Perjanjian Linggarjati merupakan suatu perjanjian bersejarah yang berisi kesepakatan antara
pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda yang disepakati dalam sebuah
perundingan.Perjanjian Linggarjati juga merupakan upaya diplomatik pemerintah Indonesia
untuk memperjuangkan wilayah kesatuan Republik Indonesia dari cengkraman penjajah
Belanda.Para tokoh dari Indonesia dan Belanda duduk bersama untuk membuat kesepakatan
yang dirangkum dalam beberapa poin persetujuan. Peristiwa ini kelak dikenal dengan nama
perjanjian Linggarjati.Perjanjian ini telah berhasil mengangkat permasalahan antara Indonesia
dan Belanda ke ranah international dengan melibatkan PBB (persatuan bangsa
bangsa).Perjanjian ini disebut dengan perjanjian Linggarjati karena lokasi terjadinya ialah di
Desa Linggarjati yang terletak di sebelah selatan kota Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 10
November 1946.
Para pemimpin negara menyadari bahwa untuk menyelesaikan konflik dengan peperangan hanya
akan menimbulkan korban dari kedua belah pihak.
Untuk itu, Inggris berusaha mempertemukan Indonesia dengan Belanda di meja perundingan
guna membuat sebuah kesepakatan.
Perjanjian bersejarah antara Indonesia dan Belanda ini akhirnya terlaksana di Linggarjati,
Cirebon pada tanggal 10 November 1946.
Perjanjian Linggarjati ini dihadiri oleh beberapa tokoh perwakilan dari 3 Negara, yaitu
Indonesia, Belanda dan Inggris.
Pemerintah Indonesia diwakili oleh Dr. A. K. Gani, Mr. Susanto Tirtoprojo, Sutan Syahrir dan
Mohammad Roem.
Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Pool , Prof. Schermerhorn dan , De Boer.
Pemerintah Inggris, yang berperan sebagai mediator diwakili oleh Lord Killear
Dampak Positifnya: Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka mendapatkan
pengakuan secara de facto oleh Belanda.
Dampak Negatifnya: Wilayah indonesia semakin sempit karena Belanda tidak mengakui
seluruh wilayah Indonesia. Belanda hanya mau mengakui wilayah Indonesia pada pulau
Jawa, Madura dan Sumatera.
Perjanjian renville
Perjanjian Renville
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Delegasi Indonesia pada perjanjian Renville, tampak di antaranya Agus Salim dan Achmad Soebardjo
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang diadakan pada
tanggal 17 Januari1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS
Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal
8 Desember1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for
Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Daftar isi
1Delegasi
2Gencatan senjata
3Pihak yang hadir pada perundingan Renville
4Isi perjanjian
5Pasca perjanjian
6Referensi
Delegasi
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Delegasi
Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNILAbdulkadir Widjojoatmodjo. Delegasi Amerika
Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.
USS Renville
Gencatan senjata
1. Delegasi Indonesia di wakili oleh Amir syarifudin (ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr.J.
Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
2. Delegasi Belanda di wakili oleh R.Abdul Kadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H..A.L. Van Vredenburg,
Dr.P.J. Koets, dan Mr.Dr.Chr.Soumokil.
3. PBB sebagai mediator di wakili oleh Frank Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard Kirby.
Isi perjanjian
1. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat
dan Jawa Timur.
Pasca perjanjian
Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang
dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Divisi ini
mendapatkan julukan Pasukan Hijrah oleh masyarakat Kota Yogyakarta yang menyambut
kedatangan mereka.
Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar, seperti Barisan Bambu
Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo,
mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata
terhadap tentara Belanda. Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, S.M.
Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir
Syarifuddin, Menganggap Negara Indonesia telah Kalah dan Bubar, kemudian ia mendirikan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus1949, di wilayah yang
masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia
(NII). Akibat dari Perjanjian Renville itu pula, pasukan dari Resimen 40/Damarwulan, bersama
batalyon di jajarannya, Batalyon Gerilya (BG) VIII Batalyon Gerilya (BG) IX, Batalyon Gerilya
(BG) X, Depo Batalyon, EX. ALRI Pangkalan X serta Kesatuan Kelaskaran, dengan total
penikut sebanyak tidak kurang dari 5000 orang, juga Hijrah ke daerah Blitar dan sekitarnya.
Resimen 40/Damarwulan ini kemudian berubah menjadi Brigade III/Damarwulan, dan
batalyonnyapun berubah menjadi Batalyon 25, Batalyon 26, Batalyon 27. Setelah keluarnya
Surat Perintah Siasat No I, dari PB Sudirman, yang mengharuskan semua pasukan hijrah pulang
dan melanjutkan gerilya di daerah masing-masing, Pasukan Brigade III/Damarwulan, di bawah
pimpinan Letkol Moch Sroedji ini, melaksanakan Wingate Action, dengan menempuh jarak
kurang lebih 500 kilometer selama 51 hari
Perjanjian Roem-Roijen
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa
dipastikan.Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Tulisan tanpa
sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.
Suasana Konferensi Permulaan Meja Bundar. Tampak: Prof. Dr. Supomo, Ali Sastroamidjojo, Mohammad
Roem, Leimena, A.K. Pringgodigdo, Latuharhary, 14 April 1949
Putar media
Menteri Luar Negeri Belanda van Roijen (rekaman Desember 1948, sebelum berangkat ke New York
dalam perjalanan dari negosiasi Resolusi 67 Dewan Keamanan PBB yang akan memaksa Belanda untuk
mengakui kemerdekaan Indonesia).
Kesepakatan
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian
Renville pada 1948
Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak
Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia
Pasca perjanjian
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara
Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan
Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) dari tanggal 22 Desember1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan
secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus)
dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua
masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.
"Pengakuan kedaulatan Indonesia" beralih ke halaman ini. Untuk pengakuan pemerintah Belanda tahun
2005, lihat Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda.
Penandatangan Indonesia
Belanda
BFO
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa
Komisi Tiga Negara
Indonesia
Belanda
Nugini Belanda
Kesultanan Pontianak
Negara Indonesia Timur
Negara Madura
Negara Pasundan
Negara Sumatra Timur
Pihak Dayak Besar
Amerika Serikat
Australia
Belgia
Britania Raya
Republik Keempat Perancis
Republik Cina
Uni Soviet
Bahasa Belanda
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda,
dari 23 Agustus hingga 2 November1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan
BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan
Belanda di kepulauan Indonesia.[1] Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat
tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville
(1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda
untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Daftar isi
1Latar belakang
2Negosiasi
3Hasil
4Dampak
5Catatan kaki
6Rujukan
7Pranala luar
Latar belakang
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan
kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia
kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi,
lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda
terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik.
Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.
[2]
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi
Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para
pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar
untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[3]
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara
di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perunndingan antara
delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus,
Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari
Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan
kerangka dasar untuk konstitusinya.[4] Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh
Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar
di Den Haag.
Negosiasi
Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda berlangsung
berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka dan
berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh
Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942. Delegasi Indonesia terutama
merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut mereka digunakan oleh Belanda
dalam tindakan militer terhadap Indonesia. Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam
komisi PBB untuk Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian
utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober,
delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia
Belanda.[7]
Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu.
Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia
Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki
ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya.[8] Meskipun opini publik Belanda yang
mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan
dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati.[9] Pada akhirnya, pada awal 1
November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui
perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah
penyerahan kedaulatan.[10]
Hasil
Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949.
Kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 December 1949.[11] Isi
perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:
Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada
Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua
bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan
mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari
serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. [13][14][15][16]
Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda
sebagai kepala negara
Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
Dampak
Lihat pula: Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda
Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh
Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian,
tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa
kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di
Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas
semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski
ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda
umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah
pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua
negara".[17]
Tekait utang Hindia Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam
kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.[18]
Lihat pula:
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Salakanagara (130-362)
Tarumanagara (358–669)
Kendan (536–612)
Galuh (612-1528)
Kediri (1045–1221)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Kerajaan Kristen
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Indonesia Merdeka
Portal Indonesia
lihat
bicara
sunting
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 di
Papua Barat yang untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik
Belanda atau Indonesia. Pemilihan suara ini menanyakan apakah sisa populasi mau bergabung
dengan Republik Indonesia atau merdeka. Para wakil yang dipilih dari populasi dengan suara
bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB, meskipun validitas
suara telah ditantang dalam retrospeksi.
Daftar isi
1Dasar
2Proses
3Tahap-Tahap Pepera
4Tuntutan untuk Ulang pemungutan suara
5Rujukan
6Referensi
Dasar
Referendum dan melakukan yang telah ditetapkan dalam Perjanjian New York; Pasal 17 yang
sebagian mengatakan:
"Indonesia akan mengundang Sekretaris Jenderal untuk menunjuk seorang Wakil yang" .. "akan
melaksanakan tanggung jawab Sekretaris-Jenderal untuk memberikan saran, membantu, dan
berpartisipasi dalam pengaturan yang menjadi tanggung jawab dari Indonesia untuk pelaksanaan
pemilihan bebas. Sekretaris Jenderal akan, pada waktu yang tepat, menunjuk PBB Perwakilan
sehingga dia dan stafnya mungkin menganggap tugas mereka dalam satu tahun wilayah sebelum
penentuan-diri. ".. "Perwakilan PBB dan stafnya akan memiliki kebebasan yang sama gerakan
seperti yang disediakan bagi personel dimaksud dalam Pasal XVI".
Pasal XVIII Indonesia akan membuat pengaturan, dengan bantuan dan partisipasi PBB
Perwakilan dan stafnya, untuk memberikan orang-orang di wilayah, kesempatan untuk
melaksanakan kebebasan memilih. Pengaturan demikian akan mencakup:
Konsultasi (musyawarah) dengan dewan perwakilan mengenai prosedur dan metode yang harus
diikuti untuk memastikan secara bebas menyatakan kehendak penduduk.
Penentuan tanggal yang sebenarnya dari pelaksanaan pilihan bebas dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh Persetujuan ini.
Formulasi pertanyaan sedemikian rupa sehingga memungkinkan penduduk untuk memutuskan
(a) apakah mereka ingin tetap dengan Indonesia, atau (b) apakah mereka ingin memutuskan
hubungan dengan Indonesia.
Kelayakan dari seluruh orang dewasa, pria dan wanita, bukan warga asing untuk berpartisipasi
dalam tindakan penentuan nasib sendiri akan dilaksanakan sesuai dengan praktik internasional,
yang bertempat tinggal pada saat penandatanganan Persetujuan ini, termasuk mereka warga
yang berangkat setelah 1945 dan yang kembali ke wilayah itu untuk melanjutkan tinggal setelah
berakhirnya pemerintahan Belanda.
Proses
Menurut Pasal 17 dari New York Agreement, plebisit itu tidak terjadi sampai satu tahun setelah
kedatangan wakil PBB Fernando Ortiz-Sanz di wilayah pada tanggal 22 Agustus 1968. Namun
setelah NASA mengumumkan jadwal penerbangan Apollo 11 mendarat di Bulan untuk Juli,
Indonesia mengusulkan plebisit yang dilakukan enam minggu-minggu awal selama bulan Juli
1969.
Perjanjian New York ditetapkan bahwa semua laki-laki dan perempuan di Papua yang tidak
asing memiliki hak untuk memilih dalam Undang-Undang. Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, bukan
dipilih 1.025 orang Melanesia dari perkiraan populasi 800.000 jiwa sebagai wakil Barat New
Guinea untuk suara. Mereka memilih publik dan secara bulat mendukung tersisa dengan
Indonesia. PBB mencatat hasil dengan Resolusi Majelis Umum 2504. Menurut Hugh Lunn,
wartawan dari Reuters, orang-orang yang dipilih untuk suara itu diperas menjadi suara
menentang kemerdekaan dengan ancaman kekerasan terhadap orang-orang mereka [1]
Kontemporer diplomatik kabel menunjukkan. Amerika diplomat mencurigai bahwa Indonesia
tidak bisa memenangkan pemungutan suara yang adil , dan juga mencurigai bahwa suara itu
tidak dilaksanakan secara bebas, namun para diplomat melihat acara sebagai "kesimpulan
terdahulu" dan "marjinal untuk kepentingan AS"[2]
Tahap-Tahap Pepera
Sebagai bagian dari perjanjian New York, Indonesia sebelum akhir tahun 1969 wajib
menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Pada awal tahun 1969, pemerintah
Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera. Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3 tahap yakni
sebagai berikut,
Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 maret 1969. Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan
deewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.
Tahap kedua diadakan pemilihan Dewan Musyawarah pepera yang berakhir pada bulan Juni
1969.
Tahap ketiga dilaksanakan pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus
1969 di Jayapura.
Pelaksanaan Pepera itu turut disaksikan oleh utusan PBB, utusan Australia dan utusan Belanda.
Ternyata hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan
NKRI. Hasil Pepera itu dibawa ke sidang umum PBB dan pada tanggal 19 November1969,
Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera.
menyetujui
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi
Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO
1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan
oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari
garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-
pulau tersebut.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar
( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima
dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention
On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU
Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara
kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai
Hari Nusantara.[2] Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan
Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13
Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah
Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
keselamatan NKRI
Lihat pula
ASEAN merupakan organisasi regional yang di bentuk bertitik tolak dari kesadaran bangsa-bangsa Asia
Tenggara akan perlunya solidaritas dan kerjasama di antara mereka, melalui kebersamaan sikap dan
tindakan, di harapkan akan tercipta suatu perdamaian, kemajuan, dan kemakmuran di kawasan Asia
Tenggara