PERJANJIAN LINGGARJATI
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS HUKUM
2022
A. Latar Belakang Perjanjian Linggarjati
Delegasi Belanda dalam pertemuan itu adalah Perdana Menteri Prof. Dr. Ir. W.
Schermerhorn, sedangkan wakil Indonesia dipimpin oleh Soetan Sjahrir. Pihak Inggris
(Sekutu) bertindak sebagai penengah yang diwakili oleh Sir Archibald Clark Kerr atau
Lord Inverchapel. A.H. Nasution dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan: Periode
Linggarjati (1994), mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut telah disepakati melalui
rumusan naskah persetujuan pendahuluan yang ditandatangani oleh Soetan Sjahrir dan
Hubertus van Mook (Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir) pada 30 Maret 1946.
B. Kronologi Sejarah Perundingan Linggarjati
Sebagai tindak lanjut atas beberapa pertemuan awal, dihelat forum di Hoge Veluwe,
Belanda, pada 4-24 April 1946, yang membahas tentang persoalan status kenegaraan,
kemerdekaan, dan wilayah Indonesia. Namun, pemerintah Kerajaan Belanda tidak
setuju dan menawarkan opsi bahwa Indonesia akan menjadi negara bawahan dalam
persemakmuran Belanda. Soetan Sjahrir sebagai wakil delegasi Indonesia tentu saja
menolak mentah-mentah. Indonesia ingin kedaulatan penuh. Perundingan kembali
dilanjutkan pada 7 Oktober 1946 dengan tujuan untuk mengurai persoalan demi
persoalan. Delegasi Indonesia dalam forum ini adalah Soetan Sjahrir, A.K. Gani, Amir
Sjarifuddin, Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Roem, dan Ali Boediardjo. Sementara
dari pihak Belanda diwakili oleh Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn dan Inggris sebagai
penengah diwakili oleh Lord Killearen. Pada 14 Oktober 1946 disepakati bahwa akan
dilakukan pembicaraan lebih lanjut mengenai pengakuan Indonesia dari pihak Belanda.
Waktu yang disepakati untuk pertemuan penting itu adalah dari 12 November 1946 di
Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat.
Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan
adalah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda,
sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo,
dan A.K. Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn. Perundingan
ini menghasilkan sejumlah kesepakatan:
(1) Belanda mengakui Jawa dan Madura sebagai wilayah RI secara de facto;
(3) Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS (Republik Indonesia
Serikat);
(4) RIS menjadi negara persemakmuran di bawah naungan negeri Belanda (Ide Anak
Agung Gde Agung, Persetujuan Linggarjati, 1995:164).
Isi kesepakatan ini tentu saja merugikan Indonesia karena pada akhirnya nanti tetap
saja menjadi bawahan Belanda, dan sempat terjadi pro-kontra. Namun, para petinggi
pemerintahan RI kala itu terpaksa sepakat karena bagaimanapun juga, jalan damai
adalah pilihan utama, serta belum cukup kuatnya angkatan perang yang dimiliki
Indonesia.
Namun, realisasi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa kali pasukan
Belanda berulah dan memicu bentrokan di sejumlah daerah. Hingga akhirnya, tanggal
15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar RI menarik mundur pasukan
sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi yang telah disepakati (Abdul Haris Nasution,
Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 1991:439). Kehendak Belanda tersebut tentu
saja ditolak oleh pemerintah RI. Van Mook semakin murka dan pada 20 Juli 1947 ia
menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil
Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun
dimulai.