menyebabkan penandatanganan
Perjanjian Linggarjati baru terlaksana pada 25 Maret 1947 di Istana Istana Merdeka,
Jakarta. Nantinya, Belanda mengingkari kesepakatan dalam Perjanjian Linggarjati
tersebut dengan melancarkan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947.
D. Tokoh-Tokoh dalam Perjanjian Linggarjati

 Delegasi Belanda: Hubertus vanMook dan Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn


 Delegasi Indonesia: Soetan Sjahrir, A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, Soesanto
Tirtoprodjo, Mohammad Roem, dan Ali Boediardjo
 Delegasi Inggris (Penengah): Lord Inverchapel dan Lord Killearen.

Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan
adalah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda,
sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo,
dan A.K. Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn. Perundingan
ini menghasilkan sejumlah kesepakatan:

(1) Belanda mengakui Jawa dan Madura sebagai wilayah RI secara de facto;

(2) Belanda meninggalkan wilayah RI paling lambat 1 Januari 1949;

(3) Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS (Republik Indonesia
Serikat);

(4) RIS menjadi negara persemakmuran di bawah naungan negeri Belanda (Ide Anak
Agung Gde Agung, Persetujuan Linggarjati, 1995:164).

Isi kesepakatan ini tentu saja merugikan Indonesia karena pada akhirnya nanti tetap
saja menjadi bawahan Belanda, dan sempat terjadi pro-kontra. Namun, para petinggi
pemerintahan RI kala itu terpaksa sepakat karena bagaimanapun juga, jalan damai
adalah pilihan utama, serta belum cukup kuatnya angkatan perang yang dimiliki
Indonesia.
Namun, realisasi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa kali pasukan
Belanda berulah dan memicu bentrokan di sejumlah daerah. Hingga akhirnya, tanggal
15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar RI menarik mundur pasukan
sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi yang telah disepakati (Abdul Haris Nasution,
Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 1991:439). Kehendak Belanda tersebut tentu
saja ditolak oleh pemerintah RI. Van Mook semakin murka dan pada 20 Juli 1947 ia
menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil
Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun
dimulai.

Anda mungkin juga menyukai